[Ronde 1] Zenistia Nisrina-The First Round Begin

By: Mayn Urr Izqi


Dengan cepat Zenistia memacu ATV pinjaman dari pihak panitia karena dia tidak memiliki kendaraan apa pun untuk ronde pertama. Angin kencang membuat rambut pendek Zenistia menari-nari tak karuan.
Baru beberapa detik yang lalu balapan di pulau bernama Isla Wunder dimulai. Pesisir pantai putih yang seharusnya tampak indah telah berubah menjadi arena balap. Deru mesin ATV memenuhi telinga dan asap kendaraan mengepul dari knalpot. Namun, bukan hanya dari kendaraan darat saja. Balapan yang diikuti Zenistia memperbolehkan peserta menggunakan jalur mana pun yang disukai, karena itu ada beberapa orang yang memilih lewat jalur air dengan menggunakan motor boat dan ada yang melewati jalur udara menggunakan jet pack.
Tujuan setiap peserta adalah sama, memenangkan turnamen antar dimensi yang disebut Batle of Realms dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hal itu juga berlaku untuknya. Keinginannya untuk memiliki senjata yang lebih kuat membuatnya menerima tawaran sales yang datang ke dunianya yang sedang berada dalam perang besar.
Zenistia sudah mendengar dari pihak panitia kalau pulau yang dijadikan sebagai arena balap adalah pulau yang berisi berbagai macam dinosaurus dari zaman purba.
"Kyaaaa!!! " dan Zenistia mempercayai hal itu.
Suara teriakan seorang gadis membuatnya mengalihkan pandangan dan segera mencari pemilik suara tersebut. Saat Zenistia menemukan pemilik suara tersebut, dia cukup terkejut dibuatnya. Seorang gadis tampak berada dalam cengkraman kaki seekor Pteranodon yang membawanya naik ke angkasa. Setelah melihat kejadian itu, dia segera menatap sekitarnya dan terlihat beberapa peserta lainnya juga mengalami hal yang sama bahkan beberapa dari mereka menjadi rebutan reptil terbang di angkasa dan berakhir dengan tubuh yang terpisah-pisah.
Zenistia tanpa pikir panjang melepaskan gas, membiarkan ATV-nya dalam keadaan diam,  dan segera mengangkat TAR-2145. Diubahnya dari mode sniper menjadi senapan serbu dan dia segera membidik para Pteranodon yang membawa para peserta melalui scope. Pelatuk ditekannya dan puluhan cahaya pendek kebiruan keluar dari moncongnya. Hujan cahaya menyerbu para Pteranodon dan membebaskan beberapa peserta. Salah satu peserta yang diselamatkannya berhasil mendapat di atas pasir tanpa luka.
Zenistia menaikkan ujung bibirnya dan segera membidik Pteranodon yang lain. Namun, sebelum berhasil menekan pelatuk, sebuah cengkraman kuat telah berada di bahunya. Sebelum Zenistia bisa bereaksi, dia sudah menyadari kalau dia berada tiga meter di udara, tapi yang dilihat matanya jauh lebih lebar seakan dia sudah berada diangkasa.
Ke dua tangannya lemas dan langsung menggantung begitu saja, tapi dia tidak melepaskan senjatanya, jantungnya berdegub tidak karuan seperti mesin yang berada di gigi akhir dengan gas penuh, keringat bercucuran membasahi armornya, matanya terbenam keras, pikirannya kosong tak bisa memikirkan apa pun, dan dia bisa merasakan dinginnya kematian yang merambah dari bahu ke seluruh tubuhnya.
"Kuucapkan terima kasih untuk yang tadi," setelah mengatakan hal itu, pemilik suara tersebut menarik salah satu pedangnya dan menggunakannya tepat pada dada Pteranodon.
Cengkraman kuat di bahu Zenistia menghilang begitu saja. Tubuh Zenistia yang tak lagi ditopang apa pun langsung melesat jatuh ke bawah, angin kencang yang menerpa tubuhnya membuat rambut pendeknya menari-nari tidak karuan di atas kepala, dan jantungnya berdegub lebih cepat dari sebelumnya. Meski seperti itu, dia masih tidak berkutik bahkan tidak membuka matanya hingga dirasakannya dua tangan lembut yang menempatkan diri di leher belakang dan kakinya.
Brakkk!!! Suara benturan keras dan angin kencang yang menerpa tubuhnya berhenti seketika.
