[Ronde 4] Charlotte Izetta - Labirin Kenangan

By: Kagetsuki Arai
Reedsfort, Ohio, bukanlah kota metropolitan, namun sebagai tempat peneliti NASA berkumpul, kota ini masih cukuplah ramai. 

Beberapa jam yang lalu kota ini masih damai. Beberapa ilmuwan masih tampak berlalu lalang, menghilangkan kejenuhan dari markas NASA di utara kota Reedsfort. 

Namun tiba-tiba sinyal SOS terdengar dan saat FBI sampai di Reedsfort, kota ini sudah dipenuhi oleh monster.

"Chalice, kemana semua orang?" 

*

Chalice membuka matanya dan melihat sekelilingnya. Tempat ini mirip sekali dengan Reedsfort. Ia kenal betul taman tempat ia duduk, tempat dimana ia menghabiskan harinya bersama Charlotte. Namun in bukan Reedsfort dan Charlotte tak mungkin ada di sini...ya kan?

"ngomong-ngomong, hati-hati ya, labirin itu sering memperlihatkan kenangan terburukmu," kalimat Rasyid terdengar kembali di telinganya.

Charlotte bangkit dan mulai berjalan. Tak ada orang di sini, tak ada calon korban. Situasi di ronde ini benar-benar hal terburuk yang pernah ia alami.

Namun sosok gadis yang mirip dirinya tiba-tiba terlihat di ujung jalan.

"Charlotte?" ia menatap tak percaya.

Suara tawa Charlotte terdengar di telinganya dan Chalice tanpa ragu mengejarnya.

Lurus, belok kiri, di pertigaan belok kanan, Lurus kembali, lalu mengikuti kelokan putar balik. 

Lima belas menit ia berjalan, Charlotte hampir menyerah. Ia berjalan tanpa tujuan, mengikuti bayangan gadis yang sangat ia sayangi. Namun akhirnya bayangan Charlotte menghilang dan ia merasa dirinya makin tersesat.

"Oh, aku tak menyangka ada orang lain," Sebuah suara menyadarkannya dan seorang gadis berambut hitam tersenyum padanya, "Mau tumpangan?"

"kamu nyata, kan?" Charlotte memastikan, "Dan kalau kamu adalah Naada, maka aneh kalau kamu menawarkan bantuan pada lawanmu."

Naada tertawa kecil dan kemudian memberikan senyuman, "Kita tidak harus saling membunuh di ronde ini, kan?"

Charlotte merasa masih curiga, namun tubuhnya bergerak dan sebelum ia sadari sudah ada di mobil Naada.

Naada menginjak pedal mobilnya dan kemudian mulai berjalan.

*

"Kau lihat itu?" Chalice bertanya pada Naada.

"Kau juga?" Naada balik bertanya.

Keduanya menatap ujung lorong dimana wajah familiar terlihat. kedua sempat terdiam, namun sosok familiar itu menunjuk ke arah kanan.

"Rasyid bilang labirin ini akan menunjukkan kenangan kita, kan ya?" Naada bertanya lagi, "Haruskah kita ikuti dia?"

Yang dilihat oleh Chalice adalah sosok inangnya, gadis yang menjadi wujud dasarnya dan kalau bisa dibilang adalah induknya. Tapi bukankah gadis itu saat ini sedang dikarantina di CERN? 

"Jadi itu cuma kenangan," Chalice berusaha meyakinkan dirinya, namun sangat susah, apalagi sejak para ilmuwan keparat itu memisahkan dirinya dari Charlotte. 

Tapi itu demi keamananmu, Chalice berusaha meyakinkan diri. 

"Apapun yang kau lihat, jangan ikuti dia," Chalice berusaha meyakinkan diri, namun tangannya tanpa sadar meraih kerah baju Naada.

Wajah Naada sendiri tampak ketakutan, menyesal, namun juga ada rasa damai di sana.

"Kau benar," dan Naada menginjak lagi pedal mobilnya.

*

Chalice ingat saat ia pertama 'lahir ke dunia', saat wujudnya belum stabil. Chalice adalah satu dari sedikit Ace Ganster, monster yang tercipta dari virus digital yang menginfeksi manusia. Tak jelas bagaimana virus itu bermula, namun Chalice ingat ia melihat sosok gadis berambut kecoklatan lewat layar tablet.

"Siapa kau?" gadis itu bertanya.

