[Ronde 4] Nyai Dasimah - Nyai Dasimah ... Gas ... Gas ... Gas ....

By: Ribato Linda

Nyai Dasimah ... Gas ... Gas ... Gas....

Nyai berdiri termenung menunggu giliran memasuki pilar teleportasi. Pada pertandingan sebelumnya, Nyai berhasil berjudi dengan memanfaatkan Abu dan meresikokan dirinya sendiri menghadapi tiga orang. Nyai yang pernah merasuki Abu mengerti, bahwa Abu akan mengendap-endap dan membuat kekacauan sebelum mengambil kemenangan. Walau begitu, Nyai Dasimah nampak tidak senang. Hal ini dikarenakan Pedang Cwalika yang harusnya dia simpan sampai akhir, harus dia gunakan pada babak ketiga. Hanya pedang Cwalika yang dapat Nyai andalkan ketika bertemu lawan dengan kemampuan tidak masuk akal. Nyai Dasimah mendesah sebelum pilar teleportasi membawa dirinya ke tempat lomba selanjuta.

"Tempat mengerikan macam apa ini? bahkan bangsal di kerajaan Amarya milik raja Ash Rhok masih lebih baik. Walau aku tidak pernah dikurung di tempat itu sih."
Kata-kata pertama itu keluar setelah kaki Nyai Dasimah menginjak tanah dengan darah mengering dan mata menyaksikan dinding yang dibuat dari kerangka. Nyai Dasimah menyipitkan mata mendekati dinding dan merasakan tekstur kasar dari dinding. Benar, itu adalah dinding yang dibuat dari kerangka yang disatukan. Entah bagaimana cara tulang-tulang itu disatukan? yang jelas tulang-tulang itu telah membentuk dinding labirin yang seolah tanpa jalan keluar.
"Tulang-tulang apa ini? kelihatannya bukan hanya tulang dari manusia. Para sponsor sialan itu ... apa yang sebenarnya mereka inginkan?"
Nyai Dasimah mulai berjalan sembari menatap tempat suram yang mengurung dirinya. Tidak butuh waktu yang lama sampai Nyai Dasimah merasakan bau busuk menyeruak masuk ke dalam hidung. Hal itu membuat Nyai Dasimah menutup hidung dan menigkatkan kewaspadaan.
"Kenapa!"
Sebuah suara yang tidak asing membuat Nyai Dasimah tersentak, memutar tubuh dan leher untuk menyelidiki asal dari suara itu.
"Kenapa kau meninggalkan kami!" Suara-suara menggema di ruangan membuat Nyai Dasimah panik.
"Siapa ... katakan siapa dirimu? apa kau adalah seorang peserta? hadapilah aku seperti layaknya pendekar yang gagah berani!"
Nyai Dasimah menelan ludah, merasakan punggungnya begidik dan kakinya gemetaran ketika melihat seseorang yang dia kenal muncul dari dinding tulang dan berdiri di hadapannya.
"Kau, bukankah kau seharusnya sudah ...." Nyai Dasimah terkesiap. 
"Kenapa kau meninggalkan kami?" 
"Kau membuat kami terbunuh."
Tiga orang yang seharusnya telah mati kini berdiri kembali menatap penuh amarah pada Nyai Dasimah.
Nyai Dasimah adalah orang yang berkepala dingin. Dia tahu bahwa mungkin ketiga orang itu mungkin adalah sebuah ilusi yang diciptakan peserta lain. Karena itulah Nyai Dasimah memutuskan untuk berlari dan menyusun rencana daripada menghadapi sesuatu yang tidak pasti.
"Keluarlah, dasar brengsek! Akan kutunjukan kehebatan dari Atma Jenius." Nyai Dasimah mulai kehilangan kesabaran ketika suara-suara yang dia kenal bergema sangat keras di kepala.
Nyai Dasimah tiba-tiba berhenti berjalan lalu terdiam di tempat. 
"Suara ini ...."
Suara bergema yang Nyai Dasimah dengar tiba-tiba berubah menjadi suara lembut. Suara lembut yang mengalun indah seperti kicauan burung sambo itu membuat Nyai Dasimah tertegun sambil memegangi dada. Tanpa Sadar air mata mengalir dari pipi Nyai Dasimah dan segera Nyai Dasimah membuat langkah yang cepat dengan kaki sembari berteriak seperti orang gila.
