[Ronde 4] Fransisca Remington - Ketakutan Seorang Iblis: Bagian Empat

By: Tearmeapart
Ketakutan Seorang Iblis: Bagian Empat

Sesuatu itu seperti duri yang mengendap di dalam lehernya. Rasa sakit muncul mencabik-cabik hati nuraninya setiap ia mengambil nafas. Hidupnya adalah sebuah tragedi dimana Fransisca memenjarakan dirinya sendiri semenjak kematian ayahnya: semenjak impiannya hancur berantakan di antara kerumunan itu.

Tetapi, Fransisca tetap berdiri tegak di dalam penjaranya.

Rasa sakit dan kengerian yang telah ia alami terpatri di ingatannya begitu dalam. Impiannya tidak lain adalah untuk tidak membiarkan hal seperti itu terjadi lagi. Fransisca selalu menganggap dirinya harus berdiri tanpa rasa takut dalam kegelapan yang ia buat ini.

Cahaya tidak pernah lagi mengunjungi Fransisca sejak itu.

Tapi kali ini, sebuah sinar menerobos penjara Fransisca. Sebuah cahaya muncul di sudut matanya. Cahaya yang kian lama kian kuat bersamaan dengan runtuhnya dinding-dinding di sekitarnya.

Fransisca bergidik. Matanya buram dan pipinya basah. Tangannya penuh amarah yang tidak ia mengerti, "Aku tidak mengerti lagi. Ini semua memang salahku. Ini semua karena aku begitu lemah dihadapannya. Aku mengerti jika aku lebih kuat, hal ini tidak akan terjadi lagi."

Cahaya itu perlahan memperlihatkan apa yang sebelum disembunyikan oleh kegelapan.

Sebuah ruangan kecil dengan sebuah kursi di tengah-tengahnya.

Fransisca terus mengerang, dirinya menangis. Entah kapan terakhir kali ia menangis. Duri di dalam tubuhnya itu berubah menjadi  taring yang mengoyak dirinya perlahan dari dalam. Teriakannya entah berasal dari rasa sakit atau perasaan bersalah dalam dirinya.

Cahaya akhirnya menyelimuti seluruh ruangan.

Segala sesuatu yang disembunyikan akhirnya muncul ke permukaan.

Di tengah ruangan itu, dengan badan yang telah ditinggalkan seluruh kehidupannya, seorang pria tergantung. Badan lemasnya masih berayun perlahan. Kursi di ruangan tersebut jatuh tertendang kaki yang masih terus berayun. Tristan mati di depan Fransisca.

"Kumohon, katakan padaku," pinta Fransisca, "katakan padaku. Apa yang harus aku lakukan?"

Kobaran api yang mengambil wujud Tristan tidak menghiraukan.

Fransisca tidak punya keberanian untuk menatapnya.

Hening.

*

Daging-daging merah serta tulang belulang yang berdiri sebagai tembok labirin perlahan berubah menjadi sebuah area hutan dimana cahaya tidak dapat menembus pekatnya dedaunan.

Oni setengah mati melompat dengan satu kakinya berusaha menghindari kejaran makhluk di belakangnya. Kobaran api secara spontan muncul dari balik sisi pohon. Oni dengan cepat melempar pisau di sakunya, sebuah refleks ketika dirinya dalam bahaya.

Apa-apaan dengan masalah dosa-dosa ini? Aku hanya ingin keluar, kutuk Oni dalam hati.

Tidak seperti yang panitia katakan itulah yang menjadi perhatian Oni sekarang. Sebuah bagian dimana para peserta dihadapkan dengan dosa-dosanya bukanlah halangan baginya, tetapi berubahnya tempat acara akibat kabut hitam yang keluar dari 'teman'nya di ronde ini: Fransisca.

Persepsi Oni terhadap Fransisca mungkin tidak terlalu jauh seperti para peserta lainnya.

"Gadis yang benar-benar memuakkan," ujar salah satu peserta setelah mereka semua dikumpulkan saat hari pertama.

"Dia pasti akan menghabisi siapapun jika panitia tidak melarangnya."

Pendapat Oni tidak begitu jauh berbeda.

"Apapun yang terjadi, jangan biarkan iblis satu ini sampai di depan panggung. Habisi dia apapun caranya," ujar seseorang yang menyimpulkan strategi tim gurun di ronde ketiga.

Setelah ronde ketiga usai, siapapun yang tidak menganggap Fransisca adalah iblis yang dikirim untuk menghabisi nyawa semua peserta adalah orang yang terlewat baik.

Apapun alasan Fransisca bersikap seperti itu, Oni tetap harus berhati-hati. Ia memulai acara hari ini dengan mencari cara bertahan hidup. Namanya dipanggil bersamaan dengan Fransisca, diikuti oleh nafas lega oleh seluruh ruangan, kecuali Zenistia yang saat itu berusaha untuk tidak peduli.

Oni berpikir untuk segera menyergap Fransisca, namun dengan diangkatnya aturan untuk tidak membunuh pasti juga menanamkan ide yang sama di kepala Fransisca. Oni berpikir untuk menyergap Fransisca lebih cepat daripada Fransisca menghabisi dirinya.

Kedua peserta dipindahkan menuju ke sebuah area luas di labirin. Merah darah dan keroposnya tulang belulang langsung menusuk hati kecil para peserta.

Apakah sekarang saatnya?

Oni menyiapkan tangannya.

Seketika suara gemuruh memecah keheningan yang membunuh tersebut. Sosok raksasa yang badannya seluruh terbuat dari api muncul di hadapan mereka. Tulang belulang yang membentuk wajah dan bagian tubuh lainnya menatap peserta dengan mata dinginya yang dipenuhi api semerah darah.

Oni dan Fransisca langsung mengenali sosok di hadapan mereka sebagai Astaroth.

"Aku tidak akan mempedulikan alasan kalian datang kemari untuk melakukan apapun yang raja menyebalkan itu perintahkan. Aku juga tidak akan memakan kalian kalau memang kalian menjadi tawananku. Raja kikir itu akan kumiskinkan sebisa mungkin akibat ide lancangnya ini."

Oni dan Fransisca tidak mengatakan apapun.

"Tapi ketahuilah," Astaroth kembali bicara, "Yang akan menyebabkan kekalahan kalian disini bukanlah aku, melainkan diri kalian sendiri. Berjuang lah hingga jiwa terakhir kalian, makhluk kecil."

Astaroth kemudian meledak menjadi percikan api yang perlahan membakar dinding tulang belulang dan lantai tanah bercampur darah di sekitarnya. Fransisca langsung berlari menembus dinding api di depannya.

Sementara itu Oni menyadari pasar setelah belokan di ujung koridor ini. Ia melompat dengan cepat seperti kelinci yang kakinya kepanasan, dan mendapati keramaian di pasar.

Memanipulasi penduduk untuk memberikan kendaraan merupakan rencana cadangan Oni kali ini.

Biarkan saja tengkorak aneh itu yang menghabisi gadis itu, pikirnya.

Dengan kemampuannya, mudah saja bagi Oni untuk mencari penduduk yang gampang terintimidasi. Sosok Hyvt yang jauh dari kesan manusia tetap menyimpan perasaan dan emosi layaknya manusia.

Dalam kerumunan ia menjulurkan lidahnya, sebuah indera perasa yang bagi dirinya berfungsi untuk mencari siapapun yang cukup lemah untuk digunakan. Dirinya yang menjulurkan lidah di tengah kerumunan menjadi tontonan tersendiri bagi para Hyvt disana.

Teruslah lihat lidahku ini para Hyvt, dan tunjukkan diri kalian, batin Oni.

Seketika lidahnya berubah hitam. Oni panik. Emosi ini terlalu kuat bahkan untuk seorang emotian seperti dirinya. Oni menarik lidahnya dengan cepat, dan mendapati sebuah kabut hitam pecah dan menyebar ke segala penjuru labirin, menyelimuti Oni dan sekitarnya.

Sebuah suara berbisik pada dirnya dalam kabut hitam.

"Mau sampai kau melarikan diri, Oni?"

