[Ronde 1] Ifan - Unbeautiful Mind

By: Nameless Ghoul

Kedua jari tengah kuacung tinggi-tinggi, dan kutatap langit sambil berteriak-teriak. Ada yang memandangiku sekarang, 'kan? Aku dengar cekikikan, bisikan, dan … oh, oh, siapa itu yang mengataiku? Diam diam diam, yah. Kau tidak bosan, ha?

Tapi ya sudahlah, untuk saat ini saja, tidak apa-apa. Karena kau sedang menyaksikan aku, yang sering diremehkan dan ditindas, ternyata menjadi satu yang beruntung dari delapan miliar manusia. Tidak menyangka? Ya, aku juga kok.

Lihat, aku berkesempatan mengunjungi dunia paralel seperti Stephen Hawking! Oh, apa dia di sini sekarang, dan bukannya meninggal? Akan kutanyakan itu nanti.

Bukan dengan usahaku sendiri, sih, tapi tetap. Ini pengalaman luar biasa dan aku tidak sabar mengumumkannya di bumi. Sudah kubayangkan semacam konferensi pers, undangan pascasarjana alkimia dari Oxford (sebenarnya lebih minat ke Harvard tapi tidak suka Amerika), dan mungkin dari sini aku mendapat ide untuk penemuan ilmiah. Yeah, menjadi saingan Elon Musk boleh juga.

Heh, kamu tahu aku di mana, memangnya? Makanya jangan sok tahu.

Sekarang aku berada di Turnamen Antarsemesta, setidaknya begitulah kata orang-orang yang menyambutku di balik portal yang tiba-tiba muncul di jalan pulang. Walau sebenarnya, aku masih skeptis juga. Karena, maksudku, lihat saja!

Untuk ukuran dimensi lain yang kukira canggih, mungkin setara bumi milenium ketiga, persiapan balapan ini menyedihkan. Tidak sesuai ekspektasi. Masih lebih bagus pantai dalam ruangan di Jepang, atau pulau buatan di Dubai, dan … jujur saja aku lebih suka melihat Tanjung Benoa walau harga sewa wahana di sana membuatku berpikir-pikir. Kuberi nilai satu dari lima.

Pantai yang kotor, bau kontainer ayam, panas terik seperti siang bolong di Bekasi. Betul-betul mirip bumi. Mataharinya pun tampak sama. Perbedaannya, aku melihat ayam dan bola boling bisa bicara. Keraguanku sirna seketika.

Kemudian, entah benar atau perumpamaan saja, medan yang akan kulalui dipenuhi dinosaurus. Aku berkeliling pantai sebentar sambil menyipitkan mata. Mana dinosaurusnya?

Riuh rendah kudengar dari tempat berkumpulnya banyak orang. Kelihatannya pertandingan akan dimulai tidak lama lagi. Aku segera bergegas dan dengan menekan tombol tertentu pada kunci. Piring terbang mengikuti sesuai arah gerak tanganku.

Sebenarnya aku lebih pilih sendiri. Pengalaman buruk mengajarkanku tidak mudah percaya. Namun belum lama, kudengar nasihat untuk tidak meremehkan jejaring sosial. Orang yang kuajak bicara hari ini bisa jadi kenal perusahaan yang sedang mempekerjakan orang, atau kurir meth (aku butuh yang kedua). Semua diawali dengan basa-basi. Mencoba tidak membunuh.

Mengikuti nasihat tersebut, aku mengajak berkenalan cewek yang kalau diperhatikan lebih dekat, jelas bukan manusia. Kulitnya seputih kapas. Hantu? Mayat hidup? Orochimaru? Ah, persetan. Kalau dia pintar dan menghargai orang, dia sudah lebih tinggi derajatnya dari manusia kebanyakan. Kuharap dia tidak makan tempat. "Hai, sudah berencana dengan kelompok atau?"

"Belum, kok," jawab cewek berambut hitam itu malu-malu, tetapi air mukanya tampak agak heran. "Kamu mau mengajakku? Aku bisa terbang sendiri sih, tapi—ohoho, tidak, tidak. Tentu saja aku mau. Namaku Riska."