"Kakanda ... Kakanda Arya ...." Kata-kata itu terus keluar dari mulut Nyai Dasimah.
Setelah berlari tanpa arah menjelajahi labirin. Nyai Dasimah mendapati siluet belakang tubuh yang sangat dia kenal. Siluet yang nampak biasa itu membuat Nyai Dasimah menatap dengan sayu juga mengukir wajah yang penuh dengan kerinduan. Dengan sekuat tenaga Nyai Dasimah berlari dan menubruk siluet itu dengan pelukan erat.
"Aku merindukanmu ... aku merindukanmu Kakanda."
Sosok itu berbalik dan membuat Nyai Dasimah terperanjat kaget hingga Nyai Dasimah terjungkal jatuh ke belakang.
"K–ketua ... A–ayah ...."
"Setelah kau menjatuhkanku dari kursi kepemimpinan. Kenapa kau malah meninggalkan suku kita?" 
Seorang pria tua dengan wajah berantakan–meski begitu, Nyai Dasimah sangat mengenal orang ini– karena dipenuhi dengan darah dan salah satu bola mata yang keluar, berjalan perlahan mendekati Nyai Dasimah.
"Tidak ... aku tidak meninggalkan suku. Aku hanya–"
"Tutup mulutmu," pria itu menaikkan nada suara dengan murka. "Karena kaulah suku diserang dan akhirnya punah. Seandainya kami masih punya pedang cwalika dan juga seorang tetua di sisini kami, sudah pasti kami pasti bisa menakhlukkan orang itu."
"Tidak, kalian tidak akan bisa menang. Pria itu memiliki rahasia dia memiliki teknik–"
"Omong kosong! tidak ada yang bisa mengalahkan suku Atma jika pemegang pedang Cwalika berada di tempat itu. Kau selalu meremehkan kekuatan roh warisan leluhur kita. Kau adalah aib bagi suku Atma."
Mendadak muncul banyak sekali orang menatap Nyai Dasimah dengan sinis seraya mengeluarkan kata-kata pahit dari mulut mereka.
"Maafkan aku, kumohon maafkan aku." Nyai Dasimah memegang kepala sembari meringkuk ketakutan. "Aku meninggalkan desa dan membuka hubungan dengan dunia luar hanya karena ingin memajukan teknik roh dan membuat suku Atma menjadi jaya."
Nyai Dasimah memekik ketakutan hingga suara derak keras–yang ternyata berasal dari tubrukan mobil dan dinding tulang–membuat Nyai Dasimah tersadar.
"Sepertinya kau sedang ketakutan–nona?"
Nyai Dasimah berdiri, mengembuskan napas, merasa lega setelah melihat seorang pria trendy bersama dengan mobilnya.
"Apa itu tadi hanya illusi?"
"Jadi kau juga melihat ilusi itu?"
"Kau ... jika kau juga melihatnya. Bagaimana caranya kau lolos dari ilusi itu?"
"Aku sebenarnya–" 
Pria itu mendadak terdiam seraya menatap Nyai Dasimah dengan penuh kecurigaan.
"Aku menghargai rasa waspadamu itu. Tapi ... sepertinya lomba kali ini sedikit aneh. Kau juga harusnya mengerti begitu banyak orang yang mengikuti ronde ini. Pikirkanlah, kita sebaiknya bekerja sama daripada terkurung di labirin yang menyesatkan ini."
Pria itu memiricingkan mata, nampak memikirkan dalam-dalam perkataan dari Nyai Dasimah.
"Baiklah, sejujurnya aku belum lepas dari ilusi itu. Aku berlari dan tiba di dalam di pemukiman Hvyt dan menukarkan uang yang kudapat sebelumnya dari panitia dengan tunganganku. Aku juga berhasil melumpuhkan peserta lain dan mendapatkan uang lalu menukarnya dengan pil penenang. Aku rasa pill itu bekerja padaku. Namun, aku sudah memakan yang terakhir dan masih belum menemukan jalan keluar."
Nyai Dasimah menyentuh dagu. Hal itu biasa Nyai Dasimah lakukan ketika sedang memecahkan masalah pelik. Namun, belum sempat fokus berpikir, sebuah suara raungan yang sangat kuat membuat Nyai Dasimah tersentak dan membuyarkan seluruh konsentrasinya.