*

"Aku akan menjadi ratu yang baik seperti ibu."
Fransisca selalu menjawab seperti itu ketika ditanya tentang cita-citanya.
"Anak seorang raja dan ratu memang selalu seperti itu bukan?" tambah Fransisca ketika ditanyakan alasan mengenai cita-citanya.
Tetapi mungkin alasannya lebih dari itu, walaupun mungkin saat itu Fransisca tidak menyadarinya. Ia sangat senang dekat dengan orang-orang. Fransisca selalu menginginkan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar darinya. Ia ingin melindungi orang-orang yang dicintainya.
"Aku dan Tristan akan menjadi lebih baik dari ayah dan ibu!"
Dominico dan Alicia saling menatap satu sama lain.
Hari itu sedang musim panas, dan keluarga kerajaan sedang berlibur di sebuah villa di tengah hutan, jauh dari hiruk pikuk menyenangkan ibukota. Di tengah kesibukan mengurus kerajaan, Dominico dan Alicia tidak pernah melupakan waktu untuk anak-anaknya.
"Kenapa dengan Tristan?" tanya Dominico pada anaknya yang memasang wajah semangat sejak liburan dimulai.
"Bukankah selalu seperti itu? Ibu yang mengurusi kerajaan dan ayah yang membantu ibu," jawab Fransisca, "Aku yang akan menjaga kerajaan ini dan Tristan yang akan membantuku."
Tristan, yang berdiri di pojok ruangan dengan posisi selalu siap, menunduk, menyembunyikan wajah merahnya.
Alicia yang menyadari hal ini langsung tersenyum manis pada Fransisca, "Ibu senang kau berpikiran seperti itu. Tetaplah ingat, Fransisca, untuk selalu melakukan yang terbaik."
Fransisca langsung menghambur memeluk kaki ibunya. Alicia membalas dengan mengusap kepala anak kesayangannya itu. Dia tersenyum, walaupun sedikit pahit.
"Tristan kau tidak usah terlalu canggung dengan kami. Anggap saja kami sebagai keluarga."
"Si…siap, tuan," Tristan membungkuk dengan canggung.
"Benar Tristan, kita adalah keluarga. Ayo bergabung bersama kami," ujar Fransisca sambil tersenyum kecil pada Tristan.
Tristan makin canggung untuk mendekat.
"Hei Clarissa, kau juga kemari, ayo!"
Clarissa kaget dipanggil oleh kakaknya. Ia sedang asik menyendiri membaca buku. Gadis kecil itu menggeleng dengan cepat. Namun tiba-tiba badannya sudah dipeluk, lebih tepatnya ditimpa, dengan erat oleh Fransisca.
"Sebagai calon penasihat ku nanti, kau harus lebih mengenal ratumu sendiri. Kau juga harus mengenal kastilku ini," ujar Fransisca.
"Ini kan vila milik ayah dan ibu," jawab Clarissa dengan canggung.
Fransisca berbalik pada ayah dan ibunya, "Ini kastil punya Fransisca kan?"
Orang tua yang sedang menyeruput teh di kursi kayu tersebut hanya tersenyum kecil.
"Ayo, Tristan. Kau juga harus mengenal kastil ini. Bisa saja nanti ini kita jadikan rumah bersama," Fransisca langsung merenggut tangan Tristan dengan cepat.
Dominico dan Alicia berpesan pada rombongan anak-anak itu untuk berhati-hati, namun mereka tidak sempat menyampaikan apa-apa lagi karena Fransisca sudah membawa mereka menghilang ke lorong kiri.
Kedua pasangan itu saling menatap satu sama lain, dan mereka tersenyum.

*
Fransisca melihat kilas balik ingatannya dengan muka masam.

"Apa tujuanmu membawaku kesini? Aku tidak melihat apapun dari ingatan ini. Semua ini terjadi berkat kenaifan diriku, aku akui itu."

Seluruh ingatannya di mana ia tertawa dan bersenda gurau dengan ibunya merupakan sebuah kesalahan di masa lampau baginya. Ia tidak menyalahkan ibunya. Ia tidak menyalahkan siapapun. Dirinya tidak mengerti apapun saat itu pikir Fransisca. Ia menyalahkan dirinya karena terus terkenang ingatan tersebut.

"Jika saat itu aku berhasil merebut makhota darinya, apakah dirimu akan tenang disana, Tristan?"

Tidak ada siapapun disana.

Fransisca tidak mengerti. Ia pun kembali melangkah kemanapun ingatan ini membawanya.


*
"Kau berpikir kalau semua yang telah kulakan adalah salah?"

Oni berdiri di sebuah ruangan dimana bekas-bekas pembantaian mengotori lantai dan dinding. Tubuh-tubuh menumpuk di salah satu sisi dengan bilah pedang masih menancap di dada. Leher yang digorok dengan kejam menjadi penanda seorang lelaki di depan Oni.

Dinding-dinding di sekitar Oni perlahan buyar. Cahaya perlahan pudar dari Oni, mengembalikan mayat-mayat dan sosok di hadapan Oni yang memegang sebuah belati kedalam kegelapan. Sosok tersebut tidak menunjukkan perasaan apapun, namun Oni kesal bukan main menatapnya. Arwah dalam wujud kobaran api perlahan muncul dimana sosok itu berdiri.

"Kau masih tidak mengatakan apapun," Oni memalingkan wajahnya dari tumpukan tubuh tersebut dan kembali dalam gelap.

*

"Selalu mencoba memakai kekuatan untuk mencari jalan keluar, makhluk kecil?"

Koridor panjang dengan jendela yang membiarkan cahaya masuk menerangi sisi-sisi gelap dan karpet-karpet bulu sepanjang jalan koridor berubah menjadi sebuah arena pertempuran. Puing-puing tembok marmer berjatuhan mengotori lantai yang sebelumnya bebas dari debu.

Astaroth melipat kedua tangannya selagi meladeni Fransisca.

Gadis itu baru saya menyaksikan hal yang tak pernah ia ingin lihat kembali.

"Kau tahu kau tidak bisa mengalahkanku kan, Fransisca?" Astaroth dengan mudahnya melenyapkan semua bola-bola sihir Fransisca dengan satu gerakan. Bola-bola api menyambar Fransisca yang dipaksa mundur menjauh.

Ini sia-sia, dan Fransisca tahu betul tentang kekuatan Astaroth yang tidak akan pernah terluka. Tetapi gadis itu terus memaksa.

Astaroth melempar beberapa bola-bola api pada Fransisca yang menghindar dengan cepat. Bola-bola api menabrak dinding dan membuyarkannya, memunculkan barisan dinding labirin.

"Kau pikir kau bisa terus menerus memancingku seperti itu?"

Astaroth membentuk sebuah tombak besar dari api tubuhnya. Ditancapkannya tombak itu dan membakar seluruh koridor. Fransisca mencoba menghancurkan tembok itu dengan sihirnya, namun kemudian rasa kejut seperti listrik membuat dirinya tersungkur.

"Butuh berapa kali kesalahan untuk membuatmu sadar, Fransisca?" Astaroth tersenyum kecil melihat seorang gadis di depannya perlahan bangkit, "kau bahkan tidak akan mengakui ini semua disaat ajal menjemputmu."

"Jangan bicara seolah kau mengerti!"

Fransisca kalap. Ia menembakkan bola-bola sihir pada Astaroth yang bahkan tidak mengangkat satupun jarinya untuk menghentikannya. Banyak darinya menabrak dinding labirin yang lalu membuat tubuh Fransisca lemas, namun gadis itu terus bersikukuh. Badannya akhirnya benar-benar kehilangan tenaga saat sebuah lubang menunjukkan sebuah jalan keluar.

Fransisca dengan kakinya yang lemas lunglai bergegas menuju jalan keluar tersebut.

Namun ia tak menemui jalan keluar.

Fransisca melihat dirinya berdiri di ujung kegelapan. Tanduknya patah. Sebuah pertengkaran dengan ibunya berujung pada hilangnya semua harapannya. Ia kehilangan ayahnya. Ia kehilangan teman baiknya. Dan kini ia kehilangan kehidupannya.

"Mereka akan membalas semua ini," Fransisca mengepalkan tangannya yang penuh amarah.

Bunuh mereka.

Suara itu muncul dalam diri Fransisca.

Bunuh mereka.

Lantai-lantai dibawah Fransisca pecah. Menenggelamkannya lebih jauh kedalam kegelapan.

*
"Berhentilah, Oni. Sudah cukup."

