[Ronde 4] Nadaa Kirana Swastikachandra - Astarte

By: A Certain Cute Cat
Astarte

"Apapun yang terjadi, tolong jemput kami, oke?"
"Baiklah, kalian bisa mempercayaiku."
"Kami bisa mempercayaimu?"
"Aku… tak mau kehilangan kalian lagi."

Jalanan yang kosong. Lampu-lampu yang menyala redup. Apartemen-apartemen tak berpenghuni. Tawa-tawa yang menghilang. Tangisan yang tak berarti. Kota yang mati. Apa yang terjadi? Tuhan itu nyatanya ada? Kiamat itu nyatanya dijanjikan? Dunia itu nyatanya terbatas? Manusia itu nyatanya makhluk-makhluk angkuh? Cinta dan kepercayaan itu nyatanya perasaan palsu? Satu hal yang pasti. Untuk apa kamu hidup jika dirimu sengsara? Untuk apa kamu hidup jika dirimu tak mengerti tujuan? Persetan, apakah jika kamu hidup kamu harus memiliki mimpi? Kenapa? Kenapa kita tak bisa bermalas-malasan saja di sini? Kenapa kita harus berusaha keras? Kenapa kita harus berguna bagi orang lain? Kenapa kita harus mengemban kutukan untuk hidup? Tuhan sudah lama sendiri. Ia bosan hanya duduk merenung di singgasana maha megahnya. Bukankah ide yang bagus menciptakan kroco-kroco depresi untuk menjadi tontonan sekaligus penyembahnya? Tentu Dia akan merasa lebih baik dari sedia kala Dia yang maha ada. Mengapa Tuhan harus ada?
Satu pertanyaan itu membangunkan kembali seorang gadis yang sedari tadi terbaring kaku tak bernapas. Jantungnya yang seketika memompa darah dengan cepat, memberinya perasaan gelisah yang begitu hebat. Tergesa-gesa ia menepukkan tangannya lagi, lagi, dan lagi. Kali ini dirinya agak menahan diri, ia menepukkan tangannya sekali. Cahaya remang-remang dari lampu akhirnya datang menyinarinya dan ruang apartemennya. Ia masih bisa mengingat apartemen miliknya mempunyai energi cadangan.
Gadis itu berdiri dan berjalan kesana kemari. Ia tak bisa mendiamkan kaki maupun kedua tangannya. Ia menyentuh apa saja yang berada dijangakaunnya, menjatuhkan berbagai gelas, dan botol membiarkan pecahan kaca itu berserakan di lantai. Matanya lalu menangkap sesuatu yang berkilau memantulkan sinarsebuah pisau. Pisau yang tergeletak di counter dapurnya itu tampak sangat tajam membuatnya tergoda untuk segera mengambilnya. Ia memegang gagang pisau mengarahkan bilah runcingnya tepat ke jantungnya yang berdetak semakin keras.
Lambat laun, gadis itu menangis. Air mata berikut air mata turun melalui pipi membasahi flannel merah berpola papan catur yang dikenakannya. Hati kecilnya terus berbisik, "kumohon jangan, kumohon jangan, jangan pernah," akhirnya ia melepaskan pisau mengurungkan niatannya. Ia terduduk diam, entah apa yang harus dilakukannya saat ini.
Tak sengaja ia menjatuhkan sebuah benda dari saku celana jeans-nyakunci mobil. Gadis itu memungutnya turut mengamatinya dengan saksamaia mengerti, dirinya harus menjemput kedua orang tuanya tak peduli apapun yang terjadi. Ditimang-timangnya kunci itu, ia tak yakin harus tetap melaksanakannya atau tidak. Ia menyadari dirinya adalah seorang pengecut, ia sudah merusak kepercayaan yang diberikannya sejak awal. Menghadapi kedua orang tua yang marah memang sudah biasa, namun bagaimana kalau kita menghadapi keadaan mereka yang mungkin sudahbanyak omong! Cukup sudah menjadi bajingan penakut! Kini ia harus menghadapi apapun konsekuensinya!
Menggenggam erat kunci mobilnya, gadis itu bangkit lagi dan membulatkan tekad. Ia melihat jam digital di dinding yang menunjukkan waktu sudah melampaui pukul tiga pagidirinya telah terlambat hingga lima jam. Gadis itu membawa senter turut serta, bergegas keluar dari ruang apartemennya menuju garasi mobil yang berada di basement menggunakan lift. Banyak mobil yang terlihat jauh lebih modern, tetapi kunci yang ia bawa saat ini membawanya ke sebuah mobil sedan 4 seater kuno 1970 Charger R/Tfavorit ayahnya. 