"Kau mendengar suara itu?" Tanya Nyai Dasimah mencoba untuk memastikan.
"Suara itu selalu mengikutiku semenjak aku mendapat kendaraan ini. Sebaiknya kau segera naik dan memikirkan ini sembari aku mengemudi."
Nyai Dasimah yang memiliki firasat buruk, segera masuk ke dalam mobil. Dengan sekali sentakan pada pedak gas, mobil bertipe Estoic-Series-R8-X, Stryker mengeluarkan asap putih pada ban dan melaju cepat menabrak tumpukan tulang yang menjadi pembatas labirin.
"Apa-apaan ...." 
Nyai Dasimah merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Melihat jalan yang berlalu seperti mesin pemutar film membuat tubuh Nyai Dasimah bergidik.
"Hentikan!"
"Apa ...," Pria berkacamata itu tidak mendengar karena terpaan angin dari mobil tanpa atap miliknya. "Namaku adalah Tora, Tora Kyuin jika kau penasaran. Aku adalah–"
Nyai Dasimah secara reflek memegangi kemudi Tora Kyuin dan membuat mobil berputar-putar dengan cepat lalu berhenti secara dramatis menabrak dinding tulang. 
"Apa yang sebenarnya kau–"
Tora Kyuin terbelalak melihat wajah Nyai Dasimah yang pucat dan gelagat seperti akan muntah.
"Tunggu jangan lakukan itu. Tidak di mobil terutama dashboardku."
Terlambat, seluruh isi sarapan yang dimakan Nyai Dasimah tumpah dan mengotori kursi serta dashboard milik Tora Kyuin.
"Maafkan aku," Nyai Dasimah keluar dari mobil dengan limbung. "Kepalaku tiba-tiba pusing dan aku–"
Nyai Dasimah terduduk dan memiringkan mata karena melihat sebuah cahaya merah berkelip diantara lubang yang mereka lewati. Tora Kyuin sendiri turun dari mobil untuk memeriksa keadaan Nyai Dasimah.
"Kau tidak apa-apa kan?" tanya Tora Kyuin seraya menggerakkan bahu Nyai Dasimah.
"Sebenarnya apa yang terjadi padaku. Kepalaku pusing, aku muntah dan sekarang aku melihat makhluk aneh sedang bergerak di belakangmu."
Tora Kyuin segera mengalihkan pandangan dan mendapati sesosok makhluk bermata merah dengan tinggi sekitar sepuluh meter bergerak pelan mengancam ke arahnya.
"Holy ...," Tora Kyuin segera menggendong Nyai Dasimah dan melempar ke kursi belakang. "Berpeganganlah yang kuat, karena aku akan melakukan drive!"
Tora Kyuin menyalakan kembali mesin mobil. Memasukkan perseneling dan mulai melakukan tarian kaki pada pedal gas dan kopling di mobilnya. Terdengar bunyi decit kuat sebelum akhirnya mobil Tora melaju dengan cepat meninggalkan makhluk mengerikan di belakang mereka (Gas gas gas! I'm gonna run as a flash Tonight I'll fight!).
"Apa itu adalah Astaroth yang dimaksud oleh para penyelengara? Gila, monster macam apa itu," Tora kali ini mengemudi dengan cepat mengikuti arah daripada menembus tulang seperti sebelumnya. "Sial, kenapa di saat seperti ini alat navigasi pada smartphoneku rusak."
Saat Tora bergumam, sebuah tangan raksasa muncul dan menghalangi laju jalan Tora.Hal itu membuat Tora melakukan gerakan reflek cepat pada pedal, kemudi dan rem yang menyebabkan mobil melakukan drift berputar. Bukan hanya drift berputar, pengalaman  Tora bertahun-tahun menjadi pembalab membuat dia mampu mengendalikan mobil dan mengubah arah untuk menjahui monter yang mengejarnya. 
"Inilah, balapan yang memacu adrenalin. Makan itu monster jelek."
Tora terlihat menikmati saat dia mengemudi daripada ketakutan dengan monster yang mengejarnya. 
***
Nyai Dasimah terbangun ditempat yang sangat familiar. Hal yang terakhir Nyai Dasimah ingat adalah dia berada pada kecepatan tinggi dan saat Tora melakukan gerakan memutar dengan mobil, Nyai Dasimah terlempar. 
"Tempat ini ...."