Pesan terakhir kakaknya berputar bagaikan kaset rusak di kepala Oni. Pesan terakhir sebelum ia diterjunkan ke muka bumi.

Perang antar klan telah menguras habis diri Oni. Ia kehilangan belas kasihannya semenjak ia menarik belati tersebut untuk menusuk ayahnya sendiri. Bermandikan darah merupakan pengalaman yang tidak asing lagi baginya, namun kini tangannya berlumuran darah yang tidak akan pernah hilang.

Ayah Oni yang merupakan seorang komandannya sendiri, meregang nyawa di kamarnya. Oni tidak menangis kala itu, entah apa yang ia rasakan kala itu. Begitu ia menancapkan belati tersebut pada ayahnya yang terus memanggil namanya, Oni tidak pernah tahu harus berbuat apa. Tugas prajurit adalah menyelesaikan misi yang diberikan, Oni terus berpikir demikian. Tetapi, Oni berpikir ia mengambil tugas tersebut karena ia tidak ingin merasakan kecewa: kecewa ia tidak berada di samping ayahnya ketika ajalnya menjemput. Walaupun ia adalah seorang pengkhianat, Oni tetap menghormati ayahnya. Ia tidak ingin orang lain memberikan hukuman untuk ayahnya. Oni ingin membuat ayahnya meninggal sedamai mungkin.

"Lalu apa yang ninja itu lakukan?"

Malam itu Oni sedang berbagi padang rumput yang luas ini dengan seorang bocah yang ia temui saat turun ke bumi. Di bawah pohon rindang nan raksasa dan diselimuti angin sepoi-sepoi yang sesekali membelai rumput dengan pelan, Oni menceritakan kisah perjalanan seorang ninja yang kebetulan sangat mirip dengan kisahnya.

"Ninja itu lalu menghilang dan tak pernah terdengar lagi."

"Kenapa? Apa yang dia lakukan?"

Oni tidak tahu. Ia turun ke bumi mungkin memang untuk menghilang selamanya. Apa yang akan ia lakukan saat kembali nanti?

"Mungkin ninja itu tidak mengerti dengan apa yang terjadi, jadi mungkin dia pergi untuk memikirkan tentang hal tersebut."

Oni merasakan bibirnya bergetar, "Kau pikir ninja itu melakukan hal yang benar?"

Anak kecil itu menggeleng.

"Kau pikir dia bisa menemukan jalan lain tanpa membunuh ayahnya sendiri?"

Anak kecil itu kembali menggeleng

"Kau pikir," Oni mencari nafasnya yang hilang, "Orang itu bisa dimaafkan?"

Anak kecil itu tidak menggeleng, namun kini ia ikut tersedak.

"Apakah saat kembali nanti semuanya akan baik-baik saja?"

Anak kecil itu kemudian menyembunyikan wajah menangisnya pada lengan Oni, "Semua pasti akan baik-baik saja."

Oni berharap semua akan baik-baik saja.

Kini dirinya tahu bahwa bukan kematian ayahnya di tangan sendiri yang membuat ia berpikir untuk mengakhiri ini semua, tetapi ketakutan bahwa semua ini hanya akan bisa selesai jika dirinya menghilang. Ketakutan kalau hanya dalam kematian ia bisa menemukan jawabannya.

Kini ia menyadari kalau ada tempat lain untuk mencari jawaban tersebut. Mungkin. Atau mungkin ia tidak akan pernah menemukan jawaban yang ia cari, bahkan dalam kematian. Tapi, kini Oni memutuskan untuk tetap hidup.

*

"Kau tidak akan mendapatkan apapun dariku," Oni berbalik ke arah arwah api dibelakangnya yang menyala kian terang di tengah kegelapan.

Kilas balik barusan ditanggapi Oni dengan dingin, "Memang benar sampai saat ini aku tidak tahu apakah yang kulakukan ini benar atau tidak, aku mungkin tidak akan tahu. Tapi kau memang telah mengkhianati kami, kak."

"Apa yang ayah dan kau lakukan memang tidak dapat dimaafkan, tapi aku akan tetap mencoba mengerti. Kalian berdua mungkin berpikir untuk melindungi kami, tapi kalian tidak pernah mencoba berpikir bagaimana perasaan seluruh klan saat kalian mencoba menjual kami!"

"Kau sebut ini dosa? Kau sebut ini kesalahan? Kalau begitu kuterima kutukan ini. Aku akan terus membawa perasaan ini hingga ke liang kuburku nanti."

"Kau bertanya sampai kapan aku akan terus lari? Selamanya! Aku akan terus lari sampai kaki ini akhirnya menyerah. Aku akan terus berlari sampai aku menemukan akhir dari semua ini. Jika aku akan menemui ajal seperti kau, maka biarkan ajal itu datang."

Oni mengulurkan tangannya, membiarkan arwah api itu membakar seluruh tubuhnya. Perasaan sedih yang ia rasakan malam itu merupakan manis yang paling indah yang pernah ia rasakan, namun itu juga adalah yang paling kecut yang pernah ia cicipi.

Menyesal atau tidak, mungkin Oni tidak akan pernah tahu.

*

"Fransisca," Tristan membuat Fransisca yang berjalan di hadapannya berhenti, "kau akan pergi kesana besok?"

Fransisca memalingkan wajahnya ke arah jendela yang memunculkan suasana dedaunan yang gugur di luar sana, "Oh, sudah tiba waktunya."

"Aku bisa menemanimu," ujar Tristan, sedikit canggung, "jika kau mau."

"Entahlah. Aku pasti akan mengunjungi makam ayahku, tapi entah kapan aku akan bisa kesana."

Tristan ingin mengatakan untuk mencoba mengajak sang ratu, namun ia tahu hal itu mustahil.

"Fransisca kalau kau mau aku bisa--"

"Tristan, istirahatlah," Fransisca tersenyum ke arah pria disampingnya, "Hari ini kau sudah bekerja keras, jadi sekarang beristirahatlah. Aku akan mencari waktu besok untuk mengunjungi makam ayah."

Tristan mengangguk pelan dan berjalan pergi.

Ketika membuka pintu menuju ruang kerjanya, Fransisca mendapat seorang wanita tua sedang duduk dekat perapian di ujung ruangan.

"Bibi Laurell," Fransisca mengamati wanita yang rambutnya sudah memutih di kursi, "sejak kapan bibi disini?"

"Tidak terlalu lama, Fransisca. Aku kesini hanya ingin berkunjung menemuimu," ujar suara wanita itu dengan perlahan, "Kau tidak bersama Tristan?"

"Dia kembali kamarnya, mungkin kelelahan akibat kerja," Fransisca langsung duduk di kursinya dan membolak-balik beberapa lembar halaman.

"Kau bicara apa dengannya tadi?"

"Tidak banyak, hanya beberapa rencana untuk esok hari. Memangnya kenapa?"

Laurell terdiam sejenak memandangi percikan api keluar dari perapian.

"Bibi sudah makan? Aku bisa menyuruh seseorang membuatkan sesuatu."

"Kau tidak perlu repot-repot, Fransisca," Laurell bangkit dari kursi santai, "kau pasti masih memiliki banyak pekerjaan hari ini."

"Aku bisa menyuruh seorang pelayan."

"Umurku sudah tua. Tidak baik makan terlalu banyak."

"Baiklah. Kalau bibi perlu apapun katakan saja padaku."

Laurell tersenyum kecil ke arah Fransisca, "Sampai ketemu besok, Fransisca."

"Sampai besok, bibi," Fransisca tidak melempaskan pandangannya dari tumpukan kertas di mejanya.

Esok harinya Fransisca bertengkar hebat dengan ibunya. Fransisca selalu berpikir kalau ibunya lah yang membunuh ayahnya hari itu, namun baru hari ini ia terang-terangan menyampaikannya pada ibunya yang tengah dilanda penyakit.

"Kenapa ibu melakukannya?"

Alicia yang sudah harus mengenakan kursi roda tidak bisa menjawab Fransisca.

"Tuan putri, ratu sudah sangat lelah, mungkin tuan putri sebaiknya--"

"Jangan ganggu aku! Aku sedang membuat pembunuh ini mengakui perbuatannya. Kau tidak melakukan apapun untuk menolong ayah waktu itu, ibu bahkan tidak menangis!"