Ini berjalan dengan baik. Dia dari Indonesia. Walau aku agak terkejut tiba-tiba melihat lubang berdarah di belakang bajunya. Aku tertawa canggung. "Aku Ifan. Itu saja. Ngomong-ngomong … kau sebenarnya apa?"

Riska tertawa. "Aku merasa kamu lebih takut menyinggung perasaanku daripada wujudku." Tubuhnya menyerong ke samping, seperti memamerkan lubang menganga. "Hihihi. Tentu saja aku hantu. Memangnya tidak takut?"

"B saja."

"Wah," sahut Riska. "Terlalu percaya diri itu tidak baik, lho."

Percaya diri? Demi apa? Aku memutar mata, coba mengingat. "Aku hanya menyampaikan apa yang kupikirkan."

Suara tembakan pertanda mulainya balapan membahana. Aku ketinggalan start, tapi ya sudahlah. Dengan santai, kutekan tombol tertentu pada kunci Avant-Garde, mendaratkan benda itu tepat di atas pasir di hadapanku. Aku melompat ke dalam piring terbang. Tas dan perlengkapan lainnya kupindahkan ke pangkuan agar Riska bisa duduk di sampingku. Kemudian, kuaktifkan sabuk pengaman.

"Kapal alienmu aman, kok. Lukaku sudah kering," ujarnya seperti membaca pikiranku. Yah, kalau kau memang bisa, silakan saja. Pikiranku sekarang tidak jauh-jauh dari butter dance, hentai bawah umur, dan baris-baris kode yang gagal total.

Avant-Garde memelesat, dengan kecepatan penuh. Terlalu silau, kuaktifkan peredam sinar UV. "Kita lewat jalur udara, tapi mengikuti rute darat karena aku tidak paham seluk-beluk laut dan takut tersasar. Perkiraanku setengah jam kurang kita sampai garis akhir," umumku. "Kendaraan ini belum mendukung deteksi medan, jadi bantu aku kalau kau melihat yang aneh-aneh." Tanpa permisi, kusetel Hymn To Lucifer dengan volume sedang.

"Musikmu aneh," komentar Riska. "Kamu sedang depresi, ya?"

Aku menatapnya, kagum sekaligus jengkel pada sifat terus terangnya. Habis kata-kata sehingga aku hanya merespons singkat, "Entahlah."

Tanda-tanda kemunculan dinosaurus belum terlihat. Aku membelah langit terik dengan kecepatan yang pasti membuat orang tua jantungan. Sesekali, Avant-Garde kutukikkan terbalik. Sengaja kubuat kaget peserta lain dengan jetpack hingga mereka jatuh ke laut. Tampaknya, Riska juga menikmatinya.

"Kalau aku berkenalan," mulaiku, "aku selalu penasaran dengan orang seperti apa aku berkenalan. Kuharap kaupunya sesuatu yang unik untuk dibagi. Mau cerita?"

"Bagaimana kalau kamu duluan?"

"Hidupku tidak menarik seperti situs Gunung Padang."

"Ah, siapa tahu hanya pendapatmu saja."

Aku tertawa nelangsa. "Sembilan dari sepuluh hal, aku gagal."

Riska mengedip, seperti meminta lebih.

"Tidak ada lagi," gerutuku. "Hidupku semembosankan itu. Dan yah, hobiku biasa. Hanya membaca dan bermain gim, bukan hiking atau membantu nenek menyebrang jalan." Menyesal sekali kuajak cewek tidak jelas ini. Kutambah lagi kecepatan agar Riska tidak usah berkata-kata lagi.

"Kamu marah, ya?" Bukannya menyesal, tampaknya Riska makin ingin mengajak ribut. "Wah, tampaknya uban-ubanmu bicara banyak."

