[ROUND 4] Rizka Ambarwati - Aku Bodoh!

[Babak 4]

 

Oleh: Hinata Ummi

 

 

"Kau tahu, Dian, kata mereka ceritaku kurang gelutnya," ujar Rizka pada kursi kosong di depannya sambil menyeruput es darah segar yang disediakan panitia.

 

"Padahal kan ini lomba lari, bukan lomba gelut," sekali lagi Rizka menyeruput minuman berwarna merah di gelas berbentuk tengkorak. Kembali berbicara pada kursi kosong di hadapannya.

 

Rizka kesepian. Sejak ronde kemarin, tak ada lagi kabar dari Dian. Membuatnya benar-benar tak tahu harus bertegur sapa dengan siapa selain kepada angin.

 

Sementara Bang Bokir? Sejak ronde lalu bahkan tak muncul lagi. Rizka semakin yakin bahwa yang kemarin adalah trik kotor Dian. Ia menolak percaya bahwa Dian sejahat itu. Tapi Dian adalah selir ifrit. Itu mendukung fakta bahwa Dian, mungkin saja, jahat.

 

Saat ini mereka, para peserta yang tersisa, sedang menunggu untuk dipanggil. Sepasang-sepasang ke entah apa itu tempat luas di depan sana. Labirin? Sepertinya itulah yang tadi disebutkan oleh pengabsen.

 

Entah kenapa, keinginan Rizka untuk bertarung kali ini benar-benar hilang. Bertarung? Cih, bahkan Rizka benar-benar tak paham apa yang harus dia lakukan.

 

Ia mengikuti turnamen ini dengan harapan bisa hidup kembali, bisa bertemu dengan Bang Bokir. Lagipula turnamen yang dia ikuti adalah turnamen lomba lari, bukan pertarungan hidup dan mati seperti ini. Siapa menyangka lomba lari berubah jadi pertarungan bodoh seperti melawan Dinosaurus?

 

Sambil bertopang dagu Rizka mengingat kembali di ronde sebelumnya Bang Bokir, kalau boleh ia memanggil Makhluk Hitam itu sebagai Bang Bokir, mengatakan tentang permata yang mengabulkan semua permohonan. Kalau memang permata itu bisa mengabulkan permohonan, maka Rizka harus mendapatkan permata itu.

 

Jika memang benar permata itulah yang sedang mereka perebutkan, maka semuanya terasa masuk akal. Termasuk bagian pertarungan hidup dan mati ini.

 

"Tapi aku kan sudah mati," Rizka menghela nafas panjang.

 

"Rizka Ambarwati! Zenistia Nisrina!"

 

Namanya dipanggil, Rizka berdiri dan meninggalkan es teh darahnya yang masih habis setengah. Berjalan menuju pilar yang ditunjuk. Berhadapan dengan gadis yang bernama Zenistia itu. Gadis itu menatapnya penuh kebencian.

 

Oh, bagus, kata Rizka dalam hati, aku malas bertarung dan partnerku membenciku. Bagus. Sungguh bagus sekali! Bagus!

 

"Tugas kalian cuma satu, kabur secepat yang kalian bisa dari situ!"

 

Itulah yang terakhir didengar Rizka sebelum didorong ke arah pilar, kampret! Sopan dikit, dong!

 

***

Jadi, di sinilah Rizka sekarang. Di sebuah pulau dengan tanah berwarna merah darah pekat. Di hadapannya, tumpukan tulang belulang membentuk dinding tinggi yang tak bisa ia lihat ujungnya. Suasana di pulau ini sungguh temaram. Berkabut. Seolah menyembunyikan kengerian yang disimpannya.

 

"Jadi, kita harus kabur dari sini?" tanya Rizka pada gadis di sebelahnya.

 

Siapa tadi namanya? Zenistia Nisrina. Gadis aneh. Memakai pakaian ketat berwarna hitam. Terlihat sangat ketat dan sangat tidak nyaman. Kalau Rizka pasti lebih memilih menggunakan gaun manis saja. Setidaknya, angin-angin bebas keluar masuk dari sela-sela gaunnya.