Nyai Dasimah tersentak karena sekali lagi mendengar suara seruling dan segera berlari untuk mencari asal suara itu. 
"Kaka–"
"Kakanda!"
Sebuah suara dengan tubuh fisik yang hampir sama dengan Nyai Dasimah berlari menembus tubuh Nyai Dasimah. Nyai Dasimah mengusap mata, tetapi pemandangan yang dia lihat tidak salah lagi merupakan dirinya sewaktu berumur dua puluh tahun.
"Kakaknda Arya." 
Nyai Dasimah muda duduk dan bersandar pada bahu Arya lalu menatap hamparan pegunungan sambil meresapi suara permainan seruling Arya yang indah. 
"Adinda, aku kira setelah peristiwa itu kau tidak akan mau lagi bertemu denganku." Arya tersenyum, memar yang ada di wajah tidak membuat perubahan berati pada wajah Arya.
"Apa ini kesalahanku," mata Nyai Dasimah muda nampak berkaca, membelai lembut memar yang ada pada wajah Arya. "Maafkan aku Kakanda."
"Tidak masalah Adinda, luka ini tidak seberapa daripada kebahagianku karena dapat bertemu denganmu. Lagipula, aku rela dipukuli jika dengan itu aku mendapat belaiannmu."
"Kakanda," Nyai Dasimah muda menunduk sesaat lalu menengadahkan kepala, menatap serisu ke arah Arya. "Bawalah aku pergi dari tempat ini."
" Tidak jangan lakukan itu!" 
Nyai Dasimah berusaha mencegah dirinya yang lebih muda untuk melakukan kesalahan dengan mencoba menyentuh dirinya sendiri. Namun, sia-sia tubuh Nyai Dasimah tembus seperti udara. 
"Apakah tidak masalah jika kau kabur dengan lelaki biasa yang bukan pendekar sepertiku?" Arya menyentuh pipi Nyai Dasimah sembari tersenyum pahit.
"Jika aku bisa mendengar suara serulingmu setiap hari," Nyai Dasimah memegang tangan Arya dan menutup mata dengan nyaman. "Itu tidak akan menjadi masalah. Kita bisa hidup di desa kecil dan memulai hidup menjadi seorang petani."
"Aku mau lima anak." Arya tersenyum.
"Kenapa sedikit sekali. Semakin banyak anak makin banyak berkah yang akan kita terima." Protes Nyai Dasimah.
"Benar, aku akan bekerja dengan giat mengolah sawah agar anak-anak kita menjadi anak sehat dan kuat. Ketika siang, aku akan pergi berburu dan membawakan hasil gunung. Dasimah, aku mencintaimu."
"Aku juga."
"Hentikan ... hentikan semua ini!"
Nyai Dasimah berusaha memanjangkan tangan, tetapi seperti film semua gambaran itu menghilang dan berganti dengan gambaran baru. Nyai Dasimah muda sedang terikat berhadapan dengan kekasihnya. Di sana ketua suku yang juga merupakan ayahnya nampak dengan tegas memandang kerumunan yang mengelilinganya, memberi peringatan keras bahwa hal ini dapat terjadi pada mereka.
"Inilah akibat dari melanggar peraturan suku yang ketat. Lihatlah baik-baik kalian semua. Tidak peduli siapa pun, aku akan memberi hukuman setimpal bagi yang menganggu dan melanggar peraturan suku ini. Untukmu Dasimah, aku akan mengurumu di gua selama tiga bulan hingga waktu pernikahanmu dengan Datuk Dirajo," Ketua suku Atma kemudian memandang Arya. "Kau adalah orang kepercayaan kami yang menghubungkan kami dengan dunia luar. Namun, kau sudah kurang ajar dengan mendekati wanita dari suku kami. Ingatlah, kau cuma pemuda buangan yang aku temukan hampir mati. Sebagai hukuman atas kesalahanmu, kau akan dipersembahkan kepada Rangda, sang penguas roh tertinggi."
"Tidak ... hentikan semua ini ayah," Nyai Dasimah meneteskan air mata deras, sama seperti dirinya dulu. "Kumohon kakanda, pergilah!"
Ketua suku meletakkan tangannya di dada Arya. Sekejap Saja tubuh Arya melebur menjadi debu dan beterbangan di depan Nyai Dasimah. Saat itu Nyai Dasimah muda hanya bisa memandang debu yang beterbangan itu dengan mata kosong.
