[Ronde 5] Litus Kamara - Ones and Zeroes

By: Treize
Aku tahu itu bukan salahmu.

Kau sudah berusaha melakukan yang terbaik, 'kan?

Menangislah sepuasmu. Setelah itu, aku yakin kau pasti akan menjadi lebih kuat.

***

Dengan susah payah Litus membuka mata. Kedua kelopaknya menempel dengan erat seperti direkatkan dengan lem super. Bekas air mata yang sudah mengering menghiasi wajahnya.

Entah kenapa dadanya penuh dengan perasaan cemas dan sedih, seolah ada tangan yang tak terlihat memelintir jantungnya. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, lalu menoleh ke samping.

Sebuah kamar yang tidak terlalu asing. Dinding bercat putih dengan aksen biru ciri khas Hotel Hadyatha. Tapi itu bukan kamar hotelnya. Di ruangan itu terdapat beberapa tempat tidur yang terpisah oleh tirai-tirai biru. Litus terbaring di salah satunya.

"Oh, kau sudah bangun," ucap sebuah suara yang terdengar familier.  Seorang gadis bergaun hitam duduk di kursi kecil di samping tempat tidur Litus. "Akhirnya."

Litus membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa—siapa—yang ia lihat. Topeng putih itu. Tidak salah lagi. "Charta!" serunya sambil berusaha bangkit duduk, tapi gagal karena seluruh tubuhnya terasa kaku.

"Tenanglah. Tidak perlu terburu-buru." Charta memetik sehelai rambutnya sendiri dan menggunakannya sebagai pembatas buku yang tengah ia baca. "Sudah lima hari kau tertidur."

"Lima hari?!" Litus sedikit berontak untuk berusaha duduk, tapi itu hanya membuat otot-ototnya nyeri. "Lalu turnamennya? Tunggu—bukan itu. Kau—kau masih hidup!"

"Sudah kubilang tenanglah sedikit ...."

Charta pun menceritakan semuanya yang terjadi setelah pertarungan di Pulau Andarabhula. Pulau itu memiliki kekuatan untuk menjebak jiwa-jiwa yang berada di dalamnya. Selama jasad seseorang masih dapat dipulihkan, sang Raja Iblis Astaroth tinggal memasukkan kembali jiwa yang bersangkutan. Dengan cara itulah Charta—dan peserta-peserta lain—dihidupkan kembali.

"Syukurlah," ucap Litus, sedikit lebih rileks. "Maaf ..., aku tidak bisa melindungimu."

Charta berdengus. "Sejak kapan aku perlu kau lindungi? Aku juga petarung yang bisa menjaga diriku sendiri. Kau tidak perlu merasa bertanggung jawab."

"Tapi ...."

Untuk beberapa saat, tidak ada yang berbicara.

"Apa aku harus pulang sekarang?" kata Litus pada akhirnya.

"Kenapa kau harus pulang?"

Litus menutup kedua mata dengan lengan kanannya. "Aku tahu, keadaannya pasti buruk. Lagi-lagi aku melakukannya ...."

"... Jadi kau sendiri menyadarinya."

"Tentu saja .... Lagi-lagi ..., kekuatanku lepas kendali ...," gumam Litus.

"... dan membuat setengah pulau Andarabhula tertutup es," sambung Charta.

"Aku pasti sudah didiskualifikasi 'kan?" Litus menggulung dirinya sendiri dengan selimut, bersiap-siap untuk jawaban Charta selanjutnya.

Charta menghela napas. "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa berpikir seperti itu, tapi tidak. Mereka tidak mengeluarkanmu dari turnamen ini."

"Benarkah?"

"Untuk apa aku berbohong? Lagi pula, kalau membicarakan tentang kerusakan yang dibuat peserta pada arena pertarungan, ada yang jauh lebih parah darimu."

Mendengar kabar menyenangkan itu, Litus pun menyibak selimutnya dan tersenyum lega. "Syukurlah!"

Anak itu merentangkan tangan dan kakinya, merasa jauh lebih tenang. Ternyata tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Kecuali, sudah lima hari ia tertidur ... ia harus cepat-cepat bangkit dan kembali ke kondisi prima.

"Oh ya, terima kasih," katanya kemudian.

"Terima kasih?" balas Charta.

"Ya. Kalau kau tidak ada di sini, aku mungkin tidak tahu harus melakukan apa."

Seketika gadis bergaun hitam itu tergegap-gegap salah tingkah. "Barusan, kebetulan saja aku melewati ruang perawatan, dan berpikir kalau ini tempat yang bagus untuk membaca. Itu saja."

Charta segera beranjak dari kursi.

"Kau mau pergi?" ucap Litus sedikit kecewa.

"Aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih, tapi sekarang kita sudah impas. Ingat, di turnamen ini kita semua adalah musuh. Aku tidak berniat untuk terlalu bersahabat denganmu—atau siapa pun."

Gadis bergaun hitam itu pun mengeloyor meninggalkan ruangan.

Lalu menjulurkan kepalanya kembali ke dalam.

"Oh ya, aku lupa bilang. Sekarang kau sudah bangun, apa kau tidak bisa melakukan sesuatu dengan keadaan di luar sana?"

Litus memiringkan kepala, tidak mengerti dengan apa maksud ucapan Charta.

Keadaan di luar? Jangan-jangan ....

Ia beranjak dari tempat tidurnya dan berlari kecil menghampiri jendela.

Tepat seperti yang ia duga.

Seluruh sektor Hotel Hadyatha kini tertutup salju.

***

Selama lima hari itu salju tidak berhenti turun di sekitar Hotel Hadyatha. Sebagian fasilitas outdoor hotel pun menjadi tidak dapat digunakan—kolam renang membeku, lapangan olahraga tertimbun salju, dan sulit untuk berpergian kemana pun tanpa baju hangat.

Segelintir orang yang tahu penyebabnya tidak dapat melakukan apa pun, karena sang pelaku—Litus Kamara tidak sadarkan diri di ruang perawatan. Sekarang anak itu sudah bangun, ia pun mendapatkan gempuran komplain dari peserta-peserta yang ingin menikmati matahari musim panas kembali.

Litus meminta maaf dan segera mengendalikan kekuatannya yang meluap tanpa ia sadari.

Dalam beberapa hari, awan-awan salju menipis dan cuaca kembali hangat.

Insiden itu mengingatkannya kalau ia masih belum bisa mengendalikan kekuatannya sepenuhnya. Kalau ia sampai kehilangan kendali lagi, entah apa yang akan terjadi. Pada semua yang ada di sekitarnya ... dan juga dirinya sendiri.

***

Lima hari berikutnya berlalu tanpa terasa, dan ronde kelima pun diumumkan.

"Tidak perlu membawa kendaraan?" tanya Litus pada seorang pemandu peserta.

