[Ronde 5] Ifan - Don't Look What I Have Become

By: Nameless Ghoul

Tak seperti peserta lain, aku tidak suka memaparkan masa laluku pada tiap awal sub bab. Tahu kenapa? (Aku berharap kau men-)definisi diriku dari apa yang kulakukan sekarang, bukan dari masa lalu penuh cacat. Kalau kau berharap bisa, menghakimiku dari apa yang pernah kulakukan, lupakan saja. Lagipula, masa laluku tidak semenarik orang lain. PS: Kaubisa lihat itu dari ronde empat.

Sebagai ganti, ehem, aku lebih suka mengomentari perilaku manusia. Jadi, itulah sebabnya pikiranku berisik.

Misalnya sekarang, aku heran dengan kebanyakan orang. Mereka selalu ingin repot. Padahal semuanya bisa dibuat mudah. Tidak tertulis di aturan artinya boleh, ngapain pakai tanya detail? Goblok interdimensional. Alhasil, ada penggolongan macam peserta ini masuk area A, yang itu area B. Dan aku diturunkan di dunia game nuansa medieval. Satu hal yang membuat bersyukur adalah grafis dunia HD. Mana cermin?

Balon kata tiba-tiba muncul. [Kita sudah lama berada di sini]. Wah aku hampir lupa memangku "seseorang" sejak awal. [Jarak ke kolesium begitu dekat. Keraguanmu sama sekali tidak berdasar. Apa kamu menunggu kita ditemukan]?

"Jangan buru-buru dan berlebihan, bego, kita belum sampai sepuluh menit. Tadi kita mendengar ledakan dari dekat kolesium dan, aku yakin melihat Nadel—"

Tom ngomong sesuatu tapi tidak kulihat. Suaranya terkompresi menjadi lebih cempreng.

"—dan bocah ganster dekat sini. Yang terakhir itu juga bahaya. Aku ingin menunggu setidaknya salah satu dari dua itu terbunuh."

[Aku bisa merampas kemampuannya dan membuatnya kehilangan akal. Kamu hanya tinggal melemparkanku kepadanya].

"Praktek tidak semudah teori, bangsat. Bocil itu mungkin sudah punya tentara sekarang, dan aku akan diberondong duluan. Kau juga … mengambil wujud Riven pun kau gagal, apalagi Chalice." Dia jelas-jelas ingin menjadikanku umpan. "Yang ada kita jadi ganster. Makhluk goblok dan buas. Hei, Tom, aku mungkin agak tolol, tapi aku berhati-hati dan sering benar."

Tom menggelinding dariku. [Kamu berkata seolah-olah tahu segalanya, merasa benar sendiri berdasar asumsi belaka mengenai musuh. Di sisi lain, aku sudah memperhitungkan matang-matang rencanaku berdasarkan data, Juanita. Jauh sebelum ronde—] Kenapa dia terus-menerus memanggilku dengan nama itu sih? Persona lama yang tidak ingin kuingat.

"Asumsi? Merasa benar? Jangan sembarangan! Aku juga sudah menganalisis data dan membuat perkiraan dari potensi bahaya. Kaukira aku tidur tiga hari ini?" Kenapa pula pengubah wujud ini masih betah bersamaku sih? "Yah, kalau tak mau ikut usulku, kenapa tak bergerak sendiri—"

Tom mungkin memutar bola mata. [—Aku tidak tahan berlama-lama seperti ini dan aku yakin pada pemikiranku ketimbang asumsimu. Jalankan rencanaku atau kurampas kemampuan, bahkan identitasmu]. Dia menambahkan dengan dramatis, [Kamu tidak akan ada gunanya lagi bila itu terjadi, Juanita Yosephine].

Sialan. Daripada langsung mengambil identitasku, dia memilih kubantu karena tahu kemampuanku busuk dan tak bisa berganti wujud lagi dalam empat jam, dua kali lipatnya waktu ronde kelima. Yah, aku tahu dia lebih banyak menggertak, tapi kemungkinan nekat masih sangat ada. Tom tipe yang mampu mengorbankan siapapun demi ambisi pribadi. Keras juga kamu, ya.

Bola itu kelihatan akan bergerak. Tanganku pura-pura santai, melipat ke belakang, namun bersiaga dengan tembakan panah. "Woah, ancamans. Atuut—"

Melayang. Tom melayang! Tapi gerakannya begitu lambat seakan sengaja agar kuhindari. [Ini yang terakhir, Juanita. Kesempatan terakhir].

Tapi kalau dipikir-pikir, aku takkan sanggup menembak dengan akurat sekarang. Bola itu terlalu kecil dan cepat, terlalu cepat dibanding pelontar panah. Dia akan menyambarku dalam sekedip, bahkan sebelum aku bisa menghilangkan diri sepenuhnya. Apalagi sudah kulihat demonstrasi kekuatannya di babak tiga. Korbannya—orang Jepang bersayap gagak—sampai dibuat amnesia. Semua dari satu sentuhan.