"Kau boleh membuka matamu, Kakak yang cantik ini sudah menyelamatkanmu," mendengar suara tersebut membuat Zenistia mulai membuka ke dua matanya.
Lambaian rambut hitam yang anggun, kulit cerah, dan lingkungan indah di bibir. Semua itu tampak di hadapan Zenistia yang mulai bertanya-tanya apa yang terjadi. Butuh tiga detik untuk Zenistia menyadari kalau dia tengah digendong layaknya seorang putri oleh seorang perempuan.
"Huh?!!" Zenistia melompat dan mengalihkan pandangannya ke sekitar.
Dia tak lagi berada di udara, kakinya mencapai pada besi yang melaju kencang di atas pasir, dan mulai memasuki area hutan.
Pepohonan memenuhi segala tempat, cahaya mentari hanya bisa mengintip dari balik bayangan dedaunan, dan sejauh mata memandang hanya terlihat pohon.
"Kau baik-baik saja?" wanita itu menyarungkan pedangnya pada salah satu eksoskeleton yang berada di punggung belakangnya.
"Ah, iya... Terima kasih sudah menolongku," Zenistia segera mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
"Aku juga berterima kasih. Aku terlalu terkejut saat reptil itu membawaku, aku sama sekali tidak sempat bereaksi. Jika kau tidak menembak reptil itu, mungkin aku sudah jadi santapannya."
"Ah... Iya, tapi aku juga berterima kasih. Aku punya phobia ketinggian dan aku tidak bisa berbuat apa pun saat mengetahui kalau aku berada di dalam ketinggian."
"Yah, semua orang pasti punya kelemahannya sendiri. Aku Azusa, Azusa Motornya," Azusa mengulurkan tangannya pada Zenistia.
"Aku Zenistia, Zenistia Nisrina," tanpa ragu, dia menyambut tangan Azusa. Ke duanya pun saling bersalaman.
Dengan hal yang baru saja terjadi, Zenistia mulai berpikir untuk bekerja sama dengan Azusa. Lagipula tidak ada peraturan tentang bekerja sama dengan orang lain saat perlombaan berlangsung.
"Ngomong-ngomong... apa kau tahu benda apa yang sedang kita naiki?" Zenistia baru sadar ketika Azusa menanyakan hal itu.
Zenistia segera memperhatikan ke sekitarnya dan mencoba mencari tahu. Mereka berpijak pada besi keras, bergerak dengan cepat, ketika Zenistia mengintip ke bawah, dia melihat beberapa roda besi yang berputar cepat, dan apa yang mereka pijak tampak memiliki beberapa gerbong.
"Ini... Kereta? Kurasa kita berada di atap salah satu gerbongnya," jawab Zenistia tak yakin.
"Itu mengejutkan. Sepertinya di beberapa dimensi, kereta api adalah kendaraan pribadi," ucap Azusa sembari memperhatikan sekitarnya. "Mungkin akan ada baiknya jika kita mencari masinisnya."
"Yah, jangan lupa berharap kalau dia mau menerima kita atau kita harus berlari ke garis finish," Zenistia menambahkan.
Setelah menyetujui rencana sederhana mereka, ke duanya segera bergerak ke ujung kereta tersebut. Azusa mengeluarkan salah satu pedangnya dan memotong dahan pepohonan yang menghalangi jalan. Zenistia sendiri hanya bisa berjalan di belakang Azusa sambil memperhatikan jika ada reptil yang mendekat.
Setelah berjalan melewati beberapa gerbong, akhirnya mereka sampai di gerbong terakhir. Akhirnya bagian kepala yang menarik gerbong-gerbong pun terlihat. Sebuah lokomotif uap dengan uap yang mengepul terus-menerus dari cerobongnya.
"Hoi! Sampai kapan kalian bertiga mau menjadi penumpang gelapku?" suara seorang pria terdengar.
Azusa dan Zenistia segera mencari sumber suara tersebut. Di salah satu jendela tampak seorang laki-laki dengan rambut hitam yang diikat ke belakang.
"Siapa namamu? Apa kau pemilik kereta ini?" Azusa melempar pertanyaan.
"Aku Alfan dan ya, aku ingin kalian bertiga turun dari gerbong keretaku!"
"Bertiga? Kami hanya berdua. Selain itu, bisa kami menumpang hingga ke garis finish? Kakak ini akan memberimu service jika kau mengizinkan kami," Azusa mencoba membuat kesepakatan dengan menunjukkan belahan dadanya, sementara Zenistia hanya memasang wajah seolah bertanya perempuan seperti apa Azusa itu.