 

"Jadi, Zenistia, atau kau boleh kupanggil Zen?" Rizka mengganti pertanyaannya. Mencoba untuk mengakrabkan diri.

 

Sayang masih tidak dijawab oleh si Pemilik Nama. Ia seolah tak ada di mata gadis itu. Satu lagi, wajah gadis itu selalu kesal.

 

Mungkin dia tidak bisa melihatku? Batin Rizka sambil mengangkat bahu, Tapi ia tadi menatapku penuh kemarahan? Aku salah apa?

 

Rizka kembali menatap dinding tulang di depannya. Sama dengannya, Zen juga begitu. Ada sebuah pintu kecil di tengah dinding itu. Gelap dan berkabut di dalam sana. Aroma pekat menusuk menguar dari pintu kecil itu.

 

Mencium aroma ini, Rizka yakin, ide masuk ke dalam pintu itu bukanlah ide yang bagus.

 

Rizka menatap ke kanan, menatap ke kiri. Tak ada tanda-tanda jalan lainnya. Sepanjang kanan dan kirinya hanya ada dinding tulang belulang. Satu-satunya jalan yang menjanjikan hanyalah masuk ke dalam pintu yang ada di hadapan mereka.

 

"Aku tahu kau bisa melihatku, Zen, berhentilah mendiamkanku!" Ucap Rizka sekali lagi, memancing reaksi apapun dari Zen.

 

"Aku benci non-human sepertimu, jadi mending kau tutup saja mulutmu itu, daripada aku harus membunuhmu, Tante!" balas Zen. Tampak sekali di mata Rizka, gadis itu sedang menahan diri.

 

"Tante? Aku belum setua itu!" jawab Rizka.

 

"Apapunlah katamu! Aku masih berusaha keras tidak menyegelmu, karena aku tahu kau tidak akan semudah itu berbuat jahat," balas Zen lagi.

 

"Jadi begini ya, Non, di depan sana di balik tulang belulang ini ada sesuatu yang lebih berbahaya, ini yang sejak tadi aku pengen bilang dan selalu dipotong olehmu," potong Rizka sebelum Zen melanjutkan kalimatnya lagi.

 

"Aku tahu, tanpa kau katakan pun aku tahu,"

 

"Nah, kalau kita masuk, besar kemungkinan kita… tidak akan selamat," lanjut Rizka lagi menatap awas pada pintu masuk di depan mereka.

 

"Aku juga tahu itu," balas Zen sinis lagi, kakinya sudah berkuda-kuda siap menyerang.

 

"Haduh, maksudku, bisakah kita bekerja sama daripada saling bunuh?" ucap Rizka sambil berkacak pinggang.

 

"Aku? Bekerja sama dengan makhluk lain? Ups…," Zen tertawa sejenak sebelum melompat dan,"itu jelas tidak mungkin, Nona!"

 

Rizka menghindar dari tinjuan tangan Zen dengan teleport beberapa langkah ke belakang, "Ini nih alasannya aku malas bertarung dengan anak puber."

 

"Siapa yang kau sebut puber, hah?"

 

Sekali lagi, Zen menyerang Rizka. Kali ini dengan pistol laser yang ada di lengannya. Kali ini Rizka tidak menghindar. Membiarkan saja laser yang ditembakkan itu menembusnya. Membuat Zen membelalakkan mata.

 

"Aku mati sudah sejak dua puluh tahun lalu Neng, jadi pantas kan jika aku menyebutmu masih puber?"

 

"Ka-kau…," Zen terdiam di tempatnya.

 

"Dari tadi kamu menyebutkan non-human, memangnya kau kira aku apa?" Rizka menahan diri untuk tidak menepuk jidatnya.

 

"Kalau begitu, tambah satu alasan lagi untuk membunuhmu!"

