[Ronde 5] Worca Shiwite — Nazca, Bagian 1

By: Ten Percent Roll

[1]

Kunci oranye, yang sementara, Worca beri nama Ray Orange County. Atau, [Kunci Minda]. Kreasi penggembok ingatan dari Elle Negrad, memiliki satu kegunaan : memaksa seseorang lupa akan satu hal. Dan dalam kasus Worca, ia melupakan Piwi Shiwite. Beserta segala kenangan yang ia punya bersama seseorang yang mempunyai nama itu.

Sejak hari pertama turnamen, Worca kukuh menolak percaya seekor ayam berbicara adalah adiknya. Siapa memang yang bakal? 

Tapi, kasus terpecahkan. Seharian ini, memori mengenai Piwi, plus semua yang mereka lalui bersama, pulih. Tak terkecuali momen di mana Piwi dibelah dua oleh Negrad.

Tinggal satu pertanyaan. Cara Piwi kembali ke wujud mutanwi-nya. Apa karena Worca mengingat Piwi? Salah. 

Mari mengupas kisah dari 40 hari silam. Selepas eksekusi mati Piwi.

Ia terjun ke neraka. Timbangan amalnya berat sebelah — amal baiknya ringan, sementara amal buruknya berat, berkat konsisten bergajak angkuh dan berkata kotor. Jaksa akhirat menuding, tentunya bukan ke arah surga.

Piwi, telanjang, menggigil jeri. Memeluk badan sendiri, berjalan gelisah. Anak tangga dari batuan legam yang berkerikil tajam ia turuni. Angin yang mendesiskan kikik iblis menerpa, kadang bertambah kuat hembusannya, menjahili siapa yang meniti. Piwi terpaksa memperkokoh berdirinya, merelakan kerikil runcing menelusuk. Jerit kepayahan lepas.

Menengok ke bawah justru ide bodoh. Jurang masif yang berkobar. Di sisi-sisinya, beratus tombak tumbuh. Raga para pendosa menggantung di sana, berdarah dan hangus. Piwi berpaling cepat, panik. Keringatnya yang sudah bikin rambut lepek jadi kian deras.

Sayangnya, semua itu kalah oleh calon malaikat yang ditugasi untuk menyiksanya. Besar, bersayap puluhan, serba kelabu. Tinggi besar, bayangannya di tanah sudah mirip karpet. Piwi terjatuh, lemas. Ia merasa bisa pingsan kapan saja.

"Malang."

Sang malaikat iba. Mengejek betapa lemahnya mental Piwi? Tidak. Seberani apapun makhluk fana di dunia, di neraka sebelas-duabelas kucing disiram air.

Justru, utusan Tuhan  itu kasihan pada nasib Piwi. Memahami sepenuhnya lelaki kecil itu terlalu dini meninggalkan dunia. Terlampau tak adil takdir memperlakukannya. Keterlaluan hukum sarat keberpihakan yang memaksanya ada di kondisi serba menyedihkan. 

Malaikat tersebut pun mendorong Piwi pelan. Sekedip mata, ia telah seinci di luar gerbang neraka. Berbalik, tampak malaikat tersebut sudah tak mengerikan lagi. Abyad, suci dan menenteramkan.

"Kamu akan terlahir kembali. Gunakan kesempatan ini untuk bertaubat dan menyebarkan kebaikan di dunia."

Piwi menitikkan air mata bahagia. Bibirnya tersendat-sendat memanjatkan syukur dan terima kasih. Ia sontak berlutut. Menjura sarat kelegaan.

"Tetapi, sebagai hukuman bagimu yang selalu berjalan dengan angkuh di atas tanah, merendahkan sesamamu, dan berucap fasik…"

[2]

"….Engkau akan dibangkitkan dalam wujud yang tak memungkinkanmu untuk sombong," tutur Piwi. Meniru apa yang sang malaikat ucapkan. "Aku di-respawn as a lil chicken, so dumb. Di peternakan ayam kawasan Bumpof. Shit, di sana bau tai ayam."

"Wow," balas Worca malas.

Sepulangnya dari labirin Andarabhula, keduanya berbincang laksana kawan lama.

Tiap harinya, Piwi mengoleksi rongsok besi di area sekitaran Bumpof. Merekonstruksi ulang Square Boomstick dari nol. Berharap bisa menciptakan alat yang mengubahnya jadi mutan. Selesainya, Rasyid yang kagum akan kejeniusanku mengutus anroid menjemput! El-em-a-o."

Dan beginilah wujud normal Piwi : bersurai merah muda seperempat putih, pipi tembam, dan iris sekelir milik kakaknya. Untuk satu-dua alasan, ia memakai baju yang persis punya Worca. Atasan abu-abu bercorak putih —baju tahanan mutan— plus leather pants bercorak gigi T-Rex. Tak lupa rompi hijau pucat panjang.

"Punyamu mana?" Tanya Piwi, melihat rompi hijau Worca tak ada pada tempatnya.

"Kujual," jawab Worca.

"Serius?"

"Iya. Juga helm," Terusnya, merujuk pelindung dagu segilima yang ia selalu kenakan. "Dan Mana Boomstick. Juga hadiah ronde satu. Semua kujual di Hvyt Marketplace, haha."

"Azz, terserahmu. Tolol sih," ujar Piwi lesu. Bisa-bisanya melego Mana Boomstick seakan senjata magis itu murah dan tak sukar diperoleh.

Kembali ke kilas balik, Piwi kembali ke bentuk mutanwi-nya ialah karena ronde keempat. Andarabhula di Nanthara sukses merekonstruksi ketakutannya saat di neraka asli. Beruntung, wujudnya yang kecil sukses menyulitkan Astaroth menombaknya. Walau ia tak kunjung boleh keluar lantaran menganggap keangkuhan dan kegemarannya mengumpat sangat keren. Dihadiahkan puluhan jalan buntu oleh Astaroth.

Lelah dan putus asa, alam bawah sadarnya otomatis memutar ulang seluruh kesalahan yang pernah diperbuatnya. Piwi si ayam, bertaubat. Tahu-tahu, kembali jadi mutan. Agaknya, cara melepas kutukannya dari awal ya bertaubat. Kenapa tidak dari dulu, Piwi menyesal. Pantas untuknya.

"Labirin neraka itu absolusi yang dibuat khusus untukku, Whore-ca. Semua supaya aku kembali ke wujud fabulous ini," ujarnya, berpose mirip Josuke.

"Sekarang kamu mengulang semua dosamu, adik bangsat. Ayo masuk labirin itu lagi, aku minta tolong Raja Mellow," tutur Worca, menarik lengan sang adik.

"Jangan menggodaku, Whore-ca bajingan!" Umpat Piwi. Worca menjotosnya gara-gara ledekan kasar itu. Piwi membalas. Akhirnya mereka berkelahi sampai larut.

Besoknya, Piwi bangun pukul satu dini hari. Kebiasaan saat masih di Bumpof, si mantan ayam rajin begadang. Balik jadi mutan, malar tabiat itu. Siklus tidurnya rusak.