Fransisca mengepalkan tangannya yang penuh amarah.  Dirinya ingin sekali segera membuat wanita di hadapannya ini musnah selamanya, "Kalau saja…"

Ditengah amarahnya, Fransisca bertemu pandangan ibunya. Matanya yang sayu dan dingin, yang sudah perlahan ditinggalkan kehidupan.

"Ibu tidak pernah mengatakan apapun. Selalu bersembunyi di balik kamar tidur. Tidak pernah keluar atau melihat bagaimana kami berjuang setelah kehilangan ayah. Aku akan melihat ibu menjalani sisa 'hukuman' ini!"

Alicia masih terus diam.

"Ibu hanya memikirkan diri sendiri! Kau telah meninggalkan kami semua untuk mati perlahan disini."

Fransisca berbalik, mengalah pada para pelayan ibunya yang dari tadi menghalanginya. Bertahun-tahun Fransisca mengerahkan semua yang ia bisa untuk mencari bukti bahwa ibunya terlibat dengan kematian ayahnya harus segera menemui akhirnya.

Sang ratu tidak akan hidup lebih lama lagi. Semua orang kini ragu tentang siapa yang akan naik takhta berikutnya. Alicia belum memberikan suaranya sama sekali.

Namun, kini Alicia bertindak.

Fransisca merasakan sesuatu datang dari belakang dengan cepat, ia menoleh dan mendapati ibunya berdiri di hadapannya.

"Ibu…bisa berdiri?"

Alicia menolak semua uluran tangan yang datang kepadanya. Ini adalah keputusannya. Ia berjalan ke arah Fransisca, yang wajahnya dipenuhi kebingungan.

"Apa yang--"

Dan seketika, sebilah tanduk jatuh di kaki Fransisca, "Ibu…"

Mata Alicia bersinar putih, "Mulai hari ini…kau tidak boleh berada di kerajaan ini lagi!"

Fransisca tidak percaya. Seketika tubuhnya terhempas oleh angin kuat jauh ke luar kamar tidur Alicia.

"Kemasi barang-barangmu, dan tinggalkan kerajaan ini esok hari. Atau kau akan langsung menemui algojo kerajaan di lapangan pada siang hari. Pergi, anak tidak tahu terima kasih!"

Para pelayan langsung menutup pintu kamar sesuai perintah sang ratu. Meninggalkan Fransisca seorang diri.

Ia meraba kembali bagian kepalanya, dan merasakan tanduk itu kini telah tiada. Ia merasakan kekuatannya hilang. Kehidupannya perlahan hilang. Fransisca menghambur ke kamarnya.

"Mereka semua akan membalas hal ini."

Saat pagi menjelang, Fransisca menemukan kalau Tristan telah menjemput ajalnya sendiri. Ia tidak punya pilihan lain.

Sebelum matahari naik ke puncaknya, Fransisca telah pergi meninggalkan kerajaan. Seorang diri.
*

"Kau tidak akan pernah bisa lari, Fransisca."

Astaroth dengan kedua lengannya terlipat memperhatikan Fransisca yang sudah tidak bisa mengangkat kepalanya.

"Aku tidak akan pernah mengakui dirinya. Jika memang benar itu adalah kesalahanku, apakah itu berarti benar ibu tidak membunuh ayah?"

"Kupikir hantu yang mengejarmu adalah bocah itu."

"Jadi apa yang bisa kulakukan? Kembali kesana dan merebut takhta dari ibuku adalah satu-satunya cara untuk dia bisa memaafkanku. Aku tahu itu. Tapi…aku tidak akan bisa."

"Dan kau masih bermimpi untuk menjadi seorang ratu."

Fransisca tidak bisa menjawab Astaroth. Mungkin takdirnya untuk menjadi ratu hancur bersamaan dengan rusaknya tanduknya.

"Jadi, semua sampai disini? Kau akan memakanku?"

"Kau tidak ingin kembali ke rumah?"

"Aku…tidak tahu apa yang akan kulakukan setelahnya."

"Kau tidak akan menggulingkan ibumu? Atau mungkin merebut takhta itu dari adikmu? Membunuhnya demi mahkota?"

"Clarissa. Mungkin dia sudah menggantikan ibu. Dia tidak bersalah, jadi aku tidak mungkin membunuhnya. Dia pasti telah menjadi ratu yang hebat."

"Kau tidak merasa dicurangi? Mahkotamu dicuri setelah diusir. Kau tidak curiga mereka merencanakan ini semua?"

Fransisca sangsi, namun mungkin memang sekarang semuanya harus diakhiri, "Aku…kupikir aku terlalu banyak menghabiskan hidupku untuk hal tersebut. Aku tidak pernah sadar, dan akhirnya semua menjadi berantakan seperti ini."

"Kau menyerah?"

Fransisca mengangguk pelan. Bibirnya bergetar.

"Aku benar-benar telah mengecewakan semua orang. Mereka tidak akan pernah bisa memaafkanku, dan aku memang tidak pantas untuk dimaafkan."

Arwah api di hadapan Fransisca berkobar makin kencang, dan Fransisca hanya bisa menangis, "Maafkan aku, Tristan. Aku tidak bisa memenuhi janji kita. Aku gagal."

Arwah api itu meletup-letup. Percikannya menyambar kemana-mana.

"Raja sialan itu pasti senang sekali melihat orang seperti mu menderita," ujar Astaroth geram.

Fransisca tidak berkata apapun.

"Aku tidak akan memakanmu, gadis kecil, tapi aku punya satu permintaan," Astaroth menempatkan Fransisca pada telapak tangannya dan membawanya ke hadapannya, "Jika kau bertemu Mellow itu, hadiahkan sebuah pukulan telak sebagai balasan untuk pertolonganku."

"Tapi, aku sudah tidak tahu harus apa lagi."

"Katakan itu jika kita bertemu lain kali lagi, tapi untuk sekarang terima lah ini."

Astaroth membawakan api arwah Tristan itu pada Fransisca.

"Aku…aku telah gagal jadi…"

Astaroth tersenyum kecil, "Kau hanya akan gagal jika kau berhenti, gadis kecil. Kau tidak akan menemukan jawaban yang kau cari disini. Sebagian dari kalian menemukannya, dan sebagian tidak, dan itu tidak apa-apa."

Fransisca perlahan dibakar oleh api arwah tersebut, dan sejenak ia bisa mendengar suara Tristan berbisik, memanggil namanya. Ketika ia membuka matanya, Fransisca mendapati api tersebut telah lenyap.

"Kau hanya akan gagal disini jika kau berhenti. Lakukan kembali apapun yang tengah kau lakukan. Dan ingatlah ini Fransisca bahwa seseorang bisa menemui ajalnya akibat luka yang diterima orang lain."

Astaroth mengembalikan Fransisca ke tanah, dan semuanya kemudian kembali ke semula. Kabut hitam yang sedari tadi menyelimuti labiran seperti menguap dengan cepat.

"Kali ini, kau yang menang, makhluk kecil," Astaroth mengeluarkan suara lantangnya, "Tapi ketahuilah, kalau sisa dari kalian akan merasakan ajal yang sesungguhnya setelah ini. Pergilah dari hadapanku!"

Fransisca mengangkat kepalanya,"Terima kasih, Astaroth."

Fransisca melangkah menuju pilar Transportasi dan mendapati dirinya kembali ke ruangan peserta.

Fransisca mungkin tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Namun ia percaya, orang lain akan bisa memaafkannya.

Fransisca menggenggam erat kalung bunga lily di lehernya. Ia tidak tahu apa yang akan selanjutnya ia hadapi, namun Fransisca tahu ia tidak akan pernah sendiri lagi.

Fransisca merasa kini langkahnya lebih ringan, dan ia tidak pernah ragu lagi untuk tersenyum.

Bunuh mereka! Kau tidak akan bisa membohongi dirimu lagi, Fransisca!

Suara itu kembali. Lagi.

Semua berubah hitam. Lagi.



2018-07-30 22:07 GMT+07:00 lutfhi variant Hanif <lutfhivarianthanif@gmail.com>:
Ketakutan Seorang Iblis: Bagian Empat

Sesuatu itu seperti duri yang mengendap di dalam lehernya. Rasa sakit
muncul mencabik-cabik hati nuraninya setiap ia mengambil nafas.
Hidupnya adalah sebuah tragedi dimana Fransisca memenjarakan dirinya
sendiri semenjak kematian ayahnya: semenjak impiannya hancur
berantakan di antara kerumunan itu.