"Ya. Kami sudah menyediakan bus untuk mengantar anda semua ke arena berikutnya."

Litus terdiam sejenak. Lagi-lagi ia tidak berkesempatan membawa kereta luncurnya, Snowman. Mungkin hanya di ronde pertama saja ia sempat menggunakannya. Turnamen bertema perlombaan ini ternyata tidak se-perlombaan yang ia duga.

Tapi itu tidak masalah. Selama lima hari ini ia sudah melakukan banyak latihan dan meditasi. Kondisi fisik dan mentalnya sudah siap kembali untuk menghadapi tantangan apa pun yang akan datang.

Lokasi yang dituju bus pengantar para peserta adalah bangunan besar milik perusahaan industri NGSR. Sebuah pabrik pusat pengembangan teknologi terdepan di seluruh negeri. Di dalamnya terdapat aula yang luas dengan ratusan kursi berjejer membentuk posisi melingkar, dan di setiap kursi sudah tersedia perlengkapan VR untuk setiap peserta.

Jadi, di ronde kelima ini mereka semua akan bermain game bersama-sama?

Di ruang rekreasi hotel juga ada perangkat VR untuk bermain game, tapi ini pertama kalinya Litus melihat yang sebanyak ini. Apalagi VR headset di sana juga terlihat jauh lebih mutakhir. Hati anak itu pun melompat-lompat karena kegirangan. Ia sudah tidak sabar ingin mencobanya dan mulai bermain.

Ia mengenakan perangkat kepala berlayar yang agak kebesaran itu dan menunggu.

Layar di depan matanya berkedip, lalu menampilkan pemandangan alam diiringi musik klasik. Di sudut layar terdapat angka-angka dan tulisan 'now loading ....'

Ketika sudah 100%, layar itu meledak menjadi milyaran piksel beraneka warna menerpa tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Litus merasa setiap inci tubuhnya, luar dan dalam, dikerumuni getaran-getaran elektrik yang, dalam arti tertentu, membuatnya merasa nyaman.

Ledakan piksel itu terhenti dan di hadapannya muncul tulisan 'Kalibrasi sukses. User name: Litus Kamara.'

'Selamat datang di Terra Royale.'

***

Litus mencubit pipinya sendiri.

"Ouch."

Sakit.

Walau pun game ini hanya virtual reality, ia merasa tidak ada bedanya dengan dunia nyata. Ia masih perlu bernapas, dan merasa tercekik jika menahannya terlalu lama. Kulitnya juga masih bisa merasakan suhu panas, dingin, dan rasa sakit. Mungkin ada baiknya jika mengganggap kalau ini memang dunia nyata dan selalu bersiaga.

Hal lain yang ia perhatikan adalah sebaris GUI (graphic user interface) di atas kepalanya dan kepala peserta lainnya yang menampilkan nama, HP, dan SP mereka.

"Health Point, jika habis, maka karakter akan dinyatakan gugur. Skill Point, menunjukkan kapasitas kemampuan khusus yang bisa dilakukan. Tidak bisa menggunakan kemampuan khusus jika SP tidak mencukupi."

Dengan cermat Litus membaca peraturan Terra Royale.

"Kumpulkan peralatan yang tersebar di seluruh pulau untuk melindungi diri sendiri. Permainan akan berakhir ketika hanya delapan orang yang tersisa di arena."

Anak itu tersenyum penuh semangat. Permainan ini akan menjadi ajang berburu dan diburu. Aktivitas yang sudah menjadi kegiatan sehari-harinya di dunia asalnya. Kalau beruntung, ia akan bisa memenangkan ronde ini dengan mudah.

"Bagian belakangmu ... terbuka lebar!"

Litus masih hanyut dalam perencanaannya ketika mendadak sebuah benda tajam menusuk kepalanya dari belakang.

Awalnya tidak sakit, hanya seperti tamparan yang kuat di bagian belakang kepalanya. Namun segera berubah menjadi rasa sakit yang menyengat dan panas.

"Aahhhh!"

Walau sakit, tidak ada darah sedikit pun yang keluar. Bagian kepalanya yang berlubang terpecah menjadi piksel-piksel kecil berwarna merah dan lenyap di udara.

Litus memegangi kepalanya dan berbalik. "Apa yang kau lakukan?! Aku bisa mati!"

Di sana berdiri seorang anak berkostum ninja sambil menghunus sebuah tombak besar yang lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Di atas kepalanya tertera namanya, 'Riven'. Seorang peserta yang pernah menjadi rekan Litus di ronde sebelumnya.

"Maju," tantangnya.

Litus menggertakan gigi dan memunggut sebilah pedang yang tergeletak di dekat kakinya. "Kau akan menyesal ...."

"Kau yang akan menyesal!" Riven mulai menerjang dengan tombaknya. Tapi segera berhenti, karena Litus sudah hilang dari pandangannya. "Hei! Jangan curang! Di sini kau tidak boleh menggunakan sihir!"

Litus pun menampakkan dirinya kembali, sudah berada tepat di belakang Riven. "Kata siapa?"

Dengan cepat, Litus menyabetkan pedangnya, memenggal kepala Riven dengan dalam satu ayunan.

Kepala itu terjatuh dan hancur menjadi pecahan piksel. Sementara badannya menggeliat dengan panik meraba-raba sambungan lehernya.

Sistem regenerasi segera aktif memulihkan Riven. Ia termengah-mengah mencari udara ketika kepalanya utuh kembali.

"Berengsek! Apa kau tidak punya perasaan?!"

"Memangnya siapa yang suka menusuk kepala orang lain dari belakang?" balas Litus.

Riven membalasnya dengan tersenyum. "Tidak ada ampun."

"Tidak ada ampun!" ulang Litus.

Riven memungut sebilah kapak besar dan mengayunkannya dengan lebar, menjagal bagian kiri tubuh Litus dari bahu sampai pinggang. "Bagaimana kalau kita bekerja sama?"

Litus memaikai sihirnya untuk membekukan kaki Riven lalu menusuk perutnya lima kali dengan belati tempur. "Lagi?"

"Tidak ada salahnya 'kan? Kita bisa bekerja sama sampai hanya tersisa delapan orang," kata Riven sambil meraih sebuah shotgun, lalu menembak kepala Litus sampai hancur berkeping-keping.

"Akan kupikirkan," jawab Litus. Ia mengambil sebuah pemukul bisbol dengan banyak paku di ujungnya, lalu menghantam wajah Riven dengan sekuat tenaga.

Beberapa peserta lain di sekitar mereka hanya bisa terdiam melihat kedua remaja itu mencoba saling bunuh dengan brutal sambil mengobrol santai. Selama berada di ruang tutorial ini, tubuh mereka memang akan terus pulih dengan sendirinya. Tapi pemandangan itu tetap saja terlihat luar biasa.

