[Ronde 4] Worca Shiwite - Ray Orange County

By: Ten Percent Roll
[1]

Sesi pemanggilan peserta pasang per pasang berjeda 20 menit di dalam restoran.

Pilar teleportasi — yang selalu kontestan jumpai — diletakkan di tengah meja makan yang disusun sirkular. Lampu menyala redup. Lilin berlapik tengkorak — entah asli atau tidak — manusia bersanding dengan piring makan peserta, tak lupa lukisan-lukisan surealis menghiasi tembok.

Suasana kelam tersebut juga didukung ekspresi kelam pegawai Hadhyatha yang ditugasi menyebut siapa lawan siapa. Aura suram menguar darinya. Sedikit menunduk, tatapan kosong, dan bibir keringnya bergerak hemat-hemat.

Sebagian takut, sebagian tidak — merasa ini semua hanya sandiwara jelek untuk menakut-nakuti.

"Worca Shiwite. Lawan, Riven."

Keduanya langsung beradu tatap. Mulut dan alis Riven lurus, hanya saja, sorot matanya menusuk. Itu bisa berarti apa saja. Worca menenggak ludah, membayangkan energi ekstra yang bakal terkuras misal anak itu benar-benar mau tanding ulang lebih serius.

Belum lagi, Worca tahu betul apa akibatnya bila terkena senjata andalan anak itu — belati psikis.

Keduanya beranjak dari kursi, mendekati pilar teleportasi. Menunggu aba-aba panitia, Worca yang sedari tadi melengos, coba-coba mengerling. Riven tengah menatapnya lamat-lamat. Mendapati Worca melihatnya, ia berlisan, "Siap menjelajah alam bawah sadar sekali lagi?"

Worca mendengus. "Aku bakal menghindar."

"Kujamin 100%, kakak akan tidur lagi," ujar Riven. Nadanya rendah tapi kuat, meski tanpa penekanan sedikitpun.

"Dan kujamin 100%, bila itu keinginanmu, akan kuhindari."

Menyentuh portal teleportasi, Worca dan Riven hilang dari restoran, berpindah ke labirin Andarabhula di Nanthara. Mencekam. Bukan cuma didingnya yang tersusun dari tulang-belulang, tanah juga merah gelap. Seakan disiram darah tiap hari. Aroma amis bercampur busuk mengaduk-aduk isi perut, sepertinya ada orang sinting yang menanam bangkai beberapa milimeter dari permukaan tanah. Bahana mistis yang lembut — namun mengusik akal — mengalun, menggelitik. Suhu? Cukup untuk membuat nyamuk enggan bermukim di sini. Dan, tiada satupun yang memancing rasa takut Worca.

Bahkan dia, Astaroth. Adipati agung neraka pada hierarki pertama, bagian dari trinitas kejahatan bersama Beelzebub dan Lucifer. Berwujud manusia kurus kering, bertanduk kambing, mengendarai naga kecil bersisik hitam, bermahkota, dan tangan kirinya dililit ular.

Memerhatikan kedua kontestan di hadapan, Astaroth menyunggingkan senyum menggiriskan.

"Selamat datang," desis Astaroth. "Aku tunggu di dalam," terusnya, sebelum terbang kembali ke dalam labirin.

"Panitia bikin propertinya niat juga ya," batin Worca. "Kan, Riven?"

Yang ditanyai diam membisu. Tangan dan kakinya gemetar seakan mau lepas, matanya bergetar-getar. Worca menepuk pundaknya kuat, membuat si ninja menegak terperanjat.

"Kau tak apa?"

Riven menggeleng. Tau-tau, ia melejit, masuk jalur kiri. Worca, kebingungan, menyusul.

[2]

Riven, berlari jauh di depan Worca. Sebagai ninja, segala jenis gerakan dan keterampilan fisik, ia mengungguli si gadis mutan. Terbesit kekesalan, ingat di ronde dua ia gagal meraih kemenangan melawan cewek payah itu gara-gara bertindak lunak. Tiap pengalaman tersebut mampir di benak, tanpa sadar lari Riven kian cepat.

Peta hologram hadiah gacha ronde satu jadi buram. Kalibrasi wilayah dan sistem pemetaannya galat. Apa yang tampak hanya berderet angka program yang bahkan tak utuh.

"Benar-benar tidak bisa curang," Gumam Worca, menyimpan benda yang menurutnya tak berguna lagi.

Sementara Riven, tiba-tiba mematung. Ia menyaksikan khayali berlimpah yang, mengerikan. Dosa-dosa masa lalunya tercuplik begitu riil.