Saat itu, Chalice belum bernama, belum berwujud. Ia hanyalah virus komputer yang menjelajah sebuah jaringan dan saat itu ia sampai di server NASA dan sampai di tablet ini. Melihat ke sekeliling lewat kamera yang terpasang di tablet milik gadis itu, ia melihat ia berada di sebuah bangsal rumah sakit. Bagaimana ia masuk ke server NASA dan berakhir di rumah sakit.

"Aku? Aku tak tahu," jawab sang virus, "Bagaimana kalai kita main game?" 

Dan kemudian ia menarik game yang ada di tablet milik gadis itu dan sejujurnya, itu adalah waktu paling menyenangkan. 

*

"Apa yang kau lihat?" tanya Naada tiba-tiba, "Aku masih bisa melihat kekasihku yang aku bunuh dengan tanganku sendiri."

"Aku tak mau menceritakannya," jawab Charlotte.

Naada hanya tersenyum kecil. Sejak tadi otaknya berputar berusaha memecahkan arah dari labirin ini, namun jelas sekali labirin ini di luar logika. Jadi ia melihat tanda-tanda. Bukankah Rasyid bilang labirin ini menguak kenangan terburuk. Naada melihat penyesalan terbesarnya, namun keberadaan Chalice membuatnya tetap tenang.

"Bercerita membuatmu lebih tenang lho," Naada berkata lagi.

Chalice tentu saja berusaha menolak. Ia tak ingin membuka rahasia pribadinya, kelemahan terbesarnya, pada potensial musuh. Namun kalimat Naada sungguh menggoda dan akhirnya mengkhianati semua logika, Chalice membuka mulutnya.

"Aku ini bukan manusia," jawab Chalice, "Seluruh wujudku, seluruh karakterku, aku menyalinnya dari seorang pasien uji coba NASA bernama Charlotte." 

"Pasien uji coba?" Naada tampak tertarik.

"12 pasien penyakit terburuk di bumi dikumpulkan," Chalice menjelaskan, "Lalu isi otak mereka diupload ke komputer dan dipakai untuk menjalankan simulasi antariksa. Tujuan penilitiannya sih untuk mencoba menciptakan AI berdasarkan otak manusia dan prototype alat yang mereka buat membahayakan nyawa. Jadi mereka berpikir menggunakan orang-orang yang hampir mati."

"Pasti Militer Amerika," Naada berkata, "Aku sendiri punya pengalaman buruk dengan mereka," lanjutnya sambil mengingat tragedi Jarasandha.

"Dari yang aku tahu sih, NASA bekerja sama dengan Air Force," jawab Charlotte, "Dari percobaan ini cuma lima yang selamat. Sisanya terbunuh dalam proses upload memori. Dari seluruh upload memori yang ilmuwan kira gagal, lahir kami, Virus Ganster."

"Mengingat perlakuan mereka para pasien itu, aku yakin kau membunuh banyak orang," Naada berkomentar.

"Ya, kami membunuh banyak orang, bukan cuma di markas itu, tapi juga seluruh kota," Charlotte memberikan senyum lemah, "Tapi bukan membunuh yang membuatku menyesal."

*

Sirine berbunyi keras meraung-raung dan monster bergerak perlahan menuju ke pusat kendali markas penelitian NASA. Banyak sekali tentara berusaha menghalangi laju mereka, namun nasib mereka berujung naas. Beberapa yang masih hidup diubah menjadi monster sama seperti yang membunuh kawan-kawan mereka, dihantui ketakutan sebelum akhirnya berubah menjadi monster tanpa kendali.

"Chalice?" Sebuah suara menyadarkan Charlotte, sosok gadis berambut coklat itu membuat Chalice sadar bahwa ia masih harus menyingkirkan inangnya dari tempat ini.

"Apa yang terjadi?" tanyanya.

"Char, kau tahu tidak kalau kau sudah sembuh?" Chalice bertanya balik sambil memegang pipi Charlote.

Keduanya berjejer tampak seperti saudara kembar dan dari kedekatan mereka, wajar orang tak bisa membedakan keduanya. Namun Charlotte bisa membaca sang virus yang dulunya tanpa nama itu. 

"Kau bohong," jawab Charlotte.

"Tidak sepenuhnya bohong sih," jawab Chalice, "Leukimiamu sudah sembuh. Namun semua sel yang rusak saat ini ditopang oleh Virusku. Kau mengidap penyakit lain sekarang. 54% tubuhmu saat ini digital."

"Chalice, aku sudah siap mati sejak lama, lho," jawab Charlotte, "Tapi kau mengganti topik lagi. Bisa kau katakan apa yang sedang terjadi di sini? Sirine sejak tadi meraung dan dokter Ethan tak datang ke sini."