Mesin menderu keras, sensor membuat garasi membuka otomatis pintu lebarnya. Gadis itu menancap pedal gas menembus sunyinya jalanan kota. Tubuhnya gemetar ketakutan, baru kali ini ia melihat keadaan Yogyakarta yang seperti sudah mati. Mobil, bus, kereta listrik semua diam berserakan terbengkalai. Gedung, rumah, minimarket tampak kosong dibiarkan dengan pintu terbuka. Orang-orang tidak sedang tidur, mereka tidak pergi ke mana-mana, hanya saja mereka berbaring dengan nyamannya di tepi jalan tak bernyawa. Gadis itu bergeleng-geleng memfokuskan kembali pandangannya pada tujuan. Mobilnya berkali-kali bergoyang menelindas hingga pecah raga-raga yang tercecer hingga ke tengah jalan, ia diam saja tak memperdulikan.
Perjalanan telah memakan waktu sekitar lima belas menit. Gadis itu tiba pada suatu daerah dimana lampu-lampu jalanan sudah tak lagi bisa bekerja. Ia melambatkan laju, bergantung hanya pada lampu depan mobilnya satu-satunya yang masih menyala terang di sini. Ia mulai menerka-nerka, ia berbelok ke kiri setelah melihat pohon beringin, lanjut berbelok ke kanan setelah lampu mobil menangkap sebuah gapura selamat datang, lalu mengambil jalur keluar ketiga sesudah melewati suatu bundaran dengan patung kuda diatasnya. Ia akhirnya bernapas lega sesaat melihat palang pintu parkir yang terbuka di kiri jalan.
Ia memarkirkan kendaraannya sembarang layaknya berpuluh-puluh kendaran lain. Tak berpikir panjang dirinya segera menyambar senter yang sudah dinyalakan dan berlari keluar membiarkan pintu mobilnya terbukasungguh gadis itu masih tak berani melihat pemandangan mengerikan di sekitarnya.  Ia menaiki tangga menuju gedung berbentuk menara yang meruncing, berhenti di sebuah air mancur untuk sekedar mencuci mukanya, "apa yang sudah kulakukan?" bisiknya menyesal.
Ia memasuki menara itu, mengarahkan senternya ke kiri dan ke kanan, berpura-pura tak melihat begitu sinarnya menangkap bayangan jasad yang mulai membusuk. "Lantai empat," ucapnya mengingat-ingat, "t-tolonglah… keajaiban… mukjizat… tuhan… atau apapun itu… selamatkan mereka."
Gadis itu menaiki tangga metalik yang memutar spiral, ia tak memikirkan napasnya yang mulai terengah-engah dan dadanya yang terasa sakitsatu hal yang ia khawatirkan harus terjawab dengan segera.
Cahaya senternya menyinari angka empat emas yang tertempel pada dindingia sudah sampai pada tujuannya. Dicengkeramnya senter lebih erat, ia mengeksplorasi ruangan dengan tubuh yang bergidik ngeri. Balon-balon yang mulai jatuh ke lantai, bunga-bunga hias yang berguguran, meja prasmanan dengan makanan yang tak tersentuh sama sekali, karpet merah kotor yang dipenuhi cairan berbau menyengat serta muntahan-muntahan menjijikan. Gadis itu terus terbatuk sembari tetap berpura-pura tak melihat mayat-mayat yang entah mengapa meleleh seperti lilin.
"Papa? Mama?" Ia mencoba memanggil, "m-maafkan aku, tapi kalian masih di sini, 'kan?" ia menitikkan air mata lagi, "tolong jawab aku," suaranya mulai tersamar oleh serak dan isak tangisnya sendiri. Suatu pikiran melintas dalam benaknya, keinginan yang timbul tiba-tiba ia harus mengecek satu ruangan sempit yang berada di lantai iniia menelan ludahnya sendiri.
Gadis itu menekan handle kunci pintu ruangan ituseperti dugaannya, terkunci. Ia mengambil napas panjang, mengambil ancang-ancang, dalam satu hitungan ia menendang paksa pintu kayu itu sangat keras sampai lepas dari kedua engselnya. Ruangan pantry, tak ada tanda-tanda dari kedua orang tuanya berada di sini.
"Iiik!" Ia tiba-tiba melompat mundur, sepatunya menginjak sesuatu asing kenyal seperti agar-agar. Senter ia arahkan ke bawah,mengungkap limpahan lelehan berwarna kecoklatan tertutup kemeja batik Megamendung dan kebaya Kutubaru, "papa… mama… i-ini kalian?" ia jatuh bertumpu pada kedua lutut. Air matanya tumpah seketika, ia mengais-ngais daging, tulang, dan kulit yang sudah menjadi semacam bubur kental memuakkan isi perut. "A-andai… andai… andai… maafkan aku." Dirinya pun tak kuat lagi untuk berandai-andai, ia seorang anak pengecut yang hanya memikirkan diri sendiri, itulah fakta yang terjadi. Ia tak menepati, ia gagal, ia tak berhak untuk menyesal, ia yang sepantasnya mati di sini.
