[Ronde 4] Irina Feles - Apocalypse State of Mind

By: Alcyon Verrel
"Bagaimana pendapatmu tentang TUHAN?"
Matahari senja mulai tenggelam di horizon, lautan mulai menampakkan warna kemerahan. Troya, terduduk di atas pasir pantai, meneguk kopi kalengnya.
"Dia begitu pengasih dan bijaksana. Setidaknya itu yang kutahu selama seribu milenia mengabdi."
"Lalu? Mengapa kau membuat masalah dengan menentangNya?"
Irene menatap dengan pandangan kosong.
"Ketika Lucifer menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap keputusan-Nya untuk menciptakan manusia, aku dan kak Sofi dipanggil ke katedralnya."
"Sofi?"
"Pistis Sophia, salah satu dari empat Seraphim, yang tertinggi dari para malaikat. Sophia dan Lucifer adalah salah satunya. Mereka mempunyai bawahan, katedral, bahkan realm-nya sendiri di Eden."
"Lalu?" cewek yang mengenakan wearpack ungu itu memandangi para nelayan Hyvt yang menarik perahu mereka mendekati pantai.
"Lucifer dan Sophia, hubungan mereka sangat dekat. Belum lagi dia adalah Seraphim  yang berpengaruh, Lucy mengajaknya bergabung dalam protes mereka."
"Sophia menolak?"
"Ya, dia bahkan memaksa Lucy membatalkan niatnya. Mereka hampir saja bertengkar kuat kalau saja kami tidak melerainya. Di saat terakhir sebelum pergi, kak Sofi mengancam akan melaporkan persekongkolan ini ke Archangel Mikail. Karena itu Balthazar dan para pengikut lainnya hendak menahan kami. Tapi Lucy membiarkan kami pergi."
"Berarti kalian berada di sisi Surga?"
Irene mengangguk kecil, "Begitu awalnya. Namun, pengusiran para pemberontak ke Jurang Maut, terutama Lucifer, membawa kepedihan luar biasa bagi Sophia. Apalagi bisa dibilang Sophia-lah yang membuat Surga menyadari pemberontakan Lucifer. Sejak saat itu dia terjatuh dalam duka yang berlarut-larut. Kedukaan Sophia mempengaruhi realm-nya. Depresi dapat membuat realm runtuh, begitu juga katedralnya dan para minion-nya."
"Kamu salah satunya?"
Irene mengangguk,"kami meminta kebijaksanaan Surga menyangkut hal ini. Karena bagaimanapun, apabila dibiarkan berlarut-larut, Realm Sophia akan ikut binasa bersama kami semua di dalamnya."
"Lalu, mereka tidak menggubrisnya?"
"Dominion Metatron menganggap sikap Sophia sama dengan pembangkangan sebagaimana Lucifer. Pengadilan Surgawi memutuskan untuk membiarkan kami runtuh bersama Sophia dan realm-nya."
"Karena itulah, kau memimpin pembangkangan?"
"Ya, kami memprotes kenapa Surga membuat keputusan yang semena-mena tanpa mempertimbangkan kondisi kami."
"Dan kalian dihukum seperti Lucifer?"
Irene mengangguk.
"Yang Maha Tinggi, sejak berkehendak menciptakan manusia, berubah sikap kepada kami. Dia kini lebih mencintai ciptaan baru-Nya itu dan mengabaikan kami, para malaikat yang senantiasa setia dan memuja-Nya tanpa lelah."
Troya tersenyum. Irene menarik nafas panjang sebelum melanjutkan.
"Apabila dosa, adalah sesuatu yang disematkan oleh Pengadilan Surgawi untuk setiap hal yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya, apakah berarti protes kami mempertanyakan keadilan-Nya adalah sebuah dosa? Bagiku, itu bukan dosa saat kau mempertanyakan ketidakadilan yang menimpamu!"
Troya mengangguk kecil. Dipandangnya batas horizon. Ada titik kecil muncul dan semakin terlihat membesar saat mendekati pantai. Troya menunjukkan  Irene titik itu.
"Apakah itu jemputan dari panitia?"
Irene hanya tepekur. Troya segera mengambil tas perlengkapannya. Gadis itu bersorak senang saat boat itu mendekati pantai dan android NGSR keluar menyapanya.
"Jangan terlalu diambil pusing, Irene. Yang penting kita bisa keluar dari pulau  ini!" ujar Troya riang sambil berjalan menuju perahu. Tapi langkah Troya terhenti saat melihat Irene terdiam.