Tetapi, Fransisca tetap berdiri tegak di dalam penjaranya.

Rasa sakit dan kengerian yang telah ia alami terpatri di ingatannya
begitu dalam. Impiannya tidak lain adalah untuk tidak membiarkan hal
seperti itu terjadi lagi. Fransisca selalu menganggap dirinya harus
berdiri tanpa rasa takut dalam kegelapan yang ia buat ini.

Cahaya tidak pernah lagi mengunjungi Fransisca sejak itu.

Tapi kali ini, sebuah sinar menerobos penjara Fransisca. Sebuah cahaya
muncul di sudut matanya. Cahaya yang kian lama kian kuat bersamaan
dengan runtuhnya dinding-dinding di sekitarnya.

Fransisca bergidik. Matanya buram dan pipinya basah. Tangannya penuh
amarah yang tidak ia mengerti, "Aku tidak mengerti lagi. Ini semua
memang salahku. Ini semua karena aku begitu lemah dihadapannya. Aku
mengerti jika aku lebih kuat, hal ini tidak akan terjadi lagi."

Cahaya itu perlahan memperlihatkan apa yang sebelum disembunyikan oleh
kegelapan.

Sebuah ruangan kecil dengan sebuah kursi di tengah-tengahnya.

Fransisca terus mengerang, dirinya menangis. Entah kapan terakhir kali
ia menangis. Duri di dalam tubuhnya itu berubah menjadi  taring yang
mengoyak dirinya perlahan dari dalam. Teriakannya entah berasal dari
rasa sakit atau perasaan bersalah dalam dirinya.

Cahaya akhirnya menyelimuti seluruh ruangan.

Segala sesuatu yang disembunyikan akhirnya muncul ke permukaan.

Di tengah ruangan itu, dengan badan yang telah ditinggalkan seluruh
kehidupannya, seorang pria tergantung. Badan lemasnya masih berayun
perlahan. Kursi di ruangan tersebut jatuh tertendang kaki yang masih
terus berayun. Tristan mati di depan Fransisca.

"Kumohon, katakan padaku," pinta Fransisca, "katakan padaku. Apa yang
harus aku lakukan?"

Kobaran api yang mengambil wujud Tristan tidak menghiraukan.

Fransisca tidak punya keberanian untuk menatapnya.

Hening.

*

Daging-daging merah serta tulang belulang yang berdiri sebagai tembok
labirin perlahan berubah menjadi sebuah area hutan dimana cahaya tidak
dapat menembus pekatnya dedaunan.

Oni setengah mati melompat dengan satu kakinya berusaha menghindari
kejaran makhluk di belakangnya. Kobaran api secara spontan muncul dari
balik sisi pohon. Oni dengan cepat melempar pisau di sakunya, sebuah
refleks ketika dirinya dalam bahaya.

Apa-apaan dengan masalah dosa-dosa ini? Aku hanya ingin keluar, kutuk
Oni dalam hati.

Tidak seperti yang panitia katakan itulah yang menjadi perhatian Oni
sekarang. Sebuah bagian dimana para peserta dihadapkan dengan
dosa-dosanya bukanlah halangan baginya, tetapi berubahnya tempat acara
akibat kabut hitam yang keluar dari 'teman'nya di ronde ini:
Fransisca.

Persepsi Oni terhadap Fransisca mungkin tidak terlalu jauh seperti
para peserta lainnya.

"Gadis yang benar-benar memuakkan," ujar salah satu peserta setelah
mereka semua dikumpulkan saat hari pertama.

"Dia pasti akan menghabisi siapapun jika panitia tidak melarangnya."

Pendapat Oni tidak begitu jauh berbeda.

"Apapun yang terjadi, jangan biarkan iblis satu ini sampai di depan
panggung. Habisi dia apapun caranya," ujar seseorang yang menyimpulkan
strategi tim gurun di ronde ketiga.

Setelah ronde ketiga usai, siapapun yang tidak menganggap Fransisca
adalah iblis yang dikirim untuk menghabisi nyawa semua peserta adalah
orang yang terlewat baik.

Apapun alasan Fransisca bersikap seperti itu, Oni tetap harus
berhati-hati. Ia memulai acara hari ini dengan mencari cara bertahan
hidup. Namanya dipanggil bersamaan dengan Fransisca, diikuti oleh
nafas lega oleh seluruh ruangan, kecuali Zenistia yang saat itu
berusaha untuk tidak peduli.

Oni berpikir untuk segera menyergap Fransisca, namun dengan
diangkatnya aturan untuk tidak membunuh pasti juga menanamkan ide yang
sama di kepala Fransisca. Oni berpikir untuk menyergap Fransisca lebih
cepat daripada Fransisca menghabisi dirinya.

Kedua peserta dipindahkan menuju ke sebuah area luas di labirin. Merah
darah dan keroposnya tulang belulang langsung menusuk hati kecil para
peserta.

Apakah sekarang saatnya?

Oni menyiapkan tangannya.

Seketika suara gemuruh memecah keheningan yang membunuh tersebut.
Sosok raksasa yang badannya seluruh terbuat dari api muncul di hadapan
mereka. Tulang belulang yang membentuk wajah dan bagian tubuh lainnya
menatap peserta dengan mata dinginya yang dipenuhi api semerah darah.

Oni dan Fransisca langsung mengenali sosok di hadapan mereka sebagai Astaroth.

"Aku tidak akan mempedulikan alasan kalian datang kemari untuk
melakukan apapun yang raja menyebalkan itu perintahkan. Aku juga tidak
akan memakan kalian kalau memang kalian menjadi tawananku. Raja kikir
itu akan kumiskinkan sebisa mungkin akibat ide lancangnya ini."

Oni dan Fransisca tidak mengatakan apapun.

"Tapi ketahuilah," Astaroth kembali bicara, "Yang akan menyebabkan
kekalahan kalian disini bukanlah aku, melainkan diri kalian sendiri.
Berjuang lah hingga jiwa terakhir kalian, makhluk kecil."

Astaroth kemudian meledak menjadi percikan api yang perlahan membakar
dinding tulang belulang dan lantai tanah bercampur darah di
sekitarnya. Fransisca langsung berlari menembus dinding api di
depannya.

Sementara itu Oni menyadari pasar setelah belokan di ujung koridor
ini. Ia melompat dengan cepat seperti kelinci yang kakinya kepanasan,
dan mendapati keramaian di pasar.

Memanipulasi penduduk untuk memberikan kendaraan merupakan rencana
cadangan Oni kali ini.

Biarkan saja tengkorak aneh itu yang menghabisi gadis itu, pikirnya.

Dengan kemampuannya, mudah saja bagi Oni untuk mencari penduduk yang
gampang terintimidasi. Sosok Hyvt yang jauh dari kesan manusia tetap
menyimpan perasaan dan emosi layaknya manusia.

Dalam kerumunan ia menjulurkan lidahnya, sebuah indera perasa yang
bagi dirinya berfungsi untuk mencari siapapun yang cukup lemah untuk
digunakan. Dirinya yang menjulurkan lidah di tengah kerumunan menjadi
tontonan tersendiri bagi para Hyvt disana.

Teruslah lihat lidahku ini para Hyvt, dan tunjukkan diri kalian, batin Oni.

Seketika lidahnya berubah hitam. Oni panik. Emosi ini terlalu kuat
bahkan untuk seorang emotian seperti dirinya. Oni menarik lidahnya
dengan cepat, dan mendapati sebuah kabut hitam pecah dan menyebar ke
segala penjuru labirin, menyelimuti Oni dan sekitarnya.

Sebuah suara berbisik pada dirnya dalam kabut hitam.

"Mau sampai kau melarikan diri, Oni?"

*

"Aku akan menjadi ratu yang baik seperti ibu."

Fransisca selalu menjawab seperti itu ketika ditanya tentang cita-citanya.

"Anak seorang raja dan ratu memang selalu seperti itu bukan?" tambah
Fransisca ketika ditanyakan alasan mengenai cita-citanya.

