[Ronde 5] Gubbins Lollygag - IIIII

By: Aesop Leuva
65.
Aku bisa bilang Nudiustertian itu surga dunia, seumur hidupku, dan takkan pernah menyesal.
Aku yakin dari dulu idyllicist lain juga bilang begitu.
Nudiustertian adalah peliharaan-pohon utama Great-Unknown, sekaligus, tempat kelahiran kami.
Kami cinta tempat kelahiran kami, serta semua yang berada di dalamnya. Aku merasakannya dan selalu tahu itu.
Sayangnya, dan aku sangat sedih tentang ini, tidak semua idyllicist mencintai Great-Unknown.
Kelompok penjahat terbesar idyllicist, dengan pemimpin mereka, Crims Hanggalis, membawa masuk dunia luar ke Nudiustertian. Hanya untuk menentang Great-Unknown.
Selama tujuh hari kami terpaksa menjadi tuan rumah bagi tamu-tamu tak diinginkan. Bertarung sampai bersahabat dengan mereka.
Idolaku, Dunducky Dabster, muncul menjadi pahlawan idyllicist dalam hari-hari penentuan. Mengusir dunia luar, sekaligus, sekali lagi, menjadikan Nudiustertian tempat terasing yang tersembunyi.
Great-Unknown menjatuhkan hukuman terberat pada Crims Hanggalis dan kelompoknya setelah itu. Jadi, kupikir, meski terjadi banyak perubahan, dari bangsaku atau dunia luar, semua sudah kembali normal.
Betapa aku salah.
Mereka bilang padaku, bagaimanapun, aku lahir di zaman tergelap idyllicist. Zaman dimana kebaikan dan kejahatan sama-sama lebih banyak melakukan kesalahan.
Aku, juga, melakukan kesalahan itu. Dianggap mempermalukan keluarga yang sudah sudi menjinakkanku dengan menjadi anak gagal.
Little Gallows. Perusak perdamaian. Mereka pikir aku melakukan banyak hal yang sia-sia. Padahal, sungguh, tidak.
Tentu saja, aku takkan menyerah. Karena, pada akhirnya, kebenaranlah yang pasti, dan selamanya akan, menang. Biar kunyalakan cahayaku sendiri di kegelapan ini. (Hurrah!)


66.
Soraya menyendok es krimnya sambil cemberut. Ia pelanggan satu-satunya di kafe sederhana dan ajaib ini.
Ajaib, karena, meskipun dinding-dinding kacanya memperlihatkan pemandangan pinggir jalan ibukota Gwenevere yang ramai, lalu pintu otomatisnya tak terkunci, siap membuka kapanpun, setiap Soraya melewatinya untuk keluar, ia malah seperti baru saja masuk.
Sejak diculik dan digantikan puppet-clone khusus saat hendak menggelar konser idol di Gurun Hitamz, ronde ketiga, entah sudah berapa juta kali Soraya mencoba keluar dari pintu otomatis kafe sederhana ini.
"Kapan Kak Miranda datang menyelamatkanku, ya?" tanyanya, sengsara.
"Itu pertanyaan bagus, sobat," kata laki-laki telanjang, Cancer, yang, seperti biasa, muncul tiba-tiba. Duduk berseberangan dengannya.
Soraya mengerang. "Kapan, sih, kamu mau pakai baju?"
Cancer tersenyum, pura-pura berpikir. Saat ini dua sosok familier lainnya sudah muncul. Pemuda berzirah hitam, bersenjatakan pedang besar, Vendetta. Duduk di kursi panjang counter. Lalu, sosok berjubah bangsawan, Bill, yang berdiri di balik counter, menyiapkan makanan dan minuman.
Soraya sudah mulai mengenal mereka bertiga sekarang, juga, sedikit-sedikit, isi obrolan mereka.
Kebanyakan tentang Battle of Realms. Harta-harta. Tapi yang paling menarik perhatian Soraya, terutama langsung bisa dipahami olehnya, adalah keinginan kelompok misterius ini untuk menghancurkan Hadyatha.
Keinginan yang hampir mustahil untuk bisa diwujudkan, seharusnya. Tapi benarkah berlaku demikian untuk mereka? Ketiga orang itu kadang membuat Soraya sangat ketakutan karena beberapa alasan biasa. Seperti ketenangan dan kewajaran sikap mereka. Seolah hal-hal besar yang sedang mereka hadapi hanya permainan kecil.
Dengan kepercayaan diri seperti itu, mungkin saja Hadyatha benar-benar bisa dihancurkan.
Soraya menggeleng.
"Kukasih tahu sekali lagi, ya, kalian ini sia-sia menculikku!"
"Tentu. Selalu berterima kasih atas pemberitahuannya. Ngomong-ngomong, sudah sarapan, sobat?" tanya Cancer. "Maksudku, maaf, selain es krim itu. Kau pasti sudah mulai bosan, ya? Mau yang lain?"
Bill menghampiri mereka, tanpa ekspresi menata menu sarapan lengkap. Soraya, menggeram, menggebrak meja. Menumpahkan semuanya. "Aku bahkan enggak tahu ini sudah pagi! Sarapan? Sarapan apanya?!" Ia menangis. "Aku mau keluar dari sini! Aku mau pulang!"
Tapi ketiga orang itu mengacuhkannya. Sibuk sarapan, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Soraya berdiri. Menjerit frustrasi lalu berlari keluar. Melewati pintu otomatis. Muncul sesaat kemudian seperti seseorang yang baru saja tiba di kafe. Ia bersimpuh, menangis.
Satu sudut dinding kaca mengubah pemandangan pinggir jalan ibukota. Masih di Gwenevere, tapi tak lagi ramai-bersahabat. Soraya berhenti menangis. Ia tahu lokasi pemandangan baru itu. Perairan sekitar Isla Wunder. Terlihat sekumpulan bajak laut terluka yang terikat di atas dek kapal pesiar mewah, dikelilingi pria dan wanita berbusana necis, bersenjata. Langit di sekitar mereka hitam karena asap pembakaran dari puluhan kapal perompak.
Satu per satu bajak laut itu dibunuh, dilempar ke laut.
"Keluarga Besar pagi ini," kata Cancer sambil mengunyah kue dadarnya.
Vendetta menyesap kopi hitam. "Sejak mengembalikan jasad palsu Tsuraya, aku tahu Keluarga Besar akan mulai bergerak. Tapi apa ini tidak terlalu cepat?"
"Hari ini, mereka berhasil mengetahui kunci rencana dari aktivitas ronde pertama kita—para bajak laut, yang kita sewa untuk mencari pulau kosong tempat Gubbins Lollygag memindahkan Ibbo dan semua dinosaurus." Bill mengulas, mengupas apel. "Besok mungkin mereka sudah menemukan peradaban hilang Nahuen di Gurun Hitamz. Apa itu yang kautakutkan, Vendetta?"
Vendetta mendesah, mengambil roti. "Merepotkan," katanya. "Tapi mungkin—ya. Aku memang sedikit takut. Masih banyak harta yang bisa dibangkitkan di sana. Seandainya kita memiliki cukup anggota saat itu. Sungguh, semakin lama Battle of Realms berlangsung, semakin berat untuk tim kecil ini."
"V benar," kata Cancer. "Kekuatan kita sekarang tidak sebanding dengan beban yang harus ditanggung. Biar kuperjelas. Ronde pertama, kita sanggup sapu bersih harta bagian kita. Ibbo dan semua dinosaurus terpilih. Ronde kedua, sempat melalui waktu-waktu sulit, kita tetap berhasil sapu bersih juga. Mendapatkan pasukan cahaya, Tsuraya—meski tewas, dan Nadim. Ronde ketiga, mulai berat. Kalian harus berusaha berdua. Sementara aku mempersiapkan skema permainan ronde kelima. Hasilnya, memang tak maksimal. Tapi lumayan. Soraya, sebagai bonus, dan utamanya tiga dewa—Un'gal, Possi, Nahuel. Ronde keempat, hah, perang di masa lalu menguntungkan kita! Sapu bersih termudah. Topeng para penguasa neraka dan keempat hantu Ginger bersaudara."
Bill menggigit apel. "Jadi, sejauh ini memang hanya sisa harta dari ronde ketiga yang belum masuk koleksi kita. Dan, karena kekuatan kita masih bergantung pada waktu berlangsungnya suatu ronde tersebut, kita tidak bisa kembali ke Gurun Hitamz untuk mengambilnya."
"Ditambah," kata Vendetta, "Keluarga Besar akan menjaga wilayah peradaban hilang Nahuen secepatnya, jika mereka terus bergerak seefisien saat menemukan para bajak laut."
"Mungkin, menurutku, lebih baik kita merelakan sisa harta itu." Bill angkat bahu. "Untuk menghindari konfrontasi awal dengan Keluarga Besar."
Cancer tersenyum, mengangguk-angguk. "Sangat bijaksana, B, sangat bijaksana. Kecuali aku tak yakin mendapatkan bantuan kali ini, aku pasti setuju dengan keputusan itu."
Bill dan Vendetta bertukar pandang singkat, lalu memerhatikan Cancer.
"Maksudmu, mereka benar-benar—"
"Oh, ya!" Cancer beserdawa, bertepuk tangan. Berdiri, menari mengentak-entakkan kaki. "Para penghuni kastel kita sudah terbangun! Maka, kubilang—Keluarga Besar dan jaringan mereka? Agisthear si Pencerita dan video simulasinya? Atau, sekalian, organisasi busuk itu!—majulah! Kita siap!"
Sementara ketiga orang itu lanjut mengobrol dengan heboh, Soraya duduk bersila sambil memeluk ember es krim. Memandangi Miranda pada sudut dinding kaca. Sang kakak sedang mengadakan pers terbuka di pelataran salah satu istana, didampingi Soraya—puppet clone khusus, dan beberapa petinggi kerajaan. Berhadapan dengan para pedemo yang bersikeras menginginkan berhentinya Battle of Realms.