"Dokter Ethan sudah mati," jawab Chalice, "Aku sekarang harus mengeluarkanmu dari sini sebelum terlambat."

*

Naada kembali berhenti, tak menyangka melihat gapura sebuah kota di depannya. Sebuah desa terhempas di depannya dan kemudian Chalice bangkit dari kursinya.

"Inangmu itu masih hidup, kan?" tanya Naada, "Mungkin Rasyid memang membawanya ke sini untuk mendukungmu?" 

"Hahaha, mana mungkin," Chalice tertawa, "Sekarang aku sudah menemukan pemukiman, aku bisa melakukan sesuatu untuk keluar dar tempat ini. Tapi aku ragu kau akan menyetujuinya."

"Oh, ya?" Naada mengangkat alis, menatap tak percaya.

"Tunggu di sini," kata Chalice.

Namun Chalice dengan mudahnya mengeluarkan kedua senjatanya dan kemudian memasuki desa itu. Tak beberapa lama terdengar suara tembakan, namun Naada tetap ditempat, tak ingin terlibat. Dari yang di pahami oleh Naada, Charlotte mampu menciptakan monster dari makhluk hidup yang sudah ada namun bagaimana caranya, ia masih tak memahaminya.

Ia menggaruk lengannya dan kemudian merasakan ada luka goresan di tangannya. Sejak kapan luka itu ada di sini? Namun luka kecil begini, Naada ragu bisa mengganggu kinerjanya untuk lolos dar labirin ini. 

Mungkin membuat monster itu membutuhkan jasad yang masih segar? karena itulah ia mendengar suara tembakan dari desa, Chalice membantai warga desa di depannya. Tapi apa rencanya menciptakan monster sebanyak mungkin?

Tiba-tiba Naada merasakan sebuah gempa bumi. Ia menoleh ke belakang dan melihat sosok iblis bergerak ke arahnya perlahan dengan ekspresi marah. Sang Iblis meraung.

"Oh, sudah datang to," tiba-tiba suara Chalice terdengar, "Naada, aku ingin memastikan. Kau punya kemampuan yang membuat orang melakukan apa yang kamu inginkan, kan?" 

"Eh, ketahuan ya?" Naada tersenyum kecil.

"Normalnya mana mau aku membagi pengalaman hidupku pada Heroes," Chalice tertawa kecil, "Tapi kau benar, menceritakannya membuatku lebih lega."

"Jadi kau membantai penduduk desa, Astaroth muncul," Naada menatap monster yang ada di sekeliling mobilnya, "Lalu apa?"

"Oh, Bisakah kau membujuk sang iblis melukai dirinya sendiri?" Chalice bertanya, "Sisanya, aku bisa melakukannya sendiri."

"Lho, tapi Astaroth itu Immortal dan invicible, lho?" Naada protes, "mana bisa kita melukainya."

"Dengan kekuatanmu, ia bisa melukai dirinya sendiri," jawab Chalice sambil tersenyum lebar, "di game Megaman, ada sub-boss yang tak bisa dilukai kecuali kita membuatnya melukai dirinya sendiri. Kita akan melakukan hal seperti itu pada Astaroth."

"Oooh! ide bagus!" Naada setuju, "Ngomong-ngomong aku masih belum tahu apa yang membuatmu menyesal."

Chalice berusaha tak menuruti permintaan Naada, namun kekuatan persuasi Naada sangat kuat dan akhirnya kemauan Chalice jebol juga.

"Aku membuat Charlotte sedih."

*

Tiga helikopter mendarat di tanah lapang dan Chalice mendorong sebuah kursi roda dimana Charlotter tertidur. Nampak orang-orang berjubah putih turun dari helikopter itu dengan wajah marah.

"Jadi kau virus itu," Seorang profesor muda, mungkin masih dua puluhan tahun, menatap Chalice dengan ekspresi penasaran, "Membuat LHC melakukan percobaan tak terjadwal dari jauh. Aku kagum. Aku yakin pikiran cerdasmu akan membuat CERN makmur."

Chalice tersenyum kecil. Ia mengubungi Profesor Lee Hadrian, salah satu profesor termuda di CERN yang ia yakin bisa dipercaya. Ia adalah orang yang selalu penasaran, namun mementingkan etika dan kemanusiaan dalam setiap percobaan, bahkan beberapa kali mengekspos percobaan pada manusia. Apa yang terjadi pada 12 pasien percobaan sudah terekspos di internet berkat rekan sesama virus Gansternya dan Lee adalah orang pertama yang melakukan sesuatu untuk situasi di sini, bahkan berani menantang NASA karena melanggar etika peneliti.