Tetapi mungkin alasannya lebih dari itu, walaupun mungkin saat itu
Fransisca tidak menyadarinya. Ia sangat senang dekat dengan
orang-orang. Fransisca selalu menginginkan menjadi bagian dari sesuatu
yang lebih besar darinya. Ia ingin melindungi orang-orang yang
dicintainya.

"Aku dan Tristan akan menjadi lebih baik dari ayah dan ibu!"

Dominico dan Alicia saling menatap satu sama lain.

Hari itu sedang musim panas, dan keluarga kerajaan sedang berlibur di
sebuah villa di tengah hutan, jauh dari hiruk pikuk menyenangkan
ibukota. Di tengah kesibukan mengurus kerajaan, Dominico dan Alicia
tidak pernah melupakan waktu untuk anak-anaknya.

"Kenapa dengan Tristan?" tanya Dominico pada anaknya yang memasang
wajah semangat sejak liburan dimulai.

"Bukankah selalu seperti itu? Ibu yang mengurusi kerajaan dan ayah
yang membantu ibu," jawab Fransisca, "Aku yang akan menjaga kerajaan
ini dan Tristan yang akan membantuku."

Tristan, yang berdiri di pojok ruangan dengan posisi selalu siap,
menunduk, menyembunyikan wajah merahnya.

Alicia yang menyadari hal ini langsung tersenyum manis pada Fransisca,
"Ibu senang kau berpikiran seperti itu. Tetaplah ingat, Fransisca,
untuk selalu melakukan yang terbaik."

Fransisca langsung menghambur memeluk kaki ibunya. Alicia membalas
dengan mengusap kepala anak kesayangannya itu. Dia tersenyum, walaupun
sedikit pahit.

"Tristan kau tidak usah terlalu canggung dengan kami. Anggap saja kami
sebagai keluarga."

"Si…siap, tuan," Tristan membungkuk dengan canggung.

"Benar Tristan, kita adalah keluarga. Ayo bergabung bersama kami,"
ujar Fransisca sambil tersenyum kecil pada Tristan.

Tristan makin canggung untuk mendekat.

"Hei Clarissa, kau juga kemari, ayo!"

Clarissa kaget dipanggil oleh kakaknya. Ia sedang asik menyendiri
membaca buku. Gadis kecil itu menggeleng dengan cepat. Namun tiba-tiba
badannya sudah dipeluk, lebih tepatnya ditimpa, dengan erat oleh
Fransisca.

"Sebagai calon penasihat ku nanti, kau harus lebih mengenal ratumu
sendiri. Kau juga harus mengenal kastilku ini," ujar Fransisca.

"Ini kan vila milik ayah dan ibu," jawab Clarissa dengan canggung.

Fransisca berbalik pada ayah dan ibunya, "Ini kastil punya Fransisca kan?"

Orang tua yang sedang menyeruput teh di kursi kayu tersebut hanya
tersenyum kecil.

"Ayo, Tristan. Kau juga harus mengenal kastil ini. Bisa saja nanti ini
kita jadikan rumah bersama," Fransisca langsung merenggut tangan
Tristan dengan cepat.

Dominico dan Alicia berpesan pada rombongan anak-anak itu untuk
berhati-hati, namun mereka tidak sempat menyampaikan apa-apa lagi
karena Fransisca sudah membawa mereka menghilang ke lorong kiri.

Kedua pasangan itu saling menatap satu sama lain, dan mereka tersenyum.

*
Fransisca melihat kilas balik ingatannya dengan muka masam.

"Apa tujuanmu membawaku kesini? Aku tidak melihat apapun dari ingatan
ini. Semua ini terjadi berkat kenaifan diriku, aku akui itu."

Seluruh ingatannya di mana ia tertawa dan bersenda gurau dengan ibunya
merupakan sebuah kesalahan di masa lampau baginya. Ia tidak
menyalahkan ibunya. Ia tidak menyalahkan siapapun. Dirinya tidak
mengerti apapun saat itu pikir Fransisca. Ia menyalahkan dirinya
karena terus terkenang ingatan tersebut.

"Jika saat itu aku berhasil merebut makhota darinya, apakah dirimu
akan tenang disana, Tristan?"

Tidak ada siapapun disana.

Fransisca tidak mengerti. Ia pun kembali melangkah kemanapun ingatan
ini membawanya.


*
"Kau berpikir kalau semua yang telah kulakan adalah salah?"

Oni berdiri di sebuah ruangan dimana bekas-bekas pembantaian mengotori
lantai dan dinding. Tubuh-tubuh menumpuk di salah satu sisi dengan
bilah pedang masih menancap di dada. Leher yang digorok dengan kejam
menjadi penanda seorang lelaki di depan Oni.

Dinding-dinding di sekitar Oni perlahan buyar. Cahaya perlahan pudar
dari Oni, mengembalikan mayat-mayat dan sosok di hadapan Oni yang
memegang sebuah belati kedalam kegelapan. Sosok tersebut tidak
menunjukkan perasaan apapun, namun Oni kesal bukan main menatapnya.
Arwah dalam wujud kobaran api perlahan muncul dimana sosok itu
berdiri.

"Kau masih tidak mengatakan apapun," Oni memalingkan wajahnya dari
tumpukan tubuh tersebut dan kembali dalam gelap.

*

"Selalu mencoba memakai kekuatan untuk mencari jalan keluar, makhluk kecil?"

Koridor panjang dengan jendela yang membiarkan cahaya masuk menerangi
sisi-sisi gelap dan karpet-karpet bulu sepanjang jalan koridor berubah
menjadi sebuah arena pertempuran. Puing-puing tembok marmer berjatuhan
mengotori lantai yang sebelumnya bebas dari debu.

Astaroth melipat kedua tangannya selagi meladeni Fransisca.

Gadis itu baru saya menyaksikan hal yang tak pernah ia ingin lihat kembali.

"Kau tahu kau tidak bisa mengalahkanku kan, Fransisca?" Astaroth
dengan mudahnya melenyapkan semua bola-bola sihir Fransisca dengan
satu gerakan. Bola-bola api menyambar Fransisca yang dipaksa mundur
menjauh.

Ini sia-sia, dan Fransisca tahu betul tentang kekuatan Astaroth yang
tidak akan pernah terluka. Tetapi gadis itu terus memaksa.

Astaroth melempar beberapa bola-bola api pada Fransisca yang
menghindar dengan cepat. Bola-bola api menabrak dinding dan
membuyarkannya, memunculkan barisan dinding labirin.

"Kau pikir kau bisa terus menerus memancingku seperti itu?"

Astaroth membentuk sebuah tombak besar dari api tubuhnya.
Ditancapkannya tombak itu dan membakar seluruh koridor. Fransisca
mencoba menghancurkan tembok itu dengan sihirnya, namun kemudian rasa
kejut seperti listrik membuat dirinya tersungkur.

"Butuh berapa kali kesalahan untuk membuatmu sadar, Fransisca?"
Astaroth tersenyum kecil melihat seorang gadis di depannya perlahan
bangkit, "kau bahkan tidak akan mengakui ini semua disaat ajal
menjemputmu."

"Jangan bicara seolah kau mengerti!"

Fransisca kalap. Ia menembakkan bola-bola sihir pada Astaroth yang
bahkan tidak mengangkat satupun jarinya untuk menghentikannya. Banyak
darinya menabrak dinding labirin yang lalu membuat tubuh Fransisca
lemas, namun gadis itu terus bersikukuh. Badannya akhirnya benar-benar
kehilangan tenaga saat sebuah lubang menunjukkan sebuah jalan keluar.

Fransisca dengan kakinya yang lemas lunglai bergegas menuju jalan
keluar tersebut.

Namun ia tak menemui jalan keluar.

Fransisca melihat dirinya berdiri di ujung kegelapan. Tanduknya patah.
Sebuah pertengkaran dengan ibunya berujung pada hilangnya semua
harapannya. Ia kehilangan ayahnya. Ia kehilangan teman baiknya. Dan
kini ia kehilangan kehidupannya.

"Mereka akan membalas semua ini," Fransisca mengepalkan tangannya yang
penuh amarah.

Bunuh mereka.

Suara itu muncul dalam diri Fransisca.

Bunuh mereka.

Lantai-lantai dibawah Fransisca pecah. Menenggelamkannya lebih jauh
kedalam kegelapan.

*
"Berhentilah, Oni. Sudah cukup."