"Nana… itu… kamu, Nak?"
Gadis itu seketika terdiam, jantungnya seakan berhenti berdetak. Suara itu, suara yang seharusnya tak ada lagi di dunia ini.
"Nana… Nana?"
Ia mengumpulkan keberanian, namun tak bisa menampik rasa takut yang menguasai tubuhnya. Dengan tangan yang bergetar hebat, ia mengarahkan senternya tepat ke depan.
"Nana?" Kedua jasad itu bangkit perlahan-lahan menjadi satu. Dua kepala dalam satu tubuh, leher-leher yang bengkok, mata-mata yang mencair, mulut-mulut yang tak berbibir, tangan-tangan yang tak berjari. "Kenapa… kamu… baru… datang?"
 "Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku." Gadis itu merangkak mundur ketakutan. "Aku… aku…" dirinya berlari tak melihat jalan, menabrak tiang pintu mementahkan senter yang ada di genggamannya kembali ke dalam pantry. Ia tak mengambil senternya, tetapi terus berlari ke kegelapan lantai empat menara yang nihil dari setetes sinar pun. Ia menubruk meja prasmanan membuat dirinya terjungkal dipenuhi makanan-makanan yang mulai basi. Ia bangkit lagi, meraba-raba dinding seperti orang buta yang tak mengetahui arah jalan pulang. Kakinya tiba-tiba kehilangan pijakan, gadis malang itu kehilangan keseimbangan lantas ia terjatuh berguling-guling menuruni berpuluh-puluh anak tangga. Punggunggnya serasa ditusuk-tusuk, kepalanya berkali-kali menghantam kerasnya pijakan metalik itu. Ia tak peduli lagi, ia tak bahagia lagi, mati di sini juga tak mengapa.
Akan tetapi tubuhnya terhenti, ia terkulai tak berdaya bersedih hati mengetahui paru-parunya masih bisa bernapas. Ia tak dapat merasakan apapun, ia tak dapat melihat apapun, raganya tak sakit, semuanya hitam walau ia yakin sudah membuka matanya lebar-lebar. Apa sekarang tubuhnya lumpuh? Apa sekarang dirinya menjadi buta? Ia pun tak cukup yakin. Namun, satu rasa itu mulai tumbuhketakutanketakutan yang sangat mendalam. Ia berteriak sejadi-jadinya, tapi tak ada suara yang tercipta. Ia menutup matanya, menangis sejadi-jadinya,  tapi tak ada suara yang tercipta. Semuanya gelap, gelap, gelap, gelap, gelapbayangan jasad leleh orangtuanya datang lagi, dua kepala dari ayah dan ibunya, melebur dalam satu tubuh, terus menerus merangkak dengan kaki tak berjarinya, berusaha sekuat tenaga mendekati dirinya. "Nak, kenapa kamu tega? Kenapa kamu tega? Kenapa kamu tega?" kedua suara yang telah kehilangan nyawanya, terus berdengung di pikirannya. Ia meringkuk menangkup kuat-kuat kedua telinganya, gadis itu tenggelam pada danau air matanya sendiri.
"Del? Kamu di sana?"
 Suara lain bergema memanggilnya, menyingkirkan horror bunyi serak makhluk berlendir yang sedari tadi menghantuinya.
"Del, ini aku, Elang."
Gadis itu terkejut, kelegaan mengisi penuh hati kecilnya yang kosong.
"Biar aku bantu."
Sosok yang mengaku Elang tersebut membantu dirinya berdiri, "semuanya akan baik-baik saja," katanya. Elang lalu memapahnya, menuntun gadis itu berjalan perlahan menjauhi tempat terkutuk ini. Tapi apakah mereka benar-benar sedang berjalan? Gadis itu meragu. Mereka berjalan, pelan namun pasti, mereka mengarah pada suatu cahaya putih yang sebelumnya gadis itu yakin tidak ada. Ia hanya meyakini satu hal dengan senyum di bibirnya, Elang adalah penyelamatnya.
Mereka akhirnya melewati portal putih itu, membuka pemandangan lain dari kegelapan total yang membuat gadis itu gila. Tanah merah darah, disertai tembok-tembok yang terbuat dari tulang belulang membentuk labirin raksasa. Meskipun tempat ini tidak jauh lebih baik daripada kegelapan kota yang mati, gadis itu masih mengucap kata syukur yang paling tulus dari dalam hatinya. Ia hanya perlu keluar dari dalam labirin ini, bersama Elang pasti semuanya akan bertambah mudah.