Worca yang tidak ikut tau apa yang ada di memori Riven, terkikik heran. Bocah cilik itu bergerak-gerak sendiri seakan ada hantu yang menuntun gerak-geriknya. Lima menit usai, dan si bocah menitikkan air mata bahagia. Cengar-cengir mirip anak SD yang lega selesai pipis.

"Kenapa kelihatan seperti punya menantu molek?" Tanya Worca dengan peribahasa konyol lain.

"Resolusi dosa-dosaku terketemukan!" Teriak Riven girang. 

"Semua?"

"Tinggal satu. Lagian aku masih kecil begini memang bikin dosa apa, 'sih?" Tutur Riven, mengedipkan sebelah mata. Worca mendecih.

"Ngomong-ngomong, kenapa tidak ada ilusi untukku ya?" Worca berujar, menoleh ke sana kemari, menunggu ada lelembut yang ambil wujud orang-orang yang ada di masa lalunya.

"Yang penting untuk lolos dari labirin ini, harus menggali lubang dosa dan menutupnya, kan?" Tanya Worca, melirik belati Riven. Yang dilirik mundur teratur, memasang muka tak nyaman. "Aku enggan membantu. Kau kira aku lupa 21 hari lalu?"

Worca ingat. Saat keduanya turun dari lantai 88 Menara Bebal ke 50-an, untuk mengambil senjata mereka yang jatuh. Worca tidak sengaja menendang belati psikis Riven saat berjalan, membuatnya jatuh bebas ke lantai bawah. Bersembunyi di puing-puing dan barang yang berserakan.

"Bukannya staf datang untuk bantu mencari? Ketemu juga kan?" Tanya Worca.

"Ya. Aku sangat berterima kasih pada mereka," balas Riven.

"Pegawai Hadhyatha memang terbaik."

"Kamu kan Gwenevere."

"Betul."

"Dan aku NGSR."

"Oke. Tapi apa masalahnya memuji orang lain?"

"Hmm, tidak apa-apa, ya."

"Betul."

"Aku jadi penasaran," sela Riven. "Kayaknya iblis yang tadi itu cuma buatan, tapi kata panitia, sungguhan?"

"Betul."

"Kamu sudah bilang betul tiga kali. 'Betul betul betul', begitu."

"Betul."

"Oke sip. Aku undur diri dulu."

Riven lari pergi.

"Tunggu," Worca menahan bahunya. "Aku ada rencana, dengar entah kamu setuju atau tidak. Tak melakukan apapun sama saja menahan anak badak, jadi tolong…"

"Tidak."

Meski ditolak secara instan, Worca ngotot mendongengkan idenya. Makan waktu dua menit. Riven sampai memandang pergelangan tangannya, walau tidak punya jam tangan. 

"Tidak," Riven mengiterasi responnya.

"…betul. Tidak betul kamu sudah menolaknya. Ini satu-satunya cara," bujuk Worca.

"Kamu memang beban. Akan aku report kamu."

"Dih."

Melongok dari setumpuk tulang-belulang menjulang, sosok Astaroth tampak. Terbang. Seringainya menunjukkan waktu bermain-main usai. Perburuan bermula.

"Kita di ujung tanduk, Ven," ujar Worca. "Tolong, turuti permintaanku. Mau dilahap dia?"

Si ninja menggeleng. Tapi, benar, iblis penjaga labirin —Astaroth, kian dekat. Napasnya yang berat dan mengintimidasi bergemuruh. Firasat akan bertemu ajal menggelitik jahil.

"Se-sepertinya dia," Riven mundur teratur, arkian, tunggang langgang. "Iblis betulan!!"

Naga Astaroth mendarat, menghentak tanah sampai bergetar. Worca dan Riven tersungkur. Astaroth menyulut bola api di ujung cakarnya, yang kemudian memanjang, melebar, memipih, dan meruncing. Menjadi tombak merah menyala.

Worca mencabut Mana Boomstick, membombardir Astaroth dengan bola mana. Hasilnya nihil, peluru-peluru energi itu jadi mentah kala berkontak dengan kulit sang iblis. Riven turut mencoba, melempar shuriken. Tanpa ada niat mengelak, Astaroth membiarkan senjata itu mengenai dadanya. Tidak menancap, jatuh begitu saja ke tanah.

Astaroth mengayunkan tombak, mengirimkan gelombang api yang amat panas. Worca dan Riven loncat menyimpang, nyaris jadi barbekyu.

Keduanya lari lagi. Terbirit-birit, kadangkala melompat atau berguling demi menghindari tusukan plus gelombang api dari tombak itu.

Dan, belokan yang terakhir kali keduanya pilih, buntu. Kikik setan melengking. Bayangan Astaroth memenuhi tanah.

"Memang tak ada opsi lain, ya," Riven menghela napas.