67.
Hari kelima setelah ronde keempat selesai.
Gubbins, bermandikan keringat, merayap menaiki anak tangga teratas amfiteater raksasa. Napasnya cepat, wajahnya hampir semerah rambutnya, kedua kaki kecilnya mengejang-menegang, dan ia merasa bisa langsung jatuh tertidur di kompleks para pahlawan ini sekarang juga. Teramat letih sekaligus lega setelah berlari, berlatih, keliling kota—sendiri, tanpa menunggangi atau ditemani Flibbertigibbet.
Baru sekejap merebahkan diri, merasa rileks, Noel—pelatih idyllicist Gubbins—datang. Diikuti oleh peliharaan-pohonnya, Mcdonald, yang membawakan tas berisi perlengkapan latihan. Dan Flibbertigibbet, yang langsung berlari ke samping Gubbins, menjilati wajahnya.
"Posisi—" kata Noel, dingin.
Gubbins sudah mengambil posisi lebih dulu, meski sambil gemetaran dan mata yang berkunang-kunang. Ia berdiri tegak, istirahat di tempat, memejamkan mata, mengatur napas.
Idyllicist memiliki self-heal. Dengan tidur, istirahat yang cukup, mereka bisa pulih dari separah apa pun kerusakan-kerusakan. Luka dari luar, sampai luka dari dalam.
Noel sedang melatih Gubbins memperkuat penyembuhan, pengendalian, atas segala sesuatu yang berasal dari reaksi perasaan-perasaannya sendiri. Seperti kegembiraan, kesedihan, rasa lelah, dan lainnya.
"Idyllicist harus bisa menciptakan tidur paling nyenyak yang cukup untuk diri mereka sendiri," kata Noel, "kemudian terbangun sebagai pejuang dengan disiplin kuat pada perasaan mereka. Selalu siap, bijaksana, menghadapi kemungkinan apapun. Kau memahamiku, Little Gallows?"
"Dipahami, pelatih!" jawab Gubbins, lantang, tetap mempertahankan posisi.
"Rasakan penyembuhan itu, Little Gallows. Ciptakan keyakinan yang akan selalu membantu dirimu menguasai perasaan-perasaan dan tubuhmu sendiri."
"Aku merasakannya, pelatih!"
"Kau bukan mesin penjawab, Little Gallows. Konsentrasi."
"Siap, pelatih!"
"Konsentrasi."
Setelah itu, mereka duduk bersebelahan. Dari puncak amfiteater raksasa, memandangi jalan raya sepi dan, lebih jauh lagi, gedung-gedung besar milik NGSR dan Hadyatha di pusat kota. Semua gelap membelakangi cahaya keemasan matahari terbenam. Flibbertigibbet dan Mcdonald berbaring melingkar, berdekatan.
Sambil minum, meluruskan kaki, Gubbins melaporkan hasil latihannya hari ini. Noel diam mencatat.
Untuk meningkatkan kemampuan self-heal, phantasmagorical, lalu pengendalian mode buas, zoanthropy, Gubbins harus berlari. Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan yarborough, penyokong kematian, dan brouhaha, penyokong kehidupan, Gubbins harus melakukan, menyeimbangkan, hal-hal seperti mencelakakan dan membantu.
Selama empat hari terakhir Gubbins terus menjalani latihan-latihan tersebut. Berlari keliling kota sambil mencelakakan orang-orang dan juga membantu mereka.
"Hari ini, pelatih," Gubbins memulai, menyeka air di sudut mulut, "aku bertemu beberapa peserta lagi. Sejak labirin menyeramkan itu, kurasa mereka jadi lebih suka menghabiskan waktu di luar hotel. Dan aku hampir semakin bisa membedakan mana peserta yang berhasil menyelesaikan ronde keempat dengan selamat—maksudku, berdamai dengan dosa masa lalu dan semacamnya. Mereka tampak lebih kuat. Tapi, kurasa, mungkin juga itu karena sekarang semua sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini. Dunia ini. Nah, pelatih, apa aku pernah mengekspresikan sukacitaku karena bisa mengikuti Battle of Realms?"
Gubbins memonyongkan mulut, lalu melolong keras, menepuk-nepuk dada.
"Kau merasa telah menjadi serigala-monyet. Baiklah. Little Gallows, apa kau mencelakakan dan membantu peserta yang kautemui?"
"Begini, pelatih," kata Gubbins setelah terbatuk, "tadi pagi, saat mulai lari di wilayah hotel, ada peserta berwujud aneh. Hitam seperti bayangan dan memiliki mulut lebar bergigi runcing. Kurasa kita pernah bertemu sebelumnya. Nah, dia selalu membungkuk sopan, berdiri menghadap papan peta kota ini. Hanya menunjuk lokasi istana kecil tanpa mengatakan apa-apa. Kubantu dengan memberitahukan transportasi menuju ke sana. Bukan, pelatih. Bukan berarti aku pernah curang memotong jarak dengan naik kendaraan kemarin-kemarin. Sungguh.
"Lalu, aku ketemu Madelaine cantik di Taman Memorial. Kau mengenalnya. Dia wanita baik yang membantumu, meski berdasarkan niat kurang baik, memasuki labirin seram. Sebagai salah satu produser acara Battle of Realms, dia pernah bilang aku punya potensi! Pagi tadi, dia bilang apa aku bisa membelikan bunga khusus untuknya di area hiburan. Karena saat dia ke sana sebelumnya toko itu masih tutup. Tentu saja kubantu. Setelah dia memberiku uang, aku langsung berlari ke area hiburan dan bertemu Piwi-pie—meski dia lebih senang dipanggil Yang Mulia Piwi, aku enggak mengerti kenapa. Nah, Piwi-pie sedang makan pisang dan tetap kurang ajar seperti biasa. Tapi dia ceria sekali pagi ini. Mengatakan akan memborong manisan di kedai permen Happy Buddy untuk disantap bersama kakaknya.
"Toko yang ingin kami kunjungi, bagaimanapun, masih tutup. Disinilah aku, waktu menunggu, melihat di tengah-tengah keramaian, si Kumbang Ungu Pelindung, Mauve, sedang dikejar-kejar Tuan Ninja menarik, Oni! Aku enggak tahu masalah mereka apa. Tapi kurasa si Kumbang Ungu Pelindung sengsara dikejar-kejar begitu. Dia terus-menerus menangis. Jadi kupungut kulit pisang Piwi-pie yang dibuang sembarangan dan melemparnya sekuat tenaga. Nah, aksi itu menjadikanku pembuang sampah sembarangan juga, sekaligus, menjatuhkan si Tuan Ninja. Dia mudah sekali terpeleset dan mengumpat pakai bahasa asing. Pengejaran memang berlanjut setelahnya tapi aku yakin Kumbang Ungu Pelindung itu berhasil lolos.
"Tak lama, toko-toko mulai buka. Aku disuruh bantu Piwi-pie pilih manisan terenak dulu sebelum beli bunga pesanan Madelaine cantik. Beres. Buru-buru aku lari keluar menuju Taman Memorial lagi. Tapi malah jatuh di trotoar. Menubruk laki-laki tangguh bertindik dan langsung bisa mengenalinya sebagai peserta—Balthor! Dia habis kecopetan. Tanya-tanya apa ada sindikat pencuri jalanan atau semacamnya di sekitar sini. Yang kutahu cuma gerombolan perampok, bermarkas di bawah jembatan. Dia bilang terima kasih lalu melengos. Nah, kembali juga akhirnya ke Taman Memorial. Aku ikut mendoakan arwah Juda—laki-laki bertudung, pemotong rumput, pelindung Madelaine cantik. Namanya sudah dipahat pada salah satu monumental perang. Tradisi penduduk kota melakukan itu. Dimanapun makamnya, mereka pasti mengunjungi Taman Memorial saat ingin mendoakan yang mati. Tempat yang—setelah kejadian terlepasnya arwah-arwah dari Nanthara—jadi sangat ramai. Oh, iya, pelatih, aku juga memahat dan mendoakan kedamaian Lily.
"Aku lanjut berlari. Melewati reruntuhan biara, bertemu Elose. Kesatria wanita penuh bekas luka. Dia juga sedang berlatih. Bersemangat, karena seseorang—atau seekor, lebih tepatnya—baru saja secara polos meminta maaf padanya atas kegagalan di masa lalu. Aku bakal kasih semua bintik-bintik di wajahku kalau seseorang, atau seekor itu, bukan si Kumbang Ungu Pelindung. Pada ronde pertama, keduanya ditimpa hal buruk. Kucoba memahami perasaan mereka, wah, pasti sulit dan canggung sekali. Sama-sama bertanggung jawab menjaga, sama-sama mengecewakan. Jadi aku ikut senang keduanya bisa menerima itu dan melanjutkan hidup. Nah, kemudian, aku berlari melewati jembatan. Di bawahnya, kulihat si laki-laki tangguh, Balthor, sedang bercengkerama dengan gerombolan perampok. Syukurlah tak ada perkelahian! Atau, jangan-jangan, sudah sempat terjadi? Syukurlah semua baik-baik saja kalau memang demikian.
"Setelah itu, sebelum akhirnya berlari ke kompleks para pahlawan ini, mati-matian menaiki tangga-tangga besar! Aku sempat mencelakakan dan membantu beberapa penduduk juga. Menjahili pasangan lansia tukang bully. Menyeberangi remaja yang kukhawatirkan tertabrak karena terus menunduk memerhatikan smartphone. Menurunkan majikan dari dahan pohon atas permintaan peliharaannya. Dan cukup banyak lainnya. Nah, itulah, kira-kira, yang terjadi hari ini, pelatih!"
Noel berhenti mencatat.
Malam sudah jatuh. Menggelapkan patung-patung besar para pahlawan dan keluarga kerajaan yang disusun berdasarkan jasa mereka di amfiteater raksasa ini.
"Kerja bagus, Little Gallows. Kita lanjutkan besok."
Gubbins tersenyum lebar.
Besoknya, pada jam yang sama. Awal malam di puncak amfiteater raksasa ini. Gubbins menenggak air minum sendirian. Hanya ditemani Flibbertigibbet.
Noel tidak menghubunginya seperti biasa pagi tadi. Gubbins sudah mendatangi hotel tempat sang pelatih menginap. Kamarnya kosong. Hanya ada tas berisi perlengkapan latihan di atas tempat tidur.
Noel dan Mcdonald menghilang begitu saja. Seperti yang lain. Stuart, Lill, dan Lily. Elizabeth. Lalu Siobhan.
Gubbins sempat terpukul dan panik, sangat kehilangan. Tapi ia segera berkonsentrasi pada pemulihan. Mengembalikan ketenangan. Memutuskan untuk berasumsi, semua yang telah meninggalkannya, pergi karena menerima hukuman Great-Unknown. Kepulangan yang damai. Bukan karena mendapatkan kematian mengerikan seperti Lily.
Dan yang terpenting, berpikir, mereka semua sudah bebas beristirahat sekarang. Tindakan-penerimaan yang sama, yang pernah dilakukan Noel setelah mencoba memanfaatkan portal gantungan kunci Gubbins, untuk menemui Elizabeth—tunangannya.
Noel tidak pernah memasuki portal itu pada akhirnya. Dan Gubbins hanya bisa menebak kenapa. Elizabeth, mungkin, memang sudah tiada. Tak lagi ada portal biasa yang bisa menjangkaunya.
"Pelatih bakal membunuhku kalau tahu jam segini aku masih malas-malasan! Flibbarf, pergilah duluan seperti biasa ke kompleks para pahlawan. Tunggu aku, oke?"
Gubbins berlatih seperti biasa. Berlari, mencelakakan, membantu.
Malam ini ia tak langsung pulang. Berlama-lama merebahkan diri di puncak amfiteater raksasa. Memikirkan banyak hal.
Udara bergetar lembut. Terdengar senandung manis dan sedih, lalu, seseorang datang menyapa.
Gadis bergaun putih, Agisthear si Pencerita.
"Halo, Gubbins Lollygag, oh, idyllicist kecil yang malang." Agisthear tersenyum. Suaranya mengalun seperti nyanyian. "Selamat malam."
"Selamat malam." Gubbins bangun, mengucek matanya yang sembap. "Wah, apakah Anda, Lady, salah satu arwah para tokoh besar di kompleks ini? Atau penjaga mereka?"
Terdengar samar dentang lonceng. Agisthear sedang tertawa pelan. "Bukan, bodoh. Tapi aku yang biasa-biasa saja ini tetap ingin bersahabat denganmu, wahai kepingan Doa. Bolehkah?"
Gubbins juga tertawa. "Lady, kita sekarang ini sudah kuanggap menjadi sahabat! Maaf, ya, tadi aku hanya sedikit—"
"Terkejut!" tebak Agisthear, jenaka. "Pulanglah ke hotel, sahabatku yang sedih," sambungnya. "Periksa isi tas milik pelatih yang kaurindukan. Halaman kelima dalam buku catatannya."
"Oh, tentu saja, Lady."
"Terima kasih sudah mendengarkanku, dan, sampai jumpa lagi. Sekarang, setelah aku memiliki cukup energi kenyataan untuk menemui para Doa," kata Agisthear, "kita pasti akan sering berjumpa. Nantikanlah, sahabat!"
Kemudian Gubbins berkedip dan Agisthear menghilang.
Gubbins hampir mengira pertemuan itu hanya mimpi, sampai, sekembalinya ke hotel, ia menemukan surat di dalam tas perlengkapan latihan Noel. Terselip pada halaman kelima buku catatan.
Gubbins duduk di tepi tempat tidur. Membacanya.
Tentang Noel yang memang sudah merasakan kedatangan hukuman Great-Unknown malam itu. Juga tentang kemampuan yarborough miliknya yang ditujukan pada Crims Hanggalis, penjahat terbesar Nudiustertian yang ternyata masih hidup dan berada di dunia luar.
Lalu, terakhir, digarisbawahi berkali-kali, kata-kata penutupnya untuk Gubbins.
"Little Gallows, aku sudah memaafkanmu karena memisahkanku dari Elizabeth, cinta di hidupku. Sekarang, kau jangan pernah sampai menyerah. Berjanjilah. Selesaikan apa yang kaumulai."