"Ini semua karena dirimu lemah."
Nyai Dasimah tersentak karenan dirinya yang lebih muda kini berdiri di hadapannya dengan nanar mata yang penuh kebencian. Nyai Dasimah terjungkal dan jatuh di sebuah altar yang menjadi tempat pernikahan dirinya dengan Datuk Dirajo. Terlihat dirinya telah naik di altar dengan seorang penghulu yang merupakan ayahnya. Nyai Dasimah mengerti bahwa pada waktu ini dia akan menantang ayahnya untuk menyerahkan posisi ketua suku kepada dirinya. Selama Nyai Dasimah dikurung, rasa dedamnya telah melahirkan teknik enam pilar yang sangat dia banggakan.
"Aku tidak menerima pernikahan ini," Nyai Dasimah muda melepas semua pernak-pernik pernikahan dan melayang di atas mimbar yang digunakan untuk pertarungan. "Aku menantang ketua suku Atma untuk bertarung mempertaruhkan posisinya sebagai tetua."
"Dasimah," teriakan suara ketua suku menggelegar hingga membuat siapa pun yang mendengar akan menjadi ciut. "Apa kau tahu apa yang sebenarnya kau sedang lakukan?"
"Jangan menganggap aku bodoh tetua. Aku sudah mengetahui peraturannya. Ini adalah cara kuno kita untuk menentukan ketua suku. Kita akan bertarung sampai salah satu diantara kita tewas."
Terdengar raungan dan aura tipis menggelegar berbentuk seperti barong singa. Saat itu, sudah dapat ditebak hasil pertarungan mereka. Segarang apa pun seorang ayah mustahil dia bisa membunuh anaknya sendiri. Saat itu Nyai Dasimah akhirnya menjadi ketua suku dan untuk pertama kali Suku Atma mengalami perubahan. Selain ketua suku pertama perempuan suku Atma, Nyai Dasimah juga membuka hubungan dengan orang luar yang tertarik belajar teknik Atma.
***
Semua berjalan sangat lancar hingga suku Atma berbenturan dengan Kerajaan Amarya yang dipimpin Raja Ash Rhok. Raja Ash Rhok sendiri adalah seorang pangeran buangan yang mendapat kekuasaan dengan membantai seluruh keluarganya. Setelah naik takhta, Raja Ash Rhok ingin menyatukan seluruh daratan Nusjagwa di bawah kerajaan Amarya. Nyai Dasimah sendiri menolak mentah-mentah ajakan dari raja Ash Rhok dan bersikukuh untuk membuat Suku Atma menjadi suku tunggal yang tidak terikat dengan kerajaan mana pun. 
"Ini ...!"
Nyai Dasimah melihat rintikan air sangat deras membasahi tempat kediaman suku Atma. Ya, hari itu sedang hujan dan Nyai Dasimah mengetahui betul apa yang akan terjadi dikalan hujan turun ini.
"Hei, siapa kau? tidak ada yang boleh melewati gerbang tanpa pemeriksaan." Beberapa penjaga gerbang menanyai seorang pria kurus, tetapi tetap berbentuk.
"Kalian berdua harus pergi! Pria itu adalah seseorang yang berbahaya." Nyai Dasimah mencoba meyakinkan dua penjaga itu tetapi gagal.
"Aku," pria itu menyeringai "Adalah malaikat kematian."
Pria itu mencengkram kedua kepala penjaga dengan begitu cepat lalu meremukkannya hingga tanga pemuda itu berlumuran darah. Pria itu melemparkan kedua penjaga pintu itu dan merusak gerbang yang dibuat dari bambu yang disusun sedemikian rupa.
"Aku adalah Ad, Angakara pertama dari sembilan angkara di bawah kepemimpinan Raja Ash Rhok. Aku datang kemari membawa murka Sang Raja karena kalian telah menolak kemurahan dengan tunduk di bawah kaki beliau."
Suara Ad menggema membuat semua orang yang berada di rumah bermunculan.
"Jangan harap ada satu pun diantara kalian yang dapat meninggalkan tempat ini hidup-hidup. Aku akan membersihkan Suku Atma sampai ke akar-akarnya."
Pembantaian besar-besaran terjadi pada Suku Atma yang dikenal sangat kuat dan hanya dilakukan oleh satu orang pria saja. 