Worca duduk. Riven mengikuti. Tanpa aba-aba, Worca tidur di pangkuan Riven. Si ninja cilik gemetar, walau ia cepat-cepat menggeleng, membuang pikiran yang tak perlu.

Belati psikis dihunusnya. Diperhatikannya sejenak pendar ungu menakjubkan itu. Lantas, Riven membelai rambut biru-putih Worca. Menyampirkannya ke belakang telinga.

"Mencerminkan mana realita dan ilusi," bisik Riven. Sebelum, membenamkan belati psikis ke kepala Worca. Terlelap, si gadis mutan menangkap [Gasing Kesadaran] di depan hidung. Memutarnya.

[3]

Penjara Mutan. Dibangun di pulau berkabut di tengah laut berombak tinggi, Sambemorste. Dibangun secara diam-diam oleh pemerintah dari delapan tahun silam. Baru setahun kemarin memiliki narapidana di dalamnya.

Penegakan hukum sepihak diberlakukan. Berlebihan. Berlaku salah sedikit saja, para mutan bisa langsung ditangkap dan diekspos di berbagai media. Bila manusia berbuat salah, sebisanya ditutupi, agar kelihatannya para mutanlah kambing hitamnya.

Manusia lambat laun termakan tipuan para petinggi. Kaum mutan mulai dipandang sebelah mata, mendapat diskriminasi, atau ditakuti.

Akhirnya, operasi penangkapan mutan disetujui. Seluruh mutan yang ada akan dipenjara meski tak berbuat apapun.

Beberapa tahun setelahnya, seorang ibu manusia melahirkan bayi mutan. Suaminya pun manusia. Darah mutan pada anak itu adalah dari sang kakek.

Sejak kecil, anak itu diajari agar mengaku seorang manusia. Menyembunyikan ciri dan kelebihan-kelebihan mutan yang ada pada dirinya. Hingga, suatu saat nanti, masa di mana mereka kembali merdeka.

Sembilan belas tahun terlewat, anak itu kini sudah besar. Sayangnya, kekeliruan terjadi. Berkat suatu kesalahan, identitasnya sebagai mutan terungkap.

Tanpa babibu, urusan ini itu ditunaikan. Berangkatlah gadis itu menuju penjara mutan. Meninggalkan kedua orang tuanya yang menangis hebat di belakang.

[4]

[Gasing kesadaran] berputar lambat. Alih-alih menyelam serta merta ke alam bawah sadar, putaran pelan membuat Worca setengah sadar tapi juga setengah tidak. Ilusi bersanding dengan realita dalam waktu senada.

Dia terhenyak. Apa barusan itu dosa? Ia bukannya mengingkari kepercayaan orang tuanya. Semuanya karena kecelakaan.

Sementara, tanah merah darah beralterasi jadi laut. Bergejolak. Riaknya memercik riuh, buihnya menggelembung. Sekoci kayu di atasnya terhuyung diombang-ambingkan arus.

Pengendaranya — Worca — gigih, mengabaikan tiga sipir yang menyusul dengan Onsoku Merry-Go-Round; transportasi air polisi Jip-Opu yang berbentuk cincin mengapung.

"Ini kan saat itu," batin Worca di masa kini, berstatus sebagai [holo], berdiri di atas laut. Tidak visibel bagi semua entitas dalam ilusinya.

Worca berbangga, dirinya setahun lalu masih ada di puncak keberanian remaja. Kemungkinan tenggelam jelas besar. Tapi, Worca tau ia gemar berendam.

"Percuma menenggelamkan iblis jika ia tau cara berenang."

Si gadis mutan —ilusi— merengkuh dayung kuat-kuat. Otot lengannya sakit luar biasa, ia tak acuh.

Sayangnya, dayung kanan terputus berkat tajamnya harpun yang dilontarkan para sipir, tenggelam. Menyisakan stik 15 cm yang kalau dilempar ke anjing saja takkan dikejar.

Laju sampan melambat, ia cuma punya satu dayung sekarang. Menoleh ke belakang, tiga Onsoku Merry-Go-Round malah banting haluan, menjauhinya.

Kembali pada inderanya, bahana mengkhawatirkan mengusik kuping. Menoleh, ombak selaba yang tingginya setara rumah dua tingkat menyapa.

Pada momen itu, Worca —ilusi— tau, ia dalam bahaya.

[5]

Melempar pandangan ke langit, Worca —masa kini— takjub. Ilusi Riven sempurna. Satelit-satelit Fern — satu satunya planet dengan biotik di Jip-Opu — bercokol di cakrawala malam, kerjasama menerangi apapun yang ada di bawahnya. Seperti, laut pasang berombak ganas. Hal indah terakhir yang ia saksikan sebelum memperoleh hukuman akibat mencoba kabur.