Aku mengabaikannya, lalu mengalihkan topik, "Aku tidak melihat peserta lain ataupun dinosaurus dari ta—BANGSAT GOBLOK TOLOL KEPARAT SIALAN!" Kutarik tuas ke kanan, menghindari makhluk terbang yang kulupa nama spesiesnya. Belum cukup, dua yang lain dari arah berlawanan hendak menerjangku bersamaan! Namun Avant-Garde berhasil lolos tepat waktu, membiarkan dua dinosaurus udara itu menabrak satu sama lain.

Aku terengah-engah. Masih panik campur senang. Bulu kuduk di tangan berdiri semua. Akan kuabadikan kejadian barusan di jurnalku nanti. "Hampir saja."   

"Kamu marah padaku, ya, tadi?"

Alisku mengerut dalam-dalam. Kok bodoh sekali? Apa IQ-nya cuman dua digit? Kalau begini caranya, aku takkan sadar garis akhir pertandingan karena meladeni ocehannya.

"Kaupikir membahas itu sekarang tepat? Kita baru saja dikejar dinosaurus! Dinosaurus! Pernah belajar sains, hah? Jangan bilang kau lebih memilih pacaran daripada mendengarkan guru sewaktu hidup!" balasku dengan suara meninggi. "Aku menyesal mengajakmu bersama, tahu."

Riska jelas-jelas tidak terima, aku bisa lihat meski sekilas. Namun dia malah menyeringai aneh. "Ngomong apa kamu?"

Tanpa mengindahkannya, kuambil pistol teleportasi (maaf namanya kurang kreatif) dari dalam tas. "Kalau kau memang hantu, semestinya kau tidak bisa mati lagi, 'kan? Hehehe." Aku menyeringai lebar. "Nothin' personnel, kid."

Setelah mengatakannya, aku menembak cewek itu. Praktis mementalkannya keluar dari Avant-Garde. Aku tidak bisa mendengar serapah kejatuhannya karena kapsul pelindung sekaligus berfungsi memblokade suara. Na-na-na, satu pengganggu sirna. Segera kupindahkan tas di pangkuan ke bangku sebelah. Tapi tiba-tiba Riska ada di atas ranselku, mendudukinya tanpa dosa.

"Hihihi. Keras juga kamu, ya." Riska menyilangkan tangan di depan dada. "Padahal aku bisa merasa kamu sangat sedih belakangan ini, tapi berlagak sok. Kenapa, tuh? Apa karena orang ini?"

Aku terbelalak, gemetar dan langsung ingin muntah. Di sebelahku adalah cewek berkacamata bundar. Sosok yang seharusnya tidak ada di sini. Manusia terakhir yang ingin kutemui. Orang yang pernah kuanggap kawan.

Demi John Lennon! Ekspresi jijiknya terhadapku benar-benar membuat aku ingin lompat sekarang juga.

Dari segala hal, bisa-bisanya kau menampilkan dia? Perasaan sedih, kesal, kecewa, ingin membunuh tapi tak mampu, dan kesan negatif lainnya berkecamuk dalam kepala. Aku berharap sedang di rumah dan memegang silet, bukan di sini.

Kurenggut tasku, dan tak lupa buku Subtle Art of Not Giving A F*ck di dekatnya. Berbekal kedua barang itu pada pelukanku, aku menghilangkan diri. Tubuh beserta tas dan bukuku menembus piring terbang.

Lima detik kemudian, aku jatuh dari ketinggian, menyesal bukan main. Aku 'kan bisa menikamnya atau apa, tapi tidak kulakukan. Dasar bodoh.

Tak kusangka di bawahku hutan. Kalau tidak dimangsa dinosaurus, aku pasti jadi bubur manusia. Oke, tamat.

Selamat tinggal, Pak, Buk. Maaf tidak bisa jadi alkimiawan terkenal. Selamat tinggal kucing-kucing. Maaf kalian harus makan sampah lagi. Dan selamat tinggal laptopku. Kata kuncinya adalah uvuvwevwevwev-onyetenyevwe-ugwemubwem-ossas. Itu hanya keamanan lapis pertama, sih.