***

Sebuah suara yang terdengar langsung ke dalam kepala semua perserta mengabarkan kalau mereka akan segera tiba di pulau Terra Royale dan permainan ini pun secara resmi dimulai. Seluruh senjata di ruang tutorial itu pun lenyap dan sebagian dinding mulai terbuka.

Ternyata saat ini mereka semua berada di dalam sebuah kapal udara raksasa. Dan kapal itu sekarang tengah melintas di atas sebuah pulau dengan lima lanskap berbeda. Para peserta dipersilakan untuk mendarat di mana pun di lima bagian pulau itu dengan menggunakan parasut.

"Apa kau takut ketinggian?" tanya Litus sambil membungkuk ke bawah, mencermati pulau itu untuk mengira-ngira bagian mana yang memiliki persenjataan busur dan panah.

"Kau meremehkanku?" balas Riven sambil berdecak lidah. Ia menyiapkan tas parasutnya dan berjalan ke tepi pesawat. Dan tanpa peringatan apa pun, ia pun melompat. "Yang terakhir telur busuk!"

"Ah!"

Secara refleks Litus ikut melompat.

Terpaan angin yang kuat segera menyambutnya di tengah langit biru yang terbentang luas.

"Bodoh, kita harusnya lihat dulu bagian pulau yang bagus untuk mendarat!" seru Litus setengah berteriak. Suara nyaris tak terdengar dalam kecepatan jatuh seperti itu.

"Sejak kapan kau jadi penakut!" balas Riven.

Litus hanya bergumam kesal. Ini bukan saat yang tepat untuk berdebat.

Sialnya, ada banyak peserta yang ikut terjun di titik itu. Kalau begini mereka akan langsung mendapatkan banyak saingan begitu mendarat.

"Kita harus lebih cepat dari mereka!"

Litus meluruskan tubuhnya dan menukik dengan kepala di bawah. Posisi itu membuatnya terjun lebih cepat dari yang lain.

"Oh, ide bagus!" Riven mengikuti cara Litus.

Mereka meluncur jatuh dengan cepat seperti roket.

"Hei, sudah saatnya kita memakai parasut!" seru Riven.

"Belum ... sedikit lagi," balas Litus.

Permukaan tanah di bawah terlihat semakin jelas. Peserta lain yang masih di atas mereka bahkan sudah membuka parasut masing-masing.

"Kita sudah mencapai batas!"

"Sedikit lagi ...."

"Kau gila!"

"Yak, sekarang!" seru Litus.

Litus dan Riven pun membuka parasut mereka berbarengan. Kubah setengah lingkaran mengembang dengan cepat, memperlambat kecepatan jatuh mereka. Kedua pemuda itu mengapung turun dengan perlahan.

"Kupikir kita akan menjadi bubur," lirih Riven. Nyawanya seakan masih tertinggal setengahnya di atas sana.

"Tidak ada waktu untuk bersantai, kita harus cepat!" Litus segera melepas parasutnya lebih awal dan menjatuhkan diri. Tidak ada kerusakan yang ia terima kalau hanya jatuh dari ketinggian seperti itu.

"Tunggu, apa kau tidak terlalu bersemangat?" Riven memberikan Litus tatapan heran. Padahal biasanya bocah salju berjaket biru yang sebaya dengannya itu adalah yang paling santai di segala kondisi.

Apakah karena sekarang mereka sedang bermain game bersama seluruh peserta?

Yah, ia bisa membayangkannya.

Riven mulai melepas tas pasarut di pundaknya.

"Tunggu! Riven! Bahaya!" seru Litus dari bawah.

"Eh?" Riven sudah terlanjur melepas parasutnya. Dan ia langsung menyesalinya saat itu juga.

Tepat di bawahnya, berdiri sesosok benda aneh berbentuk bola berwarna kuning. Bola itu menengadah sambil membuka apa yang terlihat seperti mulutnya lebar-lebar.

Riven jatuh tepat ke dalam mulut bola itu.

Bocah ninja itu bahkan tidak sempat bereaksi ketika mulut itu menutup dengan cepat. Dan dari sisi-sisinya menghambur keluar pecahan-pecahan piksel berwarna merah.

Riven eliminated by Pac-Man.

Sebuah pesan singkat muncul di sudut mata Litus.

Bola kuning dengan sebuah mulut yang membuka dan menutup itu kini menghadap ke arahnya.

"Oh, sial."

***

Sebenarnya, kalau diperhatikan lagi dengan lebih seksama, distrik tempat Litus mendarat itu bisa dikatakan ... ganjil. Bukan hanya Pac-Man raksasa yang kini sedang mengejarnya, tapi semua yang berada di tempat itu terlihat tidak biasa.

Salah satu dari lima area di Terra Royale; Toon District. Distrik paling aneh seantero Terra Royale, di mana hanya orang-orang paling sial—atau bodoh—yang bersedia menginjakkan kaki di sana.

Selama berlari, Litus melihat bangunan-bangunan aneh berwarna cerah yang keseluruhannya bersudut tumpul. Flora dan fauna di sekitar sana pun tidak ada yang normal. Semuanya terlihat memantul-mantul seperti terbuat dari jeli berwarna-warni—atau seperti gambaran seorang anak kecil.

"Mendarat di distrik ini memang keputusan yang buruk ...," gumam Litus.

Ia mencoba bersembunyi di belakang pagar dan kursi taman, tapi Pac-Man itu mengunyah semuanya menjadi kepingan-kepingan piksel tak berbentuk.

Sampai akhirnya, ia melihat peserta lain di ujung jalan. "Ah!"

"Ng?" peserta itu menoleh ke arah kegaduhan yang buat Litus. Matanya langsung terbelalak melihat bola kuning besar yang mengejar bocah itu.

"A-apa itu?! Pac-Man?! Hei! Jangan berlari ke sini, bodoh!"

Gadis berambut biru-putih itu pun panik dan tanpa sekehendaknya menjadi harus berlari beriringan dengan Litus menghindari si bola predator.

"M-maafkan aku!" ujar Litus.

"Cih, merepotkan saja." Gadis berambut biru-putih dengan user name 'Worca Shiwite' di atas kepalanya itu berhenti dan berbalik. Ia menjulurkan tangannya ke depan. Di sekeliling tubuhnya muncul bangun-bangun datar—segitiga dan persegi—kecil beraneka warna.

"Magic Dressing," ujarnya pelan. Bangun-bangun datar itu pun mulai berpendar biru, dan melesat ke arah Pac-Man.

Seperti tertembak pecahan peluru shotgun, dikalikan sepuluh, tubuh si Pac-Man hancur sebagian menjadi kepingan piksel. Dari sana muncul angka-angka berwarna merah dengan nilai 47%.