[Gasing kesadaran] ia putar sekencang mungkin. Dinding tulang-belulang merah lenyap. Worca sepenuhnya menyelam memori, terlelap, eksis di rekaan Jip-Opu dalam otak.

Worca —masa kini— berteleportasi ke penjara mutan.

Tau-tau, badai kecil tiba. Mega hijau tua berarak tutupi langit, menumpahkan rintik yang kelamaan lebat. Petir menyambar-nyambar, gemuruhnya lantang.

Bila tanpa simfoni alam tersebut, mungkin jerit pilu Worca —ilusi— terdengar seantero penjara. Ia tidur tengkurap di tanah basah. Batu-batu kecil menusuk. Raganya menggigil, sudah tenggelam tadi, sekarang diguyur hujan.

Borgol oranye mengekang kaki dan tangannya. Berpendar setiap kali mana mengalir melampaui batas normal, menekannya turun. Prevensi agar para mutan yang menempuh pendidikan sihir di Teresophyon — akademi sihir Jip-Opu — tak sanggup macam-macam.

Belum lengkap, seorang sipir berbusana gotik dan bercemeti memecutnya. Garis merah terlukis di punggung Worca, banyak dan rapat. Jari-jari kaki mengais lemah, tubuh menggelinjang nyeri. Air mata sedikit-sedikit menetes, meski tak kentara berkat pipi kecipratan lumpur.

Worca —masa kini— termangu. Menilik pengalaman pahitnya yang satu itu.

"Ingin bermain curang sekalian menambah masa tahanan?" Tak menunggu jawaban, pecut kembali dihantamkan si sipir. Seruan siksa lolos lagi.

"Aku tahu kalau kami di sini sampai mati, Elle Negrad. Menambah masa tahanan apanya?"

Si sipir — Negrad, tetap pada wajah datarnya. Irisnya yang berkelir persis aurum tampak redup, tanpa secercah pun emosi terpancar. "Kisahkan rancangan pelarianmu, nona Shiwite, aku penasaran," katanya.

Saat jam makan malam tiba, Worca mengendap-endap di bawah meja. Trik dungu, namun bila berhasil, sebutannya berubah jadi trik klasik. Kepadatan para penginap tahunan hotel prodeo sukses membuat para penjaga teralihkan. Dan, begitu dekat dengan pintu, ia mendobraknya kuat-kuat, lari meninggalkan para portir yang masih menganga dan bergoyang patah-patah — terlihat seperti itu — akibat kebingungan.

Lompat jendela, ia merapatkan diri ke dinding, lalu, melempar baju cadangan salah seorang sipir ke tengah laut, mengagetkan sipir yang jaga malam, memaksanya dengan panik mengeluarkan sekoci guna menjemput pakaiannya seminggu depan nanti.

Worca —masa kini— terkikik. Walau ia sadar, mungkin itu termasuk dosa telah menjahili sipir malang itu. Resolusinya? Tidak mengulangi.

Menggunakan keping segitiga berlapis mana, ia menuntunnya agar memotong dinding bata yang menghalangi secara sirkular. Lubang tercipta.

Meloloskan diri dari sana, ia berenang menjemput si sipir, menggulingkan orang itu dari sekoci, menyabotasenya.

"Cukup baik. Terima kasih masukannya, terungku ini akan berbenah," ujar Negrad. "Pertahanan bakal menguat, supaya tahanan bandel sepertimu tidak ada lagi."

Arkian, Negrad membuang cemetinya ke tanah, memanggil beberapa portir. "Masukkan mutan ini ke penjara seluler," titahnya.

[6]

Penjara seluler, di mana narapidana ditempatkan pada sel tersendiri. Pengawasan khusus. Perlakuan khusus.

Empat hari pertama, hidangan untuknya 'spesial', beda dari kemarin-kemarin. Tiga kali makan, tiga kali muntah. Hari kelima, ia berpuasa. Beranggapan bahwa menahan lapar lebih baik ketimbang mengonsumsi sampah itu. Hanya bertahan dua hari. Perutnya sakit, terasa seperti dipukul atau ditusuk-tusuk. Makanan menjijikkan yang diberikan serta merta ia lahap penuh selera. Kali ini berbeda, ia tidak muntah.

Worca masa kini menganggap hal tersebut juga dosanya. Tak bersyukur atas apa yang dimiliki. Walau makanan tadi seperti sampah, bisa dibilang, Tuhan masih memberinya kesempatan untuk makan. Dan hingga kini, ia masih sulit bersyukur. Ia menatap peta hologram di saku. "Kamu masih berguna," tuturnya. Kelihatannya, dosa kedua ketemu resolusinya.

"Rasanya masalahmu cuma pencernaan, ya, kak?"