Bosan, ia menarik kursi, menaikinya seusai mendekatkan perabot itu pada almari. Serutan yang timbul membangunkan sang kakak. Mengambil kunci sewarna aprikot di atasnya — Ray Orange County.

Meniliknya penuh selidik, si mantan ayam masih penasaran mengapa objek tersebut bisa mengunci ingatan sang kakak atas dirinya. Bohlam imajiner muncul di atas kepala. 'Oke', desis Piwi. Tanpa babibu menancapkan [Kunci Minda] ke telinganya sendiri.

"Pandir!" Bentak Worca.

Ray Orange County susut, menyesuaikan ukurannya agar pas di lubang telinga yang bakal dimasuki. Tersedot masuk begitu mudahnya. Piwi terduduk lemas, seakan energinya dihisap pihak ketiga nirvisibel. Lalu, tidur.

Saat kelopaknya kembali naik, kamar hotel berikut furnitur di dalamnya sirna. Oranye total. Sensasi tenggelam dalam lautan jus jeruk membasahi. Piwi, masih bernapas lancar.

Biota khayali kolosal — besarnya ratusan kali lipat raga Piwi — berenang menghampiri. Polkadot Stingray, atau [Pari Memori]. Ikan pari berbintik ingatan.

Si mantan ayam tersedak. Alih-alih momen manis, bercak sirkular yang ia lihat menayangkan memori pahit. Tangisan berlarut-larut kedua orang tuanya tatkala dirinya menyusul sang kakak ke terungku. Hukuman yang para sipir berikan. Santapan mirip sampah yang ia konsumsi tiap hari.

Sementara di dunia nyata, Piwi bertempik berisik. Worca berinisiatif memanggil bala bantuan; kebetulan sekali barusan lewat.

Sementara, menyelami level terbawah alam bawah sadar, kuasa Ray Orange County aktif : melupakan satu orang. Elle Negrad, seseorang yang Piwi pilih. Perlahan, bintik Polkadot Stingray yang menayangkan sosok gotik bermata emas di dalamnya, hilang.

[3]

"Terima kasih, Riven," ujar Worca. Menyaksikan kepala sang adik ditusuk belati psikis bocah ninja.

"Sama-sama, kak," balas Riven. Mencabut Ray Orange County dari aliran mental Piwi.

Sebangunnya, si mantan ayam bertempik kencang. Worca mengaduh solot. Gangguan nental sang adik kambuh.

"Riven, lagi!" Minta Worca. Riven spontan menghunus belati psikisnya, menusuk betis Piwi, menyentuh asap legam —aliran mental— yang berkelun-kelun tipis darinya.

"Tidur sampai besok," perintah Riven. 'Pasien'nya pun terlelap tak berdaya.

"Sekali lagi…"

"Tidak perlu," sela Riven, menepuk pundak Worca. "Apa yang kakak lakukan di Andarabhula sangat berarti bagiku."

"Ugh, liris," Worca melepas tangan si ninja. "Sikapmu bumi dan langit. Aneh, Riven."

"Perasaanmu saja, tuh," balas Riven.

"Lagipula, Ven, ada apa menjelang subuh begini seperti induk kehilangan anak? Mau bertindak kriminal ya?" Tuding Worca, sedikit menahan tawa.

"Mau ke ruang tembak. Latihan lempar shuriken."

"Rajin. Setahuku kamu memang selalu berlatih, tapi tumben malam-malam. Gila?"

"Aku ingin mendorong tubuhku ke potensi terbaiknya. Maksudku… Supaya Rasyid nanti membuat badan sibernetik yang jauh lebih hebat. Kalau baca statistikku naik, dia pasti bikin prostetik yang lebih kuat!"

"Masuk akal," ungkap Worca. "Hanya, jangan paksakan dirimu, lho."

"Sudahlah, dok," Riven berdeham renyah. "Dokter tidak usah menasehati saya."

"Betul yang anda katakan," Worca turut berdeham. "Tapi ini kan sekedar saran. Kalau penyakitnya tambah parah, akan sulit disembuhkan."

"Tapi kan ada obatnya, dok."

Kedua remaja itu tahu-tahu terpingkal dalam nurani. Referensi Taubat 35 memang terbaik.

Sementara Piwi, dalam bunga tidurnya, berada pada penjara mutan. Terduduk, kakinya berdansa. Ketakutan. Elle Negrad, dengan wajah datar, mendekat dengan gunting jingga masif. Baru beberapa detik dihapus, memori pahit itu pulih.

[4]

"Tidak penting, penasaran banget sih, tolol," Ucap Piwi, seusai ditanyai 'mimpi apa semalam?'.

"Yup yup. Joget cacingmu selesai baru pas kamu bangun. Bantalmu basah keringat. Serius tak mau cerita?" Kata Worca.

"Diam Whore-ca, fuck," balas si mantan ayam.

"Ya sudah, lahap jajanan sedap ini saja demi ketenangan hatimu," tutur Worca, menyendok krim dingin pada mangkuk di hadapan Piwi. "Toot toot, Thomas mau lewat. Hehe."

"Aku bukan balita, idiot."

Piwi menghela napas, membuang karbon dioksida dan secuil keresahan. Baru ancang-ancang menghabisi sajian lezatnya, tau-tau ia menguak; Worca menjewernya. "Gegabah. Seperti, dulu?" Si gadis mutan menyunggingkan senyum. "Selamat karena telah membuktikan keaslianmu ke dua ratus persen, Piwi Gaskins."

"Bawel," Ledek Piwi, membenci plesetan namanya — ke band berisi manusia. Ia benci manusia! —  teramat sangat. Dalam hati, memang agak menyesal main-main dengan Ray Orange County.

Memerhatikan sekitar, tampaknya kedai es krim ini tengah ramai pengunjung. Puluhan kursi bar sewarna buah ceri ada yang menduduki. Tiga perempatnya ialah kontestan Battle of Realms kedelapan ini, memaksa figuran-figuran tidak relevan menjadi minoritas. Es krim pesanan masing-masing menemani. Denting yang ditimbulkan sendok dan nampan kaca bersahutan. Terlebih, mayoritas kompak memelototi ponsel layar sentuh —diposisikan horizontal — dalam genggaman.

Sang kakak pun sama. Si mantan ayam mengintip apa yang ditampilkan telepon genggam Worca; punggung seorang pria berbaju loreng. Berdikari di sabana. Dalam sudut pandang orang ketiga, karakter game tersebut lari zig-zag. Tiba-tiba, mengeluarkan senapan serbu, memuntahkan timah panas yang berdesing bising. Target yang disasar tumbang, jasadnya beralterasi ke boks berisi barang jarahan. Worca terpingkal puas.

Mulut Piwi membentuk angka nol. "MPPA yang lagi naik daun itu," batinnya.

MPPA — Medan Perang Pemain Awanama, permainan daring di mana 100 orang terjun payung dari helikopter ke sebuah pulau tak berpenghuni, yang mana di tiap rumah, losmen, menara, kontainer, pom bensin, gorong-gorong, dan lokasi-lokasi spesial lainnya, tersebar senjata, berkotak-kotak amunisi, pakaian beragam jenis, tas, bom asap, bom cahaya, bom molotov, bom at-anjing, dan masih banyak lagi. Tersedia untuk dipungut karakter pemain yang mulanya bertangan hampa.