"Kenapa?"
Irene hanya tersenyum. Hati Troya berdesir melihat senyum ganjil yang tidak pernah dilihat Troya dari Irene. Ada yang tidak beres.
"Irene?"
"Pergilah, motor boat itu menjemputmu, bukan aku."
"Hey, motor boat itu sudah di depan kita! Siapa peduli mereka menjemput aku atau kita? Ayo pergi!"
"Aku tidak bisa, Troya. Tidak sepertimu, yang kulihat di depanku hanyalah tembok tinggi."
"Ap-apa maksudmu?"
"Pulau ini belum selesai berurusan denganku."
"Ap…?!" Troya tercengang. Mulutnya masih menganga saat tubuh Irene memudar diantara dinding labirin.
+++
Saat membuka mata, Iriniel mendapati dirinya berada di hamparan padang bunga yang teramat luas.
Ada yang berjalan melaluinya, sosok dengan puluhan sayap putih berkilau dan tubuh bercahaya di balik gaun putih. Dia tengah menuju ke katedral putih yang berada di tengah-tengah hamparan.
Iriniel terpana melihat betapa cantiknya wanita di depannya. Saat tatapan mereka bertemu, Iriniel terperangah. Mulutnya kaku mengucapkan sebuah nama.
"Kak Sofia?"
Gadis dengan cahaya menenangkan dan puluhan sayap yang berkibas pelan itu menatapnya tersenyum. Senyum yang memberi guncangan tersendiri bagi Iriniel. Entah berapa lama dia begitu merindukan senyuman itu. Tanpa disadari, air matanya menetes. Iriniel menangis. Dikatupnya wajah dengan tangan meskipun itu tidak mampu menampung jatuhnya air mata.
Sophia beranjak menjauh. Iriniel segera menahannya. Dia ingin menghampiri dan memeluknya.
Dan bulu-bulu putih berhamburan dihembus angin. Tangan Iriniel menggapai kekosongan. Gadis di depannya memudar seiring angin yang bertiup semakin kencang. Iriniel menjerit kuat. Bunga-bunga putih berubah memerah dan layu. Katedral putih di depan mereka runtuh seiring mendung hitam yang menggantung di angkasa.
"Sophiaaaa…!!!"
+++
"Satu-satunya solusi untuk meloloskan diri dari Neraka Labirin ini adalah kalian harus menemukan resolusi dari dosa-dosa kalian!"
Apakah dosaku? Memberontak kepada TUHAN? Apakah memberontak karena mempertanyakan sebuah keadilan, sebuah dosa?
"Dosa terbesar kalian, dosa yang telah merubah kalian, membawa jalan hidup kalian seperti sekarang!"
Apakah bila Pengadilan Surgawi, TUHAN yang Maha Tinggi, menetapkan itu dosa, maka itu menjadi dosa? Apakah dosa hanyalah sebuah sudut pandang? Sesuatu abstrak yang yang hanya bisa dilihat dari indikator-indikator dan dibuat oleh sebuah eksistensi yang dipaksakan untuk menjadi bagian budaya?
"Apabila kalian tidak dapat menemukannya, maka berusahalah. Karena bila tidak, bersiap-siaplah terjebak selamanya disana."
Jadi kita sebagai makhluk-Nya hanya bisa menerimanya begitu saja? Status dosa itu? Meski bertentangan dengan keyakinan terdalam kita?
Saat Iriniel membuka matanya, dia berada di hamparan padang bunga yang luas dengan katedral putih di tengahnya.
Ada yang baru saja berlalu di hadapannya, sosok dengan puluhan sayap putih berkilau dengan tubuh bercahaya di balik gaun putih.
Iriniel menangkap senyum yang menawan dari wajah cantik gadis di depannya. Iriniel menghampirinya. Kedukaan tersirat dari wajah cantik itu.
"Aku akan menghadap Yang Maha Tinggi. Akan kujelaskan duduk perkaranya dan meminta pengampunan untuk Lucifer," ujar Iriniel.
Tapi gadis itu menggeleng lemah. Tangan lembutnya merengkuh wajah Iriniel. Dia seperti hendak berkata sesuatu.
Irene mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi.
Tangannya memegang segelas tuak. Ada hingar-bingar pesta di depannya. Kebanyakan sudah terbaring mabuk sementara lainnya masih berdansa sambil teler membawa botol mirasnya. Alunan musik tradisional ikut memeriahkan suasana dalam temaram perapian.
Irene mengusap wajahnya.
"Di-dimana aku?"