Ya sudah, lah. Masih lebih baik karena setidaknya aku tak perlu mengerjakan lima tugas yang tenggatnya dua hari lagi, maupun mendapat pengumuman IP-ku yang sepertinya turun. Bila Tuhan nanti memang ada dan menuntutku atas menjadi ateis agnostik, aku akan menyalahkannya balik karena memberiku otak yang berpikir.

Tapi menjelang kematianku, aku ingin mengatakan sesuatu yang lucu. Berapa banyak bayi yang dibutuhkan untuk mengecat? Tergantung seberapa keras kau melempar. Hah-haha-haha-ha. Dan apa yang dicari orang Yahudi di dalam asbak? Saudaranya.

Sial. Pantas saja aku tidak punya teman.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Surprise, bitch! Jangan pesta dulu. Kaukira aku akan sedih-depresi-melodrama-ingat dosa menjelang mati? Sayangnya, tidak.

Omong-omong, kuncinya ada bersamaku dan Avant-Garde sedang dalam mode terbang berputar-putar otomatis. Cepat sekali jalannya sampai berada di luar jangkauan. Yah, semoga piring terbang itu masih utuh saat aku berhasil mengejarnya, karena aku ingin memberi salam perpisahan.

Itu kalau aku sempat menjadi hantu juga setelah mati.

***

Tak mudah bagi Emir untuk move on dari masa lalu. Meskipun menampakkan senyum ramah dan berlaku seperti tidak ada apa-apa, jauh di dalam jiwanya dia merasa sangat tersiksa. Dosa-dosanya terlalu berat untuk diampuni Tuhan, tetapi dia sangat takut masuk neraka. Maha suci Allah, dirinya yang hina itu masih diberi kesempatan untuk berubah.

Dalam sekencang-kencangnya laju motor menghindari dinosaurus, yang seharusnya hanya ada dalam film barat, dia melihat penampakan. Ada orang jatuh dari langit. Kepalanya di posisi bawah. Itu pastilah pertanda dari Tuhan untuk beramal saleh.

Tanpa berpikir banyak lagi, setelah mengelabui dinosaurus pengejar, dia memarkirkan motornya di area yang jauh dari jangkauan kumpulan hewan raksasa tersebut. Secepat kilat, dia melaju dengan "kaki" hantunya. Tepat pada waktunya gadis malang itu terselamatkan dalam pelukannya. Tidak ada beban, seolah gadis itu hanya segenggam kapas.

"Assalamu 'alaikum, Nak," ucap Emir untuk menyadarkan. Meski tampang sang gadis tidak ada menarik-menariknya dan jauh dari kelayakan pandang—astagfirullahaladzim pait pait pait—bersinggungan dengan lawan jenis terlalu lama adalah haram hukumnya.

Sang gadis membuka mata. Sontak dia berteriak, "Mana tas? Mana taas?"

Emir melepaskan dekapannya dan saat itulah sang gadis seperti tersadar tasnya berada di punggung sejak awal. Dia terkekeh malu, air matanya hendak tumpah. "Eeh, terima kasih, Om," katanya. "Betewe, aku tak mau dipanggil 'sang gadis' terus dalam narasi Om, jadi panggil aku Ifan. Makasih banyak ya, sekali lagi."

"Iya sama-sama, Nak," Emir bingung harus menjawab apa. "Bagaimana mungkin kamu jatuh dari langit?"

"Orang gila merebut kendaraanku," sahut Ifan, suaranya bergetar. "Dan sekarang aku tidak punya apa-apa untuk lanjut."

Duh, Emir jadi galau. Dia harus bersama perempuan muda itu lebih lama lagi. Mending kalau cantik. Tapi dia teringat, nyawa manusia selalu lebih penting dari perkara hadas. Nanti tinggal berwudu dan salat memohon ampun jika pertandingan selesai, daripada membiarkan nyawa seseorang hilang sia-sia. Dengan demikian, dia berkata, "Ya sudah. Saya boncengi kamu sampai tujuan."