"E… Elang," gadis itu mendapatkan suaranya kembali, "te… te… rima kasih."
"Seperti biasa," Elang membalasnya riang.
Gadis itu sejak tadi terus berjalan dengan menatap tanah, ia belum melihat lingkungan sekitarnya dengan baik, ia belum melihat wajah Elang yang selalu membuatnya bahagiadirinya selalu ingin melihat wajah Elang lagi dan lagi, sebongkah harapan mekar menghangatkan jiwanya. "E… lang?" panggilnya lembut.
"Iya?" Elang dengan senyum khasnya menengok, memaparkan wajahnya yang ramah. Kepalanya yang hancur sebagian, otak yang koyak, mata kirinya yang lepas berayun-ayun di udara, telinga kiri yang hilang, tulang hidung yang retak, bibir robek dengan gusi yang berdarah-darah, leher yang bengkok. Gadis itu juga menyadari tubuh Elang yang dibalut jas hitam, lambat laun menjadi remuk seperti kertas kusut diremas berulang kali. Tangan kanan Elang terlepas dari raganya memuncratkan darah sekaligus membebaskan gadis itu dari rangkulannya.
"E-E-Elang?" rambut panjang gadis itu bermandikan darah Elang, dirinya bergerak mundur bergidik gamang.
"Kenapa Nadel? Iya ini aku, Elang, kamu tak lupa, 'kan?" Elang berusaha mengejar gadis itu, ia mengangkat tangan kirinya yang juga buntung.
"Kamu bukan Elang, kamu bukan Elang, kamu bukan Elang." Gadis itu menutup mulutnya, ia menggeleng tak percaya dengan apa yang ia lihat di hadapannya.
"Aku Elang, Nadel!" Elang meninggikan nada suaranya. "Kau yang membuatku seperti ini, ingat? Memangnya ada apa dengan diriku? Aku masih di sini untuk membantumu!" Elang menerjang maju, membuat gadis itu terjatuh histeris. "Setidaknya terima AKU seperi KAU menerima ELANG yang sebelum kau BUNUH!"
Gadis itu tak mampu menerimanya lagi, ia kembali berlari dan berlari, menyusuri labirin tak tahu ke arah mana yang akan dirinya tuju. Ia gila, dirinya benar-benar gilaparade dosa-dosa yang terus datang silih berganti menciptakan paranoia yang dahsyat mengacaukan lagi jiwanya. Ia harus menemukan jalan keluar, harus, harus, harus.
Yang tak gadis itu sadari, ada sesosok makhluk nyata dibalik ilusi Elang yang perlahan mulai pudar. Ia hanya diam, mengawasi gadis itu dengan perasaan tercampur aduk. Viper di tangan kanannya terus mendesis, seakan-akan mencoba membisikkan sesuatu yang penting padanya. Sayap berbulu hitamnya lalu mengembang, menciptakan portal pada tembok labirin untuk segera dilaluinya. "Nadaa Kirana, sungguh hidup berat yang kau jalani." Ucapnya mencoba bersimpati.


 Seorang gadis cilik terus bergerak maju. Ia tak mengindahkan ilusi-ilusi yang tercipta di sekitarnya, ia tak menganggapnya sebagai penyesalan-penyesalan yang harus ditebus. Meskipun ia melihat sosok gadis cilik lain yang sangat mirip dengan dirinya, terbaring lemah di atas ranjang dengan berbagai peralatan pendukung untuk terus hidup. "Chalice? Kamu masih ingat aku? Kamu pasti akan menyelamatkanku?" suara gadis yang sakit parah itu terus-terusan berdengung di pikirannya.
"Aku pasti akan menyelamatkanmu, Charlotte. Tolong bertahan bersamaku hingga aku menyelesaikan semua permainan ini." Balasanya sembari fokus pada tujuan.
Gadis cilik itu bernama Chalice, ia memiliki tanggungan berupa kembaran dirinya, Charlotte. Chalice harus menyelamatkan Charlottemembersihkan tubuh Charlotte dari virus-virus Ganster yang menggerogotinya seperti sel kanker. Chalice tak boleh gagal di sini, ini adalah ajang di mana Chalice atau Charlotte sendiri yang mati.
"Tapi sampai kapan, Chalice? Aku tak berdaya di sini sedangkan parasit seperti kamu bebas berkeliaran hingga ke  ujung dimensi!" bayangan sosok Charlotte semakin jelas, dirinya muncul tepat di hadapan Chalice mencopot alat bantu pernapasannya.