"Kalian hanya berdua? Jangan bercanda! Aku tahu kalau kalian bertiga atau mungkin yang satu lagi bukanlah salah satu dari kalian," Azusa dan Zenistia yang mendengar hal itu langsung berbalik dengan cepat.
Dan di sanalah seorang perempuan dengan rambut semerah darah dan sepasang tanduk berdiri. Matanya yang menatap dengan tajam membuat Zenistia dan Azusa mengangkat senjata masing-masing seolah siap bertempur dengannya.
"Oh.. Tenanglah! Namaku Aileen dan aku hanya menumpang di sini, sama seperti kalian. Atau kalian memang ingin bertarung denganku?" saat Aileen menunjukkan giginya, Zenistia mulai merasa kalau perempuan yang berdiri di hadapannya ini adalah orang yang kuat.
"Aku mengingatmu, bukankah kau memiliki sepeda motor sendiri? Lalu aku benci tanduk itu," Zenistia membidik kepala Aileen.
"Ah, aku kehilangan sepeda motorku saat Pteranodon menangkapku di area berpasir dan untuk tanduk ini, aku bisa melepasnya," Aileen melepas sepasang tanduk yang ternyata adalah penjepit rambut. Melihat hal itu membuat Zenistia sedikit terkejut, tapi perempuan bernama Aileen ini memang tampak seperti manusia.
"Hoi!! Kalau kalian ingin bertarung, maka lakukan di tempat lain! Aku tidak mau menambah pekerjaanku dengan mengurusi kalian bertiga!!" dari ruang masinis, Alfan berteriak.
"Zenistia, tenanglah! Aileen, hanya untuk memastikan... Apa kau bisa dipercaya?"
"Entahlah, tapi jika kau ingin jasaku... Kau harus membayar atau..."
"Kau yakin dengan hal itu?" Zenistia tiba-tiba menyela.
Matanya tidak memperhatikan Azusa atau Aileen, tapi dia justru memperhatikan pepohonan.
"Kraaaa!!!" dari balik semak-semak melompat sesosok makhluk berkaki dua dengan mulut yang terbuka lebar-lebar. Zenistia dan Azusa dengan cepat melompat ke arah Aileen. Aileen segera mencabut Uzi dari sarungnya dan menekan pelatuknya. Makhluk itu dengan cepat berlari menghindari setiap peluru yang menyerbu.
"Cih! Makhluk apa itu?" Aileen mendesak ketika kehabisan peluru.
"Velociraptor, tapi seharusnya mereka berburu dalam kelompok kecil," Zenistia memperingatkan sambil menyiapkan TAR-2145 miliknya.
Tidak lama kemudian, tujuh Velociraptor tampak muncul di sisi kanan dan kiri kereta. Tujuh Velociraptor tersebut melompat ke atap gerbong dan mengepung Aileen, Azusa, dan Zenistia.
"Kau membuat suasananya semakin menyenangkan," Aileen mulai mengikat rambutnya ke belakang dan kemudian mencabut pisau putihnya.
"Tetap hati-hati! Meski mereka bukan manusia, kita tidak boleh meremehkan mereka!" Azusa mengarahkan pedangnya ke depan.
"Kita habisi reptil yang seharusnya sudah punah ini!" Zenistia kembali mengangkat TAR-2145.
Suara auman dari delapan Velociraptor yang mengepung terdengar jelas di telinga masing-masing. Suara angin dan deru mesin uap yang memacu kereta. Zenistia bisa merasakan keringat dingin mulai membasahi dahinya, Azusa memegang gagang pedangnya semakin erat, sementara Aileen mencoba memperhatikan sekitarnya dengan baik.
Tanpa ada yang menghitung, semuanya bergerak pada saat yang hampir bersamaan. Para Raptor melompat dengan rahang yang terbuka dan siap mengoyak daging tiga perempuan tersebut.
Azusa yang tidak ingin membuang waktu langsung melompat ke salah satu raptor. Pedangnya berayun dari samping, menuju ke rahang Raptor, menebasnya, dan membelahnya tubuhnya menjadi dua. Satu raptor tumbang, tapi masih ada tujuh raptor lain yang masih berkeliaran di sekitar mereka.
Satu Raptor yang mendekat dengan rahang terbuka dari arah samping kanan. Aileen yang menyadari hal itu langsung melompat dan berguling dengan cepat. Uzi pun diangkatnya ke depan secepat kilat dan pelatuknya di tekan.