Lalu, ada mobil, kapal, dan sepeda motor. Jerigen bensin pun tergeletak di sana-sini, sebab si kendaraan virtual juga bisa habis bahan bakarnya.

Menoleh ke sisi berlawanan, Piwi mendapati seorang kakek awet muda bertahi lalat — Raja tengu, Hei Heiheihei — berjalan menuju kursi selagi menunduk menatap ponsel. Ia memainkan gim Battle Royale pula. MK — Malam Keempat. Atau, Fourth Night.

Dibanding MPPA, MK terkesan kartunis. Dunianya disusun oleh warna-warni mencolok. Mengusung tema dunia fantasi yang meriah bin sureal, unsur-unsur dalam game ini banyak yang unik — sanggup melukis kerut di kening pemain-pemain baru. Contohnya kendaraan, yang bukannya otomotif sangar seperti MPPA, malah troli Walmart. Mau bergerak pun perlu didorong pemain lain. Lalu, yang mengantarkan peserta juga bukan helikopter masif, melainkan bus sekolah terbang bertenaga roket. Ada ada saja!

Berkeliling, Piwi mengintip layar ponsel orang-orang, yang sesuai tebakannya, semua bermain MPPA atau MK. Kembali ke tempat duduk, si mantan ayam berlisan, "Firasatku kalian mainnya bukan murni ingin."

"Saya hanya ikut saran dari yang lain," sahut Heihei, seraya mengelus anting emas berbentuk simbol yen di kuping. Tak sadar avatar MK-nya disambangi rentetan peluru. Jemari yang dipakai bermain anting telat memilin analog. Tewaslah ia sebagai urutan sembilan puluh sembilan. Heihei menjeritkan delapan mantra keramat andalannya khusyuk.

"Anda ingin membuat keributan? Pesan lagi  atau keluar dari sini?!" Tawar seorang pelayan yang penampilannya tidak terlalu penting untuk diceritakan, menyodorkan menu pada pria gagak.

"Saya isi ulang mangkuk ini! Pakai kartu diskon!" Tempik Heihei, membanting kupon makan gratis 90% di semua penjaja kuliner sekitaran hotel pemberian Miranda.

"Siap," sang pelayan tersenyum lebar. Berbalik, ia malah lesu, melangkah gontai ke kasir. "Babi kau pemilik kupon diskon," umpatnya lirih.

Dan, penular kecanduan gim pandemik ini tak lain tak bukan ialah Balthor. Pria kekar — yang kini tengah bergaya dengan jaket bomber, celana jeans, dan sepatu kulit trendi — tersebut tampak makmur. Duduk di sofa smoking area, ditemani dua maid dari hotel, segelas coffee float, satu pak rokok, dan ponsel gaming. Kakinya ia sandarkan pada pouffe kayu berbentuk sapi lucu.

"Aku merayu orang dalam. Wa-wanita tentunya! Minta bocoran ronde lima ini kita mau apa," terang Balthor. "Dia jawabnya berhubungan dengan Battle Royale. Saat kutanya 'seperti di film itu?' bilangnya cuma simulasi dalam gim."

Menghibdari predikat pelit, Balthor membagi informasinya pada semua kontestan yang ia temui. Kecuali satu, Abu. Agaknya, pria yang kulitnya dipenuhi rajah magis ini luar biasa benci pada teroris. Malah, mungkin usahanya mengulik bocoran ronde lima ya, biar punya preparasi mumpuni untuk melawan Abu. Sebab di ronde satu dan tiga ia gagal.

Besoknya, Caraka Karang tiba. Elf super gaptek itu minta diajari ini dan itu oleh peserta-peserta lain, yang dengan senang hati dibantu. Imbalannya pertunjukan pantun jenaka semalaman.

Besoknya lagi, Mauve si serangga ungu datang. Hapenya iSoul. Baru mulai, timbul kegaduhan. Capit runcingnya merusak iSoul. Walakhir si ponsel harus diantar ke tukang servis selagi terus mendengungkan ringtone musik metal. Ia harus rawat inap.

Besoknya lagi, Pito Siebenna si angka tujuh kertas bertandang. Minta diajari cara bermain MPPA, semua orang mendadak tuli.

Besoknya lagi, skuad lelembut tiba. Rizka, Emir Boom, dan Dian. Ketiganya tidak menunjukkan gajak abnormal sedikitpun. Selain, keberadaan mereka sendiri. Pengunjung non-kontestan takut, lari terbirit-birit menjauhi kedai. Pemilik kedai menyusul, "Bayar, goblok!" Serunya.

Besoknya lagi, Abu datang. Hari ini, entah kenapa kedainya kosong. Pemiliknya sendiri tidak ada. Bingung, si teroris melenggang pergi.

Hari kedelapan. Balthor, terengah-engah, mendobrak pintu kedai. Berwarta, "sepertinya, kita nanti mainnya VR! Gerakan karakter berdasar gerakan kita!" Teriaknya lantang. Para kontestan yang ada bubar, menyerbu ruang latih tembak, selagi merasa bodoh dan tertipu.

[5]

Hari H.

Seluruh kontestan digiring panitia ke arah ruangan biru metalik. Luas. Tabung-tabung setinggi tiga meter tersebar. Para peserta satu-satu dituntun untuk memasukinya.

VR Headgear dan VR Googles menggantung dalam tabung tadi. Saat salah satunya dikenakan, yang tersisih menarik diri, masuk ke katup tersembunyi di langit-langit.

Menoleh ke atas, tampak Rasyid si kaleng sumringah luar biasa menyaksikan teknologi kreasi terbarunya dikenakan banyak orang. Lengking modem galat lolos. Rasyid menahan tawa robotik anehnya itu. Baru tiba, Miranda dan Soraya duduk berhimpit di kirinya, sementara Raja Mellow berdiri tegap di kanannya. Si petinggi NGSR kembali bersikap normal.

Staf yang ada mengurus konfigurasi sistem. Menekan tombol ini-itu yang jelas bukan tanggung jawab peserta untuk menghafalkan fungsinya, atau menyesuaikan harmonisasi sensor gerak pada peserta-peserta yang wujudnya non-humanoid. Sebut saja Pito, iSoul, Tanpa Nama, dan Mauve. Mereka dapat VR Headgear modifikasi yang dibuat hanya satu. Ya buat mereka sendiri saja.

Kecuali, Tom. Si anomali mengambil wujud seorang manusia dewasa bernama Burhan, semata-mata agar bisa memasang VR Googles secara normal.

Worca, mengikuti berpuluh entitas yang ada, mengenakan si kacamata canggih. Pemandangan ruang luas tadi berganti menjadi abyad. Arkian, aksara legam mewujud, menampilkan NGSR, Hadyatha Group, dan Gwenevere Kingdom, selaku sponsor-sponsor atau mitra-mitra dalam peluncuran Battle Royale VR pertama dan digadang-gadang bakal jadi gim terbesar abad ini : Terra Royale.