"Charlotte," Chalice terhenyak mundur, ia menenangkan dirinya kembali. Charlotte di hapadannya hanyalah sebuah ilusiilusi untuk memperlambat Chalice menyelesaikan puzzle dalam labirin merah ini. Dalam kata lainCharlotte tidak nyata. Gadis itu membenarkan possi barret hijaunya, ia melewati Charlotte menatap kosong gadis di atas ranjang itu.
"Setelah membuatku seperti ini, sekarang kamu tak menganggapku, Chalice? Charlotte berteriak di belakangnya. "Mengapa harus aku? Mengapa kamu dan virus-virus bajinganmu itu harus menyerang seorang gadis biasa sepertiku? Memangnya apa yang sudah aku perbuat? Memangnya salahku apa? Apa ini semacam fetish abnormal di mana Ganster hanya menyerang anak kecil seperti pedofil?
Chalice menutup telinganya, berpura-pura tak mendengarkan. Ia tetap berjalan maju, mengikuti ke mana kelokan-kelokan labirin ini membawanya. Sejujurnya ia juga tak mengetahui jalan keluar dari sini. Apa yang harus dirinya perbuat?
"Dengarkan aku, bangsat!" Charlotte muncul di hadapannya lagi, ia sudah terbebas dari berbagai macam kabel yang membungkus dirinya. "Kamu merusak masa kecilku!" ia melangkah mendekat. "Kamu meruntuhkan mimpi-mimpiku!" mendekat lagi. "Kamu menghancurkan hidupku!" wajah Charlotte bertemu dengan Chalice. "Kamu mengambil semuanya dariku!"
Chalice lama-lama muak dengan bayangan tersebut. Ia mendorongnya, terkejut begitu melihat tubuh lemah Charlotte yang terjatuh menghantam tiang ranjangnya yang keras. Charlotte membelalak tak percaya menatap ke arah Chalice, berangsur-angsur ia merasakan darah segar yang mengucur dari belakang kepalanya.
Fisik yang dihancurkan rupanya ta cukup untuk Charlotte, kini hatinya yang turut dilumat. Ia hanya ingin menyuarakan pikirannya, ia hanya ingin kesedihannya untuk didengar oleh Chalice. Tetapi, hal itu juga bisa direnggut dengan mudah oleh dia, monster yang mengambil bentuk tubuhnya.
Charlotte memeluk lututnya, ia menangis, dengan darah membasahi rambut serta lehernya. Chalice bungkam saja di sana, dirinya masih termenung atas apa yang ia lakukan pada Charlotte. Chalice tak bermaksud untuk mendorongnya, ia tak menyangka fisiknya bisa berkontak dengan sesosok ilusiatau apakah itu Charlotte sebenarnya? Tidak mungkin. Atau, itu adalah ilusi yang dapat memproyeksikan perasaan Charlotte sesungguhnya? Jika seperti itu maka…
Chalice tenang menghampiri Charlotte. Ia mengulurkan tangannya ragu-ragu untuk sekedar menyentuh bahu Charlotte, "aku pasti akan menyembuhkanmu, aku pasti akan mengembalikan hidupmu seperti sedia kala, aku janji." Tak ada jawaban dari Charlotte, ia masih membungkam wajahnya, pun tak ada tanda ia akan menghentikan tangisannya dalam waktu dekat. Perasaan aneh seperti merasuki diri Chalice, apa ini yang dinamakan manusia rasa bersalah? Kenapa perasaan ini begitu mengganggu? Kenapa perasaan ini membuatnya berasa seperti sampah?
Chalice tak mengerti, ia pergi meninggalkan Charlotte sendirian lagi. Bukan karena dirinya mulai lelah terhadap Charlotte, melainkan keinginannya membuat gadis yang menjadi inangnya itu tersenyum lagi semakin kuat. Rasa gelisah itu semakin menjadi-jadi, Chalice tak akan memaafkan dirinya jika ia membuang setiap detik dengan percuma. Setiap ronde yang ia selesaikan berarti semakin dekat dirinya dengan dekapan hangat Charlotte.
Chalice masih tak mengetahui jalan keluar dari sinimasa bodoh! Yang dirinya perlukan hanya percaya diri dan memastikan ia tak berjalan berputar. Paling tidak itu akan membawanya ke salah satu pemukiman Hyvt dan ia bisa berimprovisasi di sana untuk menanyakan jalan. Daripada berdiam diri kebingungan menjadi makanan mudah bagi Astaroth.