Begitulah akhirnya kedua orang berbeda jauh latar belakang itu bisa bersama. Satu orang tidak menyadari yang lain sedang menertawakan agamanya dengan dalih batuk-batuk. Beruntung, Ifan mengerti keadaan dengan meletakkan tas di antara dirinya dan Emir.

Ifan menunjuk tebing. "Kita sebentar lagi sampai! Mammamia senangos! Akan kuminta panitia menyediakan hotel terbaik untuk semua ini dan setumpuk buku filsafat—yea aku janji membaca semua dalam satu malam dan jangan lupa langganan Netflix premium!" ujarnya cepat sekali, seperti kumur-kumur.

"Nak, maaf tidak sopan," Emir memecah kesunyian yang tidak disukainya, "agamamu apa?"

Saat itulah dua ekor dinosaurus muncul dari deret pohon di cemara di hutan. Ukurannya dua kali lebih besar dan lebih buas daripada yang pernah dilihat Emir. Langkah-langkah mereka membuat hutan bergetar, dan burung-burung purba beterbangan. Pria itu tidak yakin namanya, tetapi dengan percaya diri dia berseru, "ALLAHUAKBAR! MEGALODON!"

Terdengar dengusan di balik punggung. "Biar aku yang menangani. Om jalan saja terus!"

Ifan mengeluarkan sepucuk pistol yang seperti tembakan air, menyasar dinosaurus bertangan pendek. Sinar merah berkelebat dari pucuknya, tetapi berakhir mengenai cemara. Terjadi ledakan yang memekakkan telinga. Pasir dan kerikil beterbangan. Dari spion, terlihat api berkobar hebat dan mulai menjalari hutan. Dua dinosaurus pengejar tidak tampak lagi. Emir teringat tragedi beberapa waktu lalu dan rasa sesalnya mulai mencekik lagi.

"Kamu tidak punya senjata lain?"

"Ada senjata lain, sih. Tapi tidak begitu efektif. Hehehe. Memangnya kenapa? Om seorang teroris yang sudah insaf dari kesalahan dan sekarang trauma dengan suara bom, begitu?"

"Bagaimana kamu tahu?" Emir kelepasan.

"Karena aku tidak bodoh. Aku bukan rasis jadi persetan dengan mukamu, tapi yang di depan itu jelas-jelas barang mencurigakan dan aku cukup yakin di dalam rompi ada sesuatu yang tidak biasa juga. Aku sering lihat yang seperti itu di internet dan jangan bilang kau punya selusin paspor. Kautahu kenapa? Siapa pun yang membayarmu untuk melakukan pengeboman, dia sebenarnya hanya ingin agamamu diolok-olok. Terkejut? Harus. Tapi siapa suruh jadi kolot dan melewatkan pendidikan kewarganegaraan?"

"Kamu jangan—"

"Dan asal kautahu, aku komunis, anggota Illuminati, dan Freemason eselon 33 bersama Donald Trump. Aku pendukung tenaga kerja aseng dengan kewarganegaraan Israel. Jangan lupa, aku feminis radikal lesbian pecinta kebab dan anggota klub Wubba Lubba Dub Dub. Singkatnya, aku ateis."

Emir tidak tahu apa yang terjadi, tetapi tiba-tiba dia sudah berpindah dari motornya, sekarang berdiri di atas gundukan yang segera disadarinya sebagai tahi dinosaurus. Dia hanya bisa melihat motornya masih melaju. Dikemudikan sang gadis berbual.

Semoga Tuhan mengampuni jiwanya.

***

Haah. Leganya berpisah dari hantu Arab. Kalau saja dia tidak bodoh dan generik, seperti yang kebanyakan kutemukan di lingkungan sekitar rumah, aku pasti biasa saja. Sayangnya, tanganku keburu bertindak untuk mementalkannya. Berjaga-jaga sebelum dia mendoktrin dan memakaikanku burka. No hard feeling, aku hanya tidak suka orang bego dan radikal.