"Jika saja pada saat itu aku tidak pergi." Nyai Dasimah bersimpuh, menyaksikan seluruh sukunya di bantai tanpa bisa berbuat apa pun.
Tak lama kemudian Nyai Dasimah muda tiba dan mendapati seluruh sukunya telah dibantai oleh seseorang.
"Apa yang terjadi dengan penduduk di tempat ini?" tanya Nyai Dasimah muda pada Ad yang sedang duduk di tanah yang bertumpuk mayat dan berlumuran darah.
"Kau seharusnya bisa melihat perempuan tua. Aku membantai seluruh sukumu hingga tak tersisa." Ad turun dari tumpukan mayat dan menyeringai.
"Berani-beraninya kau melakukan hal ini pada sukuku ketika aku pergi." Kata-kata Nyai Dasimah sangat lembut tetapi, berlawanan dengan tatapan yang kebencian yang dia tunjukkan pada kedua mata.
"Aku melihatmu saat pertama kali kau datang ke kerajaan Amarya. Mata yang dipenuhi dengan dendam dan kemarahan, juga kesombongan. Itu benar-benar mengingatkanku kepada diriku di masa lalu. Meski ... kau masih memiliki banyak ketakutan di benakmu."
Ad bergerak secepat kilat menyambar Nyai Dasimah muda dan berhasil melukai lengan atas Nyai Dasimah muda.
"Gerakannya sungguh cepat!" Nyai Dasimah bergumam.
Ad mendesis sekali lagi mengarahkan tinjunya yang mampu meremukkan kepala dengan mudah ke arah Nyai Dasimah muda. Dengan reflek yang bagus Nyai Dasimah muda berhasil menahan tinju itu dengan pedang cwalika miliknya. Saking kuatnya tinju Ad, seluruh tanah yang mereka pijak retak menjadi lubang yang besar.
"Tidak ... kau tidak bisa melawan pria itu. Pria itu ... tidak bisa mati." Nyai Dasimah menembus dirinya sendiri ketika mencoba menghentikan Nyai Dasimah muda. 
"Kau memang luar biasa. Bagaimana kalau kita tingkatkan sedikit tekanannya. Tiga ratus persen."
Ad nampak dipenuhi eforia. Aura dari dalam tubuhnya meluap layaknya air terjun. Bersamaan dengan itu Nyai Dasimah muda merasakan tubuhnya semaki berat. Mengerti dengan semua yang terjadi, Nyai Dasimah muda membuat sayap dari bola roh. Nyai Dasimahmuda kemudian melakukan gerakan pintar dengan melompat ke belakang sehingga Ad kehilangan tumpuan dan pukulannya jatuh ke tanah.
"Teknik kanuragan apa yang dia punya? bagaimana mungkin dia meningkatkan auranya sebesar itu dengan sangat cepat? sebesar apakah energi yang pria ini miliki di dalam tubuhnya?" Nyai Dasimah mengatakan sesuatu yang dia pikirkan sewaktu pertama kali melihat kekuatan Ad.
Kepulan asap yang diakibatkan oleh pukulan Ad menghilang. Bersama dengan itu Ad nampak santai meregangkan lehernya sembari tersenyum.
"Biasanya seorang tetua adalah orang yang paling kuat." Ad menatap Nyai Dasimah muda sembari melemparkan senyuman yang penuh penghinaan.
"Kau!"
Nyai Dasimah muda mengangkat tangan mempersiapkan pilar penghakiman lalu menukik turun dengan pedang terhunus ke arah Ad. Sambil tersenyum dan bukannya menghindar, Ad menerima tusukan dari pedang Nyai Dasimah. Menyaksikan hal itu Nyai Dasimah muda terkesiap, menatap dengan heran pada Ad.
"Kau, seharusnya kau tahu betapa berbahayanya Pedang Cwalika." 
Nyai Dasimah muda berusaha mendorong pedang masuk lebih dalam ke tubuh Ad. Namun, sepertinya otot pada tubuh Ad menghalangi Nyai Dasimah muda melakukan itu.
"Memangnya kenapa, kalau hanya energi," Ad menyentuh Pedang cwalika. "Kau bisa mengambil sebanyak apa pun kau mau." 