Ada hyvt menghampirinya. Irene memandang makhluk itu dan teringat para minion di Neraka Feles yang mempunyai perawakan mirip, makhluk berkulit semerah darah dengan tanduk patah dan sepasang sayap iblis. Tapi berbeda dengan para pembantu ayahnya itu, makhluk-makhluk disini terlihat lebih berbudaya.
Hyvt itu memberi hormat dan menuangkan lagi anggur ke gelas Irene. Setelah itu dia memberi hormat lagi dan berjalan menjauh. Irene melihat sekeliling. Dari sekian makhluk berkulit merah yang dilihatnya, ada satu yang berbeda. Irene mengenal gadis manusia itu.
Dihampirinya gadis yang terbaring teler itu dan mengguncang tubuhnya. Troya Meredith terbangun sambil mengerjapkan mata.
"Oh, hey sayang!?"
"Kamu, Troya kan?"
Troya menatapnya heran untuk selanjutnya tertawa keras. Saking terbahak-bahaknya, dia sampai terguling jatuh dari meja tempatnya tergeletak. Tapi itu tidak menghentikannya untuk tertawa kembali sambil bergulung di lantai.
Irene kembali menghampirinya dan membuang botol miras di tangan Troya.
"Hey! Itu minum-glup-ku...!"
"Troy, seriuslah! Dimana kita sekarang?"
"Dima-glup-na...? Disana rumah-glup-ku... da-glup-lam kabut biru... Hatiku sedih di ha-glup-ri Minggu..."
"Troya!" Irene menampar gadis itu. Troya mendesah keenakan dan meminta lagi. Irene seharusnya senang dengan reaksi sange itu.  Tapi kondisi aneh ini membuatnya harus berfikir waras.
Irene melihat salah satu pelayan membawa secawan air. Irene mengambil cawan itu lalu menyiramkan ke wajah Troya. Gadis itu langsung bangun sambil tergagap.
"Oh, hey, suamiku..., Kau sudah sadar duluan ya? Masih mau melanjutkan permainan 'siapa peminum terbanyak'?"
"Hey, kayaknya seru...," Irene mendadak antusias sebelum akhirnya tersadar "Apa maksudmu suami?"
"Ahahahaa...lucu sekali!  Kita sudah berumah-tangga selama dua puluh tahun dan kau masih menanyakan itu? Apa kau masih mabuk?"
Irene melongo.
"Apa maksudmu? Kita ini peserta kompetisi Battle of Realms! Bukan pasangan suami-istri dengan keluarga bahagia di rumah kuno abad pertengahan ini!" 
"Kau selalu saja hobi membahas sesuatu yang sudah lapuk dua puluh tahun lalu," tutur Troya tertawa dan menegak botol miras yang disajikan pelayan.
"Cukup! Jangan bercanda denganku, Troya!" Irene mulai kehabisan kesabaran dengan candaan cewek itu, "Kau dan aku dijadwalkan bertemu di ronde empat kompetisi Battle of Realms di pulau labirin di Esmetas Nanthara! Tapi kenapa kita malah berada di tempat ini?"
Troya menyentil jidat Irene hingga gadis itu berteriak kesakitan. Dia lalu melempar botol miras ke tanah hingga hancur.
"Brengsek! Sudah berapa kali kukatakan kepadamu! Disinilah kita! Inilah pulau Nanthara! Dan kita sudah terjebak di tempat ini selama dua puluh tahun!!!"
"A-ap…," kepala Irene berputar. Terjebak? Selama dua puluh tahun? Di pulau labirin ini? Bagaimana mungkin? Padahal seperti baru tadi dia bersama Troya memasuki pulau ini.
"Kau pasti bercanda!" Irene tertawa geli. Troya tidak menanggapi. Irene mencoba mengingat kembali saat-saat mereka kemari. Tetapi tidak ada apapun yang melintas di kepalanya.  Dia malah merasa semakin pusing dan hampir saja jatuh kalau Troya tidak segera memeluknya.
"Sayang, kamu hanya mabuk saja. Mengapa kita tidak bercinta saja dalam ranjang saja?" bisiknya sambil membawa Irene menuju kamar.
+++
Saat Iriniel membuka mata, dia berada di hamparan padang bunga dengan katedral putih di tengahnya. Ada yang baru saja berlalu, sosok dengan puluhan sayap putih berkilau dan  tubuh bercahaya di balik gaun putih.
Iriniel menangkap senyum yang menawan dari wajah gadis itu. Iriniel melihat kedukaan dari wajahnya. Gadis itu bergerak menjauh.