Speak of the devil, Chalice lantas bertemu seseorang yang hanya duduk berdiam diri kebingungan di labirin ini, calon makanan mudah bagi iblis Astaroth. Ia seperti mengalami tremor yang sangat parah, tubuhnya yang bersandar pada tembok tulang belulang itu bergetar hebat ketakutan, seakan dirinya baru saja melihat neraka dengan mata kepalanya sendiri. Seseorang itu mengambil suatu kotak kecil dari saku jeans yang dipakainya. Ia membukanya, mengambil satu pil yang sepertinya obat pribadi dengan tangan yang berguncang. Di saat pil itu akan sampai pada mulutnya, ia menjatuhkannya, ia mengambil satu lagi, menjatuhkannya lagi, ia mengambil yang ketiga kali, menjatuhkannya lagi untuk ketiga kalinya, ia mengambil yang keempat, ia menjatuhkan semua pil yang berada di kotak kecil itu. Dirinya frustasi, ia melempar wadah pil itu hingga menghancurkannya menjadi dua.
Ya, Chalice mengenalinya, ia adalah gadis remaja yang seharusnya menjadi rekan dalam ronde kali ini. Sebelum dirinya kabur meninggalkan Chalice sendirian tanpa sebab mengapa. "Nadel."
Nadel akhirnya menyadari keberadaan Chalice. Raut wajahnya seketika dipenuhi kelagaan yang luar biasa, layaknya gadis itu baru saja ditimpa sebongkah besar kayu harapan. Nadel dengan tenaganya yang tersisa memaksa tubuhnya untuk berdiri, ia berjalan seperti orang yang mabuk berat dan jatuh terjerembap sembari memeluk erat badan kecil Chalice. "Ca-Chalice, tolong… aku, t-tolong keluarkan aku da-dari sini, aku… m-mohon, aku mohon… sangat k-kepadamu, tolong a-aku, tolong!"
Chalice memandang rendah pada Nadel, "kenapa aku harus menolongmu?"
Nadaa mengeratkan dekapannya. "K-kau harus Ch-Chalice! Kau harus!" ia tak bisa memikirkan kata-kata lain, "kasihani… aku, a-aku tak mau… ter-tersiksa lagi… di sini."
"Maafkan aku," Chalice membebaskan kedua tangannya dari jeratan Nadel. "Tapi, kamu bahkan tak jauh lebih berguna daripada manusia-manusia yang selalu mengotori bumi." Chalice mengeluarkan senapan serbu berbilah pisau senjata miliknya, ia tak segan menusuk leher Nadel hingga bilah pisau itu menembus sisi lain leher gadis itu.
"A… apa ya-yang k-kau… la-kukan." Suaranya tercekat, Nadel melerai pelukannya, ia menyumbat darah yang keluar deras dari dua sisi lehernya saat itu juga. Matanya berputar ke sudut yang tak biasa, tubuhnya meronta-ronta seperti cacing yang ditaburi garam.
"Aku sudah memiliki masalahku sendiri." Chalice menatap dingin tubuh Nadaa yang menggelepar. "Kamu akan menjadi Ganster, kamu akan menurutiku, dengan begitu setidaknya dirimu menjadi berguna untukku."
Nadel menganga lebar, tak ada jeritan menyedihkan yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya penuh akan peluh, kedua matanya sedikit demi sedikit memerah. Dari dalam tangan, perut, dan kakinya, ia mulai merasa denyutan yang menyakitkan. Apa ini artinya ia akan berubah menjadi monster? Seperti yang dirinya takutkan pada Chalice setelah berminggu-minggu lalu, ia membaca kemampuannya pada charseet yang Miranda beri. Ia akan kehilangan kesadarannya untuk selamanya? "BAJINGAN! KAU LACUR BUSUK!" teriaknya dalam hati. Nadel tak mau mati, tidak di tangan Chalice. Melainkan Chalice yang harus mati, di tangan Nadel sendiri.
"Jangan dilawan, sayang." Chalice menunduk, mengusap pipi Nadel. "Semakin kamu rela menerimanya, semakin cepat kamu menjadi Gan" Nadel meludah darah mengenai wajah Chalice, mengotori scarf hitamnya sekali jalan. "Kamu yang memintanya!" Chalice mengangkat senapan serbunya tinggi-tinggi, mengarahkan pisaunya ke kepala Nadel berniat menghujamkannya sekuat tenaga.
Tetapi Nadel menggeliat lebih hebat lagi tak terkendali. Virus Ganster tampaknya bereaksi lebih cepat di tubuh gadis ini, menghentikan niatan Chalice untuk membunuhnya saat itu juga. "Heh, sangat cepat, sekarang kita lihat, apa yang kamu paling takutkan di dunia ini?" tuturnya menyngkirkan darah dari wajahnya.
Rambut panjang Nadaa kehilangan warna hitamnya. Kulit-kulit gelap perlahan menyelimuti leher Nadaa, perlahan namun pasti, bergerak memakan wajah beserta dadanya. Itu bukan kulit yang sehat, tetapi kulit bersisik yang retak memperlihatkan aliran-aliran darah di bawahnya.