 

Serangan selanjutnya dilancarkan Zen ke arah Rizka. Pukulan kanan, Rizka teleport ke kiri. Pukulan ke kiri, Rizka teleport ke kanan. Sampai detik ini, Rizka masih bertahan untuk tidak menyerang balik Zen.

 

Bagi Rizka, menyerang manusia yang bahkan tidak tahu kenapa dia menyerang makhluk lain adalah sesuatu yang terlihat bodoh sekali. Itu sama seperti kau diminta makan kotoran dan kau menurut.

 

"Zen, aku bisa melakukan hal ini seharian, tapi kurasa ada hal yang lebih penting daripada sekedar saling serang," ucap Rizka hati-hati saat Zen akhirnya berhenti menyerangnya dan terlihat terengah-engah.

 

"Aku tidak peduli! Kau belum merasakan segelku! Aku harus memenangkan pertandingan ini! Rasakan ini…," teriakan Zen terdengar oleh Rizka yang akhirnya memutuskan masuk ke dalam pintu sendirian,

 

"Aku tidak punya waktu untuk meladenimu, Anak Muda!" teriak Rizka tanpa peduli Zen mendengarnya atau tidak.

 

Rizka terus masuk ke dalam lorong berdinding tulang-belulang. Untuk sekejap ia merasa sedang berada di dalam setting sebuah novel yang difilmkan berjudul Maze Runner. Bedanya dinding-dinding di sini bentuknya tulang belulang, bukan beton. Juga tidak ada laba-laba robot yang mengejar di sini…,

 

… atau belum?

 

Rizka merasakan perasaan itu lagi. Perasaan diikuti. Perasaan ada yang sedang memperhatikannya. Perasaan tidak nyaman. Perasaan tidak aman. Seolah saat ini, puluhan ribu tengkorak yang menjadi pembatas antara lorong ini dengan sebelahnya tengah menatapnya tajam.

 

"Sebelum kalian melakukan apapun padaku, aku ingatkan, kita adalah spesies yang sama teman-teman," ujar Rizka pada ke semua tengkorak. Seolah mereka semua hidup.

 

Ini benar-benar labirin, bisik hati Rizka membuat perasaan tak nyaman makin menajam.

 

Bau darah pekat menguar di udara. Angin berhembus pelan di tengkuk Rizka. Sudah sepuluh belokan lorong yang dia lewati. Baru di lorong ini dia merasakan udara. Itu membuat perasaannya tak nyaman. Bukan apa-apa, dia hantu! Tidak seharusnya dia merasakan udara menyentuh kulitnya. 

 

Bau darah ini, karena pintu keluar atau karena…, Rizka membeku.

 

Di hadapannya, Zen sedang menangis dan berteriak. Di belakang Zen sekelebat bayangan hitam tanpa bibir menempelkan bunga lotus berwarna kuning di kepala Zen. Lalu bayangan itu menghilang.

 

"Ibu! Ayaaaah!"

 

"Zen…?" panggil Rizka pada gadis muda di hadapannya.

 

Zen tak menggubrisnya. Masih terus menangis dan berteriak.

 

"Maafkan aku, maafkan aku!" teriak Zen lagi.

 

Perlahan Rizka mendekati Zen.

 

"Kau! Kau yang telah membunuh orang tuaku!" teriak Zen tiba-tiba pada Rizka dengan melayangkan satu tinjuan yang mengenai langsung dada Rizka. Entah apa yang terjadi, tapi gadis itu bisa menyentuh Rizka.

 

Membuat Rizka mundur ke belakang satu langkah dan masuk mode waspada. Rizka tidak tahu ada di mana dia sekarang namun, sepertinya belokan-belokan yang tadi diambilnya membawanya kembali mendekati titik awal.

 

"Zen, kau kenapa?" tanya Rizka hati-hati.

 

Terlihat jelas di hadapannya mata Zen yang kehilangan pupilnya. Hanya satu yang dapat menjelaskan kondisi itu, "Zen, kau kesurupan?"