Nyai Dasimah merasakan tengkuknya dipenuhi udara dingin. Saat itu Nyai Dasimah memahami bahwa Ad bukanlah lawan yang mudah. Dengan menggunakan dua bola roh Nyai Dasimah menciptakan gelombang roh yang mendorong Ad menjauhi dirinya.  Nyai Dasimah berusaha terbang menjauh dari Ad sembari terus membuat bola roh. 
"Pilar keempat, ikan roh."
Bola roh Nyai Dasimah berubah menjadi ikan, melesat mendekati tubuh Ad dan mulai menggerogoti energi Ad.
"Sudah kubilang kau bisa mengambil energiku semaumu."
Ikan itu terus memakan energi dari Ad hingga tubuh mereka menggelembung. 
"Orang itu, apa dia memiliki energi yang tak terbatas?"
Ikan-ikan yang berjumlah lima itu meletup dan menimbulkan ledakan energi yang sangat besar. Energi itu melahap Ad dan juga seluruh hutan dan menjadikan semua menjadi rata dengan tanah. 
"Tidak mungkin."Nyai Dasimah membuka mata dan terkejut Ad masih berdiri tanpa luka.
"Mari kita tingkatkan insensitasnya."
Tubuh Ad menggempal hinga ototnya-ototnya nampak keluar. Ad kemudian membuat gestur menembak dengan jempol. Sebuah energi bundar melesat dengan cepat ke arah Nyai Dasimah muda tepat saat Ad melepaskan jempolnya. Nyai Dasimah berteriak, bahu kirinya kini telah berlubang. 
"Lengan kiriku." Nyai Dasimah menyadari lengan kirinya telah mati rasa. "Tidak ada cara lain aku harus menggunakan wujud Cwalika."
Pertarungan berlansung sangat hebat. Lebih dari setengahHutan Mojo rata karena pertarungan mereka. Membawa Ad sebagai pihak yang menang. Ad berdiri menginjak Nyai Dasimah muda yang telah sekarat pada bagian perut.
"Ternyata kau memiliki teknik itu. Teknik terkutuk dan juga teknik dewa itu berada dalam satu tubuh," Nyai Dasimah memuntahkan darah segar pada mulut. "Kenapa ... kenapa orang sepertimu menganggkat tinju untuk seorang seperti Ash Rhok?"
"Aku maafkan kau memanggil nama Tuanku Ash Rokh dengan tidak sopan karena telah menghiburku. Kalian mungkin menganggap beliau adalah raja yang lalim. Tapi ... beliaulah yang menyelamatkanku dari kegelapan. Beliau hanyalah orang yang mengambil apa yang menjadi haknya dan memberikan keadilan yang sama dengan menyatukan seluruh kerajaan di bawah kakinya. Tinjuku selalu bersama dengan kebijaksaanya. Nah, Nyai Dasimah yang terkenal, aku akan menawarimu kesempatan terakhir untuk bergabung dengan kami. Semua suku Atma telah punah, dunia tidak akan mengenal lagi teknik roh. Apa kau lebih memilih seperti itu."
"Petir menggelegar membelah bumi, Hujan turun lembut memberi tahu kekuasan Dewata. Demi delapan mata angin yang dijaga oleh Sang Dewa, aku akan menjatuhkan kutukan terakhir untukmu dengan nyawaku sebagai bayarannya. Suatu saat seorang dari suku Atmalah yang akan menghancurkan semua kesombongan dan mengambil segalanya seperti kau mengambil nyawa dari pemuda, anak-anak, wanita dari suku kami. Aku akan mengikat jiwaku di sini sampai aku menemukan orang itu."
Terdengar petir keras mennggelegar dan jatuh ke arah Nyai Dasimah. Meski berhasil menghindar, Ad berdecak kesal karena petir itu menyambar Nyai Dasimah seolah mengabulkan permintaan dari musuhnya itu. 
***
Gambaran masa lalu Nyai Dasimah terus berputar sampai seorang perempuan menyentuh pundaknya.
"Kau!"
Nyai Dasimah sangat mengenal sosok bermata kosong yang menepuk pudaknya. Itu adalah perempuan yang saat ini menjadi wadah Nyai Dasimah.
"Nyai, kau bisa melewati ini, Ini tidak lebih dari gambaran dari kekhawatiran dan penyesalanmu saja."
"Bagaimana kau bisa muncul di tempat ini?"
"Apa kau tidak ingat bahwa kita berbagi tubuh."