68.
Hari ketujuh setelah ronde keempat selesai.
Beberapa media lokal masih memberitakan aksi pengeboman di istana setempat dua hari lalu, yang, digagalkan oleh peserta Battle of Realms—makhluk sehitam bayangan dengan mulut lebar bergigi runcing. Tanpa Nama. Sampai sekarang, motifnya melakukan penyelamatan belum diketahui.
Pengeboman itu semula ditujukan pada sekumpulan tokoh penting yang sedang mengadakan pers terbuka di pelataran istana. Diprakarsai oleh sekelompok pedemo, atau anti-BoR. Mereka diduga mengharapkan, dari pembunuhan besar tersebut, munculnya fitnah terhadap pelaku genosida belakangan ini. Salah satu peserta turnamen paling berbahaya, Abu si Teroris. Dan menguatkan opini para petinggi lain, yang juga terus memperdebatkan kelangsungan Battle of Realms, sehingga bisa segera mengambil keputusan lebih jauh perihal pemberhentiannya.
Kini, sekelompok anti-BoR yang bertanggung jawab atas percobaan pengeboman tersebut sedang menanti hukuman kerajaan. Dan penyelidikan terhadap motif pergerakan tiap golongan dari para pedemo semakin diperdalam.
Pemberitaan besar lainnya, yang masih diperbincangkan, adalah fenomena badai pasir merah di Gurun Hitamz, sehari lalu.
Sementara untuk hari ini, informasi tentang kemunculan gejolak tanda-tanda perlawanan pada wilayah Nanthara langsung menjadi berita utama. Ribuan Hvyt beterbangan mengitari langit kemerahan. Perairan sekitarnya dipenuhi gelombang dan pusaran besar. Semua hal mengerikan yang pernah terjadi dua dekade silam, saat kerajaan berperang meredam pemberontakan di pulau tersebut, terjadi lagi sekarang.
Gubbins mengganti saluran berita ke saluran Infinity Realms. Sekumpulan acara seputar turnamen. Semua yang bisa diketahui tersaji lengkap. Siaran ulang aksi-aksi dari ronde pertama sampai ronde keempat. Kehebohan wawancara eksklusif dengan peserta-peserta unggulan. Pembahasan peta kekuatan masing-masing peserta berdasarkan prediksi dan statistik pertandingan sebelumnya. Momen-momen tak terlupakan.
Gubbins menaikkan volume, berjalan ke balkon kamar hotelnya, menenggak segalon es susu cokelat, tersenyum memerhatikan pemandangan malam kota. Sementara Flibbertigibbet mendengkur di samping tempat tidur.
"Dasar." Gubbins mendesah, menggeleng. "Padahal yang habis lari keliling kota, kan, aku, Flibbarf! Baiklah. Mimpi indah sana! Jangan ambil jatah selimutku terlalu banyak, tukang tidur bodoh. Hey, sudah kubilang—"
Perempuan berambut perak, berkemeja hitam, tiba-tiba sudah berdiri di pagar tepi balkon, memegang galon es susu cokelat Gubbins, menginterupsi. "Apakah ini waktu yang kurang tepat, bagi teman lama, untuk mampir berkunjung?"
Gubbins melihat. "Wah, Nona Cossette!"
"Apa kabar, Lollygag?"
Cossette turun ke balkon, menenggak es susu cokelat Gubbins sampai habis, mengembalikan galon kosong.
Perempuan berambut perak, berkemeja hitam ini adalah teman pertama Gubbins di Gwenevere. Cossettte, adalah karyawan NGSR yang bertanggung jawab atas tim perekrut Gubbins untuk mengikuti Battle of Realms. Cossette juga telah berjasa karena memberikan informasi gosip seputar ronde pertama—tentang DNA kucing pada dinosaurus, geografis Isla Wunder, jadwal pengiriman domba-domba—sehingga Gubbins bisa mempersiapkan diri.
"Aku senang dikunjungi dan kabarku baik, sampai kau menghabiskan minumanku, Nona Cossette!"
"Wah, Lollygag, memangnya aku tidak diizinkan minum sedikit setelah menempuh perjalanan panjang ke sini? Aku punya gosip segar untuk ronde kelima, loh!"
"Benarkah? Apa itu?" Kedua mata Gubbins membesar antusias. "Tolong maafkan aku, Nona Cossette, karena menjadi kurang sensitif. Ayo, masuk. Kita pasti bisa mengabaikan dengkuran Flibbarf dan mengobrol santai di meja makan!"
Cossette memang sudah masuk lebih dulu, membongkar isi kulkas. Sambil makan dan minum, ia menjelaskan tentang permainan khusus yang akan menjadi tema ronde kelima. Kabar buruknya, Gubbins akan memainkan permainan khusus itu tanpa Flibbertigibbet. Kabar baiknya, pihak penyelenggara akan menjamin Gubbins tetap bisa mengaktifkan kemampuan-kemampuan idyllicist—sekalipun sebenarnya mustahil, karena idyllicist takkan bisa apa-apa tanpa peliharaan-pohon mereka.
Tapi Gubbins memutuskan percaya. Terlebih, pihak penyelenggara telah terbukti mampu menjadikan sesuatu yang mustahil baginya menjadi mungkin. Seperti saat mengkloning dirinya ke puppet clone.
Cossette pamit setelah mengosongkan isi kulkas. Gubbins sangat berterima kasih atas gosipnya, dan, tengah malamnya, saat terlelap sambil memeluk sebelah kaki Flibbertigibbet yang terulur ke tempat tidur, Gubbins bermimpi—atau rasanya seperti itu—didatangi laki-laki telanjang, anggota kelompok misterius, Cancer.
Cancer meminta Gubbins mengingat sesuatu yang pernah ia bisikkan di Menara Bebal.
Gubbins sempat terbangun karenanya dan hanya mendapati televisi yang masih menyala. Menampilkan sesi tanya-jawab para peserta dalam suatu acara pada saluran Infinity Realms.


69.
Hari pembukaan ronde kelima.
Karena tidak bisa meninggalkan Flibbertigibbet, dan setelah diizinkan pihak penyelenggara, Gubbins akhirnya berangkat menuju lokasi ronde kelima tidak menggunakan bus-bus wisata yang sudah disediakan untuk para peserta.
Gubbins menunggangi Flibbertigibbet mengikuti keempat bus itu dalam perjalanan santai melewati banyak pemandangan menyenangkan. Sampai tiba di sebuah pabrik milik NGSR.
Mereka masuk ke dalam bersama-sama. Tapi, oleh petugas di suatu koridor berdinding besi, seorang peserta dipisahkan dari rombongan. Sementara sisanya meneruskan ke sebuah aula luas, sangat terang, dengan kursi-kursi berperlengkapan khusus, diposisikan berbaris melingkar.
Petugas mempersilakan para peserta memilih tempat. Di sini Gubbins harus berpisah dengan Flibbertigibbet. Ia mencium dahi peliharaan-pohonnya. Memeluknya. "Tunggu aku, oke?"
Flibbertigibbet melenguh-sedih, tapi menurut dan beringsut menjauh ke sudut aula, sementara Gubbins memilih tempat, sambil berterima kasih lagi dalam hati pada Cossette atas gosipnya.
Sejak malam kunjungan itu, Gubbins telah membangun mental untuk pertama kalinya berjuang tanpa Flibbertigibbet sama sekali. Ia juga terus menerapkan metode latihan Noel dan merasa siap menjalani kemungkinan-kemungkinan hari ini.
Gubbins tiba di kursi berkode VR-047, pada lingkar terluar.
Sekelebat memori, tentang Menara Bebal di Almnesse, tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Di sana, waktu itu, pada lantai delapan puluh delapan, laki-laki telanjang bernama Cancer dari kelompok misterius pernah berbisik, "Ketika kau, sobat, harus memilih. Duduklah di kursi VR-042. Kau bisa berterima kasih padaku nanti."
Lalu, memori yang lebih baru. Tentang sesuatu seperti mimpi, muncul di malam kunjungan Cossette. Di sana, Cancer memang mengingatkan Gubbins soal bisikan itu.
Tapi, memangnya apa yang akan terjadi? Terlebih, bagaimanapun, Cancer adalah tokoh penjahat di mata Gubbins. Tak seperti Vendetta.
Jadi, "duduklah di kursi VR-042"?
Memangnya apa yang akan terjadi?
Petugas mulai menyiapkan kursi bagi peserta yang belum memilih. Gubbins, masih mematung tenggelam dalam pikiran tentang saran Cancer, mendengar dirinya dipanggil dan merasa lega bisa terbebas dari keharusan mengambil keputusan sulit.
Petugas mempersilakan Gubbins duduk di kursi yang telah dipilihkan untuknya. Perlengkapan khusus, semacam helm, dibantu dipasangkan.
Gubbins tersenyum, baru akan berterima kasih pada petugas itu saat ia, lebih dulu, melihat kode kursi yang sedang didudukinya. VR-042.
Kegelapan dan keheningan mengambil alih.
Samar-samar, lalu, suara mesin mendengung memenuhi seluas aula.
Hitungan mundur dimulai.
Dan yang selanjutnya terjadi adalah tarikan. Seperti jatuh dari ketinggian.
Dalam prosesnya, berangsur-angsur cahaya kembali terhimpun menjadi bentuk-bentuk. Gubbins tak ingat sempat menutup mata tapi saat ini ia membukanya.
Mendapati pemandangan angkasa luar.
Terapung di antara hitam. Dikelilingi bintang-bintang dan planet-planet asing yang jauh. Gubbins tak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk sekadar berpikir. Ia hanya tahu saat ini ia ada.
Terus terapung. Tanpa arah bergerak dengan sangat lambat.
Entah sudah berapa lama kondisi itu berlangsung, ketika akhirnya Gubbins kembali bisa merasakan sesuatu. Tarikan familier. Membawanya melesat turun dengan sangat mendadak. Terbakar. Lebih cepat dari bintang jatuh. Kemudian mendarat bersama dentuman yang seketika membuka lebar kedua matanya.
Gubbins segera diperlihatkan pilar-pilar besar patah. Puing-puing dan pijakan batu terangkat. Menyerpih ke dalam apa yang semula dikira langit malam. Tapi ternyata bukan. Itu adalah sebentuk ruang tanpa batas. Kegelapan dari ketiadaan.
Tempatnya berada sekarang—semula pasti Colosseum yang megah—sedang perlahan-lahan terkikis. Lenyap tanpa sisa.
Di tengah kehancuran dan kesendirian itu, muncul Cancer. Pundak Gubbins ditepuk.
"Halo, Sobat!"