Pesan terakhir kakaknya berputar bagaikan kaset rusak di kepala Oni.
Pesan terakhir sebelum ia diterjunkan ke muka bumi.

Perang antar klan telah menguras habis diri Oni. Ia kehilangan belas
kasihannya semenjak ia menarik belati tersebut untuk menusuk ayahnya
sendiri. Bermandikan darah merupakan pengalaman yang tidak asing lagi
baginya, namun kini tangannya berlumuran darah yang tidak akan pernah
hilang.

Ayah Oni yang merupakan seorang komandannya sendiri, meregang nyawa di
kamarnya. Oni tidak menangis kala itu, entah apa yang ia rasakan kala
itu. Begitu ia menancapkan belati tersebut pada ayahnya yang terus
memanggil namanya, Oni tidak pernah tahu harus berbuat apa. Tugas
prajurit adalah menyelesaikan misi yang diberikan, Oni terus berpikir
demikian. Tetapi, Oni berpikir ia mengambil tugas tersebut karena ia
tidak ingin merasakan kecewa: kecewa ia tidak berada di samping
ayahnya ketika ajalnya menjemput. Walaupun ia adalah seorang
pengkhianat, Oni tetap menghormati ayahnya. Ia tidak ingin orang lain
memberikan hukuman untuk ayahnya. Oni ingin membuat ayahnya meninggal
sedamai mungkin.

"Lalu apa yang ninja itu lakukan?"

Malam itu Oni sedang berbagi padang rumput yang luas ini dengan
seorang bocah yang ia temui saat turun ke bumi. Di bawah pohon rindang
nan raksasa dan diselimuti angin sepoi-sepoi yang sesekali membelai
rumput dengan pelan, Oni menceritakan kisah perjalanan seorang ninja
yang kebetulan sangat mirip dengan kisahnya.

"Ninja itu lalu menghilang dan tak pernah terdengar lagi."

"Kenapa? Apa yang dia lakukan?"

Oni tidak tahu. Ia turun ke bumi mungkin memang untuk menghilang
selamanya. Apa yang akan ia lakukan saat kembali nanti?

"Mungkin ninja itu tidak mengerti dengan apa yang terjadi, jadi
mungkin dia pergi untuk memikirkan tentang hal tersebut."

Oni merasakan bibirnya bergetar, "Kau pikir ninja itu melakukan hal yang benar?"

Anak kecil itu menggeleng.

"Kau pikir dia bisa menemukan jalan lain tanpa membunuh ayahnya sendiri?"

Anak kecil itu kembali menggeleng

"Kau pikir," Oni mencari nafasnya yang hilang, "Orang itu bisa dimaafkan?"

Anak kecil itu tidak menggeleng, namun kini ia ikut tersedak.

"Apakah saat kembali nanti semuanya akan baik-baik saja?"

Anak kecil itu kemudian menyembunyikan wajah menangisnya pada lengan
Oni, "Semua pasti akan baik-baik saja."

Oni berharap semua akan baik-baik saja.

Kini dirinya tahu bahwa bukan kematian ayahnya di tangan sendiri yang
membuat ia berpikir untuk mengakhiri ini semua, tetapi ketakutan bahwa
semua ini hanya akan bisa selesai jika dirinya menghilang. Ketakutan
kalau hanya dalam kematian ia bisa menemukan jawabannya.

Kini ia menyadari kalau ada tempat lain untuk mencari jawaban
tersebut. Mungkin. Atau mungkin ia tidak akan pernah menemukan jawaban
yang ia cari, bahkan dalam kematian. Tapi, kini Oni memutuskan untuk
tetap hidup.

*

"Kau tidak akan mendapatkan apapun dariku," Oni berbalik ke arah arwah
api dibelakangnya yang menyala kian terang di tengah kegelapan.

Kilas balik barusan ditanggapi Oni dengan dingin, "Memang benar sampai
saat ini aku tidak tahu apakah yang kulakukan ini benar atau tidak,
aku mungkin tidak akan tahu. Tapi kau memang telah mengkhianati kami,
kak."

"Apa yang ayah dan kau lakukan memang tidak dapat dimaafkan, tapi aku
akan tetap mencoba mengerti. Kalian berdua mungkin berpikir untuk
melindungi kami, tapi kalian tidak pernah mencoba berpikir bagaimana
perasaan seluruh klan saat kalian mencoba menjual kami!"

"Kau sebut ini dosa? Kau sebut ini kesalahan? Kalau begitu kuterima
kutukan ini. Aku akan terus membawa perasaan ini hingga ke liang
kuburku nanti."

"Kau bertanya sampai kapan aku akan terus lari? Selamanya! Aku akan
terus lari sampai kaki ini akhirnya menyerah. Aku akan terus berlari
sampai aku menemukan akhir dari semua ini. Jika aku akan menemui ajal
seperti kau, maka biarkan ajal itu datang."

Oni mengulurkan tangannya, membiarkan arwah api itu membakar seluruh
tubuhnya. Perasaan sedih yang ia rasakan malam itu merupakan manis
yang paling indah yang pernah ia rasakan, namun itu juga adalah yang
paling kecut yang pernah ia cicipi.

Menyesal atau tidak, mungkin Oni tidak akan pernah tahu.

*

"Fransisca," Tristan membuat Fransisca yang berjalan di hadapannya
berhenti, "kau akan pergi kesana besok?"

Fransisca memalingkan wajahnya ke arah jendela yang memunculkan
suasana dedaunan yang gugur di luar sana, "Oh, sudah tiba waktunya."

"Aku bisa menemanimu," ujar Tristan, sedikit canggung, "jika kau mau."

"Entahlah. Aku pasti akan mengunjungi makam ayahku, tapi entah kapan
aku akan bisa kesana."

Tristan ingin mengatakan untuk mencoba mengajak sang ratu, namun ia
tahu hal itu mustahil.

"Fransisca kalau kau mau aku bisa--"

"Tristan, istirahatlah," Fransisca tersenyum ke arah pria
disampingnya, "Hari ini kau sudah bekerja keras, jadi sekarang
beristirahatlah. Aku akan mencari waktu besok untuk mengunjungi makam
ayah."

Tristan mengangguk pelan dan berjalan pergi.

Ketika membuka pintu menuju ruang kerjanya, Fransisca mendapat seorang
wanita tua sedang duduk dekat perapian di ujung ruangan.

"Bibi Laurell," Fransisca mengamati wanita yang rambutnya sudah
memutih di kursi, "sejak kapan bibi disini?"

"Tidak terlalu lama, Fransisca. Aku kesini hanya ingin berkunjung
menemuimu," ujar suara wanita itu dengan perlahan, "Kau tidak bersama
Tristan?"

"Dia kembali kamarnya, mungkin kelelahan akibat kerja," Fransisca
langsung duduk di kursinya dan membolak-balik beberapa lembar halaman.

"Kau bicara apa dengannya tadi?"

"Tidak banyak, hanya beberapa rencana untuk esok hari. Memangnya kenapa?"

Laurell terdiam sejenak memandangi percikan api keluar dari perapian.

"Bibi sudah makan? Aku bisa menyuruh seseorang membuatkan sesuatu."

"Kau tidak perlu repot-repot, Fransisca," Laurell bangkit dari kursi
santai, "kau pasti masih memiliki banyak pekerjaan hari ini."

"Aku bisa menyuruh seorang pelayan."

"Umurku sudah tua. Tidak baik makan terlalu banyak."

"Baiklah. Kalau bibi perlu apapun katakan saja padaku."

Laurell tersenyum kecil ke arah Fransisca, "Sampai ketemu besok, Fransisca."

"Sampai besok, bibi," Fransisca tidak melempaskan pandangannya dari
tumpukan kertas di mejanya.

Esok harinya Fransisca bertengkar hebat dengan ibunya. Fransisca
selalu berpikir kalau ibunya lah yang membunuh ayahnya hari itu, namun
baru hari ini ia terang-terangan menyampaikannya pada ibunya yang
tengah dilanda penyakit.

"Kenapa ibu melakukannya?"

Alicia yang sudah harus mengenakan kursi roda tidak bisa menjawab Fransisca.