Suara bocah laki-laki dari sel sebelah.

"Bisa dibilang begitu. Semua barang di kamar sempit ini sudah kusulap jadi mainan. Jadi tak bosan, deh," balas Worca. Nada bicaranya serupa nenek sihir di operet putri salju, sinting.

"Kelihatannya akalmu juga sudah tak jalan ya, whore-ca."

Worca masih asyik bersenda gurau dengan bantal bersketsa wajah di pelukannya. Mengabaikan bocah kecil tadi. 

"Padahal aku ke sini cuma supaya sel kita sebelahan, tapi kenapa diabaikan? Fuck."

Worca — masa kini — keheranan. Pasalnya, di samping sel selulernya dulu, ia tak ingat ada bocah berambut putih-pink itu.

[7]

[Gasing kesadaran] memelan. Bayangan masa lalu bertukar menjadi realita, labirin amis menyambut rampus. Worca, sedari tadi tidur, mendapati Riven menggendongnya selama ini. Plus, dalam situasi abrit-abritan menghindari cengkeraman Astaroth.

"Ya ampun, terima kasih, ya!" Seru Worca, menjura secara refleks. Abai, Riven melempar bom asap, membuat Astaroth celingukan sesaat.

"Kakak sinting, jangan keras-keras! Kita bisa tertangkap!" Pekik Riven parau, napasnya habis.

"Kamu sendiri berteriak," tunjuk Worca. "Oke, aku minta maaf lagi, serius kali ini. Maaf banyak ambil ubi tapi belum bisa kasih talas."

"Ugh, bisa tidak bicaranya singkat seperti tadi?" Riven ambil napas, mengembuskannya keluar. Lanjut kabur setelahnya.

Asap lenyap, Astaroth tersenyum keji, perlawanan calong mangsanya ini lumayan. Sang iblis menggunakan kuasanya, posisi tembok labirin bergeser, meninggalkan bentuk aslinya.

"Kiri, Ven!" Seru Worca, melihat jalur lurus di hadapan berubah berkelok. Jarak mereka sudah terlanjur dekat.

Riven melangkah panjang-panjang. Lompat, menerjang tembok itu. Dorongan kuat ia kirim, menghentak, melesat ke kiri. Mendarat di tanah, keduanya terperosok. Berguling sekian meter. Selagi tombak api Astaroth menelusuk tanah tempat mereka berpijak sepersekian detik lalu.

"Kamu tak apa?" Pertanyaan tidak penting, tapi tetap keluar saja dari Worca. Digendongnya Riven, lanjut lari.

"Huh, akhirnya istirahat juga," batin Riven. Bergantian lari, salah satu perjanjian dalam rencana mereka. "Bagaimana? Kurang berapa dosamu yang belum ada putusan bulatnya?" Tanya Riven.

"Setidaknya aku jadi ingat seseorang bernama Negrad. Makin semangat saja keluar dari sini!" Jawab Worca, masih abrit-abritan.

Tiga menit terlewat. Jalan keluar belum tampak. Selagi, langkah naga Astaroth membahana, sedia menerkam kalau keduanya masih diam.

"Cukup rehatnya? Mohon bantuannya," tutur Worca, memelintir [Gasing Kesadaran], terlelap.

"E-eh, tung-" Riven mencoba menggugah Worca. Tapi gadis itu sudah ngorok. "Persetan," Umpat Riven. Pingkal menggiriskan Astaroth pun terasa mendekat.

Riven mendecap-decap. Menggendong Worca, lari lagi. Hanya saja, ada yang aneh. Suatu objek berkilau keluar dari aliran mental Worca. Jingga, berkilau. Sebuah kunci.

Mengernyitkan alis, Riven mencoba menariknya. Tanpa sandar, membuka gerendel memori yang belum pernah ia lihat.

[8]

Gering menyerang otak. Persis 21 hari lalu, juga, setahun lalu. Worca merapatkan gigi, menggigil. Tangannya kuat-kuat mencengkeram kepala sendiri.

Rotasi per menit [Gasing kesadaran] mencapai kulminasi. Berdesing bising. Kalau level terendah alam bawah sadar itu ada, di sanalah minda Worca berpusat sekarang.

Ketimbang gelap total atau putih kosong, kelir kulit jeruk memenuhi. Mengambang, rasanya seperti tenggelam di laut jus jeruk.

Tau-tau, ikan pari polkadot kolosal menghampiri. Di tiap bintiknya, bagai televisi mini, video kilas balik berjalan.

Salah satunya, menunjukkan sosoknya waktu kecil. Tersenyum selebar pipi. Memeluk seorang anak kecil.

Adiknya.