Worca menghela napas, melihat pengukur SP-nya berkurang 60%. "Padahal hanya begitu saja ... dasar payah," ujarnya pada diri sendiri.

"Oh, benar. Aku sampai lupa kalau kita masih bisa menggunakan sihir," ucap Litus dengan segan, sedikit merasa malu karena baru menyadarinya.

"Kau juga memiliki kemampuan khusus?" tanya Worca.

"Ya. Serahkan padaku."

Litus menjulurkan tangannya, membuat postur seperti sedang meraih sesuatu. "Longinus."

Dalam sekejap, sebuah tombak panjang yang terbuat dari es tercipta di genggamannya. Penghitung SP di atas kepalanya berkurang 30%.

Litus pun menghunusnya ke arah si Pac-Man dan menerjang maju. "Rasakan ini!"

Tombak Longinus itu ia hujamkan sekuat tenaga. Dari tusukan itu mencuat keluar puluhan jarum-jarum es yang menembus seluruh permukaan bola kuning itu. Dari kerusakan itu muncul angka-angka berwarna merah bernilai 72%.

"Wah ... critical hit, ya. Kau punya keberuntungan yang bagus," ujar Worca.

Akibat serangan mereka berdua, Pac-Man itu mencapai kerusakan 119%. Bola itu pun terhenti dan meledak menjadi jutaan piksel.

Dari ledakan itu sebuah benda kecil seperti remote control terjatuh.

Dan kedua peserta itu pun seketika mematung.

Litus dan Worca tahu, kalau benda yang terjatuh itu pasti sebuah loot, atau benda-benda tertentu yang biasa dijatuhkan monster-monster dalam game. Masalahnya, siapa yang berhak mengambilnya?

"Er ...," Litus memulai.

"Ambillah," kata Worca memotongnya.

"Eh? Kau yakin?"

"Yah ... semuanya bisa lihat kalau kau adalah MVP di pertarungan tadi. Lagi pula aku lebih menginginkan pistol atau semacamnya."

Litus tidak bertanya lebih banyak lagi dan langsung berlari memungut benda yang dijatuhkan si Pac-Man.

"Ini ... tombol?" Litus membalik-balik benda misterius itu. Kotak kecil berwarna hitam, tidak lebih besar dari telapak tangan. Dan ada satu tombol merah di salah satu sisinya.

Ia berkonsentrasi dan memunculkan deskripsi benda itu.

'Remote control untuk menargetkan di mana sebuah organ akan dijatuhkan dari langit. Dapat digunakan tiga kali.'

...

"Keren."

***

"Aman," ujar Litus sambil melongok dari jendela.

Anak itu dan gadis berambut biru-putih di belakangnya pun memasuki salah satu rumah kertas di Toon District itu. Walau terlihat seperti kertas yang dilukis dengan cat air, rumah itu sebenarnya tetap kokoh seperti rumah-rumah biasa.

Entah sejak kapan, Litus dan Worca memutuskan untuk bekerja sama. Mereka sama-sama belum memiliki senjata, dan SP mereka pun sudah berkurang cukup banyak. Memulai kembali dari awal bersama-sama tidak terlihat seperti ide yang buruk.

Mereka menggeledah rumah itu sampai ke sudut terkecil.

Litus menemukan ransel berukuran sedang, kotak P3K, sebuah tongkat bisbol, dan topi berwarna merah.

Topi itu sebenarnya tidak memiliki fungsi apa pun.

Tapi karena Litus menyukainya, ia memutuskan untuk terus mengenakannya.

Sementara Worca berhasil menemukan peluncur roket beserta 5 buah amunisinya.

"Apa tidak berat?"

"Uh ... ya, sedikit. Tapi ini cocok buatku."

Selain itu, Litus menemukan kaset musik tanpa label lalu memutarnya di radio. Sebuah musik metal berkumandang dengan keras. Litus dan Worca tidak bisa menahan diri untuk melakukan head bang dan menari-nari seperti orang gila.

Setelah musik itu berhenti, ajaibnya, SP mereka pulih kembali. Sayangnya kaset itu seketika menjadi kusut dan tidak bisa dipakai lagi.

Dengan perlengkapan sempurna dan SP terisi penuh, persiapan mereka pun selesai.

"Tujuan berikutnya, Colosseum," kata Worca.

"Colosseum?" tanya Litus. "Memangnya di sana ada apa? Senjata yang bagus?"

"Entahlah .... Kita ke sana bukan untuk mencari senjata, tapi untuk bertahan hidup."

"Apa rumah ini tidak cukup aman?"

Worca menatap Litus dengan tatapan kasihan. "Kau tidak menyadarinya, ya?"

Litus menggeleng perlahan.

"Ikuti aku," ajak Worca.

Mereka menaiki tangga ke lantai 2 rumah kertas itu. Di sana ada beranda untuk melihat pemandangan di luar.

Worca menunjuk langit.

Litus menelan ludah.

Di kejauhan, terlihat gumpalan awan hitam yang mengelilingi Terra Royale seperti dinding. Dalam awan hitam itu terlihat percikan cahaya halilintar yang mengamuk.

Dinding maut itu semakin mengecil menghimpit pulau dengan kecepatan tinggi. Mungkin tidak akan sampai 2 jam sampai keseluruhan pulau akan termakan seluruhnya dalam badai.

"Gawat," ujar Litus.

"Iya, gawat," ulang Worca. "Mungkin itu cara game ini memaksa pemain agar terus bergerak. Sebaiknya kita patuhi ... atau game over."

Litus mengangguk setuju.

Setelah mendapat tujuan baru, mereka pun segera meninggalkan rumah itu.

"Apa kaupikir semua orang juga pergi menuju Colosseum?" kata Litus. Ia berhati-hati menyusuri blok-blok Toon District, yang secara harfiah, terbuat dari blok Lego berwarna-warni.

"Kemungkinan besar begitu," jawab Worca, mengekor di belakangnya.

Kalau begitu, kemungkinan besar juga akan terjadi pertarungan, pikir Litus. Perasaan campur aduk, setengah cemas dan setengah antusias, bergolak dalam dadanya.

Namun mereka tidak perlu mencapai Colosseum untuk mewujudkan antisipasinya.

Litus dan Worca sampai pada perbatasan Toon Disctrict dan Urban District.

Bangunan-bangunan yang terlihat seperti kertas dan cat air berangsur-angsur berubah menjadi bangunan-bangunan normal. Urban District padat oleh kompleks perumahan penduduk dan tiang-tiang listrik tradisional. Di satu sisi, area itu terlihat lebih damai dan rapi dibanding Toon District, tapi di saat yang bersamaan juga terlihat lebih membosankan.

Tapi yang penting, adalah sebuah gergaji mesin.

Gergaji mesin yang masih menyala dengan mesin yang meraung-raung.

Entah dari mana.