Nyai Dasimah melihat seluruh ingatan menyakitkan anak itu.
"Kau ... kau juga sama seperti diriku."
"Tidak, aku telah menerima semua yang terjadi dan menyadari itu adalah jalan yang dipilhkan Sang Pencipta untukku. Sementara kau masih terus mengukir peristiwa ini dalam hatimu. Ingatlah kau masih memiliki seseorang bernama Ananta. Bukankah kau mengikuti turnament ini karena ingin mengajarinya seni enam pilar roh?"
Nyai Dasimah mengingat kembali saat-saat dengan Ananta. Pemuda pengecut itu telah membuktikan kebesaran hati dengan membela apa yang benar meski dirinya cuma pemuda lemah. 
"Benar, bocah keriting itu telah mengajariku banyak hal. Saat dia berusaha bertarunga tanpa bantuanku untuk mengesankan perempuan yang dia cinta. Saat dia meminta diriku menggunakan kekuatan penuh ketika akademinya diserang orang jahat."
Mata Nyai Dasimah dipenuhi keyakinan. Semua gambaran yang dia lihat kini menghilang. Nyai Dasimah kembali ke labirin dan menemukan sebuah lubang untuk melarikan diri di langit-langit labirin.
"Seperti itu rupanya. Jika aku menerima masa laluku, aku akan menemukan jalan dengan mudah."
Nyai Dasimah membuat sayap, bermaksud untuk terbang. Namun, dia tiba-tiba berhenti. 
"Tidak, aku tidak bisa meninggalkan pria itu. Bukan itulah cara dari seorang pendekar. Membalas budi dan menepati janji adalah sebuah prinsip yang harus diambil pendekar."
Nyai Dasimah akhirnya memutuskan untuk terbang mencari Tora Kyuin daripada pergi sendiri. Setelah beliling menyusuri lubang yang hancur, dia menemukan Tora masih melakukan lari maraton menghindari Astaroth dengan mobilnya. 
"Hei, aku tahu caranya keluar dari tempat ini." Nyai Dasimah duduk di kursi belakang mobil.
"Kau, aku pikir kau sudah dilahap iblis itu."
"Dengarkan aku, kau harus menerima masa lalumu untuk dapat keluar dari tempat ini."
"Cuma itu?"
Tora menghentikan mobilnya dan bersandar dengan santai.
"Woi, monster itu akan memangsa kita jika kau berhenti."
Nyai medesis dan terbang untuk mengalihkan perhatian Astaroth. Saat itulah dinding tulang terbuka dan menampakkan jalan keluar tepat di hadapan Tora. Nampaknya Astaroth melihat hal itu dan segera berdiri di depan pintu sembari tersenyum simpul. 
"Gawat jalan keluar untukku tertutup." gumam Tora.
"Hei, aku memliki rencana." Nyai Dasimah mengambil tempat duduk di sebelah Tora.
Tora tersenyum, dia memacu mobil dengan kecepatan tinggi ke arah Astaroth. Nyai Dasimah sendiri terbang, dua bola roh di belakang tubuhnya menhilang.
"Pilar kedua, gelombang roh kekuatan penuh."
Dengan sisa tenaganya Nyai Dasimah membuat gelombang lurus ke arah leher Astaroth. Hal itu menyebabkan Astarth jatuh dan mendongkrakkan tangan ke atas. Nyai Dasimah sendiri jatuh karena kehabisan energi. Saat itulah Tora yang sudah berada di pergelangan tangan Astaroth terlempar–saat Astaroth terjungkal ke belakang secara reflek Astaroth mengangakat tangan panjang nya yang menempel di tanah–terbang meraih Nyai Dasimah di kursi belakang dan keluar dari labirin melalui jalan yang berada di langit-langit labirin.
"Aku tidak mau lagi menaiki benda besi ini."
"T–tunggu jangan lakukan itu lagi di dashboardku."
Nyai Dasimah memuntahkan sisa makanan yang ada di lambungnya.

Komentar

  1. Eksekusi Nyai disini terutama flashbacknya setidaknya menjelaskan kenapa Nyai selalu meracau bahasa2 aneh. Menerima dosa2 termasuk aspek menariknya sih. Tapi entah kenapa Entri ini saya lihat Nyai mencoba "bermain" aman.

    7/10 dari Tora Kyuin

    BalasHapus

Posting Komentar