"Sophia! Tunggu!" Irene berusaha menahan Sophia. Air mata menetes dari wajah cantik itu. Iriniel berusaha merengkuhnya.
"Tunggu! Aku akan menghadap Yang Maha Tinggi. Akan kujelaskan duduk perkaranya dan meminta pengampunan untuk Lucifer! "
Gadis itu menggeleng lemah. Jarak mereka semakin menjauh padahal Iriniel sudah sebisa mungkin menghampirinya.
"Ta-tapi…"
Bibir gadis itu bergerak mengatakan sesuatu. Tapi Iriniel tidak bisa mendengar apapun.
Irene mendapati dirinya tergeletak dengan kepala terguncang-guncang di dashboard mobil. Dilihatnya Troya mengguncang bahunya sambil sibuk mengendalikan laju 1969 Dodge Dart miliknya.
"Kau sudah sadar? Bagus! Tengok ke jendela!" teriak Troya, "Lihat! Akibat idemu Raja Iblis bangkit!"
Sambil mengerjap-ngerjap mata, Irene melihat keluar jendela. Ledakan demi ledakan  muncul bersahut-sahutan diantara jalur mobil Troya. Dinding-dinding labirin diantaranya runtuh satu-persatu dihajar ledakan itu. Irene menatap Troya.
"Ap-apa yang terjadi? Dimana aku?"
"Kau yang mengusulkan untuk menerobos dinding labirin! Kini lihat siapa yang mengejar kita!"
 Sebuah ledakan menghajar jalur mobil Troya yang membuat pengemudinya harus membanting setir dengan keras ke arah samping agar selamat. Irene melihat ledakan semakin gencar di sekeliling mereka. Jalur tempa mereka melaju juga mulai berderak karena gempa. Irene mencubit pahanya hingga dia menjerit kesakitan, selanjutnya dia tertawa terbahak-bahak.
"Apa kau gila tertawa sendiri di saat seperti ini?"
"Kau boleh bilang aku gila! Tapi aku sempat bermimpi kita terjebak di pulau ini selama dua puluh tahun!"
"Ya! Itu akan terjadi kalau kau tidak melakukan sesuatu!"
Irene tertawa. Baginya lebih mudah menghadapi situasi seperti ini ketimbang situasi membingungkan dalam mimpinya. Troya memberikannya Gomora dari bangku belakang dan memberi isyarat untuk  melihat keluar jendela.
"Dimana Astaroth?" teriak Irene keluar jendela sambil memandang ke arah belakang mencari pengejarnya.
"Dia di atasmu!" teriak Troya. Irene mendongakkan kepalanya  ke atas. Dia melihat bentuk wajah berukuran gigantis yang menutupi langit. Atau bisa dibilang kalau langit itu sendiri dibentuk dari wajah Astaroth. Irene terpana beberapa detik. Sesuatu yang bersinar yang dikira Irene matahari adalah mata satu-satunya Astaroth. Dari mata itu, hujan meteor muncul dan menyerang mereka dengan tumbukan ledakan. Melihat seberapa tidak masuk akalnya ukuran lawan, Irene tertawa kesetanan.
"Kau punya ide?" teriak Troya dari kursi kemudi.
"Kau teruskan membawa mobil! Aku akan menghajarnya!"  sahut Irene sambil menaiki atap mobil. Disana, dia menebaskan Gomora di udara kosong. Sebuah portal terbentuk dan menampilkan Monster yang dipenuhi balutan api.
Menaiki Monster, Irene membawa motor itu melaju dari atas atap mobil Troya. Monster melaju kencang menuju salah satu dinding labirin. Begitu jarak semakin dekat, Irene mengangkat roda depan Monster dan membuat motor berapi itu menyusuri dinding labirin menuju puncaknya.
Sepanjang perjalanan vertikal motor itu, Irene menggeber Monster berkali-kali sekuatnya. Hingga ketika mencapai puncak dinding, dengan momentum yang tepat , motor itu, seperti roket, meluncur lurus ke arah langit menuju mata Astaroth.
Melihat gelagat Irene, Astaroth membuka mulutnya. Dari dalam mulut berukuran gigantis itu keluar ratusan benda hitam yang berterbangan seperti lalat menuju arahnya. Saat Irene memperhatikan lebih seksama, mereka adalah para hyvt dengan perawakan seperti yang dijumpai Irene dalam mimpinya, tetapi dengan sayap yang memadai untuk terbang. Mereka mulai menghampiri Irene.