Melayang dengan cepat.

Tepat ke arah Worca.

"BAHAYA!"

Litus yang menyadarinya segera mendorong gadis berambut biru-putih itu ke tempat yang aman.

Gergaji mesin itu jatuh dengan keras dan menghamburkan tanah sekitar ke segala arah dengan bilah berputarnya. Kalau saja gergaji mesin itu menghantam seseorang, mungkin yang akan menghambur ke segala arah adalah darah dan daging.

"Hei Nyai, kalau ingin melakukan serangan seperti itu harusnya bilang-bilang dulu! Gergaji mesin itu terlempar sampai mana?"

Seorang pemuda berkacamata hitam tiba-tiba muncul dari balik tikungan sambil celingukan, mencari gergaji mesin itu. Di atas kepalanya tertera user name: Tora Kyuin.

Pemuda berkacamata hitam itu terhenti ketika melihat Litus dan Worca terduduk di tanah. Ia berjalan dengan perlahan, seakan tidak melihat mereka dan meraih gergaji mesinnya. Lalu berbalik, dan mengambil seribu langkah kembali ke tempat munculnya barusan.

"Ah! Tunggu dulu! Berengsek! Jangan lari!" seru Worca segera bangkit dan mengejar Tora. "Melempar-lempar gergaji mesin seperti itu berbahaya, tahu! Kubunuh kau!"

"Tunggu, Worca!" Litus berusaha menghentikannya, tapi gadis itu terlanjur berbelok di balik tikungan. "Sial!" Litus pun ikut mengejarnya memasuki Urban District.

Sebelumnya mereka tidak bisa melihat apa yang berada di balik tikungan karena perumahan dan apartemen yang menghalangi. Tapi di sana, tengah terjadi pertarungan yang membuat Worca dan Litus yang baru sampai bergeming.

Seorang gadis berkemeja merah tengah melayang di udara. Tiga buah bola ethereal mengorbit di punggungnya. Ia memiliki user name: Naada Kirana.

Sementara di seberangnya, seorang gadis berambut putih dengan dua tanduk yang salah satunya patah berlutut dengan wajah menengadah tepat ke arah lawannya.

Walau terlihat liar dan tak terkendali, Litus dapat langsung mengenali mata dengan iris heterochromia merah dan biru itu.

"Fransisca!"

***

Kejadian selanjutnya berlangsung dengan cepat dan tak terkendali.

Sambil menggeram seperti hewan buas—atau iblis, Fransisca melesat ke arah Naada dengan cakar terhunus dan bola-bola magis berkelebatan di sekeliling tubuhnya.

Naada—yang kini tengah dirasuki tubuhnya oleh Nyai Dasimah—mengambil tiga bola arwah yang mengorbit di punggungnya dan memakannya. Seketika, kecepatan dan kekuatannya bertambah berkali-kali lipat.

"Dasar sinting. Baru kali ini ada yang bersedia tubuhnya kugunakan sampai batas seperti ini," ujar batin Nyai Dasimah.

"Aku tidak peduli. Pastikan saja aku menang, dan kau boleh mengambil energi kehidupanku sebanyak apa pun kau mau," ucap batin Naada.

"Kau tidak akan bisa bertahan."

"Aku bisa."

Batin Nyai terkekeh. "Percaya diri sekali. Kalau begitu kita lihat saja siapa yang akan bertahan sampai akhir."

Fransisca dan Naada pun bertabrakan. Kedua gadis yang tengah kehilangan kendali/kerasukan itu saling bertukar pukulan dan cakaran di udara dengan sengit.

"Mengerikan ...," ujar Worca yang menonton dari bawah.

"Baru pertama kali aku melihatnya seperti itu," kata Litus. "Pasti ada yang salah. Aku akan menghentikan mereka!"

Litus beranjak lari mendekati pertarungan Fransisca dan Naada.

"Hei! Memangnya kau bisa apa? Lebih baik kita pergi dari sini!" Worca memanggilnya kembali.

"Benar, keadaan di sini pasti akan semakin berbahaya! Kau mau pergi duluan saja!" balas Litus tidak berhenti berlari.

Worca menghela napas lelah. "Dasar ...."

"Yah, sebenarnya aku hanya ingin perjalanan yang santai bersama Nadel. Tapi hantu dan iblis itu tiba-tiba saja datang mengacaukan semuanya. Dan sekarang kalian juga muncul menambah daftar tamu yang tidak diundang. Aku jadi agak kesal," ujar Tora. "Jadi, kau mau bertarung?"

Worca membalas tatapannya dan tersenyum. "Ide yang bagus."

Gadis berambut biru-putih itu meraih pelontar roket di punggungnya dan mengarahkannya pada Tora.

Pemuda berkacamata hitam itu seketika mematung.

"Um ... tidak ada yang memberi tahu kalau kau punya rocket launcher."

***

Langit di bagian selatan Urban District kini dipenuhi kilatan cahaya merah dan hijau.

Setiap Fransisca menyerang, sirkuit sihir ditubuhnya menyala merah terang. Cakar iblisnya mendapatkan peningkatan kekuatan puluhan kali lipat sehingga setiap serangannya mampu membelah jalan-jalan raya.

Sementara Nyai-Naada telah mengumpulkan cukup banyak bola arwah yang mengorbit di punggungnya. Setiap bola arwah itu meledak, satu bangunan apartemen pun runtuh.

Di bawah kekacauan itu, Litus terus mengejar sambil meneriakan kata-kata penenang. Tapi suaranya tidak bisa mencapai mereka.

Lagi pula, ada yang aneh.

Sebesar apa pun kekuatan sihir Fransisca dan Nyai, mereka sedang berada di dalam game Terra Royale yang memiliki sistemnya tersendiri. Tidak mungkin SP Fransisca dan Nyai cukup untuk melakukan sihir tingkat tinggi seperti itu secara terus menerus.

Ini semua tidak masuk akal.

Jangan-jangan ... ada yang berbuat kecurangan?!

Lamunan Litus terhenti ketika melihat Fransisca terlempar menabrak permukaan beton jalan raya. Nyai-Naada mendekatinya sambil melayang-layangkan bola arwahnya, siap untuk diledakkan.

"HENTIKAAAN!" Litus segera berlari ke arah mereka.

Apa pun penyebab semua ini bisa menunggu. Yang penting sekarang, ia harus menghentikan pertarungan tak berkesudahan ini terlebih dahulu.

"Ah, jadi kau lalat yang sejak tadi tidak bisa diam," kata Nyai-Naada, akhirnya memberikan perhatiannya pada Litus.

"Bunuh anak itu, cepat!" perintah batin Naada pada Nyai Dasimah.

Batin Nyai Dasimah mencibir. "Sejak kapan kau yang memegang kendali? Siapa yang akan kuhukum, akulah yang menentukan."