 

"ahahahah, hahahah, hahahah," Zen tertawa-tawa seperti tak waras. Membuat Rizka semakin yakin bahwa salah satu tengkorak yang ada di sini telah merasukinya.

 

"Sekarang kau sudah di tanganku, phantom sialan!"

 

Satu pukulan mendarat di tubuh Rizka lagi. Rizka tak bisa menghindar. Ia tak bisa menggunakan teleport.

 

"Kenapa? Kemana kemampuanmu tadi, Phantom?"

 

"Zen, sadarlah, aku bukan Phantom!" teriak Rizka memelas. Mencoba menggerakkan tubuhnya. Mencoba melakukan teleport sekali lagi.

 

"Kenapa Phantom? Gagal melakukan trik bulusmu lagi?" Wajah Zen tersenyum licik.

 

"K-kau?"

 

"Aku sudah berhasil menyegelmu! Ahaha ahahah" lalu Zen menangis lagi, kembali terduduk dan teriak, "maafkan aku! Ayah, ibu! Maafkan aku yang tidak menolong kalian! Tidaaak, pergi sana, jangan ganggu ayah dan ibuku! Jangan! Jangan bakar mereka! Tolooong!!"

 

Rizka tak tahu apa yang terjadi pada Zen, segel gadis itu tiba-tiba saja terlepas dari tubuh Rizka. Ia merasa bisa terbang lagi.

 

Semua ini membuatnya takut. Ada sesuatu di dalam labirin ini yang tidak ia mengerti. Sesuatu yang jelas dan pasti di mata Rizka sekarang, apapun itu, dia tidak mau berada dekat dengan Zen. Gadis itu sekarnag sedang dipengaruhi kekuatan yang tidak ia ketahui.

 

Rizka meninggalkan Zen, berbelok di lima persimpangan lorong. Dia sudah tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi pada Zen. Ibarat kata, jika Zen mati kehabisan airmata juga ia tak peduli.

 

Sekarang yang menjadi fokus Rizka adalah menyelamatkan dirinya sendiri. Karena sekarang, perasaan tidak nyaman sedari tadi mengikutinya semakin mewujud. Perasaan itu semakin kuat.

 

"Rizka, tolong aku!!"

 

Suara itu membuat rasa panik di dalam diri Rizka muncul. Setengah berlari Rizka mencari petunjuk untuk keluar dari tempat ini. Ia yakin sekali, perasaan ini muncul karena labirin ini.

 

"Rizka!!"

 

Itu jelas bukan suara Zen. Itu suara gadis lain. Suara gadis kecil. Suara seseorang yang sangat Rizka kenali.

 

Ini bukan labirin biasa. Ini pasti labirin yang dahulu menjadi buah bibir di kalangan para Hantu. Labirin hati. Labirin yang memiliki kekuatan untuk menghancurkanmu secara mental. Bertubi-tubi hingga kau tak mampu lagi untuk mengatakan tidak!

 

"Tolooong! Rizka Tolooong aku!"

 

"Diam!" Rizka menutup telinganya. Semakin panik. Dia tahu, apapun yang membuat gila Zen tadi, adalah hal yang sama yang akan membuatnya gila, kini.

 

Rizka harus segera keluar. Tapi kemana? Sudah puluhan kelokan ia lewati, bukannya semakin terlihat jalan keluar malah ia merasa semakin tersesat.

 

"Rizka…, Kenapa kamu meninggalkanku?"

 

"Diaaaam!!" teriak Rizka di tengah rentetan air matanya yang terbang bersama angin yang berlalu di tengah terbangnya yang smeakin melambat. Menggemakan suaranya di antara lorong-lorong.

 

"Kenapa kau meninggalkanku, Riz?"

 

"Aku tidak meninggalkanmu!"

 

"Kau tahu aku tenggelam, kan Riz?"

 

"Aku tahu, Aku tahu," memelas Rizka menangis. Kini Rizka sudah tidak lagi berlari. Ia terduduk. Menangis. Perasaan bersalah yang menghantui hantu berumur sembilan belas tahun itu membuatnya menangis kuat.