"Oke, kuikuti kesepakatanmu tapi, kalau aku kalah dan ada kesempatan membangkitkanku, ya, bangkitkan aku dong."

Sekarang aku menyesal tidak memilih hadiah skill manipulasi dari Astaroth. Buat apa tahu kebenaran dan sudah berantisipasi jika skillmu ampas? Dan bagaimanapun skill baruku tidak dapat memindai isi kepala orang!

[Letakkan senjatamu ke dalam tas].

"Yaelah, takut kulukai? Mana mungkin? Tembakan ini terlalu lambat. Aku butuh untuk pertahanan."

Tom menimbang dan dengan suara pelan dia menyebut "Baiklah", lalu dalam sekejap terbang ke pundakku. Bangsat, aku benar-benar dikunci. "Ke kolesium sekarang. Tapi sebelum itu, kita menuju reruntuhan gereja di sana. Ada hal yang ingin kulihat. Tutupi aku dengan jasmu."

Tampaknya dia merujuk bangunan dua lantai yang masih cukup utuh. Lima puluh meter jauhnya dari sisa gubuk batu yang menghadap pepohonan piksel. Bagian depan gereja itu rusak, namun tidak tembus. Sebagian dindingnya gosong. Tampak beberapa mayat piksel di sekitarnya.

"Kauingin menang atau ingin tewas?"

[Lakukan saja].

Kulakukan perintahnya. Mati deh, ini. Mati. Harus apa? Harus bagaimana? Kalau membuat gerakan tiba-tiba dan langsung menghilang, aku hanya akan menghindari Tom, tapi kehabisan modal menangani yang lain. Itu juga kalau berhasil. Kembali ke tempat sebelumnya pun sia-sia. Tapi belum tentu juga yang menyambutku dalam gereja itu peserta sejenis Chalice ….

[Jangan berpikir untuk menghilang demi menghindariku karena percuma, kemampuanmu berlaku untuk apa pun yang melekat padamu]. Dilihat dari font-nya, Tom kelihatan puas. [Meskipun kuakui kamu cerdas dan punya potensi, kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Cara pikirmu dapat kubaca dengan jelas].

Kenapa aku bisa dimanfaatkan makhluk sombong dan aneh itu sih? Kenapa?? Karena kau mengingatkan aku pada cewek itu atau malah aku menganggapmu mampu menggantikan dia?? Itulah kenapa aku benci perasaanku. Perasaanku yang terlalu dalam hanya untuk orang-orang tertentu.

[Lari, sekarang].

Tom memerintahkanku untuk tidak terburu-buru dan frontal, melainkan berpindah-pindah dari reruntuhan satu ke reruntuhan lain, sebelum ke sisa bangunan utama. Kakiku langsung tegang. Sekitar sepuluh meter dari pintu depan reruntuhan yang membuka setengah, Tom berkata, [Gunakan kemampuan menghilang. Kita harus bergerak cepat, dan jangan mendebatku].

Kedengarannya dia sungguh-sungguh, jadi kuikuti. Begitu masuk, aku lumayan tertegun melihat sekumpulan peserta duduk berjajar rapi di bangku jemaat. Ada bocah ninja, wanita bertopeng (sekujur badan keduanya penuh darah), sisanya monster-monster tidak jelas. Mereka semua ganster. Chalice berlagak menjadi imam. Tingkah yang sangat menyebalkan dan tipikal antagonis.

Tom berkata, [Menyamping, Ifan. Jangan berdiri di tengah jalan. Segera].

Belum sempat kutanyakan maksudnya, Chalice mengumumkan, [Selamat datang untuk jemaat baru kita, Ifan]. Bonekanya serempak keluar tanda seru. Aku lekas menunduk di bangku paling belakang dan merangkak ke sudut. Heh, kenapa dia bisa tahu? Kemampuan itu tidak ada di CS! Dari gansternya atau—Tom?

Bola itu lolos dari dekapanku dan lenyap. Saat itu juga wujudku kelihatan, dan punggungku tertembus. Entah oleh apa. Ingin marah! Anjing, bisa-bisanya dia berkhianat! Orang-orang intelek memang terkutuk! Busuk! Tapi ya sudah. Menambah-nambah sakit saja.

Pertama biasa, dingin, tapi lama-lama sakit sekali. Saking sakitnya, sulit digambarkan dengan kata-kata. Pandanganku memerah, seperti ditutup kain, tapi masih sangat sadar. Rasanya basah. Apa aku jatuh di atas kubangan darah piksel?

Bangsaaat! Kenapa akhirnya begini? Tidak elegan tidak apa. Belum juga dapat penghargaan apa-apa. Selalu kubayangkan mati sakit, dikelilingi orang yang mencintaiku. Sialan. Siaalaaannn. Anjeeeeeeeenggg. Tidak ada orang yang benar-benar mengharapkanku, ya??