70.
"Paman Cancer!" kata Gubbins. Dengan nada hampir senang, mengetahui ada orang lain di tempat menyedihkan yang sebentar lagi menyerpih tanpa sisa ini. Tapi lalu ia ingat semua kejahatan laki-laki telanjang itu di ronde kedua sehingga langsung bersiaga, mengambil jarak. "Apa rencanamu sekarang, Paman? Jangan harap bisa memanfaatkanku lagi."
Cancer tersenyum geli. "Lucu, sobat, kau harus memilih dua kata itu. Harapan dan memanfaatkan. Karena, ketahuilah, aku sudah lama berhenti berharap dan takkan pernah, dengan seluruh harga diriku, memanfaatkanmu atau melakukan tindakan kurang terpuji apapun."
"Pembohong ulung!"
"Sobat," kata Cancer. Dengan nada orang-orang dewasa saat bersabar menyarankan akal sehat pada anak kecil yang marah-marah tanpa alasan jelas. "Sekarang, jika kau mau mendengarku sebentar saja, kita mungkin tak perlu lebih lama lagi menyakiti hati satu sama lain."
Gubbins melirik sekitar. Tempat ini—wilayah Colosseum ini—semakin menyempit. Apa yang akan terjadi jika semuanya hancur? Lebih-lebih, sebenarnya ini dimana? Bagaimana dengan ronde kelima? Ia menelan ludah. Terlalu banyak pertanyaan. Tak ada cukup waktu atau pilihan.
"Baiklah, Paman. Bicaralah, dan, bersumpahlah atas nama semua kebaikan yang kauanggap penting bahwa kau hanya akan mengutarakan kejujuran."
"Tentu-tentu! Aku bersumpah, sobat!" Cancer menangkupkan kedua tangan di dada. Kemudian mulai menjelaskan sungguh-sungguh.
Pertama, sementara Gubbins "tersangkut" di angkasa luar tadi, ronde kelima sudah lama dimulai dan berakhir. Tak ada peserta yang selamat. Jadi, bisa dibilang, Gubbins sangat beruntung karena sangat terlambat terkoneksi dengan permainan.
Kedua, yang melenyapkan para peserta, berikut seluruh arena ronde kelima—sebentar lagi, adalah salah satu bencana paling mengerikan dalam dunia digital.
Badai piksel.
Cancer sudah memprediksi situasi ini dan menciptakan jalur khusus pada sistem di kursi-kursi tertentu. Salah satunya kursi berkode VR-042 yang diduduki Gubbins.
Jalur khusus tersebut akan menghindarkan peserta pilihan Cancer dari kematian instan yang disebabkan badai piksel di awal permainan. Mereka disembunyikan sampai tiba saatnya muncul. Yaitu ketika badai piksel sudah menghancurkan cukup banyak data, sehingga Cancer bisa memanfaatkan kekosongan itu untuk memulai permainannya sendiri.
Menunggu adalah poin penting yang, sayangnya, harus dilakukan. Cancer butuh kekosongan akibat badai piksel karena kapasitas data permainan ini—yang sudah ditentukan pihak penyelenggara, tak bisa diubah, demi, ironisnya, kemudahan dalam pemantauan—takkan mampu menampung total data yang ada dalam permainan ciptaannya sendiri.
Jadi, jika Cancer memaksakan menaruh permainannya di atas permainan pihak penyelenggara sejak awal, itu sama saja bunuh diri. Data yang ada akan melebihi kapasitas dan meledakkan seluruh sistem. Menghancurkannya tanpa sisa, bahkan lebih cepat dari badai piksel.
Tujuan Cancer menaruh permainan-permainan ciptaannya di kekosongan permainan pihak penyelenggara adalah untuk membagi, menekan, mengurung, kekuatan badai piksel. Menjadikannya mampu dihancurkan. Sampai cukup lama. Dan menyerahkan tugas penghancuran itu pada peserta pilihannya.
Ketiga, dikarenakan suatu hal yang belum diketahui, kehancuran maya yang menimpa peserta di dalam permainan akan memengaruhi keadaan peserta secara nyata.
"Para peserta pilihanku akan bertarung melawan badai piksel di permainannya masing-masing. Kuatur demikian untuk menghindari konflik nyata di antara kalian. Tapi tetap tersedia bantuan. Sehingga, jika kau bersedia menyelesaikan bagianmu, kau pasti tetap bertemu dengan peserta pilihan lainnya. Hanya saja mereka ada di sana sebagai karakter pembantu, yang, besar energi datanya tergantung peran mereka di permainan mereka sendiri," Cancer menyimpulkan. "Aku punya alasan penting, sobat, untuk mempertahankan keberlangsungan Battle of Realms. Aku yakin kau juga punya alasan itu. Jadi, kenapa tidak mencoba memercayaiku seperti kau memercayai V tersayang? Selamatkanlah turnamen ini. Tamatkan permainannya."
Merasa tak ada yang mencurigakan dari penjelasan tadi, tanpa perlu diminta dua kali, Gubbins langsung memutuskan untuk bermain.
Cancer berterima kasih, kemudian segera mengirim Gubbins ke dalam permainan bagiannya.
Gubbins sudah pergi, proses kehancuran di Colosseum seketika berhenti. Detik berikutnya, semua menghilang.
Dan Cancer kini tampak sedang berdiri di sudut tersembunyi Colosseum megah, bermandikan cahaya siang musim panas. Tak ada kerusakan sama sekali, apalagi, pemandangan yang menyerpih ke dalam hitam ketiadaan.
Segalanya normal. Terra Royale utuh.
Cancer bersedekap. Di bawah kakinya, Gubbins tergeletak tak sadarkan diri.
"Sahabatku yang bernasib sial, sungguh kasihan!" kata gadis bergaun putih, Agisthear, yang termaterialisasi di samping Cancer. Cemberut bersandar pada pilar.
Cancer melirik sambil tersenyum sinis. "Wah-wah, lihat siapa yang datang."
"Siapa?" tanya perempuan berambut perak, berkemeja hitam, Cossette, yang termaterialisasi di belakang Cancer. Menodongkan pistol.
"Si Pencerita Tolol dan Pecundang Organisasi," kata Cancer. "Suatu kehormatan bisa dikunjungi kalian."
"Mungkin, jika kau terbukti masih memilikinya, kehormatan itu," kata Cossette. "Tapi aku di sini bukan untuk melihatmu kecewa."
"Menarik. Sayangnya, sebesar keinginanku untuk menghabisi kalian berdua, adalah kemustahilan untuk mewujudkannya sekarang." Cancer berbalik. Menghadap Cossette. "Kita di sini sama sekali tidak memiliki kepentingan apa pun dengan satu sama lain. Tidak perlu membuang-buang energi kenyataan kita."
"Ini hanya peringatan, sampah." Cossette menghilangkan pistolnya. "Jangan pernah lagi ganggu pesertaku. Atau prioritasku, dan organisasi, mungkin berubah."
"Idyllicist kecil itu adalah kepingan Doa terpenting!" pekik Agisthear.
Cancer terpingkal-pingkal. "Kalau begitu berterimakasihlah sekarang! Karena tipuan kecilku mungkin justru menyelamatkannya hari ini!"
Ketiganya bertukar pandang selama beberapa saat, lalu menghilang bersamaan.


71.
Hari pertama, Terra Royale.
"Awas jurang, Gubbins! Jangan melamun!" jerit bocah berkostum jeruk, bernama Tangerine.
Gubbins terkesiap, seperti seseorang yang baru terbangun dari mimpi buruk, kemudian mundur selangkah dari tepi trotoar.
"Awas lubang hitam, Gubbins! Jangan terisap! Lihat, itu datang!"
Gubbins merasakan jantungnya berdegup kencang, bersiaga, memerhatikan sekitar. Tapi ternyata hanya ada sekumpulan plastik yang beterbangan di jalan raya.
"Oh, ya, tentu saja itu bisa berbahaya!" gerutu Gubbins.
Tangerine berlari memutar, menggumam panik, memegangi kepala.
Gubbins menghentikannya. Mereka sepantaran.
"Tenanglah, Jeruk Muda! Tak ada yang benar-benar perlu dikhawatirkan saat ini."
Saat ini, sore kelabu dengan gerimis dingin, Gubbins berada di wilayah perkotaan yang kelihatannya ditinggalkan begitu saja oleh para penduduknya setelah terjadi bencana. Mobil-mobil terparkir sembarangan di jalan dengan pintu terbuka. Etalase toko-toko pecah. Sebagian gedung pencakar langit mengepulkan asap hitam.
Informasi lengkap memasuki pikiran Gubbins dalam bentuk cuplikan gambar-gambar bernarasi dan bisa dipilih.
Wilayah perkotaan ini bernama Urban. Penduduknya, terinfeksi virus buatan mereka sendiri beberapa tahun lalu, harus beradaptasi hidup sebagai zombie. Dan, sekarang, virus yang lebih berbahaya muncul menguasai kota. Virus bernama ganster. Disebarkan oleh Ace Ganster, Chalice.
Gubbins lanjut mengakses informasi bocah berkostum jeruk. Tangerine adalah karakter utama permainan ini. Dalam cerita, Gubbins merupakan pengawal setia Tangerine dan harus membantunya mengumpulkan kelima summon yang tersebar di lima wilayah.
Gubbins mengakses misi di Urban: Ambil summon dari legenda urban.
"Awas kiamat, Gubbins!" jerit Tangerine.
Gubbins mendesah. "Sudah kubilang—"
Teralis toko di belakang keduanya bolong oleh peluru. Sekelompok makhluk mengerikan bermunculan dari sudut blok. Sepersekian detik kemudian, mereka menembak bersama-sama dari jalan raya. Udara dipenuhi desingan.
Tangerine menangis histeris. Gubbins mendorong hingga keduanya tiarap. Mereka lalu merayap ke dalam toko roti tua. Berharap mendapatkan perlindungan di sana.
"Tanganmu putus, Gubbins!"
"Hanya tergores," engah Gubbins. Punggung tangannya yang tertembak, terkikis menjadi piksel-piksel. Tidak berdarah tapi tetap sakit.
Gubbins mengintip keluar. Jumlah makhluk mengerikan itu semakin bertambah. Mulai memenuhi jalan, sebagian bahkan sudah berada di trotoar depan toko mereka.
Menelan ludah, Gubbins menatap Tangerine, menenangkan. "Kita akan baik-baik saja. Aku akan melindungimu, Jeruk Muda. Tapi, seandainya aku terdesak, kaularilah lebih dulu, cari perlindungan lain. Sekarang, sesuai aba-abaku, kita keluar. Siap?"
Tangerine menyedot ingus, mengangguk.
"Betapa aku merindukan Flibbarf saat ini," Gubbins menggumam pada dirinya sendiri. Lalu, "Baiklah. Ayo, Jeruk Muda—"
"Kalian menang, anak-anak. Saya akan membantu." Pria berambut rapi, beranting emas, bernama Hei Heiheihei, menepuk puncak kepala kedua bocah. "Berlindunglah lebih ke dalam. Saya sudah menata beberapa roti dan sirup di meja."
Sepasang sayap hitam membentang dari punggungnya saat ia berjalan tenang keluar toko. Rambutnya diacak angin gerimis. Pandangannya menyapu ratusan makhluk mengerikan yang berdiri mengepung. Ada senyum di wajahnya saat sopan mengatakan, "Tanpa mengurangi rasa hormat. Kalian sebenarnya bisa menjadi sangat kaya seandainya memilih bisnis properti rumah hantu daripada prajurit-yang-hanya-muncul-untuk-dihancurkan ini."
Makhluk mengerikan terdekat, terbesar, maju ke depan Hei. Wujudnya merupakan hasil deformasi dari manusia-hyena. Ia menggeram buas. Hei tak berkedip, melempar koin emas dari atas kuku ibu jarinya ke depan makhluk itu.
Sesuatu yang memukau Gubbins dan Tangerine terjadi setelahnya.
Bersamaan dengan munculnya badai angin di depan toko roti tua, mengempaskan, mengacak-acak, makhluk-makhluk mengerikan terdekat, hawa dingin yang merambat seperti aurora di antara gerimis dan jalan basah berembus tenang. Membekukan semua pergerakan.
Pemuda bertopi rajutan biru, bernama Litus Kamara, berdiri di ujung blok, mengulurkan kedua tangan mengendalikan hawa dingin itu. Meski terengah-engah, kedua mata Litus terfokus, mengilat merefleksikan keyakinan yang keren.
Hei sudah bergabung lagi dengan kedua bocah di dalam toko. "Selesai, akhirnya. Sekarang, untuk menyeimbangkan suasana kemenangan yang dingin, siapa di antara kalian peracik teh terbaik? Semua bahan dan alat ada di belakang. Dan jangan khawatir karena kita sangat diizinkan melakukan itu."
Gubbins dan Tangerine tak mendengarkan. Sibuk menonton.
"Anak-anak," gumam Hei, sambil berjalan ke belakang.
Sementara itu, di ujung blok satunya, berseberangan dengan Litus, puluhan kendaraan unik, dalam formasi terstruktur, berbelok mendekat. Kedatangan mereka menggetarkan jalanan dan kaca-kaca dengan raungan mesin masing-masing. Di depan konvoi solid itu, seperti panglima tempur, melaju mobil besar beratap terbuka yang dikendarai laki-laki bermasker hitam, bernama Tora Kyuin.
Mobil-mobil biasa di sepanjang jalan terlindas atau terpental. Dipimpin Tora, konvoi solid tak bisa dihentikan dan terus melaju sampai menyapu bersih para makhluk mengerikan yang masih dibekukan pergerakannya.
Terdengar gemuruh euforia kemenangan dari para pengemudi. Gubbins dan Tangerine ikut bersorak, berterima kasih pada Hei, lalu minum teh bersama. Litus datang, langsung menenggak sirup dingin. Semua heboh merayakan tapi lalu berangsur tenang saat Tora, dari atas mobilnya, mulai menghitung sambil memandangi salah satu gedung berasap hitam.
Hitungan kelima, beberapa kaca lantai atas gedung itu pecah diterobos jasad makhluk mengerikan paling besar dari semua makhluk mengerikan yang ada di sini. Disusul kemudian oleh serpihan berwarna. Tersusun indah seperti mozaik.
Gadis berbibir biru, bernama Worca Shiwite, mendarat di atas jasad raksasa makhluk mengerikan itu. Worca tersenyum cuek pada teman-temannya—Tora yang tertawa, Litus yang meninju udara, Hei yang mengangkat cangkir tehnya—lalu euforia kemenangan kembali memenuhi udara. Meramaikan kekosongan Urban. Menghangatkan dingin gerimisnya.