Bunga api memercik, suara ledakan kecil dari bubuk mesiu memenuhi telinga, dan peluru-peluru putih berkilauan melesat dengan cepat. Namun, Raptor yang dibidiknya berhasil berlari menghindari peluru-peluru tersebut.
Aileen tak mendecakkan lidahnya lagi seperti sebelumnya, tapi dia malah menyeringai melihat Raptor yang menghindari pelurunya tersebut mulai berlari mendekat padanya.
Aileen menghentikan tembakan Uzi ketika jarak antara dirinya dan Raptor tersebut kurang dari dua meter. Pisau putih yang memantulkan sinar mentari langsung melesat dan menebas secara horizontal. Akan tetapi, Raptor tersebut berhasil menghindarinya lagi dengan melompat ke atas. Namun, Aileen semakin menunjukkan giginya dan langsung mengangkat Uzi ke atas. Pelatuknya ditekan dan puluhan peluru putih melesat dengan cepat hingga setiap peluru tersebut berhasil mendarat dalam perut Raptor yang melompat nya.
Tak sempat mendarat dengan ke dua kakinya, Raptor tersebut malah langsung tersungkur ke arah Zenistia yang baru saja melompat menghindari rahang Raptor. Saat ke dua kaki Zenistia kembali menyentuh permukaan, dia segera mengangkat TAR-2145 dan menekan pelatuknya. Sinar-sinar pendek menyembur dari moncongnya senjata itu dan menyerbu Raptor. Namun, dengan kecepatannya, Raptor tersebut berhasil menghindar.
Zenistia mendekatkan lidahnya ketika mengetahui tembakannya meleset. "Krraaa!!" suara kecil tepat di samping telinga membuatnya sadar akan Raptor yang sudah melompat ke arahnya dengan rahang terbuka.
Tak sempat bereaksi membuatnya menggunakan Tar-2145 sebagai perisai. Raptor tersebut mencoba mengoyak daging Zenistia, tapi Tar-2145 menghalangi.
Tak ingin kehilangan nyawa membuat tangan kiri Zenistia meraih sebuah stick dari sabuknya. Dia menempelkan ujung stick tersebut di leher Raptor dan menekan tombolnya. Sebuah cahaya panjang langsung keluar dari ujung stick tersebut dan menembus leher Raptor. Warna merah langsung merembes keluar dan Raptor tersebut lemas dalam hitungan detik.
Zenistia melempar tubuh tanpa nyawa tersebut, mencabut senjatanya, dan bangkit sambil menyimpannya Tar-2145 di punggung.
"HUUOOOOOO!!!!!" teriakan histeris dari Azusa membuat Zenistia dan Aileen menghentikan pergerakan mereka dan fokus pada Azusa, "Zenistia, apa itu pedang? Itu berbentuk katanya, tapi di mana kau menyimpannya? Aku tidak melihat itu sebelumnya, kenapa bilah pedangnya berwarna biru seperti itu? Boleh aku memilikinya? Atau berapa harganya?" Azusa kehilangan kendali atas dirinya saat melihat senjata Zenistia.
"Huuuhh... Aku sempat mengira ada sesuatu yang besar sedang terjadi. Aku menyesal mengalihkan perhatianku," Aileen kembali berpaling dan mengangkat dua senjatanya lagi.
"Um... Ini Light Saber. Bilah pedangnya terbuat dari tenaga photon yang bisa membelah segala jenis material bahkan logam Unobtainium yang kugunakan sebagai armor," Zenistia tersenyum kejut sambil menjelaskan dengan singkat.
"Photon? Unobtai... Apa?" Azusa memalingkan kepalanya.
"Aku juga penasaran dengan pedang itu!! Bisa kau pinjamkan padaku?!!" dari ruang masinis terdengar teriakan.
"Bisa kalian hentikan itu? Kita dalam pertempuran saat ini dan Alfan, perhatikan kemana arah keretamu melaju!!!" Aileen memerintah dengan kesal.
"Ya ya ya, menyebalkan saat orang lain bergantung padaku. Itu membuat punggungku terasa berat karena tanggung jawab yang harus kutanggung, tapi baiklah. Aku akan membawa mereka ke garis finish, lagipula mereka juga membalas perbuatanku dengan melindungku dari Raptor. Tapi, masalah sesungguhnya belum datang dan aku tidak berharap dia datang," Alfan mempercepat laju keretanya.