"Persetan! Ini sudah kelamaan!" batin Naada seketika memberontak dan berusaha mengambil alih kembali tubuhnya.

Litus yang tidak bisa mendengar percakapan mereka hanya bisa terdiam melihat tubuh Naada mendadak menggeliat dan mengerang seperti cacing kepanasan.

"A-apa yang terjadi ...?"

"Kau ... mencoba mengambil alih kembali tubuhmu kembali tapi tetap menjebak rohku di dalam ...," gerang batin Nyai Dasimah.

Batin Naada melompat girang, "Yup. Kekuatanmu, kekuatanku juga. Tubuhku, milikku sendiri!"

Perlahan tapi pasti, kekuatan jiwa Nyai Dasimah semakin tertekan oleh kekuatan jiwa Naada.

"Bagaimana kau bisa mendapatkan kekuatan sebesar ini?!" seru batin Nyai Dasimah.

"He he. Itu ra-ha-si-a."

Tubuh Naada pun bergeming.

Pengambil alihan jiwanya berhasil.

"Nnngg ... memang lebih enak menggerakkan tubuh sendiri," ujar gadis berkemeja merah itu sambil melakukan pemanasan kecil. "Nah, sekarang kamu, anak kecil. Duduk manis saja dan jangan ikut campur urusan orang dewasa, ya."

Naada menunjuk Litus dan menembakkan bola arwahnya.

"Igloo!" Dengan sigap Litus menciptakan kubah salju untuk melindungi dirinya. SP-nya berkurang sebanyak 20%.

Bola arwah itu meledak. Tidak sedahsyat sebelumnya, tapi mampu menghancurkan igloo Litus berkeping-keping.

"Ternyata susah juga memakainya," ujar Naada. "Ah ... saus tartar. Nanti juga terbiasa."

Gadis itu menciptakan kembali sebuah bola arwah dan mengarahkannya pada Litus.

Litus berpikir cepat. Kalau begini terus ia hanya akan menghambur-hamburkan SP-nya. Ia tidak bisa selamanya bertahan.

Kalau begitu, saat menyerang!

Litus mengeluarkan tongkat bisbolnya dan menerjang maju. "Tidak akan kubiarkan kau bertindak semaumu!"

"Cih. Memangnya kau tahu apa? Jangan seenaknya bicara kalau tidak tahu apa-apa!"

Naada menembak. Litus mencoba memantulkannya dengan memukul balik, tapi tentu saja gagal.

Kekuatan sihir tidak bisa ditahan oleh pedang—atau tongkat bisbol.

Ledakan itu menghancurkan sebagian piksel di tubuh Litus, tapi tidak fatal. Penghitung HP di atas kepalanya berkurang sampai 82%.

"Hanya 18%?" ujar Naada dengan nada kecewa. "Yah, kalau begitu lima kali tembakan lagi, dan kau pun sayonara bye bye!"

Litus segera bangkit dan kembali menerjang ledakan bola arwah.

Tubuh semakin terkikis di setiap ledakannya, dan HP-nya terus berkurang.

64%

46%

28%

"Tunggu, walau pun damage-nya sedikit, bukankah seharusnya kau merasa sakit?!"

"Yang seperti tidak ada apa-apanya dibandingkan ditembak shotgun langsung di wajah!"

Latihan yang ia lakukan bersama Riven di ruang tutorial sebelumnya ternyata ada manfaatnya. Walau terasa sakit, ia sudah terbiasa dengan mentalitas 'ini hanyalah sebuah game' dan karena itu bisa mengabaikan rasa sakit itu begitu saja.

... Entah apakah ini adalah hal yang baik atau buruk untuk jangka panjangnya.

Tembakan terakhir, HP Litus berkurang sampai tersisa 10%.

Tapi Litus berhasil mencapai Naada. Ia melempar tongkat bisbolnya dan memusatkan seluruh kekuatan sihirnya di tangan kanan. Hanya ada satu kesempatan. Kalau gagal, ia tidak akan memiliki cukup SP untuk meneruskan pertarungan.

"FREEZE!"

Dari tangan kanan Litus terpancar cahaya kebiruan yang menghantam tubuh Naada. Dengan cepat, lapisan es membungkus tubuh gadis itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.

SP Litus berkurang hingga 0%.

"Berhasil ...?" ujar Litus. "Kau sudah tidak bisa bergerak! Menyerahlah!"

"Heh, sihir picisan seperti ini tidak ada bagusnya, tahu!"

Dari dalam es, ternyata Naada masih bisa meledakkan bola arwahnya.

"Ugh!"

Litus segera mundur, tapi ia tidak punya cukup waktu.

"Sial!"

Bola arwah itu pun meledak.

Anak itu terpelanting kebelakang.

Ia bisa melihat HP-nya semakin berkurang secara perlahan.

9% ....

8% ....

7% ....

Ah ... sial .... Apa aku akan berakhir sampai di sini saja?

6% ....

5% ....

Padahal aku sudah berjanji dengan semuanya ....

4% ....

3% ....

2% ....

Dan penghitung health point itu berhenti.

Litus ambruk menghadap langit dengan dada berdegup kencang. Ia bisa melihat HP-nya sendiri. 2%.

"Eh?"

Bukan hanya Litus, Naada juga terlihat bingung dengan situasi itu.

"Lho? Kenapa damage-nya cuman 8 persen?! Ini bullshit!"

"Tidak juga," ucap sebuah suara di dalam kepala Naada.

"... Nyai? Kenapa kau bisa bicara padaku? Aku sudah mengurungmu jauh di dasar jiwaku! Kau seharusnya tidak bisa keluar!"

Nyai Dasimah menghela napas. "Inilah akibatnya kalau gadis kurang pengalaman sepertimu terlalu percaya diri melebihi batas. Akhirnya kau sendiri yang mendapatkan ganjarannya."

"Kau salah! Kekuatanku itu tidak terbatas! TIDAK TERBATAS!"

Naada mencoba menciptakan bola arwah, tapi gagal. Kekuatan Nyai Dasimah sudah kembali sepenuhnya pada pemilik aslinya.

"Sayangnya aku tidak bisa merasuki tubuh siapa pun lagi untuk hari ini. Tapi mungkin ini adalah hukuman yang pantas untukmu."

"A-apa yang mau kau lakukan?" tanya Naada gugup. Tanpa kekuatan Nyai Dasimah, ia benar-benar hanya seorang gadis biasa tanpa kemampuan khusus apa pun, kecuali keahlian persuasinya. Tapi keahlian itu tidak akan berguna banyak ketika ia sedang terperangkap es seperti itu.

"Tanyakan saja pada Gadis Iblis di belakangmu itu," jawab Nyai Dasimah. Arwah wanita itu pun berangsur-angsur pergi dari tubuh Naada.

Gadis Iblis?