Omong-omong, kenapa aku bertemu hantu terus? Semula kupikir, mereka bahkan tidak ada. Kalau pun ada, konon mereka tersusun dari energi murni dan itu artinya mereka pasti kehabisan energi hanya dengan menampakkan diri. Tapi bukannya hantu centil dan hantu Arab muncul lama sekali, dan bisa disentuh? Demi apa pun, aku tidak begitu peduli. Sekarang pikiranku teralih ke kentang goreng saus Szechuan. Semoga panitia lomba menyediakannya.

Dengan tangan kananku memegang setang, tangan kiriku teracung dan menekan tombol kunci Avant-Garde. Tidak ada balasan sinyal. Berarti hadiah dari ayahku itu terdampar lebih dari satu kilometer jauhnya. Bangsat. Aku ingat harus makan telur nyaris tiap hari selama dua tahun karena cicilannya.

Motor mulai menaiki tanjakan. Kali ini, tidak banyak pepohonan ataupun tanda-tanda kehidupan dinosaurus. Tapi aku yakin ada yang salah. Rute terakhir selalu menjadi klimaks, jadi aku harus ekstra hati-hati. Kutekan tombol pada kunci Avant-Garde sekali lagi. Kedip-kedip hijau, sebuah pertanda bagus. Rasanya lega bukan buatan.

Aku berbalik, mendapati piring terbang itu melaju cepat ke arahku. Si hantu menghilang. Jalan menang luas membentang. Kubuka kapsul pelindung Avant-Garde dan melompat masuk. Oh piring terbang kesayangan, akhirnya kita bertemu lagi! Kucium panel kemudi berulang-ulang.

Sebelum tancap gas, dalam rangka iseng, kutembak empat peserta yang mendekat. Mampus kalian semua, selesai terakhir. Hahahaha. Lalu, aku bertolak. Meninggalkan motor si hantu Arab begitu saja.

Seketika si cewek berkacamata—yang membuatku tidak bisa tidur berminggu-minggu—duduk di sampingku. Dia diam saja, memandang ke depan seolah aku tidak ada. Itu membuat dadaku serasa dicabik-cabik. Tapi sekarang, aku berusaha mengabaikannya. Nanti hantu itu juga capek sendiri.

Benar saja, Riska berubah wujud, menggoda, "Hihihi. Lihat dirimu. Sok keras di luar, tapi cemen di dalam. Kamu butuh teman, tapi tidak mengaku. "

Aku tidak mau mendengarnya. Kusetel lagu Cirice dari Ghost BC dengan volume penuh. Namun kemudian, mengumpulkan keberanian banyak-banyak, aku malah tergelitik untuk membalas, "Heh, bacot. Kuberitahu, kau salah mencari angin."

"Memangnya kamu bisa apa?" tukas Riska.

"Dengar, aku punya cerita yang akan membuat siapa pun bergidik. Hantu sekalipun," kutatap hantu itu sungguh-sungguh. Aku mendalamkan suara, "Pada awalnya aku masuk gym karena iri sama temenku yang badannya bagus keker—"

Riska mengernyit, terperangah. "Aku tahu apa itu."

"Karena badan keker dan bertato itu seperti keharusan bagi cowok-cowok Bali untuk menunjukan kelelakiannya—"

Ceritaku tidak selesai. Riska menghilang secara sukarela. Dia tidak sepolos kelihatannya, kurasa.

Dan kalau bisa teleportasi, kenapa tidak langsung menuju garis finis? Kenapa lebih memilih menggodaku? Dasar tolol. Tidak heran mati cepat.

***

Aku berada di posisi tujuh belas, menurut panitia. Hantu sok jaim di posisi kesepuluh. Emir hampir-hampir terakhir (aku tidak berani melihat wajahnya). Dari dalam peti ajaib, kulihat orang-orang memperoleh hadiah berupa senjata keren atau barang random. Aku menunggu bagianku dengan gugup, takut sesuatu itu berupa majalah porno.

Tiba giliran, napasku tertahan. Peti mengeluarkan seperangkat komputer gaming, lengkap dengan headset, keyboard, dan mouse. Tidak terlalu berguna untuk balapan, tapi gacha tampaknya memahami keinginan terdalam.