Asap mengepul semakin tebal. Di atap gerbong terjadi pertempuran antar tiga perempuan dan beberapa ekor Raptor. Suara tembakan senjata api, cucuran keringat, suara nafas yang tersengal, dan genangan warna merah memenuhi atap besi. Azusa dan Zenistia terus mengayunkan pedang masing-masing dan Aileen terus menghabiskan banyak pelurunya.
Azusa, Zenistia, dan Aileen berkumpul menjadi satu dan membentuk lingkaran. Azusa dan Aileen mendapat beberapa luka sayatan di lengan, sedangkan Zenistia tidak mendapat luka karena armornya. Namun, ke dua kaki masih mampu menahan tubuh.
"Ini seperti tidak ada habisnya," Zenistia bergumam sambil menatap tiga Raptor yang mengelilinginya dan rekannya.
"Aah... Kecepatan gerak dan stamina mereka diluar jangkauan kita," Aileen menambahkan.
"Apa kalian tidak punya rencana?" Azusa melempar pertanyaan.
"Terus hidup sampai garis finish," Aileen menjawab singkat.
"Bagus sekali."
"Aku sedikit berharap Alfan bisa membantu, tapi tidak ada yang mengendalikan kereta ini jika dia membantu," Zenistia bergumam.
Pelan, para Raptor mulai melangkah mendekat dan memotong jarak. Azusa, Aileen, dan Zenistia mengangkat senjata masing-masing. Menyiapkan diri untuk ronde berikutnya, tapi tak ada pergerakan lain dari para Raptor. Tiga Raptor tersebut malah terdiam menatap lawan mereka sebelum akhirnya mereka melompat turun dan lari menjauh.
"Huh? Apa yang terjadi?" Azusa kebingungan.
"Entahlah," Aileen segera menanggapi.
"Mereka... menyerah?" Zenistia menambahkan.
Ke tiganya saling menatap satu sama lain dengan wajah kebingungan. Namun, ekspresi tersebut segera berubah. Sebuah lengkungan tipis terlukis di bibir masing-masing. Aileen menyarungkan Uzi dan pisaunya, begitu pula dengan Azusa, sementara Zenistia mematikan Light Saber dan menyimpannya kembali.
"Grooaaa!!!!" Tepat setelah semua senjata di simpan, muncul seekor reptil raksasa yang menumbangkan beberapa pohon hanya dengan kehadirannya saja. Dengan panjang sekitar 123 m, tinggi 366 m, berat sekitar 84 metrick ton, dan rahang yang tidak akan mengunyah manusia, tapi langsung menelannya.
Azusa, Zenistia, dan Aileen yang mendengar auman tersebut bisa merasakan angin dingin yang menusuk tulang belakang masing-masing. Rasanya seperti kematian yang merangkak dan merantai kaki. Membuat ke tiganya mematung di atap kereta tersebut.
"S-sial!!!" membutuhkan waktu beberapa detik sebelum Zenistia bisa mengucapkan kata itu dan melarikan diri sambil menepuk bahu Aileen dan Azusa untuk membangunkan mereka.
Ke tiganya langsung melompat ke lokomotif dan masuk ke ruang masing melalui jendela yang terbuka.
"Alfan, tambah kecepatan!!!" Aileen langsung memberi perintah saat semua orang sudah berada di dalam ruang masinis.
"Aku tahu itu!!" Alan mendorong satu tuas, asap mengepul lebih tebal, dan roda berputar lebih cepat.
Pelan, jarak antara reptil raksasa dan kereta semakin melebar. Zenistia serta rekan-rekannya bisa menghela nafas untuk sementara.
"Huufffttt...." Azusa menghembuskan nafas panjang sambil menyandarkan punggungnya pada tembok. Ke dua kakinya yang kehabisan tenaga membuatnya terjatuh dan duduk bersandar. Begitu pula dengan Zenistia dan Aileen yang segera menempatkan diri mereka di lantai.
"Monster macam apa itu tadi?" Azusa bergumam.
"Bukankah itu T-rex?" Zenistia menjawab dengan pertanyaan.
"Kau gila! Itu lebih besar dari yang terlihat di film," Aileen menyamhut.
"Tapi itulah yang terlihat," Alfan menjawab sambil melempar sekaleng minuman dingin yang ada di dekatnya pada rekan-rekannya.
Tanpa pikir panjang, Zenistia, Azusa, dan Aileen langsung membuka kaleng minuman itu dan meneguk habis isinya.
"Kita harus menemukan cara untuk mengalahkannya atau dia akan terus mengejar," ucap Azusa sambil melempar kaleng minumnya keluar jendela.