Naada tidak bisa menoleh ke belakang, tapi saat itu sebuah tangan dengan cakar yang tajam menembus tubuhnya yang tidak bisa bergerak.

Gadis berkemeja merah itu ingin memberontak. Ingin menjerit. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali menikmati sensasi panas perutnya yang berlubang dan terus mengikis HP-nya secara perlahan.

Sang pemilik cakar pun menampakkan diri pada Litus.

"Fransisca!" seru anak dengan HP 2% itu sambil bangkit berdiri.

"... Litus?" jawab gadis berjubah merah itu.

"Kau sudah sadar! Syukurlah!"

Litus duduk bersimpuh sambil mengatur napas. Terlalu banyak yang terjadi dalam waktu yang singkat itu.

"... Kau terluka parah."

"Ah, benar."

Litus mengambil sebuah kotak P3K dari ranselnya. Di dalam kotak itu terdapat hamburger yang mengembalikan 50% HP-nya ketika dimakan. Piksel-piksel yang terkikis di sekujur tubuhnya pun pulih kembali.

"Kau sendiri ...? Baik-baik saja?" tanya Litus. "Aku masih punya satu kotak P3K."

Fransisca menunjuk penghitung HP-nya.

Baik HP dan SP si gadis bertanduk masih penuh 100%.

"Apa yang sudah terjadi?" tanyanya kemudian. "Aku ... tidak bisa mengingatnya dengan jelas."

"Entahlah ... aku sendiri tidak tahu," jawab Litus ragu-ragu, lalu menambahkan, "Tapi, aku punya beberapa dugaan."

***

"Maksudmu ... si Payah ini biang keroknya?" kata Worca sambil menunjuk Tora yang kini terikat erat. Tubuhnya terlihat hangus seperti habis terkena ledakan roket.

"Bukan aku!" bantah Tora. "Yah ... memang aku yang sudah meretas sistem Terra Royale. Tapi Nadel ...."

"... Dia bilang bersedia memanggilku kakak kalau aku melakukan semua itu untuknya."

Litus, Worca, dan Fransisca pun memberinya tatapan apa-kau-serius padanya. Menerobos sistem game dengan taruhan ratusan nyawa pemain di dalamnya, hanya untuk panggilan sayang dari orang yang baru saja bertemu?

"Hei, bagaimana pun, meretas itu kemampuan yang praktis, 'kan? Apa kau juga bisa membuatku tidak terkalahkan?"

"Worca!" Litus mengajukan keberatan pada gadis berambut biru-putih itu.

"Hehe ... aku hanya bercanda kok ... mungkin."

"Kalau kau ingin pun, sekarang sudah mustahil," timpal Tora. "Handphone yang kugunakan untuk meretas sudah rusak gara-gara roketmu."

"Oh ... jadi itu sebabnya Fransisca dan Naada kembali seperti semula," kata Litus.

Anomali yang terjadi diluar kendali game itu pun terpecahkan. Tanpa Tora dan handphone-nya, mereka bisa meneruskan game ini kembali dengan normal.

"Lalu apa yang harus kita lakukan padanya?" tanya Litus kemudian.

"Kalau kalian merasa tidak tega, aku bersedia ...," Fransisca maju dan menghunus cakarnya pada Tora.

"Eh, mari kita bicarakan ini dengan kepala dingin ...," kata Litus.

Tora berdecak. "Aku tidak perlu belas kasihan kalian! Asal kalian tahu saja, aku memiliki banyak anak buah dan orang-orang yang mendukungku! Kalau kalian membiarkanku lepas, kalian yang akan menyesal!"

Pemuda berkacamata hitam itu pun tertawa dengan lantang.

"Hm ... kalau begitu kita tinggalkan saja dia di sini. Dia bilang akan ada yang menolongnya, 'kan?" usul Worca.

"Ya! Aku setuju," sahut Litus.

"Kupikir akan lebih mudah kalau menghabisinya saja sekarang. Tapi kalau itu keputusan bersama ... baiklah," sahut Fransisca.

"Oke! Kalau begitu ayo berangkat! Badai menyeramkan itu semakin dekat. Kita tidak boleh berlama-lama di sini."

"T-tunggu!" seru Tora kemudian. "Oke, aku hanya bercanda! Tanpa handphone-ku aku tidak bisa memanggil anak buahku! Kumohon ajak aku bersama kalian! Setidaknya lepaskan ikatan ini!"

"Hm? Apa kalian mendengar sesuatu?"

"Tidak."

"Tidak."

***

Setelah melewati beberapa blok lagi apartemen dan rumah-rumah kertas, Litus, Worca, dan Fransisca sampai di depan gerbang Colosseum.

Mereka merapat di bangunan terdekat, mengawasi keadaan sekitar.

Ada beberapa peserta yang masuk. Tapi tidak ada satu pun yang keluar.

"Seperti cerita horor, ya," gumam Worca.

"Menurutku lebih tepat cerita misteri," timpal Fransisca.

"Eh? Ini cerita aksi dan petualangan, 'kan?" sambung Litus.

Sambil membahas hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya, ketiga peserta itu melanjutkan mengawasi.

Sudah sekitar satu setengah jam ronde ini berlangsung. Badai piksel yang mengelilingi pulau sudah menginjakkan kakinya di daratan. Area-area yang berada di sekitar pesisir mungkin sudah terkena dampaknya.

"Cepat atau lambat kita harus masuk ke sana!" kata Litus pada akhirnya. Anak itu semakin tidak sabar setiap detiknya.

"Memangnya di dalam sana ada apa?" tanya Fransisca.

"Justru itu yang ingin kita ketahui," jawab Worca. "Bagaimana kalau di dalam sana ada petarung-peterung yang tangguh yang sudah mengalahkan semua orang yang masuk?"

"Kalau bagitu kita lawan balik!" seru Litus dengan antusias. "Grup kita terdiri dari tiga orang 'kan? Kita kalahkan siapa pun yang berada di sana satu persatu. Kita pasti bisa!"

"Bagaimana kalau ternyata mereka adalah tim yang terdiri dari delapan orang?" balas Worca.

"Mungkin ... kekuatan kita bertiga lebih besar dari mereka?"

"Apa bisa kalau tiga orang menjadi enam orang?"

Sebuah suara asing tiba-tiba menyeletuk dari belakang.

Dengan waswas mereka berbalik, dan mendapati tiga orang—dua anak kecil dan satu wanita dewasa—tengah mengamati mereka.

Anak laki-laki berjubah hitam dengan user name: Gubbins Lollygag. Anak perempuan yang mengenakan beret hijau dengan user name: Charlotte Izetta (dalam kurung, Chalice). Dan gadis pirang berbusana terbuka (tapi masih dalam batas wajar, tidak separah Artaroth) dengan user name: Irina Feles.