72.
Gubbins dan Tangerine memperkenalkan diri pada Four-Leaf Clover—nama aliansi Hei, Litus, Tora, dan Worca di permainan ini.
Mereka, seperti kata Cancer, hanya karakter-karakter bantuan. Meskipun masing-masing memiliki kepribadian dan kemampuan mendekati aslinya. Mereka sebenarnya tak ada di sini, karena, saat ini, mereka juga sedang memainkan permainan bagiannya masing-masing. Berjuang demi menghentikan upaya badai piksel menghancurkan keseluruhan sistem dan, otomatis, membunuh semua peserta di dalamnya.
Badai piksel memang sudah menghilangkan banyak sekali bagian permainan pihak penyelenggara. Tapi, selama sistem utama tidak hancur, yang hilang tadi memiliki kesempatan dipulihkan.
Begitulah Gubbins menyimpulkan penjelasan Cancer. Betapa ia salah. Karena Cancer sesungguhnya hanya memanfaatkan Gubbins untuk tujuan tertentu. Permainan Cancer yang Gubbins mainkan, semua penjelasan, cerita di dalamnya, termasuk versi Colosseum yang nyaris menghilang, sesungguhnya hanya terjadi di dalam pikiran idyllicist kecil itu.
Sebenarnya, permainan Terra Royale pihak penyelenggara, masih berlangsung sekarang, baik-baik saja.
Tanpa, tentu saja, mengetahui fakta itu, Gubbins lanjut mengakses informasi tentang Four-Leaf Clover, lalu merasa beruntung dikelilingi karakter-karakter kuat bertujuan baik.


73.
Misi di Urban: Ambil summon dari legenda urban. Sukses diselesaikan.
Legenda urban yang dimaksud ternyata artisan di toko roti tua tempat Gubbins dan Tangerine bersembunyi. Artisan itu juga sekaligus zombie Urban terakhir, dan, tadi, sedang dijadikan umpan oleh Four-Leaf Clover untuk mengumpulkan para makhluk mengerikan—yang memiliki perintah dari Chalice menangkap semua zombie Urban—pada satu tempat. Memudahkan penghancuran.
Summon yang diberikan artisan adalah monster berbentuk senapan laras panjang. May.
Hanya Tangerine yang bisa menggunakan senjata itu.
Four-Leaf Clover tahu kenapa. Gubbins juga sama, karena ia sudah mengakses cukup banyak informasi dalam pikirannya sekarang.
Tema utama dari permainan ini adalah akhir zaman. Mengisahkan tentang kehancuran total yang akan dibawakan Tuhan palsu dan utusan terbaiknya.
Kehancuran total itu terjadi tujuh hari setelah sosok pembawa harapan—pemegang kunci kemenangan—dan penjaganya, muncul.
Hari ini adalah hari pertama dari tujuh hari hitungan mundur. Ditandai, sesuai kisah, oleh kemunculan sosok pembawa harapan, yaitu Tangerine, dengan kunci kemenangan, yaitu kelima summon yang ia cari. Dan penjaganya, yaitu Gubbins.
Four-Leaf Clover merupakan pihak yang berjuang untuk mempertahankan Terra Royale. Lawan utama mereka adalah Ace Ganster, Chalice, beserta kelompok lain yang mendukung kehancuran total.
Sekarang, setelah sudah saling dipertemukan dan memahami peran masing-masing, mereka merasa siap dan kuat.
Tak boleh ada lagi waktu yang terbuang.
Malam ini juga, rombongan meninggalkan Urban. Konvoi solid. Melintasi no man's land—area tandus penghubung lima tempat Terra Royale—menuju Medieval. Wilayah terbaik, saat ini, untuk mencari summon kedua.
Tak ada yang menyadari kehadiran drone kecil pada langit di atas mereka. Terbang mengikuti tanpa suara. Tersembunyi dalam kegelapan malam.


74.
Hari kedua Terra Royale.
Sebelum pagi, rombongan sudah tiba di Medieval. Bersama Four-Leaf Clover, Gubbins dan Tangerine turun dari mobil. Keduanya menguap, mengucek mata. Litus memerhatikan itu.
"Kalau kalian mau, silakan beristirahat di kabinku," katanya. "Katakan saja petunjuk untuk menemukan summon kedua. Aku mungkin bisa menemukannya sebelum siang."
Tora, setelah menginstruksikan pada para pengemudi—pasukannya—untuk beristirahat, menimpali, "Lite, apa kita bakalan butuh perlengkapan tambahan? Kau mengerti maksudku."
"Iya." Litus mengangguk. "Enggak perlu, kok."
Rombongan mulai berjalan.
"Kakak Es, maafkan kelancanganku, tapi di sebelah mana kabinmu?" Gubbins menarik lengan jaket Litus. "Kurasa, Jeruk Muda memang masih butuh beristirahat."
Tangerine sedang tidur sambil berjalan.
Hei mendesah, kemudian menggendongnya di punggung.
Litus menunjuk ke depan. Wilayah Medieval merupakan campuran antara kota benteng beristana dengan alam yang asri.
"Kenapa Kakak Es menunjuk gunung putih itu?" tanya Gubbins.
Litus tersenyum, angkat bahu. "Karena aku tinggal di sana?"
Gubbins tercengang. "Sungguh? Keren! Kita akan mendaki!"
Hei, melirik Tangerine di punggungnya, tak sependapat. Mendesah lagi.
Litus memerhatikan itu. Ia menyarankan agar Tangerine diantarkan lebih dulu ke kabin. Di sana ada dua temannya yang bisa dipercaya untuk menjaga sementara rombongan mencari summon kedua.
Saran disetujui, terutama oleh Hei, Litus segera menciptakan elang salju. Dengan itu Tangerine dipindahkan.
Rombongan melewati Perisai—selubung tak kasatmata yang membungkus kelima tempat Terra Royale. Berfungsi untuk menyaring segala hal yang tidak diperbolehkan ada di tempat tersebut.
Rombongan lanjut melewati gerbang, koridornya. Tiba, lalu, di dalam kota benteng.
"Litus. Apa dapurmu penuh asap?" tanya Worca.
"Jika kau berniat memasak di sana, Worca, mungkin saja," jawab Litus, lalu tertawa, dan seketika itu juga berhenti. Keceriaan terangkat dari ekspresinya.
"Nah," kata Tora, perlahan, bersiaga sambil memerhatikan pemandangan di depannya. "Sudah kuduga. Kita memang tetap membutuhkan perlengkapan tambahan."
Sementara Tora berlari, balik keluar gerbang, Perisai, Litus jatuh bersimpuh. Mulutnya menganga tak percaya.
Medieval, kampung halamannya di permainan ini, hangus terbakar. Hanya menyisakan hamparan reruntuhan, puing-puing hitam, dan beberapa orang yang bersembunyi. Mengintip hati-hati ke arah rombongan dari sisa kehancuran itu.