[9]

Elle Negrad yang baru saja keluar dari kamar mandi, mendapati pemandangan bancuh. Penjara kacau balau. Air menetes di sana-sini, benda-benda terbakar dan berserakan, dinding retak. Sementara, di tengah ruangan, tepat di bawah lampu, gadis berambut putih-biru, berdarah-darah. Mencekik pingsan seorang sipir. Membuatnya terbujur rengsa menyusul kawan-kawannya. "Pingsan saja kok."

Elle Negrad membanting Worca ke lantai. 
"Semua butuh prolog," ujar Worca. Meludahkan darah. "Yang kemarin cuma percobaan awal, hehe."

Negrad, berwajah datar, memandang lamat-lamat tahanan- bukan, iblis di depannya ini. Sengat panas menggelitik belakang matanya.

"Marah? Aku dipenjara meski belum pernah melakukan kejahatan apapun. Supaya sah, aku bikin kacau saja. Impas kan?"

Negrad menendang Worca lima tiga kali di abdomen. Menarik kerahnya, pukulan dibenamkan di pipi kanannya. Worca jatuh.

Si gadis mutan bangkit, gemetaran, lari menjauh. Negrad mengejarnya. Berhenti di depan sebuah sel, Worca berbalik, menjegal Negrad. Wanita bermata emas itu terjungkal, wajahnya menubruk jeruji.

Menahan ngilu, Negrad mencoba kembali ke gestur bertarung. Sayangnya, dari dalam sel tangan menyeruak. Tahanan mutan lain. Kerah si sipir ditarik, lantas dagunya dapat kado bogem mentah. Belum cukup, Worca mendorong Negrad ke sel sebelah. Kaki menyeruak dari sana, menendang perut Negrad telak.

Worca menyikut punggung Negrad. Menahan kerahnya, ia dibanting ke sel lain lagi. Dari sana, seorang tahanan meludahkan tutup pasta gigi. Mata kiri Negrad kena. Ia menjerit. Gantian, kini Worca yang membantingnya ke tanah.

"Itu saja kemampuanmu?" Ejek Negrad.

Bangkit dengan jungkir balik, Worca terhempas kena tendang. Akhirnya, si sipir menunjukkan sihirnya — menciptakan apapun dari mana oranye.

Stik jingga besar dimunculkannya dari ketiadaan. Ujungnya menghantam ulu hati Worca, melibas bahunya, dan menyabet betisnya.

Menahan sakit seraya menerus mundur, serangan Negrad terus mendesaknya. Tiba-tiba, stik tadi berubah jadi pecut. Berguling gesit, ia berjongkok di belakang Worca, mencemeti punggungnya. Lenguh pedih lolos dari mulut sang target.

"Lukanya belum kering, kan?!" Negrad mengiterasi pecutannya.

Baju tahanan Worca di bagian punggung memerah, lembab dan lengket. Setitik air mengalir di pipi.

Tau-tau, sorakan tak bersahabat memenuhi prodeo. Para narapidana mutan. Kesemuanya meneriakkan cercaan dan umpatan yang ditujukan kepada Negrad. Bahkan, pada kaum manusia secara keseluruhan.

"Berisik, sampah!" Negrad menutup kuping.

Tak tinggal diam, Worca loncat. Menubruk Negrad hingga terpleset. Bergedebum rendah. Worca telah menarik tangan, siap melepas pukulan terbaiknya.

Sayangnya, Negrad memberangusnya dengan belenggu mana jingga sekujur tubuh. Worca membeku. Pelan, kekangannya kian ketat. Meremas sekujur badan Worca.

"Lepaskan kakak!"

Tau-tau, seorang bocah berambut putih-pink, berlari. Wajahnya merah padam, matanya berair.

"Jangan!" Jerit Worca.

"Kamu mau impas, kan?" Tanya Negrad. Berlari meninggalkan Worca. Semuanya berlalu begitu saja. Menyerukan apapun rasanya terlambat. Bocah itu sudah dekat sekali dengan Negrad — yang serta merta menciptakan gunting oranye masif. Memotong si bocah secara di pinggang menjadi dua.

"Piwi!!!"

Lautan bangun datar memenuhi penjara. Seperti hutan lebat. Berwarna-warni, namun semuanya gelap. Negrad terperangah, berputar, tak ada celah sedikitpun. Berputar, kepingan-kepingan dua dimensi yang ada mulai melesat satu per satu ke arah Negrad. Menyelubungi sosoknya.

Tanpa pikir panjang, Worca melapisi semuanya dengan mana. Dan membuat tornado. Negrad menjerit sejadi-jadinya, badannya tercabik sedemikian rupa.

Worca —masa kini— terduduk lemas. Ia tak sedikitpun ingat mengenai semua hal ini, sampai semenit tadi. Air matanya tumpah. "P-Piwi…"

Apakah ini juga dosa? Berlaku tak baik pada orang yang tak baik pada kita? Bisa ya, bisa tidak. Namun, dia yang di sana maupun dirinya sekarang punya perasaan.  Membunuh bukan solusi. Ia pun menghentikan tornado bangun datar tadi, meninggalkan Negrad tersungkur dalam badan yang seperempat cerai berai.

Dan sebelum menghembuskan napas terakhir, Negrad melesatkan kunci oranye. Menyisip di telinga Worca — ilusi —, membuatnya terduduk lemah seketika. Dan saat itulah, kedua prajurit Amazon dari Gwenevere menjemputnya.

"Tolong bilang kalau kalian yang melakukannya," tutur Worca, tidur.

[Gasing kesadaran] berhenti berputar.

[10]

Worca bangun. Dibopong, dirinya ingin bercerita banyak pada Riven. Namun, tampaknya kondisi mereka sedang tak baik.

"Sudah tidurnya?"

Riven, berdarah-darah dan lelah, bebar kepayahan. Sementara jarak keduanya dengan Astaroth hanya 0.4 meter. 

Tombak apinya ia hunus. "Sana," ujar Riven rendah.

Dan tusukkan. Pada Riven.

Kaki kirinya putus. Kaki kanannya menyusul. Tangan kirinya copot. Tangan kanannya juga. Syok, si ninja pingsan.

Astaroth, tergelak membahana. Tombak apinya yang berdarah-darah ia buang ke sisi, lantas menunjuk Worca.

"Sepertinya ada yang sudah menemukan resolusi dari dosa-dosanya."

Worca tersenyum, "Aku takkan stay di sini."

Worca merebut tas perlengkapan Riven, mengambil bom cahaya, dan melemparnya.

[11]

Riven terbangun.

"Sudah tidurnya?"

Suara Worca. Ia mencoba duduk dan menggaruk kepalanya. Aneh. Kenapa jemarinya keras dan dingin?

Besi. Kedua tangannya kini bionik. Kakinya juga. Suara mesin keluar tiap Riven menggerakkan sendi.

"Halo!"

Riven terperanjat. Iblis merah menyapa. "Ne-neraka?!"

"Duh, maaf ya, dia kurang sopan," ucap Worca, membungkuk.

"Santai, nona," balas sang Hvyt mekanik, mulai merapikan perkakas-perkakasnya.

Menunjukan air muka bingung, tampaknya ada ratusan pertanyaan yang membebat otak Riven.

"Ini area pertokoan kaum Hvyt," tutur Worca. "Tenang, aku yang bayar," terusnya, menunjukkan pelindung dagu canggih dan rompi hijau andalannya sudah pindah kepemilikan ke si mekanik.

Riven kehilangan kata-kata. Tak tau harus marah besar dan melayangkan protes, berterimakasih, atau tidak keduanya. Bibirnya membuka, tak lekas melempar ucapan apapun.

"Mahkluk sibernetik, itu bulan yang mau kamu gapai kan?" Ujar Worca, menuntun Riven berdiri. Si ninja mulai merasai anggota gerak barunya. Atau sementara, mengingat pulang nanti ia bisa minta panitia menumbuhkan kaki dan tangannya.

"Anggap ini percobaan gratis. Nanti tetap mau jadi cyborg atau tidak, terserah kamu," lanjutnya. "Sana coba di luar!"

Riven, tiba-tiba senang. Keluar dari rumah si Hvyt mekanik, lompat ke sana-kemari.

"Kalian kakak adik?" Tanya si mekanik, mendekati Worca. Tangannya menengadah.

"Mungkin?" Ujar Worca, meletakkan peta hologram dan Mana Boomstick di tangan Hvyt tersebut. "Terima kasih atas bisnis lancarnya, pak," terus Worca, pamit.

[12]

Dosa lampau Worca dan Riven, menemui resolusi. Sebagai hadiah, Astaroth memberi mereka waktu ekstra sepuluh menit untuk keluar dari labirin Andarabhula sebelum ia menyuruh naganya mengejar lagi.

Kedua kontestan sekarang berdiri menghadap tembok tulang, mirip orang yang mau kencing sembarangan.

"Kamu mau coba langsung, kan?" Tanya Worca. Riven mengangguk, cengar-cengir.

"Paman mekanik pasti kecewa, hehe," gumam si gadis mutan.

Worca dan Riven ambil kuda-kuda. Menghitung mundur. "Dua...satu. In!"

Ribuan segitiga oranye tercipta. Menarik atensi para Hvyt di pemukiman. Sekejap, bangun datar itu membentuk kerucut. Bor raksasa.

"Mana dressing!" Teriak Worca, pertama kalinya mengucapkan nama jurusnya keras-keras seperti tokoh animu.