Aku akan jadi ganster! Mirip zombie! Ini lebih buruk daripada mati! Heh, heh, tahap inkubasinya sepuluh menit. Banyak waktu untuk bundir. Aku lebih suka mati dengan kuasa sendiri. Tapi bagaimana cara—ah-hahah-hahahah, tidak usah. Kalem, masih ada kesempatan membalik keadaan. Kalau lolos dari tahap ini, aku bisa jadi lebih kuat secara praktis. Setelah ronde lima, akan kuminta penyembuhnya pada panitia.

Ingin bangun, tapi sulit. Meskipun, rasa sakit berkurang. Dan belum terjadi apa-apa, padahal katanya akan jadi monster. Heh, aku malah penasaran apa bentuk gansterku. Tidak banyak hal membuatku takut, paling hanya manusia dan kelakuan mereka.

Tapi aku takkan pernah melihat wujud itu. Kesadaran hilang.

***

Saat bangun, aku sudah di tengah kolesium. Kok begini? Tidak ada ingatan apa pun. Langit digital perlahan runtuh dalam bentuk piksel, persis kotak-kotak jatuh dalam Minecraft. Menungguiku … sesuatu berbalut putih-merah, membuatku ingat tanah kelahiran yang tolol. Aku lekas-lekas bangun dan mundur.

Baju sobek-sobek, lenganku penuh darah. Mukaku juga amis. Oh, aku tahu artinya. Seperti manga shonen mainstream saja, bedanya aku tak langsung syok dengan begonya. Tapi tetap, aku tidak siap diberitahu langsung (dan barangkali akan menangisinya berhari-hari).

Walau begitu, entah kenapa, aku berharap setidak-tidaknya sudah menyingkirkan  satu-dua penghalang besar. Kenapa? Aku benar-benar ingin minta penawar virus ganster. Aku ingin maju bermodal kepalaku, bukan "insting aneh" dalam diri dan aku paham dengan demikian aku takkan punya kesempatan besar untuk menghadapi peserta menjengkelkan itu secara langsung.

Mari intip. Di sekeliling—untung mereka sibuk dengan urusan sendiri-sendiri—kulihat beberapa peserta lain. Teroris yang kuheran bagaimana dia bisa benar-benar hebat secara soliter tapi penjelasan di baliknya kurang memadai aka Abu, orang Jepang bersayap, bocah ganster, pemuda sok keren dipenuhi banyak gadget—oh salah, ada pula si bocah aneh yang kanonnya keluar jalur membikin bingung bersama peliharaan tak kalah absurdnya dan bahkan, sialan, Nadel.

Kami beradu pandang. Tatapannya terlihat—entahlah—benci, bingung? Kenapa? Kau heran kenapa orang yang sering kauremehkan, kauanggap tak punya kemampuan, ternyata dapat melaju sampai perempat final? Hah-haha-hahaha.

Tidak, tidak, aku harus tenang. Buat apa juga terlalu mengkhawatirkan dia? Sama saja investasi emosional. Ya, terlalu tidak suka orang beda tipis dengan menyukai, bukan? Dia terlalu insignifikan untuk kuperhatikan.

[Juanita, sudah kuduga. Kamu akan kembali. Akulah yang memancingmu kemari.]

Aku menoleh. Ternyata dari tadi Emir, si ekstremis. Namun aku mengenali pola bicara itu dengan jelas. Bangsat.

Sekarang paham. Dia ingin menjadikanku semacam kelinci percobaannya sejak awal. Dia tidak benar-benar mengakui kemampuanku. Pada akhirnya, dia sama saja dengan yang lain. Melihat satu sisi diriku yang bisa dieksploitasi. Itu sebabnya dia mengorek identitas dan mengungkit-ungkit kelemahanku, aku memang kurang kendali di sana. Sengaja pula mengumpanku menjadi ganster, dengan pengetahuan aku akan bertahan bagaimanapun juga, agar semakin jadi aset menguntungkan baginya.

Begitu.

Sesuatu dalam diri mendorongku untuk mencabik, membenturkan kepala, atau melumatnya sampai hancur. Tapi aku tidak ingin cerita ini berbau psikopat sok edgy dan aku sendiri mengklaim diriku intelektual yang cukup waras jadi, kutahan mati-matian.

Atau mungkin nanti. Lagipula, aku selalu punya cara lebih elegan untuk balas dendam.

"Kalau begitu, terima kasih."

Komentar

  1. Apa ini entri R5 paling singkat? To the point--masuk ke game, mental battle khas Ifan, tipu-tipu muslihat, dan twist ending. Enaknya bisa baca sekali duduk.

    Walau lebih singkat tapi tetep konsisten juga.

    Nilai: 8
    OC: Litus Kamara

    BalasHapus
  2. Gue harus baca sekitar 3x buat meyakinkan diri.
    Segini? Jatah 10k sih. And surprisingly padat. Salut sih.
    Ifan nihilist seperti biasa.

    7/10 dari Tora Kyuin

    BalasHapus

Posting Komentar