75.
Gubbins mengakses informasi tentang Medieval. Tempat tinggal para peri yang sudah terlibat perang dengan Zipangu sejak sangat lama, dan, hanya baru-baru ini saja keduanya sepakat berdamai.
Tak ada lagi keributan di antara keduanya.
Sekarang, bagaimanapun, ketika rombongan—minus Tora—bersama-sama, perlahan, menjelajahi sisa kehancuran dari dekat, mereka bisa melihat banyak jasad hangus makhluk mengerikan. Sebagian besar mengenakan seragam prajurit Zipangu.
Terdengar lenguhan dalam terompet perang. Mendekam di udara. Dilanjutkan derap ratusan langkah teratur. Prajurit berzirah Medieval berbaris, berjalan, keluar dari istana mereka yang sudah setengah hancur. Menuju gerbang.
Wajah-wajah ketakutan, terluka, milik penduduk yang tersisa, bermunculan dari persembunyian reruntuhan masing-masing. Mereka, dengan sayap peri terkulai di punggung, beringsut mendekati pinggir jalan utama. Mengantarkan kepergian para prajurit.
Litus berlari menghampiri tiga pimpinan prajurit—satu peri-pria, diapit dua perempuan berjubah—di barisan depan. Bertanya apa yang sudah terjadi dan ke mana mereka akan pergi. Pimpinan peri-pria berpandangan kosong, cukup menghormati Litus sebagai sesama penduduk Medieval, menghentikan laju barisan. Lalu, perempuan berambut hitam di sebelah kanan, bernama Nadaa Kirana Swastikachandra, Nadel, menjelaskan dengan baik.
Bahwa semalam prajurit Zipangu menyerang, dan bahwa pagi ini Medieval akan menyerang balik.
Rombongan mendukung Litus saat ia menyarankan pada para pimpinan agar jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Ada tanda-tanda mereka hanya dijebak, melihat banyaknya jasad makhluk mengerikan milik Ace Ganster, Chalice.
Perempuan berambut pirang di sebelah kiri, bernama Irene Feles, mendesah gemas. Sementara Nadel menanggapi saran Litus dengan senyum-sendu yang menguasai. Menurutnya, dan ia menekankan ini, Chalice takkan pernah bisa menyerang Medieval, atau bekerja sama dengan Zipangu. Karena Chalice, saat ini, sedang dipenjara di Toon atas seluruh kejahatannya mendukung kisah kehancuran total Terra Royale di akhir zaman.
Worca maju mengatakan Chalice sudah lama bebas dari penjara Toon. Ia kini bahkan menguasai seluruh wilayahnya. Nadel menggeleng, menyebutkan hal itu, tentu saja, mustahil. Kemudian menambahkan, dengan tuduhan tersirat, bahwa akhir-akhir ini banyak sekali tindak kejahatan yang diawali dengan mengatasnamakan kejahatan lain sebagai upaya pengalihan.
Pernyataan tersebut seketika memancing kecurigaan para prajurit Medieval. Pimpinan peri-pria menghunus pedang. Semua bersiaga.
Litus mencoba memperbaiki kesalahpahaman, menjelaskan misi rombongan mengumpulkan kunci kemenangan melawan kehancuran total, bukan melakukan tindak kejahatan apapun. Samar, alis Nadel terangkat.
Berniat baik, Hei menambahkan sopan, sekalipun ia sendiri mengutuk Zipangu, kampung halamannya di permainan ini, ia yakin Zipangu takkan melanggar kesepakatan damai dengan Medieval. Harga diri mereka takkan mengizinkan itu.
Tapi, Nadel membalikkannya. Menuding berdasarkan kesimpulan jauh, yang, bagaimanapun, tetap disetujui para prajurit Medieval. Bahwa rombongan adalah utusan Zipangu. Ditugaskan, justru, untuk mempengaruhi Medieval agar menyerang Toon—markas Chalice.
Nadel menegaskan rombongan tersebut harus dihentikan. Digantung bersama gadis mata-mata Zipangu yang ditangkap sebelum mereka. Pimpinan peri-pria memerintahkan beberapa prajurit maju. Rombongan menegang. Kecuali Gubbins. Ia terus mengkhawatirkan Tangerine dan melihat ke arah gunung putih, tempat kabin Litus berada.
Lalu, empat hal terjadi bersamaan.
Pertama. Litus, berdiri paling dekat dengan para pimpinan, ditebas prajurit Medieval karena menolak menyerah. Litus juga tidak balas melawan karena, bahkan sampai saat ini, ketika piksel berhamburan dari dadanya, ia percaya kampung halamannya telah menjadi tempat yang damai, dan semua masalah bisa dibicarakan baik-baik.
Kedua. Cahaya pelangi, tembus pandang, berbentuk kuda raksasa bertanduk, muncul-menjulang di pelataran istana setengah hancur. Makhluk itu meringkik menulikan.
Ketiga. Gubbins menunjuk ledakan tiba-tiba di kaki gunung putih.
Keempat. Tora datang bersama pasukan pengemudi dari arah gerbang.
Pecah pertempuran rombongan dengan para prajurit Medieval.
Litus, terluka parah, ditarik Hei menjauh. Sebelum kehilangan kesadaran, Litus sempat memohon pada Worca agar mencoba menyelamatkan apa yang tadi disebut Nadel sebagai gadis mata-mata Zipangu. Karena semua akan semakin memburuk bagi kedua wilayah apabila eksekusi mati berdasarkan tuduhan palsu itu dilangsungkan. Hukuman gantung biasa dilakukan di pelataran istana, tempat kuda bertanduk raksasa, bertubuh cahaya pelangi, mengamuk saat ini. Worca melesat ke sana.
Gubbins, ditemani beberapa pengemudi, melesat ke arah ledakan di gunung putih. Berharap menemukan Tangerine di sana, dalam keadaan baik-baik saja.
Tora, memiliki rencana, bersama pasukan pengemudinya menggiring para prajurit Medieval keluar gerbang, keluar Perisai, lalu, setelah beberapa penyetelan, dengan manuver-manuver terlatih, Tora dan pasukan pengemudi kembali ke dalam. Berjaga di muka gerbang. Sementara para prajurit Medieval yang berupaya mengejar harus kehilangan semua perlengkapan mereka saat melewati Perisai. Karena Tora telah meretas sistem syarat benda-benda yang diperbolehkan berada di suatu wilayah.
Tak terduga, para prajurit menyerah cepat. Mereka memunggungi wilayah Medieval, lanjut berbaris-berjalan melintasi no man's land menuju Zipangu. Dipimpin, kini, hanya oleh dua sosok. Peri-pria berpandangan kosong dan perempuan di sebelah kirinya, Irene. Nadel, bersama beberapa prajurit, tertinggal dan tertangkap di dalam saat pecah pertempuran tadi.
Worca, sementara itu, sudah kembali bergabung dengan rombongan. Menunggangi kuda raksasa bersama gadis berambut acak-acakan yang dituduh sebagai mata-mata Zipangu, bernama Ifan.
Gubbins menyusul bergabung tak lama kemudian. Bersama beberapa pengemudi. Dua hantu perempuan, teman Litus, bernama Nyai Dasimah dan Riska Ambarwati. Sesosok bocah beraura terang, terikat-terbekap, bernama Abu. Lalu, Tangerine, yang masih lelap tertidur.


76.
Misi di Medieval: Ambil summon dari cawan suci. Sudah sukses diselesaikan saat Gubbins mengecek informasinya.
Cawan suci yang dimaksud ternyata toples tersembunyi milik mendiang peri pertama Medieval. Ifan, mengaku sebagai pelajar Colosseum, sedang melakukan riset untuk tugas akhir, menemukan toples tersembunyi itu kemarin sore. Malamnya, Medieval diinvasi dengan sangat mendadak oleh ratusan makhluk mengerikan berseragam prajurit Zipangu. Dan sebelum pagi, Ifan, yang berhasil selamat bersama beberapa penduduk, ditangkap Nadel. Dijadikan kambing hitam, dituduh begitu saja sebagai mata-mata Zipangu.
Tak ada yang peduli dengan pembelaan Ifan bahwa ia hanya pelajar, memiliki surat-surat perizinan resmi dari Colosseum untuk melakukan riset di Medieval. Semua hanya patuh pada ucapan Nadel. Keputusannya menjatuhkan hukuman mati. Ajakannya membalas serangan Zipangu.
Sekarang, Ifan menyerahkan toples tersembunyi mendiang peri pertama Medieval pada rombongan. Tadi, sesaat sebelum dihukum gantung di pelataran istana, dihampiri Worca, toples itu terjatuh, membuka. Keluarlah dari dalamnya kuda raksasa bertanduk, bertubuh cahaya pelangi. Onveg. Summon kedua.
Seperti summon pertama, May, fungsi Onveg sebagai senjata hanya bisa digunakan Tangerine. Meski sebagai kendaraan kolosal Onveg bisa ditunggangi siapapun.
Rombongan mengalihkan perhatian pada Nadel. Salah satu pimpinan prajurit Medieval itu—saat ini terikat bersama beberapa prajurit yang ikut tertangkap—sedang menangis.
Nadel menangis sambil meracau pelan lebih pada dirinya sendiri. Tentang betapa bodoh dirinya bisa terus-menerus berada dalam pengaruh Irene, si Perempuan Iblis. Ia bingung dan sangat menyesal. Bersungguh-sungguh seperti berkabung. Sehingga, ketika mata cokelatnya yang basah menyapu sekitar, menatap rombongan, lalu ia berpasrah mengatakan menerima kematian sebagai hukuman, rombongan hanya bisa diam.
Semua prajurit Medieval yang tertangkap membenarkan semua reaksi Nadel. Kebingungan, penyesalan, amarah, kesedihan. Mereka sekaligus mempertegas pengaruh-paksa, absolut, Irene, selama ini. Kemarin, puncaknya, saat Irene menyarankan agar seluruh prajurit hanya fokus menjaga istana, membiarkan makhluk mengerikan membantai penduduk. Irene juga mendesak seluruh keluarga kerajaan beserta bangsawan-bangsawan agar berada di satu aula istana. Aula yang kemudian hancur dijebol dan semua di dalamnya terbunuh.
Beberapa penduduk, diawasi pengemudi-pengemudi Tora, takut-takut ikut memberi kesaksian tentang, memang, penjagaan para prajurit di malam penyerangan sangat sedikit. Hei maju bertanya, sopan, mengenai hasil akhir penyerangan. Bagaimana cara prajurit yang sedikit itu mengalahkan begitu banyak makhluk mengerikan? Apakah ada penyebab lain?
Penduduk memberikan jawaban senada: ada. Tapi penjelasan mereka selanjutnya terlalu berbeda-beda, tercampur. Majulah dua hantu, teman Litus, Nyai—merasuki wanita tua, pemuka agama Medieval—dan Riska, perempuan pucat dengan punggung berlubang.
Nyai dan Riska membawa, di antara mereka, bocah beraura terang, Abu, yang terikat-terbekap. Abu, adalah sosok itu. Penyebab lain yang ditanyakan Hei dan coba dijelaskan penduduk.
Abu, muncul begitu saja, sendirian, membantai seluruh makhluk mengerikan pada malam penyerangan. Meski dalam prosesnya ia juga, bisa dikatakan, menghancurkan kota benteng Medieval.
Lalu, setelah pembantaian itu, Nyai dan Riska—dua pejuang non-prajurit Medieval yang tersisa sebelum kemunculan Abu—menangkap si bocah beraura terang tanpa perlawanan. Keduanya ketakutan sekaligus berterima kasih.
Dan di sinilah mereka semua sekarang. Di antara reruntuhan Medieval.
Sementara Gubbins mengakses informasi tentang peran Abu, hal-hal baru lainnya, rombongan mulai mempertimbangkan wilayah mana yang harus didatangi selanjutnya. Mereka akan tetap bergerak cepat. Lima hari menjelang kehancuran total Terra Royale. Tersisa tiga summon dan tiga wilayah. Zipangu, Toon, Colosseum. Ketiganya memiliki kesulitan besar tersendiri:
Zipangu dengan ancaman perang melawan Medieval. Toon yang merupakan markas Chalice, rumah para makhluk mengerikan terkuat. Colosseum sebagai wilayah sentral, tempat kemunculan Tuhan palsu beserta utusan terbaiknya.
Nadel menawarkan bantuan.
Memberikan informasi. Irene tak pernah berniat membawa para prajurit Medieval ke Zipangu. Irene sudah menguasai jiwa mereka dan akan membawanya ke neraka. Itulah satu dari dua tujuan utama si Perempuan Iblis yang diketahui Nadel. Mengumpulkan jiwa-jiwa sial.
Nadel ingin semua memercayainya. Karena ia mengaku cukup sadar saat berada di bawah pengaruh Irene. Hanya tak bisa berkehendak.
Informasi lain yang diberikan adalah ikatan aliansi Irene dengan Chalice. Dan, pemilik summon wilayah Zipangu, bernama Zenistia Nisrina. Nadel mengaku mengenalnya sejak kecil.
Akhirnya, keputusan diambil. Tujuan rombongan selanjutnya adalah Zipangu. Tapi bukan sepenuhnya dikarenakan informasi Nadel. Mereka memang akan memilih ke sana daripada harus menghadapi Chalice di Toon, tanpa persiapan, atau mengambil risiko bertemu Tuhan palsu beserta utusan terbaiknya di Colosseum.
Maka, menunggangi kendaraan kolosal, Onveg, rombongan berangkat meninggalkan Medieval menjelang sore. Sekali lagi, tak menyadari kehadiran drone kecil pada langit di atas mereka.