"Kamu berubah menjadi apa? Sejenis ikan yang" Chalice menghentikan celotehannya sendiri, ia tertegun dengan apa yang dirinya baru saksikan. Perubahan kulit itu telah sampai ke jari kelingking Nadaa, tapi yang dilakukan transformasi itu seperti menarik dirinya sendiri. Secepat kilat, rambut Nadaa kembali menjadi hitam, kulit-kulit itu kembali ke dalam dua lubang di lehernya menutup erat seperti ia tak pernah ditusuk sebelumnya. Nadaa kembali menjadi normal, hanya menyisakan kedua mata merahnya.
"Apa yang terjadi?" Chalice sungguh kebingungan. "Apa kamu berubah menjadi Ganster? Apa aku bisa mengendalikanmu? Berdiri!" Nadel berdiri seperti yang diperintahkan, namun Chalice tampak belum puas. "Hantam kepalamu ke dinding!" Nadel menghantamkan kepalanya ke dinding, meretakkan susunan tulang-tulang itu dan juga tengkoraknya sendiri. Itu bukan masalah besar, tubuh Nadel segera meregenarasi apa yang telah rusak. "Menajubkan. Kamu bukan hanya berubah menjadi dirimu lagi, tapi memiliki kekuatan diatas Lesser Ganster normal." Decak Alice kagum. "Tapi Ganster tetaplah Ganster, kamu menurutiku. Sekarang begini keadannya, kamu gendong aku selama melalui labirin ini. Jika kita bertemu dengan iblis Astaroth, kamu akan menjadi pengalih perhatian dan mengorbankan dirimu sendiri selagi aku kabur, paham?"
Nadel menganggukan kepala, ia menjulurkan tangannya membantu Chalice untuk menaiki punggungnya.


"Baik, kalian mau aku menukarnya dengan apa?"
Chalice telah sampai pada pemukiman Hyvt, tepatnya pada sudut kehidupan malam kota yang padat oleh diskotik dan tempat pelacuran. Chalice menemukan dirinya dihadang oleh sekumpulan Hyvt, menawarkan hewan serupa tapir raksasa buta yang diklaim mampu mengendus kebebasan dari labirin ini dan merupakan kendaraan sehari-hari para humanoid bertanduk patah itu. Salah satu Hyvt yang mendatangi Chalice bermain mata mengeksplor apa yang Chalice punyai, pandangannya selalu berakhir pada dada gadis remaja yang telah kehilangan kesadarannya.
"Kamu menginginkan gadis ini?" tanya Chalice menggenggam lengan Nadel.
"Ah, bukan begitu." Hyvt itu memaksa tawanya untuk keluar. "Hanya saja begini, jika Anda ingin keluar dari sini, ada harga yang"
"Ambil saja dia." Ucap Chalice memotong. "Jika hewan ini mampu memanduku keluar dari sini, aku tak membutuhkan dirinya lagi." Chalice mendorong Nadel ke dekapan sang Hyvt. "Tetapi jika kalian berbohong, aku masih bisa ke sini dan memaksa kalian sendiri yang menjadi anjing penunjuk jalan." Chalice menunggangi pelana di atas tapir itu, memacunya pergi memasuki labirin lagi lantas hilang dari pandangan sekejap mata.
Suasana mendadak ricuh, gerombolan Hyvt yang birahi berat itu berkerubung berebut tubuh Nadel. Bibirnya dilumat hingga ia kesulitan bernapas, lehernya dijilat hingga dipenuhi lendir menjijikan, dada dan bagian bawahnya dijamah hingga sensasi aneh menjalar ke seluruh bagian jiwanya.  Nadel tak mengerti ini, mengapa ia tidak bisa melawan? Ia seharusnya melawan. Ia tidak bisa membiarkan gigolo-gigolo brengsek ini bermain seenaknya dengan dirinya. Setitik kesadaran tumbuh di dalam otaknya.
Nadel menjerit memekakan telinga. Ia menyabet sikunya ganas, menendang serampangan dengan sepatu gunungnya yang tebal. Gerombloan Hyvt yang tak mengharapkan ini harus rela telinga mereka mengiang nyeri, hidung mereka bocor, zakar mereka pecah.
Nadel terbebas berdiri di tengah-tengah kerumunan Hyvt, menatap mereka dengan mata merahnya yang menusuk. Dari lehernya, kulit hitam bersisik itu muncul merambat lagi, lebih cepat, lebih tebal, lebih ganas. Instingnya mengatakan untuk melawan, perubahan kulit itu tertahan pada kelopak mata kanannya yang masih normal.