"Aku ... sudah lelah menjadi babysitter mereka!" gadis berambut pirang itu tiba-tiba bersimpuh dan memohon pada grup Litus, "Biarkan aku bergabung dengan kalian!"

"Dan, sang gadis rubah pun mencari jalan keluar tercepat untuk kabur dari segala tanggung jawabnya," gumam Gubbins.

"Siapa peduli! Dia itu memang tidak berguna, lebih baik pergi saja sana," tambah Chalice.

"Hehe ... untung saja kalian itu bukan anak-anak yang manis. Kalau iya, aku pasti sudah memakan kalian dari dulu," ucap Irene sambil menjilat lidah.

Kelompok Litus kehilangan kata-kata menyaksikan huru-hara kelompok yang kelihatannya lebih ajaib dari mereka itu.

"Gubbins," ucap Litus pada akhirnya.

"Oh, Litus Kamara," balas anak itu. "Kita bertemu lagi, sungguh kebetulan yang menyenangkan."

"Kecuali, terakhir kali kita bertemu, kau mencoba mendorongku jatuh dari menara."

"Dan kau juga padaku, 'kan?" kata Gubbins sambil menyeringai.

"Cukup adil," Litus membalas seringainya. "Di mana monster peliharaanmu itu?"

"Sayangnya kami tidak bisa bersama di ronde ini. Mereka tidak mengizinkan Flib memakai VR headset itu."

Tentu saja.

"Tapi, daripada memusingkan hal itu, bagaimana kalau kita putar kembali waktu untuk menghormati pertanyaan yang tidak pernah—sempat terjawab?"

Gubbins menatap Litus, Worca, dan Fransisca satu per satu.

"Maksudmu ... tentang menggabungkan tim?" kata Litus.

"Afirmatif! Dan aku harap, kalian memutuskannya dengan segera. Kita tidak punya banyak waktu."

"Kenapa?"

Tidak perlu dijawab, karena alasannya sudah tiba di hadapan mereka.

Badai piksel dengan jutaan ton daya hancurnya bergemuruh dengan lembut, mengikis segalanya yang masuk dalam dekapannya.

"LARI!"

***

Seperti angin topan, keenam peserta itu melemparkan tubuh mereka masing-masing ke dalam Colisseum, tidak peduli lagi apa yang menunggu mereka di dalam sana.

"Yang terakhir telur busuk!" seru Litus sambil tertawa spontan.

Mereka semua berbalik.

Yang terakhir masuk adalah seorang samurai.

Berbaju zirah antik.

...

"Siapa dia?" tanya semua orang.

"Oh, jangan dipikirkan! itu hanya samurai yang kutemui di Zipangu District. Aku sudah menularkannya virus ganster. Dia itu anak buahku," jelas Chalice. Anak perempuan bertopi beret hijau itu menepuk-nepuk si samurai.

Samurai itu tiba-tiba runtuh dan membusuk menjadi piksel-piksel berwarna hijau.

"Apa yang terjadi?" pekik Chalice.

"Virus ganstermu itu menyebabkan pembusukan?" tebak Worca.

"Tidak ... yah, memang, iya. Tapi seharusnya tidak secepat ini!"

Saat itu, pelontar roket di pundak Worca juga mendadak hancur menjadi serpihan piksel. Begitu juga ransel, topi, dan tongkat bisbol Litus.

Semua benda yang berasal dari game terhapus begitu saja, menyisakan para peserta yang utuh seperti ketika berada di ruang tutorial awal.

"Selamat, kalian yang terakhir datang," ucap seorang gadis berambut hitam mendekat dengan santai.

"Ifan!" seru Litus mengenali gadis itu.

"Oh ... uh ... Lettuce?" ucap Ifan terlihat berusaha mengingat.

Untuk sejenak ada yang mengganjal di pikiran semua orang. Barusan gadis itu mengatakan 'Litus' 'kan? Mungkin hanya aksennya yang berbeda, karena itu terdengar sedikit aneh.

"Kami yang terakhir datang?"

"Ya."

"Jadi, kita semua menang?"

"Benar."

Wajah semua orang seketika menjadi cerah dan mereka menunduk untuk bersorak, tapi—

"Tunggu!"

Litus memotong suasana perayaan mereka.

"Kita hanya 7 orang, 'kan? Aku, Worca, Fransisca, Gubbins, Chalice, Irene, dan kau, Ifan."

"Oh. Ada satu orang lagi. Dia itu paman yang sangat pendiam dan tidak pernah menunjukkan wajahnya. Lebih baik kalian tidak memikirkannya, karena paman itu cepat sekali meledak. Secara harfiah."

"Oh. Jadi sudah tepat tersisa delapan orang?"

"Ya."

"Tidak kusangka, kita berhasil karena terlalu lama mengawasi Colosseum dan melewatkan pertarungannya," kata Fransisca.

"Dan kami berhasil karena terlalu lama mengawasi kalian yang sedang mengawasi Colosseum," kata Irene.

"Colo-ception," ujar seseorang.

"Kalau bicara tentang keberuntungan, pastinya dia, 'kan," ujar Worca. Semua orang mengikuti arah matanya.

Litus menoleh. Dan tersenyum.

Ia mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Yeah!"

***

Komentar

  1. "LITUUUUUUUUUSSSSS!!!!"-Tora

    Yaaa salah satu "Kuda Hitam" di entri ini ternyata Litus. Gak nyangka bisa ngejer sampe R5 jga. Sasuga sekali.

    10k memang bikin semuanya totalitas dalam memoles karakter dan scene yang diminta.
    Masih ga terima karakter saya dibiarkan mati kayak gtu.

    8/10 deh karena gabisa desimal.Ehehe
    Dri Tora

    BalasHapus
  2. Sebelumnya, saya senang Worca bisa digambarkan baik oleh sdr Treize. Walaupun dia gak pakai perobahasa/metafor di sini. Agak galak juga, biasanya ke Piwi atau Laurell aja sebenernya /slap/.

    Pertama, pertarungannya hebat. Dari segi koreo dan narasi, juga alasan di baliknya. Mungkin butuh penjelasan lebih aja untuk surroundingsnya, sekarang udah bagus, bisa lebih maksud saya.

    Karakterisasi Litus sudah lumayan kuat dan konsisten. Sehingga rasanya ciri khas Litus mudah diingat, juga mudah ditulis ulang oleh author-author lain.

    Nasib Tora cukup tragis. *haha react*

    Rasanya Litus juga dari ronde 1 sampai sekarang banyak calon Harem(?)nya ya, dari Fransisca sampai Charta.(?)

    Dan, perasaan saya saja, atau nyaris semua entri Litus berakhir dengan ekspresi senang dari harbringer ini?

    N : 9

    OC : Worca S.

    BalasHapus

Posting Komentar