"Meski ini cuma permainan remeh dibanding ronde-ronde lawas, bukan hidup mati pula, mohon serius, kutil printil," tutur Raja Mellow. 

"Kesuksesan launching perdana juga beberapa persen bergantung pada kalian," susul Rasyid.

"Buatlah pertarungan yang semenarik mungkin!!" Pekik Soraya.

"Dan ya, kau tahu, poin yang bakal didapat di ronde ini bakal besar sekali. Lebih besar dari ronde-ronde sebelumnya. Makin dekat deh, dengan harapan kalian sejak mendaftar turnamen ini," timpal Miranda.

Banyak yang mengangguk, dapat motivasi tambahan. Sisanya? Entahlah. Worca sendiri mulai berkhayal duduk di singgasana kepemimpinan Jip-Opu, beserta rakyat yang mengelu-elukan namanya.

"Siap semuanya?!" Tanya Soraya lantang, riang.

"Siap sekaliii!!" Pekik Tora, berteriak seorang diri. Yang lain diam. Hening sejenak.

"Baiklah, permainan dimulai." 

Rasyid memencet komputer layar sentuhnya.

Layar berganti. Tulisan 'TERRA ROYALE' terpampang, keren bergaya. Di belakangnya, secuplik gambar bergerak menampilkan kawasan-kawasan yang ada dalam game, terbagi jadi lima. Belum sempat meneliti semua, layar jurai melebur jadi piksel-piksel kecil, berganti dengan tangan Worca sendiri.

Dilihat, digerak-gerakkan, kedua tangan itu persis asli. Lalu ia melihat baju dan kakinya. Identik. Lalu pijakannya, rerumputan panjang. Berbagai macam senjata dalam gim tersebar. Berurutan, peserta-peserta lain memunculkan dirinya, mewujud dari kepala hingga ujung kaki dari pikseli biru yang bersusun-susun.

[Terima kasih telah memilih untuk memainkan Terra Royale.]

Bahana familiar berkumandang. Suara Soraya.

[Pergerakan tubuh normal anda juga telah ditranslasikan ke dalam game.]

[Dalam dua puluh menit ke depan kalian akan diterbangkan ke pulau Terra Royale. silakan gunakan ruang maya saat ini untuk berlatih menggunakan senjata di dalam game.]

[Semua persenjataan kalian dan perlengkapan kalian selain pakaian akan dilucuti. Tentu saja kemampuan pribadi seperti sihir dan esp sudah tertranslasi dengan baik ke dalam game.]

[Tentu saja tubuh dalam game kalian ini terbuat dari kumpulan piksel. Jika mendapatkan kerusakan kalian tidak akan terluka namun pikseli di tubuh anda akan runtuh. Jika kehilangan sejumlah piksel di dada, perut dan kepala kalian akan dianggap kalah.]

[Kalian dapat memilih untuk mendarat menggunakan parasut di antara satu dari lima lanskap distrik yang berada di pulau tersebut.]

[Setiap distrik akan hadir lengkap dengan persenjataan dan juga perlengkepan yang sesuai dengan tema distrik tersebut.]

[Selamat bermain!]

Kolom transparan timbul. '[Masukkan Nama]', tulisnya. Oh, bisa bikin sendiri, pikir Worca. Salah. Kolom itu mengisi nama 'Worca Shiwite' secara otomatis, lalu lenyap. Berganti HUD — Head-Up Display — yang terdiri dari Health Bar dan peta. Balon pesan tidak ada, mungkin karena fitur bicara langsung persis VRchat, buat apa repot-repot mengetik.

Tau-tau, kepalanya bergetar hebat. Dari luar. Pandangannya dipenuhi merah yang samar. HP Bar-nya langsung lenyap separuh, walau kembali penuh sedetik kemudian, diikuti merah samar yang selesai. Menoleh, rupanya ia baru kena peluru nyasar. Lima orang kontestan adu tembak sekitar 40 meter di sampingnya. Menyicip senjata api yang boleh dipakai dalam permainan nanti.

Berjalan sebentar, Worca menemukan M4A1 berpeluncur roket. Diambilnya senjata itu, dan menembakannya ke lima kontestan tadi. Ledakan skala medium tercipta, menerbangkan kelima peserta udik itu ke angkasa.

Ingin menembak roket kedua, ia harus mengisi ulang amunisi. Bagan inventaris bersimbol saku menyimpan sepuluh amunisi roket tadi, jelas mustahil di dunia nyata bisa muat.

Notifikasi pop up dari HUD. [Aktifkan auto-reload?] katanya, berikut opsi ya atau tidak. "Terus kenapa aku repot-repot belajar cara pakai senapan dan tetek bengeknya?" Worca menekan 'ya'.

"Namanya gim ya harus serba praktis, user-friendly, supaya anak kecil yang baru main pun bisa jago. Kalau harus bisa pakai senjata betulan di dunia nyata, ya yang main cuma tentara, dungu."

"Terimakasih atas pencerahannya, Laurell," ucap Worca pada anak kecil berjambul coklat itu. Laurell hanya tertawa.

Lingkaran putih kecil dengan angka di dalamnya muncul. Dari '5.0' menghitung mundur hingga '0.1' sebelum lenyap, waktu yang dihabiskan. Roket pun terpasang lagi. Intinya, keefektifan auto-reload harus dibayar tidak bisa mengendalikan tangan sendiri selama isi ulang peluru. Terkecuali kaki, leher, dan kepala.

Selain itu, kata Soraya tadi bisa pakai sihir juga? Worca mencoba menciptakan sebuah trapesium putih di depan hidungnya. Berhasil.

"Dengan kata lain, bakat pribadi ditransaksikan pula? Nanti yang lihai bersalto seperti Volland auto top player, nih," pikir Worca.

Piwi berjalan mendekat, bersiap mengusili Worca dengan senapan paintball di tangan. Worca membombardirnya dengan rentetan peluru dari M4A1. Piwi, runtuh piksel-pikselnya, tumbang tercerai-berai. 

Bangkit lagi dalam kondisi semula, "Si-sial, Whore-ca!!" Umpat Piwi, mukanya berubah jadi emotikon marah. Worca terpingkal, sementara tangannya bergerak sendiri mengisi ulang peluru bak profesional, bahkan tanpa melihat ke arah senapan itu sendiri.

Membuka fitur peta. Tampaknya mereka kini tengah berada di pulau hijau kecil tak bernama. Dipisahkan laut pikselatis dari pulau utama yang besarnya berkali-kali lipat. Terbagi jadi lima distrik — yang disusun oleh banyak sub-distrik — dengan colosseum masif di pusatnya.

"Persiapan 20 menit begini, mau apa saja memang?" Pikir Worca, sejujurnya merasa cukup kalau misalnya cuma ada 30 detik persiapan sekalipun. 20 menit itu, kalau video klip sudah lima-enam lagu.

Ia pun menyicip senjata jarak dekat yang tercecer di rumput. Kapak karbon, ringan, tajam, bisa dilempar. Mungkin dia akan memilih ini nanti. Pike, alias tombak yang dibawa ksatria berkuda. Terlalu panjang. Tongkat bisbol, yang secara mengejutkan memiliki damage sebesar kapak karbon. Mungkin bentuknya saja yang beda-beda, menyesuaikan tema dari distrik masing-masing.