"Aku akan memberikan semua data yang ada di markas Reedsfort," Charlotte berkata, "Namun aku ingin kau melindungi gadis ini. Aku tahu kau bisa dipercaya, dan aku bisa tahu kalau Charlotte dalam bahaya, jadi jangan coba-coba."

"hahaha, aku suka tawaranmu," jawab Profesor Lee, "Tapi kau yakin mempercayakan dia padaku?" sang ilmuwan bertanya balik.

"Aku ini virus digital," jawab Chalice, "dan saat ini aku masih memegang semua server CERN. Staff ITmu berusaha menghilangkanku dari komputer mereka, mereka pikir mereka berhasil. Tapi tidak, aku masih bisa melihat ruang penelitianmu dari sini."

"Baiklah, aku akan terima tawaranmu," jawab profesor Lee.

Namun saat itu Charlotte terbangun dan kemudian memegang tangan Chalice.

"Charlotte, kau mau kemana?" tanyanya.

"Aku hanya pergi sebentar,' Jawab Chalice, "Aku pasti akan segera kembali dan akan menemanimu. Kita bisa main game lagi nanti, oke?"

Namun pandangan Charlotte tidaklah ke wajah Chalice. Ia menatap sekeliling, sesekali matanya menatap para ilmuwan CERN yang ada di sekitarnya, namun bukan itu yang menarik perhatiannya. Di sekelilingnya, kota yang tadinya ramai oleh manusia yang lalu lalang kini sepi, beberapa bangunan hancur dan api masih terbakar di beberapa tempat.

Charlotte menatap mata Chalice dan kemudian dengan ekspresi yang terasa lebih dewasa daripada gadis seumurannya, bertanya, "Chalcie, kemana semua orang?"

*

para Ganster itu hanyalah minor Ganster, para monster yang dikendalikan oleh Chalice. Memberikan perintah saja pasti akan membuat mereka jauh lebih lemah melawan sang iblis Astaroth, jadi Chalice harus mengendalikan mereka secara manual. Sebuah tablet di tangan dan jemarinya bergerak cepat di layar sentuhnya.

"Halo Astaroth, mereka teman kok," Naada, dengan segala kekuatan persuasinya berusah membujuk sang monster, namun ia bisa merasakan kemarahan sang Iblis membara di sekitarnya, "Mereka adalah teman dan mereka ingin mengajakmu bermian. Jangan melawan ya."

Para monster itu berusaha mengikat tangan dan kaki sang Iblis, namun kekuatan sang Iblis berkali lipat dari monster yang diciptakan Chalice. Normalnya tentu saja kekuatan Ganster berkali kali lipat dari kekuatan manusia biasa. Namun Astaroth bukan manusia dan Ganster sebanyak inipun masih gagal menahan gerakan Astaroth. Apa yang bisa ia lakukan?

"Nah, sekarang kau bisa merasakan tubuhmu capek, kan? bagaimana kalau rileks dulu," Naada berkata kembali dan kali ini perlahan tubuh Astaroth semakin lemah, "Tak perlu marah-marah. Mereka teman-temanmu, kan? mereka tidak terbunuh kok. buktinya mereka sekarang memelukmu, kan?" 

Naada mengacungkan jempolnya dan kemudian menarik nafas dalam dalam. Tangan kanan Astaroth dilepaskan dan iblis yang mengantuk sudah duduk di lantai dipeluk oleh para Ganster. Charlotte mendekati Astaroth dan kemudian mengacungkan jempolnya, isyarat bahwa ia siap.

"Nah, tampaknya ada pengganggu di tangan kirimu," Naada berkata lagi, "Itu nyamuk ya? wah besar sekali," dan perkataan Naada jelas mempengaruhi Astaroth, "Bagaimana kalau kau pukul nyamuk itu dengan pedangmu."

Astaroth bangkit, pedang di tangan kanan dan mengaum. Apakah mereka gagal? apakah kedua peserta terlalu meremehkan kekuatan sang iblis? Sang Iblis tampak marah dan dengan sekali ayun darah tiba-tiba menetes dan tubuh Chalice segera bergerak.

Tangan sang Iblis jelas sekali terluka, namun luka itu tak terlalu dalam dan jelas sekali akan sembuh. Namun Charlotte sudah bergerak dan kemudian menembakkan pelurunya ke luka itu. Peluru itu masuk ke tubuh sang Iblis, namun segera dikeluarkan lagi. 

"Chalice, kau berhasil?" tanya Naada.

Belum sempat Chalice menjawab, gadis itu kehilangan kesadarannya.