 

"Kenapa kau membiarkanku tenggelam, Riz!" ujar suara itu perlahan dan memberi jeda sebelum melanjutkna," tanpa memanggil pertolongan!"

 

"Aku masih lima tahun, Mawar! Apa yang kau harapkan dari anak berusia lima tahun yang ketakutan melihat temannya sedang dipeluk erat genderuwo, War?"

 

"Itu hanya alasanmu! Mana ada genderuwo! Kau mengada-ada! Kau hanya tak mau menolongku!" bentak suara itu pada Rizka. Membuat Rizka makin merasa bersalah.

 

"Aku tidak berbohong, toloong, hentikan ini semua! Tolong… siapapun…," Rizka sudah memelas, tak sanggup lagi.

 

"Padahal kamu  tahu aku terjun karenamu! Karena menolongmu! Padahal kamu tahu!" kata suara itu lagi, menambah lubang besar di hati Rizka. Menaburkan garam dan asam di atasnya.

 

Rizka ingat kejadian itu. Jelas. Sangat jelas sekali bahkan.

 

Mawar. Dia adalah sahabat Rizka. Sahabat karib lebih tepatnya. Di mana Rizka berada, di situ pula mawar berdiri. Mereka selalu bersama kemanapun.

 

Namun nahas tak dapat ditolak. Saat mereka sedang bermain di pinggir Curug Cicaheum, Rizka terpeleset dan tercebur. Mawar yang melihat itu langsung menyelam untuk menyelamatkan Rizka.

 

Ia berhasil. Ia menarik Rizka ke pinggir. Sayang, kekuatan dedemit penunggu curug yang tadi menarik Rizka, beralih pada mawar. Dedemit itu menarik Mawar ke tengah curug. Rizka yang memang bisa melihat yang seharusnya tak ada, berteriak-teriak sambil menagis ketakutan.

 

Sang Dedemit yang terganggu mengunci mulut Rizka dengan sirepnya. Membuat Rizka tak bisa lagi berteriak. Hanya menangis.

 

Satu jam setelahnya, sirep dari Genderuwo itu terlepas dari Rizka. Namun sudah terlambat. Teriakan Rizka sudah tak bisa lagi menolong sahabatnya itu. Mawar dan jasadnya menghilang.

 

Seminggu setelah kejadian itu, jenazah Mawar ditemukan tepat di tempat dia menghilang. Mengambang tanpa ada kerusakan sedikitpun.

 

Seluruh warga di sana masih menyalahkan Rizka atas kejadian itu. Bahkan kematian Rizka pun disebut-sebut sebagai akibat ulah genderuwo yang sama.

 

"Maafkan aku, Mawar, maafkan aku…," bisak Rizka dalam tangis. Tersedu-sedan. Sesak di hatinya tak pernah sedikitpun hilang.

 

Bahkan sampai detik ini, dia tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri atas kejadian itu.

 

"Andai aku bisa berenang," ucap Rizka menyesal, "andai aku tak mengajakmu kesana, andai…,"

 

Seseorang menyentuh pundak Rizka, "Masa lalu tidak dapat kita ubah, Nona."

 

Rizka menoleh dan melihat malaikat merah bertanduk patah sedang melirik ke arahnya.

 

"Mari, Nona ku antar ke pintu keluar labirin ini. Aku lelah mendengar teriakan demi teriakan yang muncul dari setiap peserta turnamen tahun ini. Kalau Tuan Thurqk tahu kalian bisa musnah dibunuh Astaroth,"

 

Sekali hentak tubuh Rizka terangkat, "Kau harus bisa memaafkan diri sendiri untuk hal-hal yang terjadi di masa lalu, Nona. Semakin kau membenci masa lalu itu, semakin dia akan menghantuimu. Mereka, ingatan-ingatan itu, akan senantiasa menjadi bagian dari dirimu."