Lelah, ia berbaring, menopang kepalanya dengan kedua tangan. Menyandarkan kaki kanan ke kiri, lalu bersiul-siul usil.

"Benar-benar santai, Worca Shiwite."

Suara robotik parau, Tom. Bola biru itu, dalam wujud seseorang bernama Burhan, memasang senyum yang dibuat-buat.

"Ada apa, bro," tutur yang barusan dipanggil.

"Beberapa problema masa lalumu, ada yang memancing atensiku," balas Tom. "Aku punya bukti ini dan itu, serta sesuatu yang kutemui lima ronde terakhir. Mengerti?" Terusnya.

"Tau apa soal masa laluku, Tom? Kurasa ilusi di ronde empat pun tidak bisa ditangkap kamera NGSR," ucap Worca.

"Bisa. Kamu membual apa? Tidak nonton tayangan ronde empat peserta lain?"  Tom terdiam sejenak, sebelum lanjut berlisan, "Kamu akan memahaminya saat permainan dimulai. Aku akan menyusulmu dalam pertarungan dan kita bicara," ujarnya sebelum berlalu. 

"Dari perempuan 'itu', aku banyak mengerti sesuatu yang bahkan tidak kamu ingat," tambahnya, benar-benar pergi kali ini.

Worca, ingin meminta detail ekstra, duduk. Namun, membatalkan usahanya untuk berdiri karena melihat Tom telah lenyap dalam rimbunnya hutan.

Sementara, pundaknya ditepuk keras dari belakang. Evelyn. Gadis pirang itu, selagi menenteng pisau dapur, berbisik. "Aku mencurigai beberapa orang."

[6]

"Siapa saja tiga itu?"

Eve diam. Di dalam pesawat, ia membuka-buka peta virtual. Lantas menandai Urban District sebagai tempat yang ingi ia tuju. "Turun di sini, kujelaskan saat tak ada banyak orang," tuturnya.

Dalam helikopter berinterior merah menyala ini, para petarung Terra Royale duduk dua-dua. Worca, dengan Eve — minta jauh-jauh dari Piwi dan Tom yang sekarang sedang duduk beradu punggung.

"Sekarang saja!" Pinta Worca tak sabar. Evelyn membisikinya sesuatu.

"Aku nomer empat?" Tanya Worca. Eve mengangguk, mengaku lupa.

"Kita tidak tau memori dan perasaanmu yang suka jungkir balik itu maunya bagaimana," balas Evelyn. Kelihatannya dia sudah riset tindak-tanduk para 'tersangka' yang diincarnya ini lewat siaran ulang televisi. "Shiwite bersaudara, apa turun temurun mengidap gangguan psikis?"

"Mungkin aku akan membiarkan hinaan yang satu itu meluncur, Eve," balas Worca, cemberut.

"Kepribadian ganda, maksudku. Belum lagi Tom yang bisa berubah jadi siapa saja yang dia isap ingatannya," Eve kembali berujar. "Ini semua perihal yang kutemui berkat hadiahmu ronde satu."

"Peta hologram?"

"Ya, yang kau jual ke mekanik Hvyt."

"Uh, ya. Lab bawah tanah?"

"Sepertinya di tiap ronde ada."

"Maksudmu?"

"Huh, sekarang juga akhirnya bercakap pasal mmisterinya. Menara Bebal," ujar Evelyn. Saat itu, ia masih belum mengembalikan peta hologram Worca. Dan benar, ia menemukan ruang rahasia serupa, tampak pada peta. Selepas ronde dua usai, ia berkunjung. Meretas sistem dan bertarung dengan penjaga, menerobos masuk. Lagi-lagi pria berjas yang sudah tak bernyawa dan berpuluh entitas dalam tabung.

"Dan setelah aku kalah awal pada ronde tiga berkat trik bodohmu."

Padang pasir Hitamz. Oase Musafir — yang dikabarkan menjadi situs peninggalan alien yang menyerang bumi suatu masa pada zaman dahulu. Dan, Evelyn beserta rasa penasarannya memasuki benteng terbengkalai yang ada tak jauh dari lokasi pertempuran. Di dalamnya, instalasi serupa, beserta pemandangan senada — ilmuwan tewas dan berpuluh entitas tengah mengalami deep sleep, tampak di bawahnya. 

"Terakhir, labirin Andarabhula di Nanthara. Astaga, aku tak habis pikir iblis-iblis gadungan itu meminta rambutku agar mau membeberkan apa yang seorang peserta lakukan di sana jauh-jauh hari."

"Dan lagi? Sama lagi?" Tanya Worca. 

"Yup."

"Lantas siapa?"

"Maaf, aku tidak mau mengorbankan lebih banyak rambut. Lagian Hvyt semuanya bau amis badannya. Aku tak tahan dekat-dekat."

Worca mendelik. Si gadis pirang tengah memasang raut konyol, pura-pura tidak bisa napas. Salah sendiri mengingat aroma iblis yang memabukkan (dalam konotasi negatif).

"Oh, sudah diperbolehkan terjun," lanjut Eve, memandang ikon penerjun payung dengan kepala di bawah yang timbul di HUD. Satu per satu penumpang helikopter lenyap, diintip dari jendela, tengah melayang cepat menembus awan virtual. Walau, titik yang Evelyn tandai masih jauh.

Melintasi distrik bernama Toon, seperempat peserta terjun. Melewati distrik di samping kanannya, Medieval, kontestan dalam helikopter tinggal setengahnya. Dan kini, akhirnya helikopter memasuki teritori distrik Urban.

Ingin mengajak Eve turun, Worca menarik lengan baju cewek itu. Dipanggil berkali-kali, si empunya nama bergeming.

"Eve?"

Tanda di peta sudah terlewat. Justru, kini ia berdiri, tangannya dilapisi listrik, amat lebat. Menoleh, Worca mendapati Tom — berwajah masam, berjalan cepat mengarah ke tempat duduknya. Terperanjat, ia menciptakan tabir bangun datar warna-warni. Tom serta merta mundur, membiarkan sengat listrik liar menyetrum udara kosong.

Evelyn, menggigit bibir bawahnya, berlari meninggalkan selimut bangun datar. Menerjang Tom dengan tangan —berbalut listrik— siap menyambar. Tom menunduk, memeluk pinggang Eve, lantas membantingnya ke belakang begitu saja.

"Ini diluar perjanjian, Evelyn!!" Tom menyeru. Parau robotiknya jadi menyeramkan.

Wajah Eve membentur lantai helikopter. Tiada erangan pedih, tiada memar, tiada sakit. Hanya, pikseli di wajahnya mengelupas sedikit-sedikit. Meronta, ia melepaskan badannya dari pelukan Tom. Arkian bersiap menusuk jantungnya dengan tombak dari listrik murni. Sayangnya, sang target buru-buru menekan ikon parasut, terjun keluar.

"Boling biru penjahat!!" Evelyn ikut terjun.