*

Chalice tak percaya, iblis ini tak bisa dikendalikan. Ia berada di sebuah area gelap yang panas. Seperti ada api di bawah kakinya, namun ia tak bisa melihat apa-apa selain dirinya.

"Beraninya kau menipuku, Chalice?" suara familiar terdengar, "Bukannya kamu bilang kamu akan datang lagi? mau main game lagi sama aku?" 

"Charlotte," Chalice mengucapkan nama itu dan seketika, sosok familiar itu muncul.

"Kenapa kamu meninggalkanku," Charlotte berkata, "Katamu kau akan menemaniku, kan? selamanya?" 

Chalice memberikan senyum kecil dan kemudian berkata lirih, "Setelah ronde ini berakhir aku akan menjelaskan semuanya," Ia mendesah panjang, "Tapi bukan padamu."

bayangan Charlotte tersenyum dan kemudian berubah menjadi kabut. Senyuman itu, sudah berapa lama Chalice tak melihat senyuman itu?"

*

Chalice bangun dari tidurnya dan melihat ke sekelilingnya. Ia ada di mobil Naada lagi, namun mobil itu tak bergerak dan ia bisa melihat beberapa bagian mobil penyok.

"Maaf, aku gagal," kata Chalice.

"Huh, sudah aku duga tak akan semudah itu," jawab Naada, "Jadi bagaimana sekarang?" 

"Oh, aku memang gagal," jawab Chalice, "Tapi aku sudah tahu kemana jalan keluarnya." 

"Bagaimana bisa?" Naada menatap tak percaya.

"Kau hanya perlu menerima penyesalanmu," jawabnya, "Atau kau bisa membonceng padaku."

"Uh...aku ragu bisa menerima penyesalan dari membunuh orang yang aku sayang," jawab Naada.

Chalice tertawa, "Bahkan psikolog mungkin tak bisa menyembuhkan luka batin seperti itu."

Chalice kemudian memegang lengan Naada dan berkata, "Aku ragu sih bisa membawamu ke pintu keluar selama kau belum menyelesaikan penyesalanmu. Jadi aku akan melakukan hal terbaik yang bisa aku lakukan."

"Hal terbaik?"

"Ini akan sakit," jawab Chalice.

Dan benar saja, beberapa detik kemudian suara teriakan terdengar dari mobil Naada dan teriakan itu bukan berasal dari Chalice.

*

Kedua peserta tantangan labirin menaiki motor boat keluar dari pulau laknat itu. Keduanya masih bisa mendengar teriakan sang Iblis, kemarahan pada orang yang melukai warganya, merusak temboknya atau berlaku curang demi lolos dari labirin ciptaannya. 

"Kau tahu, aku pikir menghadapi penyesalan akan jauuuh lebih mudah daripada menghadapi ketakutanku," jawab Naada, "menjadi monster tak berakal tidak menyenangkan, lho."

"Hei, kita menyelesaikan game ini," Chalice tertawa kecil, "Sedikit pengorbanan itu perlu lah!"

"Tapi dengan ini aku akhirnya tahu bagaimana caramu menyebarkan virus," Naada melanjutkan, "Saat kau melukai seseorang, kau memasukkan virusmu ke dalam tubuh target, kan? tapi sepertinya cuma kamu yang bisa membuat Ganster baru."

Chalice tersenyum lebar, "Bahkan si Jazdia tak menyadari hal itu lho, padahal dia melawanku dua kali."

"Di awal kita bertemu, kau mencakar lenganku," Naada melanjutkan, "Aku pikir kau tidak sengaja. Ternyata kau sudah waspada sejak itu, kau takut aku akan mengkhianatimu?"

"Masalah keperluan," jawab Chalice, "Cuma kau makhluk hidup yang aku temui di labirin, jadi aku memasukkan back upku pada tubuhmu. Aku sudah mencabutnya kok."

"Kenapa kau mengembalikan tubuhku dan menarik lagi virusmu?" tanya Naada.

Namun Chalice menggeleng, "Aku sudah mengeluarkan banyak virus ke para Hvyt, aku pikir itu saja sudah cukup," jawab Chalice, "Lagi pula, aku tak ingin bermusuhan dengan orang secerdas dirimu. Akan jadi permainan menarik, namun aku ragu bisa menang tanpa kerja keras."

"Wah, makasih pujiannya," Jawab Naada sambil tertawa kecil, "Lalu sekarang kau mau kemana?"

"Bagian dari menghadapi penyesalanku adalah menemu Charlotte kembali," jawab Chalice, "Kau mau ikut?"

*

To tHe NeXT gAmE?


Komentar