"Tuan putri, ratu sudah sangat lelah, mungkin tuan putri sebaiknya--"

"Jangan ganggu aku! Aku sedang membuat pembunuh ini mengakui
perbuatannya. Kau tidak melakukan apapun untuk menolong ayah waktu
itu, ibu bahkan tidak menangis!"

Fransisca mengepalkan tangannya yang penuh amarah.  Dirinya ingin
sekali segera membuat wanita di hadapannya ini musnah selamanya,
"Kalau saja…"

Ditengah amarahnya, Fransisca bertemu pandangan ibunya. Matanya yang
sayu dan dingin, yang sudah perlahan ditinggalkan kehidupan.

"Ibu tidak pernah mengatakan apapun. Selalu bersembunyi di balik kamar
tidur. Tidak pernah keluar atau melihat bagaimana kami berjuang
setelah kehilangan ayah. Aku akan melihat ibu menjalani sisa 'hukuman'
ini!"

Alicia masih terus diam.

"Ibu hanya memikirkan diri sendiri! Kau telah meninggalkan kami semua
untuk mati perlahan disini."

Fransisca berbalik, mengalah pada para pelayan ibunya yang dari tadi
menghalanginya. Bertahun-tahun Fransisca mengerahkan semua yang ia
bisa untuk mencari bukti bahwa ibunya terlibat dengan kematian ayahnya
harus segera menemui akhirnya.

Sang ratu tidak akan hidup lebih lama lagi. Semua orang kini ragu
tentang siapa yang akan naik takhta berikutnya. Alicia belum
memberikan suaranya sama sekali.

Namun, kini Alicia bertindak.

Fransisca merasakan sesuatu datang dari belakang dengan cepat, ia
menoleh dan mendapati ibunya berdiri di hadapannya.

"Ibu…bisa berdiri?"

Alicia menolak semua uluran tangan yang datang kepadanya. Ini adalah
keputusannya. Ia berjalan ke arah Fransisca, yang wajahnya dipenuhi
kebingungan.

"Apa yang--"

Dan seketika, sebilah tanduk jatuh di kaki Fransisca, "Ibu…"

Mata Alicia bersinar putih, "Mulai hari ini…kau tidak boleh berada di
kerajaan ini lagi!"

Fransisca tidak percaya. Seketika tubuhnya terhempas oleh angin kuat
jauh ke luar kamar tidur Alicia.

"Kemasi barang-barangmu, dan tinggalkan kerajaan ini esok hari. Atau
kau akan langsung menemui algojo kerajaan di lapangan pada siang hari.
Pergi, anak tidak tahu terima kasih!"

Para pelayan langsung menutup pintu kamar sesuai perintah sang ratu.
Meninggalkan Fransisca seorang diri.

Ia meraba kembali bagian kepalanya, dan merasakan tanduk itu kini
telah tiada. Ia merasakan kekuatannya hilang. Kehidupannya perlahan
hilang. Fransisca menghambur ke kamarnya.

"Mereka semua akan membalas hal ini."

Saat pagi menjelang, Fransisca menemukan kalau Tristan telah menjemput
ajalnya sendiri. Ia tidak punya pilihan lain.

Sebelum matahari naik ke puncaknya, Fransisca telah pergi meninggalkan
kerajaan. Seorang diri.
*

"Kau tidak akan pernah bisa lari, Fransisca."

Astaroth dengan kedua lengannya terlipat memperhatikan Fransisca yang
sudah tidak bisa mengangkat kepalanya.

"Aku tidak akan pernah mengakui dirinya. Jika memang benar itu adalah
kesalahanku, apakah itu berarti benar ibu tidak membunuh ayah?"

"Kupikir hantu yang mengejarmu adalah bocah itu."

"Jadi apa yang bisa kulakukan? Kembali kesana dan merebut takhta dari
ibuku adalah satu-satunya cara untuk dia bisa memaafkanku. Aku tahu
itu. Tapi…aku tidak akan bisa."

"Dan kau masih bermimpi untuk menjadi seorang ratu."

Fransisca tidak bisa menjawab Astaroth. Mungkin takdirnya untuk
menjadi ratu hancur bersamaan dengan rusaknya tanduknya.

"Jadi, semua sampai disini? Kau akan memakanku?"

"Kau tidak ingin kembali ke rumah?"

"Aku…tidak tahu apa yang akan kulakukan setelahnya."

"Kau tidak akan menggulingkan ibumu? Atau mungkin merebut takhta itu
dari adikmu? Membunuhnya demi mahkota?"

"Clarissa. Mungkin dia sudah menggantikan ibu. Dia tidak bersalah,
jadi aku tidak mungkin membunuhnya. Dia pasti telah menjadi ratu yang
hebat."

"Kau tidak merasa dicurangi? Mahkotamu dicuri setelah diusir. Kau
tidak curiga mereka merencanakan ini semua?"

Fransisca sangsi, namun mungkin memang sekarang semuanya harus
diakhiri, "Aku…kupikir aku terlalu banyak menghabiskan hidupku untuk
hal tersebut. Aku tidak pernah sadar, dan akhirnya semua menjadi
berantakan seperti ini."

"Kau menyerah?"

Fransisca mengangguk pelan. Bibirnya bergetar.

"Aku benar-benar telah mengecewakan semua orang. Mereka tidak akan
pernah bisa memaafkanku, dan aku memang tidak pantas untuk dimaafkan."

Arwah api di hadapan Fransisca berkobar makin kencang, dan Fransisca
hanya bisa menangis, "Maafkan aku, Tristan. Aku tidak bisa memenuhi
janji kita. Aku gagal."

Arwah api itu meletup-letup. Percikannya menyambar kemana-mana.

"Raja sialan itu pasti senang sekali melihat orang seperti mu
menderita," ujar Astaroth geram.

Fransisca tidak berkata apapun.

"Aku tidak akan memakanmu, gadis kecil, tapi aku punya satu
permintaan," Astaroth menempatkan Fransisca pada telapak tangannya dan
membawanya ke hadapannya, "Jika kau bertemu Mellow itu, hadiahkan
sebuah pukulan telak sebagai balasan untuk pertolonganku."

"Tapi, aku sudah tidak tahu harus apa lagi."

"Katakan itu jika kita bertemu lain kali lagi, tapi untuk sekarang
terima lah ini."

Astaroth membawakan api arwah Tristan itu pada Fransisca.

"Aku…aku telah gagal jadi…"

Astaroth tersenyum kecil, "Kau hanya akan gagal jika kau berhenti,
gadis kecil. Kau tidak akan menemukan jawaban yang kau cari disini.
Sebagian dari kalian menemukannya, dan sebagian tidak, dan itu tidak
apa-apa."

Fransisca perlahan dibakar oleh api arwah tersebut, dan sejenak ia
bisa mendengar suara Tristan berbisik, memanggil namanya. Ketika ia
membuka matanya, Fransisca mendapati api tersebut telah lenyap.

"Kau hanya akan gagal disini jika kau berhenti. Lakukan kembali apapun
yang tengah kau lakukan. Dan ingatlah ini Fransisca bahwa seseorang
bisa menemui ajalnya akibat luka yang diterima orang lain."

Astaroth mengembalikan Fransisca ke tanah, dan semuanya kemudian
kembali ke semula. Kabut hitam yang sedari tadi menyelimuti labiran
seperti menguap dengan cepat.

"Kali ini, kau yang menang, makhluk kecil," Astaroth mengeluarkan
suara lantangnya, "Tapi ketahuilah, kalau sisa dari kalian akan
merasakan ajal yang sesungguhnya setelah ini. Pergilah dari
hadapanku!"

Fransisca mengangkat kepalanya,"Terima kasih, Astaroth."

Fransisca melangkah menuju pilar Transportasi dan mendapati dirinya
kembali ke ruangan peserta.

Fransisca mungkin tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.
Namun ia percaya, orang lain akan bisa memaafkannya.

Fransisca menggenggam erat kalung bunga lily di lehernya. Ia tidak
tahu apa yang akan selanjutnya ia hadapi, namun Fransisca tahu ia
tidak akan pernah sendiri lagi.

Fransisca merasa kini langkahnya lebih ringan, dan ia tidak pernah
ragu lagi untuk tersenyum.

Bunuh mereka! Kau tidak akan bisa membohongi dirimu lagi, Fransisca!

Suara itu kembali. Lagi.

Semua berubah hitam. Lagi.

Komentar