Para Hyvt itu menjadi segan, gadis yang semula memiliki raga yang sangat menggoda nafsu mereka kini beralih menjadi semacam monster hitam. Tapi ia tampak kesakitan, ia tampak menahan sesuatu mati-matian, ia sekarang yang berbentuk lebih menakutkan daripada diri mereka semua di sini.
"Beri aku jalan."
Satu suara melankolis yang menggelegar memecah lamunan para Hyvt. Mereka mengenalinya, mereka lebih takut pada pemilik suara itu daripada si gadis monster. Mereka melegakan kerumunan, duduk bersimpuh menyembah dia yang akan lewat. "Tuanku, Raja Astaroth." Viper yang bersarang di tangan kanannya mendesis keras, sayap gelapnya membuka lebar-lebar. Ia bergegas menuju Nadel, dan meminta para Hyvt itu untuk membubarkan diri.
"Kau sudah cukup tersiksa, Nak. Sungguh, Tuhan tak mengenal sedikitpun ampun bagimu." Ia meletakkan telapak tangan besarnya tepat di leher Nadel, merapalkan berapa baris kata-kata yang tak dapat dimengerti lidah manusia. "Tenanglah, aku tak akan menyakitimu. Aku mempunyai agenda lain khusus untukmu.
Nadel tak lagi berjuang untuk mempertahankan kesadarannya. Kulit hitam itu berangsur-angsur menghilang seperti dirinya menyerap itu semua ke dalam raganya. Entah mengapa hatinya menjadi sangat tenang, ia kehilangan tenaga terjatuh pada tangkapan Astaroth yang tersenyum hangat kepadanya.
"Kita akan menyepakati sesuatu." Astaroth berkata lembut. "Kau sama sekali tak keberatan bukan?" Nadel menatap kosong ke wajah Astaroth yang rupawan. Ia tak paham dengan apa yang Astaroth katakan, tapi dirinya mengangguk dengan senang hati.
"Aku tak ingin kau berhenti di sini, karena kau harus membayar bantuanku berkali-kali lebih besar."
"Membayar? Dengan apa?"
"Kau memiliki kesedihan yang sangat mendalam, kau memiliki dosa yang tak dapat kau tebus, kau harus melampiaskan itu semua dengan cara-cara brutalmu sendiri, kau harus menjaga dirimu untuk tetap waras selama kau masih bernapas."
Nadel memiringkan kepalanya, tak menangkap apa yang Astaroth coba katakan.
"Aku ingin kau memporak-porandakan apa yang kau benci, aku ingin kau memporak-porandakan  dunia ini, aku ingin kau memulainya dengan mengacaukan perhelatan antar dimensi ini. Kau akan menjadi Ishtarkau akan menjadi kembaran dirikuAstarte."
Penglihatan Nadel tiba-tiba berkunang-kunang, ia mengerti dirinya akan kehilangan kesadaran dalam waktu dekat.
"Aku meningkatkan kemampuanmu berkali-kali lipat, aku menjinakkan zat asing yang gadis cilik itu berikan padamu, kau akan menjalankan tugas yang aku embankan padamu jauh lebih baik."
Nadel menutup matanya, mendengar ucapan, "sampai jumpa lagi, Astarte-ku," ditengah kesadaran terakhir yang ia miliki. Ia kembali terbangun, menemukan dirinya sudah tiba di ujung labirin disambut oleh sebuah android di atas motorboat. Tak hanya itu, ia juga mampu merasakan sebuah tatapan menusuk yang berasal dari belakang punggunggnya.
"Jadi, Major Ganster, huh?" ucap Chalice sinis.
   

Komentar

  1. Sejujurnya saya iri karena dirimu menggambarkan Charlotte lumayan bagus sementara saya malah fokus ke background character dia di ronde ini.

    This is job well done, baik dari karakterisasi maupun hasil pertandingan. Dan saya bangga karena kekuatan Chalice dimanfaatkan sesuai yang saya inginkan : buat upgrade peserta kalian. So yeah, saya puas dengan ini

    10 dari Chalice

    BalasHapus
  2. Astaroth untuk ukuran iblis simpatik banget ya. Melihat orang bukan dari dosanya, tapi dari seberapa derita yang udah dijalani. Wkwk. Untuk karakterisasi, saya kira udah cukup menunjukkan kesan, baik dr Nadel maupun lawannya. Intinya, orang sudah bisa dapat gambaran garis besar kepribadian kedua orang tsb. Kalau saja R5-nya berlanjut, saya ngeliat potensi besar buat pengembangan Nadel. Kelihatan dari ending entri ini juga, dan itu bagus. Skor 8. - Ifan

    BalasHapus

Posting Komentar