Tabir bangun datar lenyap, Worca, kala pertarungan kecil itu bermula, terduduk di bawah meja, merasa aneh. "Ini mestinya genting!" Batinnya. Saat Tom dan Evelyn masih asyik bertarung, ia menekan ikon terjun lebih dulu, raganya berteleportasi keluar. Dalam postur huruf x, melayang.

Seraya merasai hembusan angin buatan, ia menatap lansekap distrik Urban. Kota yang ditinggalkan. Didominasi warna abu-abu, hijau, dan putih. Beberapa mobil dan motor tampak terparkir, siap dipakai. Lalu, benda melayang di sampingnya.

Berputar, nyaris seperti bola, perlahan melebur jadi jutaan piksel biru muda. Kepala. Mengernyitkan alis, Worca menatap ke bawah — dimana Abu, di samping seorang kontestan yang tinggal badannya, mencekik seseorang dari belakang. Dengan satu gerakan, ia buat leher pemain itu berputar ke arah yang tak seharusnya, dua kali. Tiga kali. Hingga akhirnya putus mengikuti korban pertamanya.

"Kenapa bisa?" Gumam Worca, melihat pertandingan baru mulai, teroris gila itu sudah beraksi. Pada situasi melayang di udara seperti ini juga?

"Begitukah efektifnya mengawali ini?"

Tom — reincarneren wujud Freagh, memasang raut datar. Tombak-tombak kabut destruktif diciptakannya. Kabut legam mengepul, mewujud menjadi tombak, melesat. Seorang pemain 12 meter di atas Tom tertusuk tepat di perut. Sebelum, tombak itu meledak. Menghancurkan insan malang itu jadi jutaan piksel.

[7.5 km dari permukaan tanah]

Sistem pemandu berbunyi memperingatkan.

Belasan orang yang terjun setelah Tom menenggak ludah. Tombak kabut panas terus diproduksi. Satu orang, tumbang. Dua. Tiga. Empat. Tombak-tombak terus diciptakan. Mayat berterbangan, melebur jadi satu awan piksel biru di antara yang putih.

Termasuk Evelyn. Gadis malang itu, tanpa bisa melakukan apapun, hancur jadi berjuta piksel. Meneriakkan sesuatu, tak satupun orang berhasil mendengarnya.

Worca gusar. Tom, dialah tersangka utama — yang Evelyn cari! Kalau begini caranya, nanti pun ia bisa tamat saat Tom menghujam tubuh atau parasutnya, hingga Worca jatuh dari ketinggian dan kehilangan seluruh Health Point. Tapi, ada secercah harapan.

"Pak!!" Ujar Worca.

"Saya sedang tidak mau berurusan dengan anak kecil!" Jerit Heihei, terbang dengan sayap gagaknya, parasut bagai tidak berguna.

[5 km dari permukaan tanah]

Kini, seusai semua orang yang ada diatasnya habis tak bersisa, Tom menatap ke bawah. Mata emasnya menyorot Worca. Laba-laba khayali merayap di tengkuk si gadis mutan. Bukan karena Elle Negrad punya mata yang sama. Semata-mata karena itu kuasa magis mata seorang Freagh.

Kabut hitam panas kembali menggulung, membentuk sebuah pedang bermata dua, memajukan posturnya, ia terjun sedikit lebih cepat. Menyusul Worca, ia bersiap menebaskan pedangnya. Namun, tangannya ditahan dari belakang.

"Maaf, itu tidak perlu, crazy-ass fucker," Piwi, geram, memelintir tangan Freagh. Worca berterimakasih dengan sang adik via isyarat. Yang dicengkeram tak merasakan sakit dalam gim, memutar badan, menghantamkan ujung pedangnya. Piwi, reflek bertukar jadi lebah. Meliuk gesit di udara, berkelit. Mendekati leher lawannya, Piwi berubah jadi ular piton. Mencekik langsung si anomali.

Meski tiada rasa sakit, Tom khawatir. HP Bar-nya perlahan berkurang. Juga ikon paru-paru yang biasanya muncul saat berada di bawah air, kini timbul. Perlahan-lahan parunya menunjukkan kondisi genting.

"Ayolah, tuan! Kita kucing dalam karung misal tak memakai jurus anginmu untuk mendorong si Tom itu!"

"Saya cuma membantu kalau ada uang!"

[3 km dari permukaan tanah]

Piwi, mendesiskan kemenangan, merasa sesuatu yang panas dan tajam mengoyak dagingnya. Ia cepat-cepat bertukar kembali jadi wujud manusia. Menyaksikan beberapa raganya sudah rusak sana-i jadi reruntuh pikseli. 

"Piwi!" Pekik Worca. Tampak Tom — dengan tangan berbalut asap yang mengambil bentuk gelang berduri — langsung menangkap kaki Piwi. Yang ditangkap berubah jadi belut. Licin, Piwi lepas.

[2.4 km]

"Haha, bodoh," ejek Worca.

Tapi, kini malah ia kembali jadi sasaran dari Tom. Kabut hitam panas membentuk gada raksasa, bersedia memukul.

Tom menyeru murka. Tapi, gerakannya terhenti. Ia tersenyum. "Kenapa tidak sekaligus saja?"

[1.8 km]

Gadanya kian besar. Mencapai ukuran raksasa, gagangnya juga memanjang. Kini, Worca, Piwi, Heihei, beserta semua orang yang dibawahnya bisa kena sekaligus.

"Saya butuh uang! Tanpa uang tidak ada yang menjadi bakal dari angin!!" Seru Heihei.

Tom menyeru lagi. Bersiap mengayunkan palu kabut panasnya. Seandainya kondisi normal, pasti Worca sudah berkeringat deras sekarang. Menggertakkan gigi. Ia putus asa. Tapi, bohong.

"Untungnya, Piwi bisa berubah jadi siapa saja."

Tau-tau, Piwi berubah menjadi tunggangan salah satu peserta. Flibbertiggibet. "Gubbins pahlawanku!" Pikir Piwi. Memiliki pohon uang di  punggungnya, Heihei meraup selembaran-selembaran fulus, menebarnya.

[900 meter. Parasut dibuka. Parasut dibuka. Parasut dibuka. Parasut dibuka. Parasut dibuka. Parasut dibuka.]

Parasut terbuka otomatis. Diikuti, beliung mini yang tercipta. Tidak, cukup besar. Hingga nyaris memenuhi cakrawala. Worca dan Piwi terhempas ke arah berlainan, sementara, Tom yang berada telak kena dorongan angin, terlempar kembali dengan kecepatan gila ke helikopter. Membuatnya meledak kala berkontak dengan palu kabut hitamnya.

Gedebum berikut letupan-letupan meriah tercipta. Kembang api destruktif beserta badan-badan helikopter yang berasap dan terbakar, seperti bintang jatuh, menyusul para kontestan.

Sementara, di luar gim, euforia Terra Royale amat bombastis. Intens, punya sihir, dan bisa bertarung sejak dalam helikopter dan saat terjun bebas.

"Aku pasti unduh gim ini!" Ujar salah seorang pemirsa di rumah.