Sekali lagi, kupandangi langit yang kini menjelang senja. Ritual yang kulakukan bila suara-suara itu masih bercokol dalam kepala. Dan mereka belum hilang juga, eh! Seperti banyak yang menontonku dari atas sana. Atau seperti ada chip disusupkan ke dalam darah. Ah—aku bingung!

Yang mana pun, aku sedang tidak peduli.

Komentar

  1. Monolog nihilist. With dark joke. Literally gue misuh baca "seberapa keras kau melempar"
    Tanggung jawab pinggang lepas krn Yahudi Jokes.
    .
    Tektok bacaan enak. Ga kerasa klo udh balapan. Tapi twist "eits gajadi mati" jdi bikin gampang ketebak.
    Itu doank yg agak "ganggu". Selebihnya nyaman dibaca.

    Skornya dri skala 1-10.
    Ini dapet 8/10.

    Tora kyuin

    BalasHapus
    Balasan
    1. tengkyu sob. soal twist itu oc gua aja yg pengen ngerandom, bkn twist. wekwekwek. yaudah sekian.

      Hapus
  2. Entri ini sangat unik. Alih-alih fokus ke balapan, malah fokus ke pengembangan karakter dan interaksi Ifan dan Riska. Tapi, mendengarkan percakapan mereka yang penuh up-and-down enak. Saya merasakan percakapan yang benar-benar natural. Narasinya unik, dan keanehan Ifan benar-benar direpresentasikan dengan sangat baik. Masalah yang dirasakan Ifan juga sangat relatable (笑).

    Mungkin yang kurang hanya interaksi dengan Emir. Ia beneran cuma jadi penggerak kenapa Ifan cerita panjang lebar kalau dia ateis. Interaksinya memang cukup menarik tapi mungkin karena word-constraint juga, rasanya kurang banget. Padahal lihat sosok unik macam Ifan berinteraksi dengan kaum fundamentalis bakal jadi heboh banget tapi saya malah mikir, "begini saja?" setelah baca.

    Overall, saya puas ketika membaca ini dan akan sangat menunggu kelanjutan petualangan Ifan. Saya beri nilai 8/10.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih udah membaca. Akhirnya ada juga yg memahami kerandoman OC-q wkwkwqk. Jadi ter-haruu. sengaja sih gak ngasi pertentangan-dramatis cem slh satu oc bor 6, bkn krn batasan kata (klo mau mah awalannya sj dipangkas). soalnya ifan tau klo lawannya terlalu bego buat nyerna kata2nya, jd macam merasa percuma capek-capek ngomong ntar butthurt nirfaedah. begitulah pikirannya yg simpel. thenkyu sekali lagi dah baca sobbb

      Hapus
  3. Ifan kalo ketemu sama Abu bisa jadi tim atheis ini kayaknya.

    I lost it di bagian:
    "Dan asal kautahu, aku komunis, anggota Illuminati, dan Freemason eselon 33 bersama Donald Trump. Aku pendukung tenaga kerja aseng dengan kewarganegaraan Israel. Jangan lupa, aku feminis radikal lesbian pecinta kebab dan anggota klub Wubba Lubba Dub Dub. Singkatnya, aku ateis."

    I mean... What the actual fuck? Belum pernah saya baca sebuah kalimat yang begitu memuaskan seperti itu.

    Score 8/10
    Oc : Dian

    BalasHapus
  4. Ifan itu rasanya kayak internet in a nutshell. Dari pop culture, teori konspirasi, sampai depression, paranoia, dan di adegan terakhir keliatannya dia juga punya skizofrenia? God bless her soul -w-)"/ (walau dia ateis)

    Referensi-referensinya agak overwhelming sebenernya. Tapi mengingat dari awal sampai akhir penuh referensi, dan kepribadian Ifan juga terbentuk dari sana, jadi ga masalah. Malah bikin entri ini beda dari yang lain.

    Nilai: 9
    OC: Litus Kamara

    BalasHapus

Posting Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya