[Ronde 4] Litus Kamara - Ideal and Eternal

By: Treize
Kota labirin di pulau neraka itu menampakkan wujudnya setelah kedua peserta melangkah keluar dari portal teleportasi.

"Whoa," seru Litus. Pemuda berjaket biru itu takjub melihat pemandangan di hadapannya—bangunan-bangunan yang terdiri dari tulang belulang, diapit tanah dan langit-langit berwarna merah kehitaman seperti darah yang sudah mengering.

Tidak heran pulau itu dikenal dengan sebutan neraka.

"Menjijikkan ...," ucap seorang gadis bergaun hitam sambil berjinjit menghindari tulang belulang yang berserakan di mana-mana.

"Ini mirip dengan yang ada di game," ujar Litus. Anak itu memungut beberapa tulang dan menambahkannya ke tumpukan dinding labirin.

"Oh, tunggu. Mungkin yang ada di game justru mirip dengan yang aslinya?"

Si gadis bergaun hitam—Morgen Charterflug, atau biasa dipanggil Charta—mengerutkan alis di balik topeng putihnya. "Kamu bicara apa?"

Litus berbalik dan menjawabnya dengan antusias.

"Di ruang rekreasi hotel ada game yang sering kumainkan bersama yang lain. Namanya Nanthara Dungeon! Kita bisa memilih karakter yang diinginkan, lalu bersama-sama turun ke Andarabhula Labyrinth untuk menumpas Raja Iblis Astaroth!"

"Mirip misi kita kali ini 'kan?" tambahnya.

Charta terlihat tidak terkesan mendengarkannya. "Kita tidak perlu mengalahkan Astaroth. Cukup menemukan jalan keluar saja menuju pesisir."

Gadis bertopeng itu memutuskan untuk memulai berjalan.

Litus mengikuti di sampingnya.

"... Memangnya kau tidak pernah bermain di game center?" tanya anak itu tiba-tiba.

Charta mengeritkan giginya pelan. "Siapa yang punya waktu untuk bersantai-santai bermain game di tengah turnamen?"

"Eh ... karena ruang rekreasi berada di sebelah perpustakaan, kupikir kau juga suka bermain di sana."

Charta memperlambat langkahnya. "Apa hubungannya dengan perpustakaan?"

Litus mengistirahatkan kedua tangannya di belakang kepala. "Di sana ada banyak komik yang menarik! Setiap kali aku ke perpustakaan untuk meminjam buku, aku selalu melihatmu sedang membaca sendirian."

Gadis bergaun hitam itu berhenti. "Aku tidak ingat pernah melihatmu sekali pun di perpustakaan."

"Aku ke sana setiap hari, kok."

"... Jangan-jangan kau itu ... stalker?" Charta menatap Litus dengan tajam. Untuk beberapa alasan, gadis itu tidak bisa memercayai siapa pun yang berpihak dengan Hadyatha Group. Ia menduga organisasi itu memiliki agenda tersembunyi yang hanya akan merugikan sponsor lainnya.

Jika Litus ternyata adalah agen dari Hadyatha yang bertugas untuk menjatuhkannya, ia tidak akan tinggal diam.

"T-tentu saja bukan!" jawab Litus cepat.

Charta menelitinya. Anak itu memang tidak terlihat berbohong atau menyembunyikan apa pun. Tapi di sisi lain, mungkin ia begitu ahli sampai tipuannya terlihat meyakinkan.

"... Terserah," ucap Charta pada akhirnya. "Aku masih belum sepenuhnya percaya padamu, tapi selama aku bisa keluar dari tempat ini, aku tidak peduli."

Litus mengembuskan napas lega.

Tidak bisa dipungkiri, terkadang ia memang suka memerhatikan Charta dari kejauhan. Gadis bertopeng yang selalu mengenakan gaun malam hitam, seperti seorang putri yang sedang dalam pelarian dari kerajaan yang jauh. Kesan misterius itu, ia pikir, sangat keren.

Tapi tentu saja ia tidak bisa mengatakannya. Itu hanya akan membuatnya terlihat konyol.

Untuk beberapa saat tidak ada lagi yang berbicara. Kedua peserta itu melangkah dengan hati-hati menyusuri labirin berdinding tulang belulang yang membingungkan.

Mereka melewati tikungan di satu sudut dinding labirin yang terdiri dari berbagai macam tengkorak. Di ujung tikungan itu terlihat area yang lebih luas. Dari sana terdengar keramaian seperti banyak orang yang sedang bercakap-cakap.

"Oh, itu Hvyt Marketplace!" ucap Litus.

"Hvyt Marketplace?" ulang Charta.

"Ya. Tempat para Hvyt berdagang. Kalau di game ... di sana kita bisa membeli potion dan senjata yang langka. Tapi cara pembayarannya mungkin akan menyusahkan ...."

"Apa tidak masalah kalau kita pergi ke sana?"

"Ya. Marketplace itu zona aman, jadi tidak ada musuh yang bisa menyerang."

"Para Hvyt itu bisa membantu kita?"

"Benar! Kalau beruntung, mungkin mereka menjual peta pulau ini."

"Mungkin ...."

Litus berusaha memberikan senyuman yang paling meyakinkan yang bisa ia lakukan. "Tidak ada salahnya mencoba, 'kan?"

"Tapi kalau pakai peta, namanya curang lho!"

Entah dari mana, sebuah suara asing mendadak menimbrung percakapan mereka.

Litus dan Charta refleks masuk dalam mode waspada. Litus menarik busur dan anak panahnya dan bersiap membidik. Sementara Charta menjejakkan kedua kakinya ke tanah. Bayangan dibawah sepatunya berkelebat seperti hidup.

"Siapa?" Charta melayangkan padangannya ke sekitar. Dinding tulang belulang. Tanah merah. Langit kelabu. Tidak terlihat siapa pun di sana selain Litus yang juga celingukan mencari asal suara itu.

"Kali ini ada dua ... tidak, tiga jiwa yang kelihatan lezat. Aku jadi tidak sabar ingin memakan kalian!"

Litus berbalik dan membelalakkan matanya. "Charta! Di belakangmu!"

"Eh?"

Di belakang sepatu Charta, sebuah tulang mendadak bergerak dengan sendirinya. Tulang itu terlempar sendiri ke udara dan terbakar menjadi pusaran api. Dari dalam pusaran api keluarlah seorang wanita berkulit merah dan bersayap kelelawar yang nyaris tidak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya.

Charta tidak sempat bereaksi ketika wanita itu dengan cepat meraih dagunya, dan memberinya kecupan di bibir.

Mulut kedua wanita itu berpagutan dengan mesra, membuat Litus yang hanya bisa melihat mematung di tempat, tidak tahu harus melakukan apa di situasi seperti ini.

Setelah beberapa saat akhirnya wanita misterius itu melepas kecupannya. Seuntai garis bening merentang di ujung lidahnya dengan bibir Charta.

"Selamat datang di Andarabhula Labyrinth."

***

Beberapa tulang lagi terlempar dengan sendirinya ke udara. Tulang-tulang itu meledak menjadi pusaran api, dan, dari dalamnya, keluarlah pasukan Hvyt bersenjatakan tombak.

"K-kurang ajar ...!" Charta mengepalkan tangannya sampai bergemetar.

"Sudah kuduga, kau membawa sesuatu yang lain dalam tubuhmu. Makhluk yang bukan manusia," wanita bersayap itu menjilat bibirnya sendiri.

Charta membungkuk dan meraih sebuah pemantik yang terikat di pahanya. Pemantik itu mengeluarkan belati tersembunyi ketika ia mengaktifkannya.

Charta menyabetkan belatinya pada si wanita bersayap. Serangan itu dapat dengan mudah dihindari, tapi memberikannya cukup waktu untuk mundur dan bergabung dengan Litus.

"Kau ... tidak apa-apa?"

"Wanita jalang itu ... Kubunuh dia ...!" ujar Charta dengan kesal.

"Tidak salah lagi, dia itu Astaroth," kata Litus.

"Yang Mulia Astaroth untukmu, bocah kecil," kata si wanita bersayap.

Astaroth mengayunkan sebelah tangannya. Dari sana muncul pusaran api membentuk sebuah tombak bermata tiga.

"Kau juga memiliki jiwa yang kelihatan lezat ...," wanita berkulit merah itu meneteskan air liur di sudut bibirnya. "Manusia-manusia keparat, menyuruhku untuk tidak makan, tapi mengirim jiwa-jiwa yang menggiurkan seperti ini!"

Astaroth maju selangkah. Pasukan Hvyt yang mengelilingi mereka juga makin merapat.

Litus dan Charta saling memunggungi, bersiap menerima serangan dari mana pun.

"Sedikit saja tidak apa-apa 'kan? Biarkan aku mencicipi jiwa kalian!"

Astaroth menerjang maju, diikuti pasukan Hvyt-nya.

Litus segera merentangkan busurnya. "Aku akan membuat celah, jika ada kesempatan, kita segera kabur! Raja Iblis Astaroth memiliki health point yang tidak terbatas, kita tidak mungkin mengalahkannya kalau tidak memiliki segel untuk ...."

Tidak perlu disuruh, ketika Litus berbalik, ternyata Charta sudah tidak ada di sana.

"... Eeeh?!"

Dalam kepungan Astaroth dan Hvyt itu Litus tinggal sendirian.

"Sejak kapan?"

"Ah, dia kabur ya. Kalau kita mulai saja dengan hidangan pembuka ...!"

Astaroth menghunus trisula apinya pada Litus.

Litus mengibaskan tangannya ke depan. "Dragon Shield!"

Di hadapannya tercipta sebuah tameng es raksasa dengan ukiran naga yang megah. Perisai itu menangkis trisula Astaroth, menciptakan ledakan api yang dahsyat ketika mereka berbenturan.

Sebelah kanan dan kiri Litus masih belum terlindungi. Para Hvyt menyodokkan tombak mereka dari segala arah.

Dengan cepat Litus berbalik, dan mengibaskan tangannya kembali. "Freeze!"

Cahaya kebiruan meledak menyelimuti para Hvyt, membekukan mereka secara instan.

Litus bergegas keluar dari kepungan itu ketika perisai naga di belakangnya pecah berkeping-keping.

"Kau bisa lari, tapi kau tidak akan bisa sembunyi!"

Astaroth menancapkan trisulanya ke permukaan tanah. Dari sana muncul lautan api yang menyebar dengan cepat ke segala arah, efektif mencairkan es yang membekukan para Hvyt.

"Ow! Ow! Panas!" Litus berjingkat-jingkat menghindari permukaan yang terbakar.

Api. Elemen yang paling menyulitkannya yang memiliki elemen es.

Anak itu berhasil kabur cukup jauh. Di balik tikungan terakhir, ia melihat sesuatu yang tidak biasa. Di sana berdiri bangunan-bangunan menyerupai gedung atau rumah.

Ia membuka salah satunya dan masuk ke dalam untuk bersembunyi untuk sementara.

Tidak disangka, interior bangunan itu ternyata cukup normal. Seperti apartemen satu kamar dengan perabotan minimal dan dapur kecil di salah satu sudutnya.

Litus menenangkan dirinya dan mulai membuat rencana baru.

Rencana ....

Apa?

Ia tersadar, ia bahkan tidak tahu sedang berada di mana sekarang.

***

"Hei!"

Seorang Hvyt pedagang menegur seorang gadis yang tengah berjongkok di balik meja dagangannya.

"Kau sedang apa di situ! Kalau tidak ingin membeli, cepat pergi dari sini!"

"Aku tidak akan mengganggu, tidak perlu menghiraukanku," jawab gadis itu.

"Berada di sini saja itu sudah mengganggu, tahu!" Hvyt pedagang itu menggebrak mejanya dengan kesal. "Setidaknya belilah sesuatu!"

Charta membalas tatapannya dengan malas, lalu beranjak berdiri.

Sudah cukup lama ia bersembunyi di sana. Mungkin Astaroth sudah pergi atau sudah dikalahkan Litus.

...

Yang terakhir itu sepertinya mustahil.

Charta memerhatikan benda-benda yang dijual di atas meja. Sekilas, semuanya terlihat normal; botol-botol berisi cairan merah dan biru, belati antik, dan tulang-tulang hewan yang dijadikan jimat.

Ia pun teringat perkataan Litus tentang peta. Mungkin di sana ada yang menjualnya.

"Apa kau punya peta pulau ini?" tanya Charta.

"Oh? Ya, ya. Tentu saja!" Hvyt pedagang itu membuka peti besar yang ia duduki. Dari dalamnya ia mengeluarkan sebuah perkamen kulit yang digulung dan diikat dengan pita merah.

"Ini adalah peta versi terbaru pulau Andarabhula. Setiap sudut labirin tercetak dengan akurat!"

Charta menjulurkan tangannya untuk meraih gulungan itu, tapi Hvyt pedagang itu menarik tangannya.

"Nona, aku sedang melakukan bisnis di sini."

Charta mendecakkan lidah. "Baiklah. Berapa harganya?"

"Hm ... bagaimana kalau seikat rambut hitammu yang cantik?"

Hvyt itu menjulurkan tangannya pada rambut Charta. Dengan sigap Charta menghindar ke belakang.

"Kubunuh kau kalau berani menyentuhku!"

Hvyt itu mundur selangkah sambil mengangkat tangan. "Ah, maafkan kelancanganku. Sepertinya kita sama-sama tidak bisa mengendalikan diri," kata Hvyt itu sambil terkekeh.

"Tapi biar kuberitahu, aku sudah memberimu potongan harga yang besar. Di toko sebelah, mungkin kau harus membayar dengan sepotong jari atau sebelah bola mata."

Gadis bergaun hitam itu mendadak merasa mual mendengar tata cara kaum Hvyt berniaga. Ia teringat Litus pernah mengatakan tentang cara pembayaran yang menyusahkan. Jadi, ini maksudnya.

Ia mencoba untuk menawarkan uang, tapi Hvyt itu serta-merta menolaknya.

...

Tidak ada pilihan lain.

Charta menggenggam sebagian rambutnya yang terurai dengan lembut dan mengeluarkan belatinya.

***

Beberapa blok dari Marketplace, Litus duduk di depan sebuah meja makan dengan gugup.

Seorang Hvyt dengan tanduk menyerupai ranting kering bersenandung dengan riang di konter dapur, merebus air dan menyiapkan cangkir-cangkir bening.

"Anu ...," ujar Litus perlahan.

Hvyt itu berbalik. "Oh! Tunggulah sebentar lagi, tehnya akan segera siap!"

"Bukan itu!" Litus beranjak dari kursi. "Aku ... sebenarnya tidak bisa berlama-lama di sini. Maaf, aku sudah masuk ke rumahmu tanpa izin, tapi aku harus segera pergi."

Hvyt itu berhenti dan tersenyum ramah, memperlihatkan gigi-gigi taringnya yang tajam. "Tadi kau bilang kau tersesat 'kan? Aku tahu cara tercepat untuk keluar dari labirin. Kalau kau mau menemaniku sebentar meminum teh, aku akan memberitahukannya padamu."

Ia meletakkan nampan berisi kue-kue kering dan dua cangkir teh yang masih beruap di atas meja. Dengan terampil ia menyajikan satu cangkir untuk Litus dan satu untuk dirinya sendiri.

"Silakan, tidak usah malu-malu!"

Litus menelan ludah dengan susah payah. Ia sudah mengunakan cukup banyak sihir ketika melawan Astaroth tadi, dan secangkir teh sangat pas untuk memulihkan energinya.

Selain itu ia juga masih belum tahu harus pergi ke mana jika ia keluar dari sini. Informasi apa pun akan membantu, apalagi kalau Hvyt itu ternyata berkata jujur. Kemungkinannya memang kecil, tapi ....

...

Anak itu duduk kembali.

"Baiklah, tapi sebentar saja."

Senyuman Hvyt itu terlihat semakin melebar.

Litus meniup tehnya yang masih panas. Prasangka-prasangka buruk memenuhi pikirannya, tapi ... tidak sopan jika ia menolak keramahan seseorang, 'kan?

Seteguk saja, mungkin tidak masalah.

***

Malam itu, hujan turun dengan deras dari langit hampa tanpa bintang.

Seorang gadis bergaun hitam berdiri seorang diri, meratap di tengah bayang-bayang kelam. Suaranya tak terdengar, tertelan desau air yang bergemuruh di sekelilingnya.

"Aku ... gagal lagi ...."

Dengan tangan kiri, ia meraih segenggam penuh rambutnya sendiri yang kini basah kuyup. Lalu, dengan gerakan cepat, memotongnya dengan belati di tangan kanannya.

Helai-helai anggun itu ia biarkan jatuh ke permukaan tanah, terbawa arus menuju kegelapan tiada akhir.

...

Kenangan itu selesai.

Charta kembali fokus ke dunia nyata.

Acara potong memotong rambut itu membuatnya teringat sesuatu yang sudah lama berusaha ia lupakan.

Gadis itu menyodorkan segenggam rambutnya pada si Hvyt pedagang. Tidak terlalu banyak, bahkan tidak terlihat adanya perubahan pada penampilannya.

"Begini saja, 'kan?"

"Ya, ya! Ini sudah cukup!" Hvyt itu menerimanya dengan senang hati sambil menari-nari kecil.

"Silakan datang lagi kapan saja!"

Charta merenggut peta itu dari tangan si Hvyt dan langsung berbalik meninggalkannya.

Di sela-sela napasnya ia membalas, "Tidak sudi."

***

"Benar, Yang Mulia. Aku berhasil menangkapnya. Akan kubawa dia ke tempat Anda."

Hvyt dengan tanduk menyerupai ranting kering itu meremas kobaran api di telapak tangannya, menyelesaikan laporannya pada Astaroth.

Di dekat kakinya, seorang pemuda berjaket biru tertunduk tak sadarkan diri dengan tubuh terikat erat.

"Dasar bocah bodoh. Mau saja termakan tipuan seperti ini!" kata Hvyt itu sambil terkekeh tak terkendali. "Yang Mulia pasti akan memberiku imbalan yang besar!"

Makhluk berkulit merah itu mengangkut Litus seperti karung beras di pundaknya, lalu keluar dari apartemen. Ia merentangkan sayapnya menjadi beberapa kali lipat lebih lebar dan terbang melampaui dinding-dinding labirin.

***

Ketika itu, Litus bermimpi.

Mimpi tentang masa lalu, ketika ia masih belum mengerti apa artinya menjadi seorang harbinger.

Di setiap pertengahan musim dingin, penduduk pegunungan Sinfrolic mengadakan festival untuk merayakan Harbinger Musim Dingin yang sudah menjaga mereka dari amukan badai salju.

Itu adalah hari paling spesial untuk Litus, karena di kabin kayunya akan ada banyak kue-kue dan makanan melimpah pemberian semua orang.

Di hari-hari biasanya memang selalu ada yang memberikannya persembahan, tapi hanya di hari festival jumlahnya berganda ratusan kali lipat. Bahkan ada mempersembahkan mainan dan pakaian, mengingat harbinger saat itu masih muda belia.

Di semesta lain yang jauh, hari itu kurang lebih setara dengan apa disebut dengan Yule.

Festival tahun itu diadakan seperti biasanya. Namun ada yang tidak biasa bagi Litus. Russel—seorang guru yang ditugaskan menjadi pembimbingnya—melarangnya untuk pergi ke luar kabin. Masternya itu mengatakan kalau ada sekelompok penyihir ilegal yang mengincar kekuatannya.

Litus, masih belum paham akan kedudukannya, tidak mengindahkan larangan itu dan menyelinap kabur ketika tidak ada yang memerhatikan.

Ia berlari ke dalam gunung, melewati sungai-sungai es dan hutan yang membeku. Di sepanjang perjalanan ia berjumpa dengan roh-roh musim dingin dan peri-peri salju. Makhluk-makhluk itu selalu dalam suasana hati yang ceria ketika festival berlangsung, karena itu Litus tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bermain dengan mereka.

Ia berhenti di depan danau es di puncak salah satu gunung. Di danau es itu hidup dua peri salju yang sudah menjadi teman akrabnya, Nicoco dan Ninelle. Ia memanggil mereka untuk keluar.

Tapi tidak ada yang datang.

Anak itu pun menciptakan dua buah bilah tajam di sol sepatunya, menyulapnya menjadi sepatu luncur.

Ia meluncur di atas danau es sambil terus memanggil.

Masih belum ada jawaban sampai ia tiba di sisi lain danau es.

Anak itu mengucek-ucek matanya, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Di pesisir danau itu, berdiri konstruksi alat sihir yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Konstruksi menyerupai menara itu mengeluarkan suara-suara dan cahaya-cahaya aneh.

Di menara sihir itu terdapat kerangkeng besar dengan ukiran-ukiran sihir. Dua peri salju terbang berputar-putar dengan gelisah di dalamnya.

"Nicoco! Ninelle!" seru Litus menghampiri mereka.

Kedua peri salju itu mengisyaratkan agar Litus tidak mendekat. Tapi anak itu tidak menghiraukannya.

"Aku akan mengeluarkan kalian dari sini!"

Tanpa pikir panjang Litus meraih jeruji-jeruji besi itu. Dalam sekejap, tubuh kecilnya terlempar keudara. Kerangkeng itu telah diberikan sihir penolak untuk siapa pun yang mencoba membukanya dengan paksa.

"Kalau begitu ...." Litus bangkit dan menciptakan sebuah palu besar dari es. "Kali ini pasti berhasil!"

Litus menerjang kembali ke arah kerangkeng, namun mendadak langkahnya terhenti.

Tidak jauh di sampingnya, beberapa orang asing bertudung hijau bermunculan. Orang-orang itu juga terlihat terkejut melihat Litus.

"Apa dia ...?" ucap salah satu tudung hijau.

"Ya, tidak salah lagi," balas yang lainnya.

Nicoco dan Ninelle semakin panik menyuruh Litus untuk segera pergi.

"Kalian siapa?" tanya anak itu ragu-ragu.

"Tidak perlu takut! Kami hanyalah sekelompok peneliti yang ingin mempelajari gunung ini!" jawab seorang pria bertudung hijau, perlahan-lahan mendekati Litus.

"Kata Nicoco dan Ninelle kalian itu orang-orang jahat! Cepat lepaskan mereka!"

"Oh ... kau bisa berbicara dengan peri salju? Itu menarik ...."

Dalam sekejap mata, pria bertudung hijau itu lenyap dan sudah berpindah ke belakang Litus.

"Kalau begitu, tidak ada gunanya untuk berkata-kata manis lagi."

"Ugh!"

Anak itu tidak sempat melawan ketika pria itu menempelkan suatu alat yang bergerak seperti ular dan menjerat tubuhnya.

"Lepaskan aku!" Litus terjatuh dan menggeliat di atas salju. Tubuhnya terikat dengan erat. "Apa yang kalian inginkan?!"

Seorang tudung hijau bersimpuh dan menjulurkan tangannya pada Litus.

"Kami menginginkan ... kekuatan itu."

***

Dengan grogi Litus membuka matanya perlahan. Ia bisa mendengar desas-desus banyak orang di sekitarnya.

"Ugh. Seka dulu ilermu itu."

Suara seorang perempuan mengejutkannya karena terdengar sangat dekat.

... Charta?

Gadis bergaun hitam itu berjongkok mengamati wajahnya.

Litus tersentak ke belakang karena kaget. Ia lalu menyadari kalau ia tidak bisa bergerak. Tubuhnya terikat tali dengan erat.

... mungkin itu sebabnya ia mendapat mimpi buruk barusan.

"Di mana ini? Kenapa aku diikat?" tanyanya bingung sambil mengelap iler di ujung bibirnya menggunakan bahu.

"Kau baru saja ditangkap. Dan aku yang membebaskanmu," jawab Charta dengan bangga. "Sekarang jangan bergerak."

Charta mengeluarkan belatinya dan memotong tali yang mengikat Litus.

"Siapa yang menangkapku?"

"Kau sendiri tidak tahu?"

"Ng ...," Litus memijat-mijat pelipisnya, berusaha mengingat. "Setelah kita bertemu Astaroth ...."

Litus menceritakan semuanya pada Charta.

...

"Bodoh," komentar gadis itu singkat.

Litus menundukkan kepala, tidak bisa membela diri karena itu memang sepenuhnya salahnya.

"Terima kasih sudah menolongku," ucap anak itu sambil menggaruk pipi.

Charta berpura-pura tidak mendengarnya.

Litus dapat mengerti kalau Charta hanya akan memanfaatkannya lagi seperti kejadian dengan Astaroth sebelumnya. Tapi ia bisa mendengar dari suara gadis itu. Jeritan frustrasi, dan keinginan kuat untuk mewujudkan harapannya.

Untuk itu, Litus bersedia untuk membantunya.

Lagi pula, kalau boleh jujur, ia sendiri merasa lebih tenang jika ada seseorang di sampingnya.

***

Charta menggelar peta pulau Andarabhula agar Litus bisa ikut melihat.

"Saat ini kita berada di area Marketplace. Aku sudah menemukan rute tercepat menuju pesisir, lihat?"

Charta menunjuk garis yang sudah ia buat dengan spidol pada peta.

"Uh ... ya, aku bisa melihatnya. Jelas sekali," jawab Litus.

"Di sekitar pesisir Astaroth melakukan pengawasannya dengan lebih ketat. Aku tidak bisa melewatinya sendirian. Karena itu terpaksa aku berbalik, dan berpapasan dengan Hvyt yang sudah menculikmu.

"Hvyt itu sepertinya berniat menyerahkanmu pada Astaroth. Entah apa jadinya kalau aku tidak menolongmu."

Litus berusaha keras untuk tidak meringis. Ia sangat berterima kasih karena sudah ditolong, tapi rasanya semakin mereka saling mengenal, gadis itu semakin menjadi menyebalkan.

Tapi Litus kemudian berdiri dan tersenyum lebar.

"Yah, kalau begitu, kita sudah menang."

***

Lusinan pasukan Hvyt hilir mudik di sekitar pesisir. Mereka semua bersenjatakan tombak dan mengeluarkan aura yang mengintimidasi.

Pemimpin mereka, Astaroth, tidak terlihat di mana pun. Tapi tak perlu diragukan, kalau raja iblis itu selalu ada mengawasi setiap gerakan.

Di tengah-tengah pasukan iblis itu, Litus dan Charta berjalan dengan perlahan sambil bergandengan tangan.

Litus berjalan di depan, sambil menggenggam tangan Charta.

"K-kenapa harus begini?!" ujar gadis itu.

"Ssst!" Litus membalasnya dengan isyarat agar tidak berbicara. Sihirnya membutuhkan keadaan yang benar-benar tenang.

Ia mempererat genggamannya untuk memastikan mereka tidak terpisah dan berhati-hati menghindari pasukan Hvyt yang memenuhi jalan.

Mereka berhasil keluar dari area labirin dan bisa melihat batas pantai. Di kejauhan, terlihat perahu motor Hadyatha Group telah menunggu.

"Kita berhasil!" seru Litus—dengan berbisik—sambil mengepalkan kedua tangannya ke depan.

... kedua tangan?

Seketika gelombang panik menghantamnya. Entah sejak kapan genggamannya terlepas. Charta sudah tidak ada bersamanya.

Anak itu menoleh ke belakang.

Tidak.

Di atas.

Litus mendongak, dan mendapati Charta ada di sana. Terombang-ambing di udara, di ujung tombak api Astaroth yang menembus perutnya.

"Aku tidak mungkin membiarkan jiwa-jiwa spesial seperti kalian ini lolos, 'kan?"

***

Ketika Litus tersadar, orang-orang bertudung hijau itu telah membeku seluruhnya.

Ia mendekati kerangkeng yang mengurung Nicoco dan Ninelle. Kedua peri salju itu terbaring dengan lemah, tapi mereka masih hidup.

Anak itu jatuh terduduk dan mulai menangis. Seandainya saja ia mendengarkan kata-kata Master-nya dan diam di rumah, ini semua tidak akan terjadi.

Di sekelilingnya badai salju raksasa pun mengamuk, membuat segalanya menjadi putih. Badai itu meliputi keseluruhan pegunungan Sinfrolic, bahkan sampai ke wilayah-wilayah sekitarnya.

Dan tidak berhenti untuk waktu yang lama.

***

Astaroth turun dan melempar Charta begitu saja ke samping.

Gadis bertopeng itu terbatuk dan memuntahkan darah.

Dia masih hidup!

"Aku akan mengurusmu nanti," ucap Astaroth dengan santai. Ia pun mengalihkan perhatiannya pada Litus. "Sepertinya kau sudah menyusahkan anak buahku berkali-kali. Hukuman apa yang sebaiknya kuberikan, ya?"

Litus mengertakkan gigi dan menarik busurnya. "Satu-satu yang harus dihukum di sini ... adalah kau karena memakai pakaian yang tidak pantas!"

Anak panahnya melesat.

Astaroth justru terbang menghampirinya. Ia menghunus trisulanya untuk menahan anak panah itu.

"Sudah kuduga kau akan menangkis, bukan menghindar," ujar Litus.

Anak panah yang ditangkis Astaroth adalah salah satu anak panah spesialnya. Ketika tombak itu menghantamnya, anak panah itu pun melepas energi listrik jutaan volt ke sekelilingnya.

Tapi bukannya kesakitan, wanita iblis itu justru meracau dan menggelinjang seperti dalam pengaruh ekstasi.

"Ugh ...," Litus meringis mendengarnya mengatakan hal-hal yang tidak senonoh. Tanpa membuang waktu, ia segera menarik anak panah lainnya. Kalau listrik tidak mempan, bagaimana dengan ledakan?

Tapi ketika ia merentang busurnya, Astaroth sudah hilang dari pandangannya. "Di mana dia—"

"Bermain denganmu memang menyenangkan, tapi sayang waktunya tidak cukup. Bagaimana kalau kita langsung masuk ke hidangan utama?"