Tapi Irene lebih lincah. Dia melompat ke depan Monster yang masih meluncur ke atas. Dengan menebaskan Gomora, Irene membuat portal dari udara kosong. Bersama-sama Monster, Irene masuk ke dalam portal tepat saat para hyvt terbang itu menghampirinya.
Tak lama, terbentuk portal di dekat mata satu Astaroth. Irene dengan menaiki Monster, muncul dari baliknya. Dia membawa Monster menuju mata Astaroth.
Astaroth tidak tinggal diam. Dia melepaskan tembakan meteor ke arah jalur lompatan Irene. Sekali lagi Irene harus mendahului Monster dan menebaskan Gomora untuk memasukkan meteor-meteor yang meluncur ke arahnya ke dalam portal.
Alhasil, Irene yang mendarat terlebih dahulu di mata Astaroth sementara Monsternya menghantam sisi lain dari mata. Wajah gigantis itu bergetar, kesakitan mungkin. Irene menarik Gomora bertepatan saat para hyvt terbang menghampirinya. Irene bergerak menghajar mereka.
Sementara Irene sibuk dengan para hyvt terbang, hyvt lainnya yang keluar dari pori-pori kulit Astaroth, mulai bergerak menyerang Irene. Irene didesak dari dua arah. Dia harus meladeni mereka yang menyerangnya dari angkasa sambil sebisa mungkin bertahan dari serangan mereka yang berlari menghampirinya.
Jumlah hyvt yang berdatangan tidak sebanding dengan jumlah hyvt yang dibantai Irene. Kewalahan, Irene menggelar portal untuk kabur. Dia masuk di saat bersamaan ketika para hyvt mulai mengerubutinya.
+++
Saat Iriniel membuka mata, dia berada di hamparan padang bunga dengan katedral di tengahnya.
Iriniel melihat Sophia berlari melaluinya menuju katedral. Iriniel meneriakkan namanya untuk menahan gadis itu.  Sophia  berhenti dan menoleh.
"Aku akan menghadap Yang Maha Tinggi…"
Gadis itu menggeleng lemah. Iriniel menatap matanya yang sayu. Iriniel hendak menghampirinya untuk memeluknya. Namun semakin dia mendekati Sophia, semakin jauh gadis itu dari dirinya.
"Mengapa kau menjauh? Apa salahku?"
Sophia menggeleng. Mulutnya mengucapkan sesuatu yang tidak terdengar oleh telinga Iriniel. Iriniel mencoba berlari menghampirinya saat tiba-tiba angin berhembus kuat dan membuat tubuh Sophia berhamburan seperti kelopak bunga yang diterbangkan angin.
Irene mendapati dirinya diantara dinding-dinding belulang labirin. Suasana terasa hening disana. Tidak ada siapapun. Irene berdiri dan memperhatikan sekeliling. Sejauh mata memandang hanya lorong-lorong tak beratap dibatasi dinding-dinding yang tinggi.
Saat mencoba berdiri, Irene merasakan sakit yang cukup perih. Dia terkejut melihat tubuhnya dipenuhi memar dan luka.  Selain itu pakaian minimalis yang biasa dia pakai berganti gaun putih usang dan robek. Sayap kanannya hilang, hanya ada pangkalnya yang berdarah. Sementara sayap kirinya hampir susah untuk digerakkan.
Tidak tahan, dia memanggil Gomora. Tetapi tidak ada satupun yang muncul dari tangannya. Berkah Neraka Feles yang dimilikinya hilang. Diteriakkannya nama Troya, Rasyid, panitia lomba, atau siapapun yang bisa dia ingat. Tetapi lorong-lorong itu tetap hening. Hanya terdengar gema suara yang semakin menjauh.
Irene bergidik. Suasana semakin kelam. Kegelapan semakin terasa berat menggantung. Cahaya yang muncul dari temaramnya matahari dan obor-obor yang diletakkan asal-asalan memperburuk suasana. Irene hanya bisa mendengar suara nafasnya sendiri.
Dicobanya melangkahkan kaki. Dengan menumpu pada dinding belulang, Irene membawa tubuhnya menyusuri lorong. Dia tidak punya petunjuk harus jalan kemana. Irene berjalan sekenanya. Setiap ada percabangan, dia mengandalkan insting meskipun itu belum tentu memberikan solusi.
Cukup lama dia berjalan, dia mendengar suara langkah kaki di depannya. Seorang wanita mengenakan gaun putih kotor dan bersayap satu sedang menyeret tubuhnya diantara dinding labirin, tepat beberapa meter di depannya.