"Seharusnya aku tak kaget akan mereka yang... Gila!" Ujar Rasyid, menggaruk keras rahang besinya.

[7]

Pendaratan tak mulus. Parasut Worca tersangkut pada tepian atap sebuah rumah. Melepasnya, ia jatuh lagi, menghantam rumah dua lantai di samping, menerobos genting, menabrak akuarium berisi air kotor dan ikan mati, pecah, tumpah ruah isinya. Akibat benturan dan pecahan-pecahan kaca, HP Bar-nya berangsur memendek. Berhenti di angka 78/100.

Basah kuyup, Ia berdiri. "Sungguh?" ucapnya kala melihat hal tersebut. Juga, bahana 'kembang api' beserta gedebum benda berat menghantam bentala menyalak silih berganti. Badan-badan helikopter tentunya. Menambah ricuh pada atmosfer kota terbengkalai distrik Urban.

Melihat sekeliling, tampak rompi kevlar dan kapak karbon tergeletak di lantai. Loot awal yang cukup. Pop up yang menunjukkan ikon barang-barang tersebut beserta deskripsinya muncul. Baca sekilas, Worca menekan [equip].

Menoleh ke belakang, ada jerigen bensin untuk kendaraan. "Oh, keren," pikirnya. Mendekati benda tersebut, Worca menyentuhnya. Lalu, tangannya disentuh oleh tangan lain. Mengerling, tampak profil berkacamata hitam dan rambut cepak. Abu.

"Huh?" Worca mengernyitkan alis.

Sekejap, Abu menghunus pisau di tangannya yang lain. Worca komat-kamit minta gencatan senjata, meloncat ke sisi guna menghindar.

Menaiki tangga, Abu disambut tirai bujur sangkar warna-warni. Menerobosnya serampangan, ia menemui jendela bolong. Hampir jatuh, Abu menekuk lututnya dan menjatuhkan badannya ke belakang.  Worca, menghilangkan selambu ragam kelirnya, tergesa-gesa menerjang dan mengayunkan kapaknya ke kepala Abu dari atas. 

Si teroris merapatkan dada pada pahanya. Kapak karbon Worca menancap di lantai. Abu berputar dengan tubuh bagian bawah sebagai poros. Menendang tangan Worca. Memaksa lepas genggaman dari senjatanya. 

"Ugh," Worca berjalan mundur, menciptakan tabir lingkaran merah. Abu, tanpa pikir panjang melempar pisaunya ke pusat tabir tersebut.

Benda tajam itu langsung menembus si lingkaran merah tanpa merusaknya sedikitpun — sifatnya pada benda mati selayaknya hologram.

Suara pisau tadi menancap di dinding. Enggan mengulang kesalahan, Abu mengambil kapak karbon Worca, berdiri, dan bersiaga di tempat. Menunggu. Lingkar merah lenyap. Worca serta merta berlari menuju tangga. Menyabet jerigen bensin, membuka tutupnya dan menumpahkan isinya. Abu, hendak menyusul, waspada terhadap fluida di hadapannya. Ia tak mau berakhir sama seperti pencuri pada film Home Alone. Sementara Worca, berlompat-lompat, sukses menuruni tangga sebelum disusul cairan yang ia tuang sendiri.

Di bawah, rupanya ada orang lain lagi. Mengenakan baju serba keren; jubah kecoklatan selutut, sepatu bot, kacamata hitam ala pilot, dan masker gambar binatang. "…Di sini cuma ada pakaian," katanya.

[8]

Mereka pun memutuskan bekerja sama, mengendap-endap. Keluar dari rumah pertama tadi secara perlahan, ditengoknya kanan-kiri. Tanah yang kini mereka tapaki ialah gersang dan banyak kerikilnya. Jalan beraspal di samping mereka, terdapat bagian-bagian helikopter yang sudah hancur berkeping-keping, terbakar, membumbungkan asap hitam pekat.

Di kejauhan, samar terdengar suara peluru berdesing. Tampaknya peperangan-peperangan kecil sedang terjadi. Selalu waspada, Worca dan Tora berjingkat masuk ke rumah lain. Mengabaikan interiornya yang berkesan kuno, senjata di tempat ini cukup.

"Pump Shotgun atau gergaji mesin, gadis ayam?" Tanya Tora, menemui dua senjata besar di atas meja.

"Apa maksud panggilan barusan? Ya semau kamu," tutur Worca, mengambil pistol serta pisau dapur yang ia temui. "Entah mengapa aku kasihan padamu, Tora Kyuin! Tak dapat loot bagus, bersyukur saja aku menerima ajakan duo," terusnya.

"Sekarang kalau mau aku bisa membunuhmu, lho," balas Tora, mengaktifkan gergaji mesin di tangan. Bising. Tau-tau, derap langkah yang besar bergemuruh. "Bravo," Puji Tora pada keteledorannya sendiri.

Worca, menuding jendela bolong, tanpa peringatan berlari dan melompatinya. Tora, mengangguk, berlari menyusul. Baru sedetik keluar, pintu rumah kuno tadi betulan dibuka seseorang. Peluru-peluru liar terbang. Tora meringkuk.

Bukannya lari, si gadis mutan berbalik, memuntahkan timah panas berulang-ulang pada apa yang ada di dalam, "oh, si Laurell," gumamnya, memandang si jambul coklat sudah lubang sana-sini kena salvo serampangan. Pelatuk ditarik lagi, kena tepat di wajah, Laurell ambruk, pecah piksel-pikselnya. Beralterasi, ke barang-barang jarahannya. Cuma sepatu kets dan senapan berburu.

Lagi, kini dari arah berlawanan desing peluru kembali membahana. Worca dan Tora, menunduk, melanjutkan larinya. "Masuk ke sana saja!" Usul Tora, menunjuk mobil Reliant Regal berwarna biru muda. Dibalas 'oke!' oleh Worca.

Tora duduk di kursi supir. Worca di kursi belakang, ambil posisi tiduran. "Mengemudilah ke tempat aman, Kyuin. Aku tidur."

"Kamu memang agak sinting," komentar Tora, seraya menginjak gas. Reliant Regal pun melaju. Kecepatannya, secara mengejutkan, berbeda dari dunia nyata. Beberapa kali lebih cepat dan stabil — tak sering terjungkal seperti di suatu sitkom.

Berkelok-kelok melintasi jajaran rumah, aspal, menghindari bongkahan helikopter yang hancur, perjalanan mereka mulus. Seseorang yang kurang beruntung ditabrak Tora hingga HP Bar-nya tuntas. Salah sendiri tidak menyebrang di zebra cross.

Deru mesin malah memancing para kontestan untuk keluar, mengintip sumbernya. Arkian, salvo berdatangan dalam harmoni. Tora harus kerja ekstra, banting setir sana-sini menghindari hujan timah panas yang mengancam. Bahkan, tak jarang beberapa ledakan skala sedang berkumandang di belakang, pasti ada yang melempar granat atau bom molotov.