77.
Malam sudah jatuh. Beberapa tenda sederhana didirikan di punggung Onveg. Dalam salah satunya, Gubbins menguap, meregangkan tubuh. Ia baru saja selesai mengakses, membaca, informasi mengenai Terra Royale. Karakter-karakter penting, kisah-kisah, dan lima tempat.
"Kabar baik, Jeruk Muda, sampai titik ini kita masih berada di jalan yang benar." Gubbins menepuk kantung tidur Tangerine di sebelahnya.
Kempis. Tangerine tak ada. Gubbins langsung lari keluar tenda sambil menggerutu cemas.
Dua hantu di depan api unggun memanggilnya. Gubbins bergabung, bertanya apa ada yang melihat Tangerine? Dua hantu menunjuk dua tenda berbeda. Lalu sama-sama mengatakan Tangerine tidur sambil berjalan, berpindah-pindah tadi. Gubbins melompat panik. Bukan karena informasi itu, tapi karena baru sadar ada yang menyalakan api unggun di punggung kuda raksasa bertanduk, bertubuh cahaya pelangi semitransparan ini.
Perempuan pucat dengan punggung berlubang, Riska, cekikikan. "Jangan over, dong, Adik Penjaga! Kudanya juga pasti ngerti, kok," katanya. "Kita, kan, butuh cahaya buat jaga-jaga dalam gelap."
Nyai, masih menggunakan tubuh wanita yang sama, mendesah. Menggumam sendiri tentang kewajaran memiliki api unggun saat berkemah.
"Kenapa? Padahal cahaya dari anak terang itu cukup, kan?" Gubbins menunjuk sosok Abu-kecil yang bercahaya. Duduk terikat-terbekap, tanpa perlawanan, misterius, di samping tenda tempat Litus beristirahat setelah diobat.
Tapi Gubbins sudah tahu peran bocah beraura terang itu pada permainan ini. Ia adalah jiwa dari Tuhan palsu. Disebut juga sebagai utusan terbaik. Mythical Jewel. Dan harus disematkan pada Avatar—wujud Tuhan palsu di Colosseum—agar ia bisa dikalahkan.
Gubbins lanjut mencari Tangerine. Masuk ke tenda lain. Kali ini, ia bertemu dengan Ifan. Gadis berambut acak-acakan. Duduk membelakanginya di pojok. Pundaknya naik-turun seperti sesenggukan. "Kakak Pelajar? Kau baik-baik saja?"
"Ya," kata Ifan. "Lumayan."
Gubbins menghampirinya. Ternyata Ifan sedang makan mi yang dibeli dari Hei.
"Aku tahu itu." Gubbins meringis. "Paman bersayap tawari itu di perjalanan ke Medieval kemarin. Menurutku, itu mi termanis yang pernah kucicipi."
"Terus?" Ifan menaruh sumpitnya di atas mangkuk kosong. "Suka?"
Gubbins menggeleng pelan.
"Jujur, sama." Ifan menyeringai. "Tapi mereka tetap hebat dan terkenal, jadi, yah~."
"Pembuat resep mi manis itu?"
"Four-Leaf Clover, Nak. Mereka pelita buat Terra Royale. Tembok penghalang kehancuran total. Yada, yada, yada. Aku pengin lihat mereka dari dekat tadi. Eh, malah ditawarin beli mi." Ifan ketawa datar. "Tapi mungkin itu yang bikin keren. Mereka natural. Ngomong-ngomong, tahu soal Mythical Jewel, kan?"
Gubbins mengangguk. Nanti, jika Abu-kecil—jiwa Tuhan palsu—berhasil disematkan ke Avatar—wujud Tuhan palsu, dan setelahnya ia dikalahkan, dari Avatar tersebut akan terpisah benda ajaib yang bisa mengabulkan permintaan. Itulah Mythical Jewel.
"Nah, senatural apa para priyayi itu kalau tahu permintaan yang bisa dikabulin cuma satu? Menarik, Nak? Menurutku, sih, sepadanlah kalau cuma buat ganti judul tugas akhir nanti. Semua tentang yang dibutuhin c-i-n-t-a. Aku juga, siapa tahu, mungkin bakal jadi bantu mereka ke titik itu."
Gubbins tersenyum. "Berjuang sama-sama!" ia berteriak tiba-tiba, hingga kemudian, Ifan mengusirnya baik-baik.
Keluar, Gubbins dipanggil lagi sama dua hantu. Kata mereka, Tangerine sudah berjalan kembali ke tendanya.
Benar.
"Hormatilah penjagamu, Jeruk Muda." Gubbins merebahkan diri di samping Tangerine. Bocah berkostum jeruk itu, masih pulas, menggeliat dan memeluk Gubbins. "Ayolah! Aku tetap marah sama kemampuan tidurmu. Atau berjalan. Yah, apapun. Aku, kan, enggak bisa melindungimu kalau aku enggak bisa melihatmu—oh! Bisa, kok!"
Gubbins tersenyum lebar.
Mengaktifkan brouhaha pada Tangerine.
Beberapa jam kemudian. Pertengahan malam.
Rombongan dikumpulkan. Mereka membahas berbagai hal mengenai Zipangu. Nadel, setelah mendeklarasikan dirinya bergabung berkali-kali, berjanji menemukan Zenistia Nisrina, pemilik summon wilayah itu.
Lalu, sambil menurunkan kecepatan Onveg, menghadap cakrawala dimana Zipangu sudah mulai terlihat—cahaya peradaban di kejauhan, rombongan membahas kemungkinan campur tanga Chalice nanti. Cara-cara yang akan ia gunakan untuk mengacau. Waktu kemunculan.
Betapa mereka akan dikejutkan jauh lebih cepat oleh kemungkinan terburuk yang tak terpikirkan.


78.
Hari ketiga, Terra Royale.
Menjelang fajar, gerbang utama Zipangu siap menyambut rombongan. Nadel benar, tak ada satu pun prajurit Medieval.
Tak ada pertempuran.
Tidak. Karena yang mengadang rombongan jauh lebih buruk dari semua itu.
Ace Ganster.
Sewilayah langit hitam terkoyak-koyak menjadi pecahan-pecahan piksel. Menciptakan sebuah portal yang terlampau besar saat ia hanya menurunkan sesosok gadis kecil bertopi hijau.
Chalice mendarat di puncak tanduk Onveg.
Belum sempat memberikan reaksi apapun, sepersekian detik kemudian portal di langit meluas. Dan rombongan menyaksikan kejadian besar itu dengan mata terbuka lebar. Gemuruh tanpa petir memenuhi udara. Koyakan demi koyakan dari pergesekan benda-benda melemparkan letupan-letupan piksel yang segera memenuhi permukaan.
Lalu, permukaan itu sendiri bergeser. Onveg bersama rombongan tertarik ke depan. Dan sesaat sebelum mereka bertabrakan dengan Zipangu, portal raksasa di langit memuntahkan bagian-bagian wilayah Toon. Bagian-bagian wilayah Colosseum.
Keributan yang diciptakan dari benturan-benturannya bahkan mampu menenggelamkan pendengaran rombongan terhadap keributan itu sendiri.
Tiga wilayah—Zipangu, Toon, Colosseum—baru saja bersatu.


79.
Seseorang mengguncang tubuh Gubbins. Membangunkannya.
Tangerine.
Mereka masih berada di atas punggung Onveg. Hanya saja lebih ramai di sini karena beberapa makhluk mengerikan, pada satu sisi, berlompatan naik ke atasnya seperti air mancur dan menyerang rombongan tanpa henti. Pada satu sisi lain, para samurai Zipangu menyusul.
Di bawah sana, pertempuran jauh lebih riuh, sengit, tercampur. Karena dari wilayah Colosseum, para gladiator berlarian murka menghantam apa saja. Makhluk mengerikan dan samurai.
Seolah ada seseorang yang menghapus seluruh perintah dalam diri mereka dan hanya menyisakan satu insting. Pertempuran mempertahankan teritorial. Dimana, di tiga wilayah yang tercampur acak bagian-bagiannya ini, hal tersebut sama saja seperti menciptakan neraka dunia.
Gubbins mendekap Tangerine. Mereka masih aman karena berada di lingkar terdalam rombongan.
Lalu pertempuran memadat. Rombongan mulai terpisah. Sampai akhirnya Gubbins tak lagi melihat satu pun sosok yang ia kenal, selain Tangerine, berdiri di dekatnya.
"Menunduk!" teriak seorang gadis berambut hitam pendek, bernama Zenistia Nisrina. Ia mengayunkan pedangnya setengah lingkaran, memotong bersih makhluk mengerikan yang mengepung Gubbins dan Tangerine.
Dan Gubbins mengenalinya. Ia pernah mengakses informasi tentangnya. Zenistia. Samurai terbaik. Pemilik summon wilayah Zipangu.
"Anak-anak tidak seharusnya berada di medan perang!" teriak Zenistia sambil menebas lagi. "Tunggu." Gadis itu melirik kedua bocah. Lalu memutuskan menatapnya selama sedetik penuh. "Kalian bukan manusia!"
Gubbins salah mengira Zenistia bisa mengeluarkan ia dan Tangerine dari situasi terkepung ini. Karena sekarang Zenistia malah ikut menyerangnya. Mereka pun terdorong semakin ke tepi, sampai akhirnya terlempar jatuh dari punggung Onveg.
Langsung menuju peperangan tercampur antara penghuni tiga wilayah di bawah sana.
Tapi tidak. Gubbins dan Tangerine mendarat di atas atap. Semacam kereta yang ditarik oleh kuda-kuda terbang. Seorang perempuan berambut putih di kursi pengendali melirik tajam ke arah keduanya. Mata perempuan itu berbeda warna satu sama lain.
Gubbins juga mengenalinya. Ia adalah Fransisca Remington. Sekaligus, pemilik summon wilayah Toon, dan menjadi sosok paling dicari di sana karenanya.
"Kupikir menghindari Chalice saja sudah cukup. Tapi sekarang kekacauan ini terjadi, kotak itu menghilang, dan dua anak kecil jatuh ke atas kereta kudaku." Fransisca melemparkan bola-bola sihir pada makhluk-makhluk mengerikan bersayap yang mengejarnya. "Kalian bisa bertarung? Tentu saja kalian tidak bisa. Duduklah di sana sampai aku—"
Zenistia muncul begitu saja dan menerjang Fransisca hingga keduanya terjatuh dari kereta kuda.
Gubbins, meminta Tangerine tetap menunduk di bawah kursi, mengambil alih kendali. Berputar menghindari berbagai macam serangan udara sampai akhirnya menemukan tujuan. Sosok-sosok familier.
Rombongan, di taman hiburan. Sedang bertarung habis-habisan melawan Chalice, bersama pasukan makhluk mengerikan terkuatnya, dan Irene.


80.
Gubbins mengira kedatangannya akan banyak membantu. Salah. Rombongan memang tak memiliki kesempatan untuk menang pada awalnya. Mereka yang tersisa terkepung di bawah patahan bianglala suram. Dinodai banyak darah makhluk mengerikan.
Setelah perlawanan singkat terakhir, rombongan dikalahkan. Chalice memisahkan Tangerine dari Gubbins.
Chalice adalah monster dunia ini, menurut informasi Gubbins. Gadis bertopi hijau itu mampu mengelabui sistem. Tapi tak pernah terpikirkan oleh idyllicist kecil itu akan sampai seperti ini dampaknya.
Dan jika selama ini semua, termasuk rombongan, mengira Chalice merupakan pendukung utama kehancuran total yang akan dibawakan Tuhan palsu, itu sama sekali tidak sepenuhnya benar.
Chalice, seperti Irene yang mengoleksi jiwa-jiwa, memiliki tujuan sendiri. Ia menginginkan Terra Royale berada di bawah kekuasaannya, sepenuhnya. Sehingga ia bebas menciptakan sebanyak mungkin makhluk mengerikan.
Hal itu bisa diwujudkan jika ia melenyapkan kedua kisah utama dunia ini. Tuhan palsu dan sosok pembawa harapan.
Tangerine memberontak dalam genggaman Chalice. Salah satu makhluk mengerikan mencabik Tangerine. Darah keluar dari sobekan kostum jeruknya.
Gubbins, terpicu, maju melawan. Hanya dua langkah. Irene menebasnya, disusul kemudian oleh, atas perintah Chalice, serangan beberapa makhluk mengerikan. Mereka menumpuk di atas si idyllicist kecil, mengoyak.
Tangerine, menyaksikan semua, jatuh tak sadarkan diri. Aura gelap menguar dari tubuhnya.
Pada saat inilah Chalice tahu ia telah menciptakan masalah terbesar yang seharusnya bisa ia hindari. Tapi tidak. Karena ia terlalu yakin telah memenangkan semua ini.
Tangerine mengaktifkan kekuatan kedua summon sebagai senjata.
May, monster berbentuk senapan laras panjang, yang tersampir di punggung Tangerine. Menembakkan cahaya hitam, satu kali ke langit fajar. Lalu, Onveg, kuda raksasa bertanduk, yang bergeming di tengah kekacauan. Melesat cepat, pelangi yang mengabur, menabrak wilayah Chalice berada.
Ledakan tujuh warna cahaya disambut hujan meteor hitam dari langit.
Tak ada yang tersisa dari wilayah taman bermain selain Tangerine dan Gubbins.