Irene memanggilnya. Namun gadis itu tetap saja melangkah. Irene memaksakan tubuhnya bergerak menghampiri si gadis sembari berteriak ke arahnya. Tetapi semakin dia berlari, gadis di depannya semakin menjauh. Di ujung lorong dia membelok.
Saat Irene sampai, gadis itu menghilang. Irene melihat ke seluruh lorong-lorong yang ada disana. Tapi tidak ada siapapun.
Beberapa saat kemudian, langkah kaki terdengar dari salah satu lorong. Irene melihat sesosok gadis yang sama, bergaun putih kotor dan bersayap satu sedang menyeret tubuhnya di dinding labirin menuju arahnya.
Saat hendak menyahut, bulu kuduk Irene berdiri. Gadis itu memiliki perawakan yang sama dengannya. Gadis itu sangat mirip dengannya. Irene masih tidak bisa mempercayai kalau gadis yang sedang menuju ke arahnya itu adalah dirinya sendiri.  Saat dia semakin dekat, Irene sebisa mungkin menjauh darinya.
Dia bisa mendengar suara gadis itu memanggilnya. Dia bisa merasakan langkah gadis itu yang semakin cepat mengejarnya. Dipenuhi ketakutan yang ganjil, Irene menuju ke salah satu ujung lorong dan membelok secepat mungkin disana.
Irene mendapati dirinya diantara dinding-dinding belulang labirin. Dia melongok ke belakang, mencari gadis pengejarnya tadi. Tetapi tidak ada apapun di belakangnya selain dinding belulang manusia yang tinggi menjulang. Dia kebingungan.
Saat kembali menoleh ke depan, dia mendapati dirinya berada di hamparan tanah kosong. Tidak ada apapun disana selain suasana temaram yang ganjil. Dinding besar yang ada di belakangnya tadi juga sudah menghilang.
Dia mendapati rasa sakit yang tadi dia rasakan sudah hilang. Pakaian yang dia pakai juga kembali seperti biasanya, bukan gaun aneh seperti tadi. Gomora juga sudah ada di genggaman.
Irene mulai optimis. Dengan memegang Gomora, berarti dia bisa membuat portal. Dia ingin segera keluar dari kekacauan ini. Tetapi di saat itu juga dia melihat sinar terang muncul dari ketinggian. Dia melihat ratusan hujan cahaya menyinari langit di atasnya. Dia melihat dirinya sendiri dan beberapa malaikat lain yang dia kenal, meluncur di dalam cahaya itu menuju tanah.
Irene melihat Abadon, malaikat gigantis bersayap iblis dengan tiga wajah tengkoraknya dalam jubah hitam kelam, menyambut kejatuhannya. Irene melihat dirinya ditangkap oleh malaikat tangan-tangan mengerikan malaikat itu. Irene melihat sebuah lubang gelap yang berpusar hebat di bawah Abadon. Irene melihat dirinya sendiri yang menjerit kesetanan dengan wajah yang semakin menua seiring tangan-tangan Abadon melemparnya ke dalam pusaran gelombang mengerikan itu.
+++
Saat Irene membuka mata, dia berada di hamparan padang bunga dengan katedral di tengahnya.
Irene melihat Sophia berlari melaluinya menuju katedral. Dia berdiri dan meneriakkan nama gadis itu untuk menahannya. Seketika itu juga, gadis itu menoleh.
Irene melihat Mephisto Feles berdiri di hadapannya.
Ayahnya, si pria tua renta dengan wajah dipenuhi keriput mengerikan. Dengan kepala botak dan tuxedo kelam serta tongkat berukiran ular berkepala dua untuk menahan tubuhnya yang terlalu renta, menatap Irene sambil tersenyum.
"Ayah?!"
"Apakah kau masih berusaha memberikan pembenaran diri kalau semua yang kau lakukan, bukanlah dosa?"
Pria itu berujar sebelum mengiris daging steak di atas piringnya. Irene meletakkan segelas anggur setelah menenggaknya dan mengangguk pelan.
"Apakah kau masih merasa yakin kalau pengadilan Surgawi telah semena-mena terhadap Lucifer dan pengikutnya?"
Irene mengangguk dan mengambil potongan kentang.
"Dan kau masih merasa perlu untuk mencari kunci Jurang Maut untuk membebaskan Lucifer dan pengikutnya karena menurutmu Yang Maha Tinggi memperlakukan mereka tidak adil?"
"Tidak bisakah Ayah tidak mencampuri urusanku ini?"