Sementara, Worca dibikin berang. Usahanya untuk terlelap sia-sia. "Memang harusnya jangan tidur, tolonglah!!" Mohon Tora, selagi tangannya sudah memutar-mutar setir seperti maniak. Tak menyangka bakalan ada ledakan lain menggema beberapa meter dari timur laut. Dari asap ledakan, sebuah British Lindley Mini 1000 berwarna limau dengan bonnet hitam arang melesat. Astaga, itu musuh bebuyutan Reliant Regal biru muda ini!

"Developer suka referensi Mr. Bean rupanya!" Seru Tora.

"Bahaya, bahaya!" Pekik Tora. Ia reflek mengerem. Si Mini bonnet hitam, mengebut dengan kecepatan gila, hampir terjadi tabrakan. Pengemudinya? Rupanya Michael Sumi.

"Padahal aku menyelamatkan nyawa dia lho, di ronde pertama!" Ungkap si gadis mutan. 

"Ini cuma gim, cewek ayam! Ambisius seperti dia sih, wajar saja!" Ungkap Tora. Lelaki itu sontak menyetir Reliant Regal untuk mundur. Worca, dengan firasat buruk, mengecek peta. Dalam semenit, badai piksel yang kian menyusut, datang semakin dekat. 

"Hei, kalau berkenan maju, Kyuin," Worca melihat spion. Dinding biru transparan yang tingginya mencapai awan mendekati.

"Tunggu dia," balas Tora. Selagi, Michael Sumi dengan Mini 1000 bersiap untuk melakukan tabrakan sekali lagi. "Heran deh, dia kira cuma kita yang bakal kena dampaknya?!"

Sumi tancap gas. Mobil retro yang ia kendarai melesat menyalahi kecepatan aslinya di dunia nyata. Bagai banteng mengamuk, Tora selaku matador telah bersiaga.

Tapi, sepertinya Sumi berubah pikiran selepas menyaksikan badai piksel. Ia melakukan drift sirkular, berhenti, pergi ke arah berlawanan.

"Alah!" Tora menghantam setir, segera menyusul. Dan dari belakang, Reliant Regal lain yang warnanya oranye, muncul. Troya, mengemudi, berkelok dan menghantam bagian depan mobil Tora. Yang ditabrak geram, kembali melaju.

Reli dadakan terselenggara. Sumi, Troya, dan Tora salip-menyalip. Belokan tajam, Troya menarik rem tangan, melakukan drift. Sumi di urutan dua mengikuti. Sementara Tora yang belum mahir melambat. Worca tidur lagi.

Sumi memicu kontes. Percepatannya konsisten, jalan lurus keahliannya. Troya enggak mengalah, ikut meningkatkan kecepatan. Tora di belakang mengumpat kesal. Worca mendengkur.

Keluar dari distrik Urban, mereka masuk distrik Medieval. Suasana kerajaan nan megah, didominasi warna putih, emas, dan biru gelap. Tampak kuda beragam jenis dan warna berkeliaran tanpa penunggang. Kecuali satu — ada Solitaire di atasnya.

"The sun power ia limitless!" Serunya.

Dengan lembing panjang di genggaman, ia memacu kuda kekar tunggangannya merangsek. Efek suara kaki kuda, 'ketoprak!', malah bikin lapar.

"Ooof..." Troya mengerem. Sudah terlambat. Tombak menembus kaca depan beserta ulu hatinya.

"Gadis kecil!" Jerit Sumi. Lupa masih ada Tora. Mini 1000 Sumi ditubruk kasar dari samping, menimbulkan efek percikan api yang realistis. Guratan abu-abu menghiasi decal kendaraan mereka.

Memasuki tanjakan, keduanya meninggalkan Solitaire. Si prajurit mentari menyusul. Memasuki kastil terbengkalai yang gerbang masuknya terbuka sekali. Suasana megah nan berkelas tampak. Tora dan Sumi menanjak jalan sirkular, berulir seperti gurdi hingga puncak kastil. Kelihatannya sengaja sekali developer membuat lajur begini. Easter egg.

Mendengar keributan, peri tanpa mata muncul. Terbang, ia terus meneriakkan bahasa kuno, marah. Worca, kesal, bangun. Dengan marah, ia menggunakan mana dressing, menciptakan pedang warna-warni besar dari beratus bangun datar, membelah peri itu secara berlebihan. Tau-tau, peri itu melebur jadi cahaya. Menyatu kembali jadi pegasus. Mendekati Worca, yang punya nama masih ngantuk, keluar mobil secara reflek. Bergulung-gulung, HP Bar-nya menipis. Tapi, pegasus itu menyelamatkannya dengan HP 61/100.

[White Pegasus : Menubruk siapapun, merubah HP-nya menjadi 0]

"Keterangan bagus," ujar Worca. Terbang membalap Sumi dan Tora. Ia memenangkan balapan tanpa tujuan itu.

"Hei kalian!" Jerit Solitaire. Sontak, Worca mencoba pegasusnya. Tanpa banyak pikir, menubruk mati Solitaire. Sumi, takut jadi korban kedua, mundur teratur. Lupa sedang ada di puncak kastil, ia terjungkal. Tewas.

Sementara, kudanya berubah menjadi seorang bocah. Piwi.

"Hehe," Piwi tersenyum.

[9]

Kini, Worca-Tora-Piwi berkonvoi ke Toon. Masih dengan kendaraan mereka subbab lalu.

Pepohonan berdaun lebat, tapi warna-warni, menyapa. Sementara pijakan mereka adalah sungai dangkal yang airnya sirup encer.

"Kenapa sepi sekali, ya. Apa semuanya sudah ke koloseum?" Batin Tora.

"Ya, dan tugas kita cuma jadi delapan terakhir."

Parau robotik itu lagi. Tom. Dalam wujud Elle Negrad, Worca tau alasan dibalik si anomali mengaku tau pasal masa lalunya. Bertengger di atas salah satu pohon, ia menciptakan tangga. Turun, lalu duduk persis di belakang Worca.

"Sebentar, biar kubisiki," ujar Tom. "Rahasia bawah tanah dari lima ronde, juga soal perempuan ini."

[To be continued]



Komentar

  1. I smell some meta reference.
    Nuansa balapan kembali lagi dengan epik oleh karakter saya ehehehe.
    Worca gaboleh tidur. Pamali.
    Drama diatas helikopter jga benar2 intens. Sangat intens.

    tapi TBC. Nampaknya yakin lolos R5 ini
    8/10 dri Tora Kyuin.

    BalasHapus
  2. Kanon di awal tentang Worca sama Piwi itu bikin penasaran. Abis ini mesti baca entri Worca yang lain /ketauan belum baca semua

    Narasinya unik, serasa setengah nyastra setengah free style. Santai tapi ada banyak kosakata yang bisa dipelajarin. Pas sama kepribadian Worca, kadang nyeleneh kadang serius-intens-cool.

    Terakhir walau endingnya rush, nyambung lagi ke plot sama Tom yang sempet tertunda. Kayaknya masih bisa lanjut kalau ga kepepet deadline.

    O wait. Makanya judulnya "bagian 1" ya :o /baru_nyadar.png
    Kalau gitu ditunggu bagian 2-nya!

    Nilai: 9
    OC: Litus Kamara

    BalasHapus

Posting Komentar