81.
Terlalu terang. Dingin. Gubbins mengerjap, meringis, saat merasakan tubuhnya yang rusak perlahan dipulihkan self-heal. Saat ini ia sedang dipapah oleh bocah berkostum jeruk yang terus-menerus tersenyum. Tangerine.
"Ada apa?" tanya Gubbins, lirih.
"Kita sampai, Gubbins!" jawab Tangerine, menunjuk amfiteater Colosseum tak jauh di depan mereka.
Seperti mimpi. Amfiteater itu, Gubbins mengetahuinya, merupakan lokasi summon wilayah Colosseum.
Tempat itu juga, saat ini, dijaga oleh pria berjanggut yang duduk di atas awan, bersama, di sampingnya, sosok familier, Abu-kecil—tampaknya berhasil memanfaatkan kekacauan untuk berlari duluan ke sini.
Gubbins mulai merasakan tubuhnya lagi. Sebagian besar luka sudah tertutup.
"Ini pertarungan terakhir, kurasa, Jeruk Muda." Gubbins tersenyum lemah. "Kita harus habis-habisan."
Pada saat itu juga, dua hantu mendarat di belakang mereka. Nyai membawakan summon wilayah Zipangu. Riska membawakan summon wilayah Toon.
Keduanya mendapatkan itu dari Nadel, yang mereka temukan tak sadarkan diri di lingkar terluar pertempuran. Mungkin Nadel mencoba membawanya lari. Atau yang lainnya.
Itu terasa tak terlalu penting sekarang.
Tangerine memiliki empat summon. Lokasi yang terakhir berada di depan mata.
Waktunya pertarungan terakhir. Ini harus berakhir di sini.
"Baiklah, Jeruk Muda. Ayo!"
"Ough!"
Gubbins menggunakan yarborough pada awan si pria berjanggut. Nyai menembakkan bola-bola roh. Riska membantu Nyai berpindah tempat. Dan Tangerine mengerahkan keempat summon sekaligus.
Tercipta pertempuran sengit. Ledakan-ledakan yang menghancurkan. Nyai terempas pada satu sisi amfiteater dan Riska pada sisi lainnya. Lalu, meskipun semua itu hanya berlangsung tak lebih lama dari satu-dua menit, ketika selesai, Gubbins dan Tangerine merasa telah bertarung selama mereka hidup.
Dan, ya, mereka menang.
Abu-kecil berhasil disematkan sebagai Mythical Jewel ke dalam kekosongan si pria berjanggut—Avatar. Ia dikalahkan setelah diberi kesempatan mengucapkan kata-kata terakhir. Dan itu adalah, "Dia—Tangerine—adalah summon terakhir yang akan membawakan kehancuran begitu naik ke atas amfiteater."
Gubbins tak memedulikannya. Ia dan Tangerine naik ke atas amfiteater untuk mengambil summon terakhir.
Tapi yang terjadi selanjutnya adalah kehancuran total. Begitu tiba-tiba dan cepat. Seolah Terra Royale hanya nyala lilin di suatu puncak berangin.


82.
Hari ketiga, Terra Royale.
Gubbins terkesiap, seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi buruk, kemudian mundur selangkah dari tepi trotoar. Tangerine melompat-lompat di sampingnya, memberikan peringatan berlebihan.
Gubbins bersiaga, memerhatikan sekitar, merasakan jantungnya berdegup kencang. Plastik-plastik beterbangan di jalan raya. Tangerine berlari memutar, memegangi kepala, panik.
Gubbins pernah mengalami ini. Ia menghentikan Tangerine. Mengecek informasi sekitar. Tangerine memberikan peringatan lagi, lalu, jalanan dipenuhi makhluk mengerikan dan udara dipenuhi desingan peluru.
Gubbins pernah mengalami ini.
Ia yakin.
Punggung tangannya terserempet peluru. Piksel berhamburan. Ia memasuki toko roti tua. Berusaha menenangkan Tangerine.
Lalu muncul Hei, Litus, Tora, dan Worca.
Mereka menang. Mereka mendapatkan summon pertama.
Mereka tim yang hebat.
Bersama-sama, satu tujuan, mereka melanjutkan perjalanan ke Medieval.
Gubbins pernah mengalami ini.
Medieval hangus terbakar. Perseteruan dengan para prajuritnya. Nadel tertangkap, Litus terluka, Ifan diselamatkan dari hukuman gantung. Nyai dan Riska bergabung, membawa Abu-kecil.
Gubbins mengkhawatirkan Tangerine. Gubbins mencari Tangerine.
Mereka mendapatkan summon kedua. Tangerine baik-baik saja, tertidur.
Melanjutkan perjalanan. Menunggangi kuda raksasa. Gubbins mencari Tangerine yang tidur sambil berjalan.
Gubbins memberikan Tangerine brouhaha, menyokong kehidupannya.
Gubbins pernah mengalami ini.
Lalu semua bergerak cepat. Chalice muncul. Chalice mengacaukan sistemnya. Menyatukan tiga wilayah.
Zenistia mengejar Fransisca. Kekacauan datang. Pertempuran antara para samurai, ganster, dan gladiator.
Tangerine menggunakan kekuatan summon. Energi yang mengerikan. Tangerine terluka. Gubbins merasa gagal melindunginya.
Tiba di Colosseum. Mythical Jewel berhasil disematkan. Avatar dikalahkan. Semua kini berada di belakang. Semua hanya karakter pembantu. Gubbins dan Tangerine berjalan ke tengah amfiteater.
Mereka seharusnya memenangkan permainan.
Tapi tidak.
Gubbins justru mengacaukan semuanya. Perannya, ternyata, memang seperti itu.
Dan Tangerine, menghancurkan semuanya.
Semua memburuk. Semua menghilang.
Gubbins pernah mengalami ini.


83.
Hari ketujuh, Terra Royale.
Gubbins terkesiap, terbangun. Bersiaga memerhatikan sekitar, merasakan jantungnya berdegup kencang. Tangerine terus memberikan peringatan berlebihan.
Gubbins benar-benar pernah mengalami ini.
"Tunggu, Jeruk Muda," katanya, menenangkan. "Bagaimana kalau kita berjalan ke sana? Karena kurasa—oh, ya, ampun! Cium aromanya! Benar, kan?"
Tangerine mengangguk. Meskipun tidak bisa mencium apa-apa di udara selain hawa dingin dari kota yang telah ditinggalkan. Ia menggandeng tangan Gubbins dan mereka berjalan, terus berjalan tanpa menghiraukan suara-suara pertempuran, sampai ke pelabuhan mati.
Di sinilah Gubbins harus melakukannya. Karena semua telah disadari dan diterima. Selama ini, Tangerine adalah Tuhan palsu itu. Ia bukan pembawa harapan.
Gubbins juga bukan penjaga, tapi utusan terbaiknya.
Justru Avatar dan Mythical Jewel yang merupakan pembawa harapan sekaligus penjaga.
Gubbins harus melakukannya di sini. Ini adalah hari terakhir batas permainan bagiannya. Ia harus melakukannya. Atau badai piksel di permainan yang sebenarnya akan melenyapkan semua hal nyata.
Para peserta Battle of Realms.
Gubbins mengusap puncak kepala Tangerine yang basah oleh gerimis. Bocah berkostum jeruk itu sedang heboh memerhatikan gelombang besar di cakrawala lautan kelabu.
Ini harus dilakukan dengan cepat. Tidak menyakitkan.
Hanya ada satu cara.
Bukan dengan zoanthropy atau yarborough. Meskipun ia sudah sekuat tenaga melatih keduanya beberapa hari belakangan, dan keduanya sudah lebih dari cukup untuk mengakhiri semua.
Karena sebenarnya Tangerine tak pernah menjadi kejahatan dalam permainan ini. Sistemlah yang menjadikannya demikian.
Comeuppance.
Kedamaian satu-satunya yang bisa diberikan Gubbins pada Tangerine, dan untuk dirinya sendiri, saat ini. Tak bisa selain itu.
Gubbins meringkuk, menangis. Ia sudah mengaktifkannya. Comeuppance. Kemampuan yang telah diberi janji agar tidak pernah digunakan lagi.
"Ada apa, Gubbins? Hujan keluar dari matamu! Wah, itu di depan! Awas monster laut! Gubbins, jangan lihat! Awas, alien! Hey, buka matamu, Gubbins! Langitnya menghilang! Gubbins! Gubbins, jangan hilang! Jangan pergi, Gubbins—"
Gubbins menyerpih menghilang. Menyusul kemudian, Tangerine. Dan dari serpihan bocah berkostum jeruk itu, Gubbins terlahir kembali.


84.
Semua baik-baik saja.
Akhirnya Gubbins tiba. Ia berdiri di amfiteater Colosseum pada dunia permainan Terra Royale pihak penyelenggara. Ada tujuh peserta lain yang tersebar di sentral wilayah ini.
Semua baik-baik saja.
Worca tertidur di samping air mancur. Nyai memandangi dinding berukir. Litus bersandar pada pilar. Nadel memetik beberapa bunga. Irine berdiri di puncak suatu kuil. Abu menatap langit. Hei mengulang beberapa kata dalam hati.
Semua baik-baik saja.
Gubbins terkoneksi seutuhnya.
"Terima kasih telah memilih untuk memainkan Terra Royale."
Dan mengikuti sambutan itu, adalah badai piksel. [*]

Komentar

  1. Eksposisi tulisan yang repetitif tapi malah seru dibacanya.
    Seolah mendikte tindakan si Gubbins.

    Juga pendekatan hari didalam game. Gatau sih di skenario panitia itu gimana bentuknya tapi mungkin dilatasi waktu di game dengan real time bakal beda. Nampak menarik.

    8/10 dri saya Tora Kyuin

    BalasHapus
  2. Sebelumnya maaf, saya sudah baca entri Gubbins dari R1, tapi baru komentar sekarang. Karena menurut saya, jujur, keren. Sampai saya gak punya komplain berarti.

    Pertama, banyaknya nama-nama asing. Yang, justru membuat cerita sangat menarik karena peran-peran serta keunikan mereka masing-masing. Terkadang, saya mikirnya 'wah pasti karakter yang ini bakal dikupas lebih', dan saya kaget, malah masukin karakter-karakter baru lagi. Dengan keunikan dan peran masing-masing lagi. Walau kadang ada yang sedikit tiba-tiba dan membingungkan, kayak Vendetta di ronde 2, atau empat bersaudara di ronde 4. Saya beneran kagum sdr Aesop bisa menggerakkan banyak karakter begini dengan sangat baik.

    Dan di entri ini, Cancer meringkas semuanya. Jadi mereka-mereka itu nantinya masih bakal muncul? Bahkan Ibbo yang saya kira sudah bisa hidup damai selama-lamanya masih dicari-cari. (F)

    Entri ini sendiri, semua karakter yang submit R4, masuk. Dengan peran sendiri-sendiri, juga karakterisasinya sendiri tergambarkan cukup pas sama aslinya.

    Juga, twist di sini keren. Tangerine ini sepertinya juga gak sadar ya, peran aslinya dia begitu.

    Dan, kelihatannya semua entri Gubbins berakhir dengan Idillycist ini memulai semuanya dari awal. Nice!

    Cuma satu sih yang bikin bertanya-tanya. Koreksi kalau salah, tapi Gubbins kelihatannya akhir-akhir ini sering pakai simbol-simbol unik di kepalanya, tapi gak amnesia. Ini kah hasil latihannya(?).

    N : 10

    OC : Worca S.

    BalasHapus

Posting Komentar