Di samping Litus, Astaroth mengangkat trisulanya tinggi-tinggi, dan menghujamkannya tepat di dada pemuda itu.

***

Apakah kegagalan itu, ketika apa yang kau inginkan tidak terwujud?

Tapi, memangnya apa keinginanmu?

Dihargai oleh orang-orang yang kau hormati?

Disanjung dan dijunjung seperti pahlawan?

Tidak.

Aku hanya ingin ... menjadi berguna dan melakukan sesuatu yang berarti.

Trisula Astaroth hanya menusuk Litus ujungnya saja. Selebihnya, tombak itu seperti kehilangan wujud dan menembus tubuh pemuda itu seperti hantu.

"Apa-apaan ini?!" pekik Astaroth. Bukan hanya tubuhnya kehilangan wujud fisik, kakinya pun tidak bisa ia angkat dari permukaan tanah.

"Imitation success," ujar seorang gadis bergaun hitam yang kini penuh bercak darah. Di dekatnya berdiri sosok serupa Astaroth, tapi tidak bergerak sama sekali seperti boneka.

"Charta!" Litus berguling menjauh dari Astaroth.

"Maaf ... aku ... hanya bisa menahannya sebentar saja ...."

"Eh?"

Setelah berhasil menolong Litus, Charta ambruk kembali. Boneka bayangannya kembali ke bawah kaki Astaroth yang asli.

"Kalian itu benar-benar tidak tahu kapan saatnya mati, ya?"

Wanita iblis itu terdiam, lalu terbakar sedikit demi sedikit sampai seluruh tubuhnya terselimuti api. Api itu berkobar semakin besar, dan dari dalamnya, muncul sesosok iblis raksasa dengan taring dan cakar yang panjang.

"Itu ... Astaroth true form!" Litus berusaha berdiri dengan kakinya yang gemetar.

"Akan kuperlihatkan neraka yang sebenarnya!"

Astaroth mengayunkan cakar berapinya ke arah Charta yang sudah tergeletak lemah.

"JANGAN SENTUH DIA!"

Litus melompat ke samping Charta dan menciptakan benteng es raksasa.

Pukulan Astaroth dapat dengan mudah melelehkannya, tapi Litus segera membangun pertahannya lagi berulang kali tanpa henti.

Menciptakan benteng raksasa sebesar itu secara terus menerus sangat membebani tubuhnya. Dengan cepat badannya memanas seakan ada batu bara yang berkobar di dalamnya.

Tapi ia tidak boleh menyerah. Lengah sedikit saja, serangan Astaroth akan menembus dan mengubah mereka berdua menjadi arang.

"Hentikaaannn!!!" Litus berusaha balik mendorong, tapi ternyata untuk bertahan saja ia sudah kewalahan.

Saat itu, sebuah suara terdengar memanggilnya.

"Kau ini benar-benar bodoh, ya."

Litus menoleh ke samping. Charta berusaha bangkit di dekatnya.

"Jangan berdiri! Kau harus istirahat!" balas Litus.

"Kau juga pasti sudah mencapai batas, 'kan? Kalau saja kau meninggalkanku dan pergi sendiri, sekarang pasti kau sudah menang."

"Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu! Aku pasti ... akan melindungi semua temanku, walau harus ditukar dengan nyawa!"

"Astaga, sepertinya kau terlalu banyak membaca komik di perpustakaan itu."

Litus terkekeh. "Benar."

Charta mengembuskan napas panjang. "Tapi sungguh. Kau tidak perlu bertarung lagi sekarang."

Litus merasa aja gumpalan besar yang mendadak mengganjal di jantungnya, membuat perasaannya tidak enak. "Tunggu," ucapnya sambil gemetar.

"Terima kasih."

Charta terjatuh di sampingnya.

"Kau sudah ... membuatku merasa sedikit berguna."

Setelah itu, sunyi.

Litus melepas benteng sihirnya, membiarkan api Astaroth menelan tubuhnya.

Api itu bergulung dengan bergelora, menghanguskan tanah merah dan menguah tulang belulang di sekitar menjadi abu.

Tapi Litus tidak merasakan panas sama sekali.

Anak itu berdiri dengan khidmat. Pikirannya kosong dan mencapai titik ekuilibrium.

Sensasi terbakar dalam tubuhnya lenyap, berganti menjadi sensasi gumpalan yang terasa sejuk.

Ia pun melepas seluruh kekuatannya.

Dan semuanya berubah menjadi putih.

***


Komentar