Mephisto menelan daging yang dimakannya untuk selanjutnya berkata, "Apa yang kau dapatkan kalau kau sudah melakukan itu semua? Rasa puas karena telah melakukan hal yang menurutmu benar? Apa bagimu, kalau kau membebaskan Lucifer dan kroninya, maka semuanya akan kembali seperti semula?"
Irene berdiri sambil membanting meja makan, "Persetan! Aku tetap akan berjuang mendapatkan kunci itu!"
Mephisto menyeringai kecil sambil menyalakan lilin-lilin di atas nisan tua itu.
"Kau tahu putriku? Aku sebenarnya sangat kasihan kepadamu," Mephisto berujar lagi sambil melangkah menuju ke arah lilin-lilin di nisan yang lain. Irene mengikutinya.
"Kasihan karena aku masih bersikeras  dengan tindakan yang menurutmu bodoh dan sia-sia ini?" balas Irene membantunya menyalakan lilin di nisan sebelahnya, " Aku tahu, jasamu membebaskanku dari Abadon dan Jurang Maut adalah hal yang sangat..., aku tidak akan sanggup membalas hutang budi itu. Tapi itu bukan berarti kamu bisa mengekangku dari apa yang ingin aku lakukan!"
Area pekuburan itu semakin terang dengan lilin-lilin yang menyala. Mephisto berhenti di salah satu nisan.
"Tidak Irene. Aku kasihan kepadamu karena kamu masih belum bisa menyadari apa yang terjadi sementara kamu sendiri masih bersikeras bertahan dalam kebodohanmu!"
Irene melihat namanya terpahat di atas nisan di depan Mephisto. Ada lubang bekas galian di depan nisan itu. Kuburan itu kosong.
"Kamu sudah bertindak terlalu jauh. Usahaku untuk membesarkanmu di Neraka agar kau bisa memulai kenyataan hidup baru dan melupakan masa lalumu, tampaknya tidak berhasil. Masa lalumu masih kuat dalam ingatanmu," keluh Mephisto.
Di saat itu juga, ada sosok yang muncul dari dalam lubang kuburan itu. Sosok bergaun putih kotor dan bersayap satu dengan wajah yang sangat menyerupai Irene. Sosok itu meraih pergelangan kakinya. Irene menjerit kuat saat tubuhnya terjatuh dan diseret oleh sosok itu menuju ke dalam lubang.
"A-ayaaah! To-tolong!!! Ku-kumohon!!!"
Mephisto menggeleng, " Satu hal yang membuatku sangat sedih adalah, sebegitu kuatnya kau mencengkeram masa lalu hingga kau tidak tahu lagi mana realita dan mana imajinasi yang kau bangun untuk membenarkan perbuatanmu!"
Irene menjerit sekuat-kuatnya saat sosok itu semakin menariknya ke dalam lubang. Dia berusaha menggapai apapun untuk bertahan. Tetapi tangan-tangan yang merengkuhnya semakin banyak. Tubuhnya semakin terperosok ke dalam lubang.
+++
Apakah dosaku? Memberontak kepada TUHAN? Apakah memberontak karena mempertanyakan sebuah keadilan, sebuah dosa?
Irene mendapati dirinya berada di hamparan padang bunga dengan katedral di tengahnya. Dia melihat sesosok gadis bergaun putih berlari melaluinya.
Saat Irene hendak menyapa, Sophia sudah menoleh terlebih dahulu kepadanya. Tatapan gadis itu dipenuhi kesedihan. Irene melihat mulut Sophia bergetar mengatakan sesuatu. Irene terbelalak dan menatapnya tidak percaya.
Tidak, bukan itu. Aku tidak pernah sedikitpun berkeinginan memberontak kepada TUHAN. Tetapi aku sudah jengah dengan kedukaan yang terus kau tunjukkan kepada kami. Aku tak bisa membiarkan kau terus-menerus bergelimang dalam kesedihan. Aku ingin mengakhirinya.
Sophia bergerak menjauh darinya. Irene terkejut melihat  darah yang bersimbah keluar dan tangan Sophia yang penuh darah memegangi perutnya. Darah segar mulai membasahi gaun putihnya dan jatuh ke hamparan bunga. Irene melihat wajah iba gadis itu beserta air mata yang mengalir di wajah yang menatapnya tak berdaya.
Iriniel mendapati tangannya memegang rapier yang berlumuran darah. Iriniel terkejut hingga rapier itu terjatuh ke hamparan bunga. Dia melihat hasil perbuatannya dengan tatapan tidak percaya. Sepersekian detik kemudian dia berteriak kesetanan sambil memegangi kepalanya.