 

Malaikat itu meletakkan tubuh Rizka di bagian penumpang becak motornya.

 

"Kau siapa?" tanya Rizka yang sudah sepenuhnya tersadar atas apa yang terjadi dan terlepas dari pengaruh kemarahan Mawar.

 

"Panggil aku Hvyt. Aku adalah penghuni realm ini. Aku akan mengantarkanmu ke pintu keluar,"

 

"Ka-kau akan mengantarku tanpa imbalan?" tanya Rizka sambil mengelap-elap airmatanya menggunakan ujung gaun merah yang ia kenakan.

 

"Tentu saja ada, Nona. Aku Cuma akan minta ciuman kecil darimu. Di bibir," ucap Hvyt si Malaikat Merah itu sambil mengedipkan sebelah matanya,"Nah, sekarang, silakan berpegangan, Nona Cantik!"

 

Belum sempat Rizka merespon negosiasi Becak itu sudah keburu jalan. Sangat kencang. Sampai-sampai Rizka mau tak mau harus berpegangan pada salah satu tiang becak itu.

 

Tidak ada percakapan di antara mereka.

 

Bahkan tidak sampai lima menit, mereka sudah sampai di titik finish. Di depan sudah ada pilar teleportasi dengan tulisan finish. Rizka tersenyum pada si Malaikat Merah.

 

"Sekarang, aku akan mengambil jatahku," ucap Hvyt tanpa tendeng aling menarik Rizka dalam pelukannya dan mencium bibir Rizka. Rizka bahkan tak bisa menolak sama sekali.

 

Saat itulah Rizka tahu, yang dimaksud Hvyt ini sebagai 'ciuman' bukanlah ciuman romantis ala FTV, tapi 'ciuman' penarik energi. Selepas bibir merah kehitaman Sang Hvyt melepas bibirnya Rizka mabuk.

 

"Nah, Nona, ciuman yang indah akan selalu kuingat. Sungguh nikmat sekali ternyata ciuman dari Sundel Bolong sepertimu," ucap Sang Hvyt, melepas pelukannya pada Rizka dan menurunkan Rizka dari becaknya.

 

Rizka berjalan sempoyongan. Bahkan tak sempat marah-marah saat Hvyt menjalankan becaknya menjauh, kembali masuk ke dalam labirin.

 

Sialan, bodohnya aku! Racau Rizka dalam hati.

 

Kini Rizka mirip hantu-hantu yang ada di emoticon aplikasi-aplikasi. Mata berbentuk 'x' dan terbang yang sempoyongan dengan lidah menjulur keluar sedikit.

 

Rizka mendekati pilar.

 

"Sungguh bodohnya aku," rapal Rizka sebelum menghilang dibalik pilar.

 

Menyisakan sepi di Pulau Bertanah Merah.

 

* * *

 

"Maaafkan aku ibuuu, ayaaahhh!!"

 

Zen masih berteriak di tengah labirin, menangis kencang.

 

"Andai aku lebih besar, andai aku lebih kuat, andai…,"

 

Seseorang menyentuh pundak Zen," Masa lalu tidak dapat kita ubah, Nona."

 

Zen dengan air mata yang masih meleleh kencang, menoleh. Ia melihat malaikat merah bertanduk patah sedang melirik ke arahnya dengan lembut dan teduh.

 

"Mari, Nona ku antar ke pintu keluar labirin ini. Aku lelah mendengar teriakan demi teriakan yang muncul dari setiap peserta turnamen tahun ini. Kalau Tuan Thurqk tahu, kalian bisa musnah dibunuh Astaroth," ujar Malaikat Merah itu menggendong tubuh Zen.

 

"Kau akan mengantarkanku ke garis finish secara gratis?"

 

"Tentu saja tidak, Nona. Aku cuma akan minta ciuman kecil darimu. Di bibir," ucap Hvyt si Malaikat Merah itu sambil mengedipkan sebelah matanya.

 

 

* * *


Komentar