Sambil berlari maju, tembok-tembok labirin hancur begitu saja. Melihat hal ini, Astaroth melongo. Menyesal memberi waktu 10 menit, sementara bocah-bocah biadab itu habis ini sukses lolos.

Riven berlari mundur, menyaksikan ratusan Hvyt yang berduyun-duyun mengejar. "Rasanya lebih mudah begini!" Seru Riven.

Ia mengarahkan telapak bioniknya ke rombongan setan. Bukan laser yang keluar, tetapi rentetan shuriken. Berurutan, Hvyt di garis terdepan tumbang.

"Akurasinya pun hebat!" Seru Riven girang. Worca tersenyum melihat antusiasme si ninja cilik itu.

"Sampai," kata Worca, akhirnya menemui finis. Menuju pilar teleportasi, sungai besar memisahkan.

Android NGSR di atas speedboat telah melambaikan tangan cepat-cepat, minta keduanya untuk segera naik. Mengingat Hvyt yang tersisa jumlahnya tetap mengkhawatirkan.

"Ayo lomba, Worca!" Tantang Riven. Worca mengangguk.

Mengabaikan si android, keduanya lompat ke sungai. Berenang melintas.

"Mari kita lihat seberapa hebat anggota gerak bionik di air- Ah, aku hanyuuut!! Tolooooong!!!"

Riven dikalahkan arus sungai. Kelihatannya masih ada modifikasi yang perlu ditambahkan.

"Merepotkan," ujar si android dengan nada robotiknya, menyusul si ninja. Sementara Worca, masih fokus berenang. Tak sadar musuhnya sudah keluar lintasan.

[13]
[Jip-Opu, Planet Fern, Penjara mutan, 40 hari lalu]

Elle Negrad rupanya masih diberi kesempatan hidup. Saat bangun, luka-lukanya masih segar. Prodeo mutan telah kedatangan bantuan dari pusat, penjagaan diperketat. Semua tahanan dikondisikan.

Sayangnya, tidak satupun membantunya. Atau bahkan, menganggap keberadaannya. "Hei, kalian buta?!" Seru Negrad. Tak satupun menoleh.

"Di mata mereka, anda adalah mayat," suara robotik parau masuk ke telinganya.

"Siapa?"

Menoleh ke samping, bola boling biru berpendar redup. Menggelinding ke arahnya.

"Kukira sisa waktu hidupmu cukup untuk bertaubat, nyatanya, tidak," ujar si boling, sebelum beralterasu wujudnya menjadi seseorang bernama Elle Nagred.

Nagred asli tercekat. Tak lama, ia lenyap.

[14]

Sampai di hotel, Worca berjalan gontai. Letih. Di jalan, ia bertemu Riven. Kaki dan tangannya utuh lagi.

"Tampaknya akan lebih keren kalau menunggu dari hadiah akhir," ujar Riven. Arkian, bocah itu menatap plafon, merangkai kata di benak. "Terima kasih atas semuanya. Mungkin, kita akan masih bermusuhan. Tapi di kompetisi saja," terusnya, menggaruk belakang kepala.

"Tentu. Oh ya, sampaikan minta maaku pada Laurell. Aku terlalu banyak menganiaya dia," balas Worca.

"Aku undur diri dulu." Riven pergi.

Worca melanjutkan jalannya. Ingin sampai ke kamar, buntalan kuning menghadang. Keduanya diam untuk sesaat.

"Kutukannya hilang, baby," ucap si ayam. Sedetik kemudian, diselimuti sinar menyilaukan, berubah menjadi lelaki yang motif sandangnya menyerupai Worca. Wajahnya bulat tembam, matanya biru, rambutnya putih-pink.

"Sekarang sudah mau mengakuiku, kan?" Tanya bocah itu, mengulurkan tangan. Worca menepis tangan itu ke sisi.

Keheranan, tiba-tiba sebuah pelukan hangat datang. "Ya, Piwi. Adik tersayangku."

Melepas pelukan. Keduanya beradu tatap.

"Sekarang, mari bicara."

Komentar

  1. " "Kamu memang beban. Akan aku report kamu."

    "Dih.""
    WOI!!!

    Pembawaannya terasa komedik walau kelam ya. Worca emg ajaib. Riven kasian ya tuhan.
    Ga kerasa 4k sih. ada typo dikit diding. gaboleh N-Word ya #Ga

    Dapat 8/10 dari Tora Kyuin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada yang lebih parah malah. Nendang lima tiga kali. Lima-nya perasaan udah dihapus wwww

      Hapus
    2. Keknya penyakit di mobile deh. Ada yg ga kebaca gtu. Hrus bka via PC dlu.

      Hapus

Posting Komentar