Aku, kau, kita semua akan hancur bila kau berlarut-larut dalam kedukaanmu. Ingin kuakhiri masa pengabdianmu. Biarkan aku, pengabdimu paling setia, yang jadi Seraphim menggantikanmu dan mengembalikan keseimbangan dari Tahta Yang Maha Tinggi. Dengan rapier ini, izinkan aku membunuhmu.
Bunga-bunga putih berubah merah untuk selanjutnya layu. Katedral yang tegak berdiri mulai runtuh seiring mendung gelap di atas kepala. Angin padang menerbangkan kelopak-kelopak mati. Tanah berderak retak. Tubuh Sophia mulai memudar bersama dekapan sayap-sayap putih yang diterbangkan angin.
Iriniel melihat tanah meranggas, retak, dan terbelah hingga menampilkan jurang-jurang dengan gelegak api di baliknya. Dari tempat katedral tadi runtuh, berdiri lagi katedral baru berwarna gelap dengan ukiran menyeramkan. Langit menampilkan warna darah diiringi kilatan petir di segala arah. Iriniel melihat dirinya berubah. Kecantikannya memudar. Sayap kanannya melapuk dan hancur. Luka-luka dan memar mulai bermunculan di sekujur tubuhnya tanpa sebab.
Belum selesai Iriniel terkejut. Ratusan cahaya muncul di depannya. Seorang pria berjubah ksatria, Archangel Mikail muncul dengan pedang bersimbah cahaya diarahkan ke wajahnya.
Aku tidak pernah sekalipun menentang Surga. Aku hanya menginginkan dunia kami tidak hancur dalam kedukaan Seraphim Sophia.
+++
Troya melambaikan tangan ke arah motor boat panitia yang mulai mendekati garis pantai. Jemputannya untuk keluar dari Pulau Nanthara sudah tiba. Wajah Troya menunjukkan keceriaan yang sangat.
"Akhirnya, jemputan sudah tiba," ujar Troya dengan pandangan berbinar ke arahnya. Dia lalu mengambil perlengkapan dan menghampiri motor boat yang sudah berhenti di bibir pantai.
+++
"Kau yakin memanggilnya adalah ide bagus, Rasyid?" Miranda berucap sambil melihat ke jendela kamar. Beberapa orang sibuk memindahkan pasien dari ranjang ke stretcher untuk dibawa menuju ambulan.
"Dia terlalu banyak tahu urusan kita dengan kompetisi ini. Membawanya pergi adalah tindakan terbaik!" balas Rasyid sambil mengikuti tatapan Miranda ke balik jendela.
"Obat penenang yang kauberikan padanya tampaknya bereaksi cukup baik. Halusinasi yang muncul benar-benar sesuai keinginan kita," tukas Miranda.
Rasyid tersenyum kecil dan membalasnya, "Barang produksi NGSR selalu memuaskan konsumen, bukan?"
"Ya! Tapi semoga saja mereka tidak menyadarinya atau bisa-bisa kita terkena masalah bermain-main dengan pasien mereka!"
"Jangan kuatir," Rasyid melihat seseorang keluar dari kamar itu, "Mereka tidak akan peduli selama pasien mereka tidak meronta gila. Lagipula ini rahasia kita berdua. Ratu tidak perlu tahu."
Miranda mengangguk perlahan. Saat itu juga seorang pria menghampiri mereka.
"Terima kasih sudah menghubungi kami," ujar si pria tua botak itu menyeringai sambil bertelekan pada tongkat berukiran ular miliknya, "Kami akan mengurus sisanya."
Rasyid dan Miranda mengangguk.
"Apakah dia sudah lama disini? Dia termasuk pasien yang cukup bermasalah di asylum kami. Semoga kalian tidak terlalu direpotkan olehnya," ujarnya lagi sambil memandang pasien yang dibawa orang-orang berjas hitam menggunakan stretcher keluar kamar.
Rasyid dan Miranda menggeleng bersamaan. Pria itu tersenyum lagi dan menjulurkan tangan.
"Kudengar Ronde Empat baru akan dimulai, semoga perhelatannya berjalan sukses! Selamat tinggal, Tuan Rasyid dan Nyonya Miranda!"
"Selamat jalan, Tuan Abadon!" sahut Rasyid diikuti Miranda. Setelah bersalaman, pria tua itu pamit membawa serta pasien itu bersamanya.
+++

Komentar