"Kau punya rencana?" Alfan menyilangkan ke dua tangannya.
"Jujur saja, tidak."
"Lalu bagaimana?" Aileen membanting kaleng minumnya ke lantai.
"Brakkk!!!" belum selesai percakapan mereka. T-rex telah berhasil menyusul dan menyerang dari sisi samping. Zenistia dan rekan-rekannya bisa merasakan bumi mengerang di setiap langkah T-rex tersebut.
"Alfan!!!" teriak Azusa.
"Aku tahu," Alfan segera menambah kecepatan keretanya.
Di kejauhan tampak cahaya menyilaukan dari balik pepohonan. Kereta yang berpacu dengan T-rex. Ke duanya menembus semak, meruntuhkan pepohonan, dan auman T-rex mengikuti deru mesin.
Roda besi terus berpacu dengan kaki karnivora raksasa yang melangkah membuat bumi bergetar. Alfan terus mencoba menambah kecepatan, tapi keretanya sudah pada batas maksimum. Azusa dan Zenistia berkali-kali mengintip ke belakang, tapi yang mereka lihat hanyalah rahang raksasa yang mencoba meraih penumpang.
"Di sana!! Pergi ke balik batu itu!! Aku punya rencana untuk meruntuhkan makhluk sialan itu!!!" Aileen tiba-tiba menunjuk pada sebuah batu raksasa.
"Baiklah, kuharap rencana itu bekerja," Alfan segera memacu keretanya lebih cepat dan bergerak ke balik batu raksasa.
T-rex yang menyadari hal itu pun mengikuti dari belakang, tapi belum sempat T-rex itu menyusul, kereta Alfan sudah muncul kembali dari balik batu. Bukan melarikan diri ke garis finish, tapi tepat ke arah T-rex dengan kecepatan tinggi. Kaki raksasa tersebut ditabrak tanpa ampun hingga T-rex itu tumbang dan mengeeliat di tanah untuk mencoba bangkit.
Debu mengepul ke atas, kereta berpacu menjauh dengan Alfan yang bergumam, "Ku serahkan sisanya pada kalian."
Tepat di dari balik batu raksasa terlihat tiga siluet hitam yang melesat memasuki kepulan debu.
"Habisi karnivora sialan itu!!!" Aileen memberi perintah sambil menekan pelatuk Uzi miliknya.
Aileen mengatasi kaki T-rex dengan terus menempatkan puluhan peluru putih di salah satu lutut T-rex itu. Darah merah terus mengucur keluar dari lubang-lubang kecil dari lutut raksasa tersebut, tapi Aileen tidak akan berhenti hingga lutut tersebut hancur.
T-rex meraung dengan keras karena sakit tak tertahankan di salah satu lututnya, tapi Aileen masih tidak menghentikan tembakannya.
Azusa yang mengikuti Aileen menarik salah satu pedang dari salah satu sword holder miliknya.
"Regalia! Kita tunjukkan kemampuanmu!" dengan sepatu roda berkecepatan tinggi, Azusa melesat ke kaki lain dari T-rex dan menebas tepat pada kakinya. Tak meninggalkan bekas tebasan, tapi Azusa tahu kemampuan Regalia bisa menebas apa pun yang tidak dikehendakinya, karena itu Azusa hanya menghendaki tulang kering T-rex dan mengabaikan daging serta kulitnya. Maka yang yang tersebar hanyalah tulang kering T-rex itu saja.
"Zenistia!!!" Azusa dan Aileen meneriakkan rekan terakhir mereka.
"Aku tahu!!!" dari balik kepulan debu Zenistia muncul dengan light saber di tangan kanannya.
Zenistia mempercepat langkah kakinya, melompat pada rahang T-rex, menuju ke wajah karnivora raksasa itu, melompat, dan menusukkan light saber miliknya tepat pada mata T-rex.
"AAAAAARRRRRGGGHH!!!!!" Zenistia mengerahkan seluruh tenaganya dan terus menekan light saber.
T-rex yang terbaring itu meronta semakin liar, ke dua kakinya yang terluka parah menendang-nendang. Membuat Azusa dan Aileen menjauh dan mendoakan keberhasilan rekan mereka.
"GROOOAAA!!!" T-rex mengaum dengan keras sambil terus meronta hingga light saber Zenistia menemui otaknya. T-rex itu berhenti mengaum dan berhenti meronta, tak ada gerakan dari T-rex bahkan tak ada nafas atau pun suara. Light saber yang kehabisan tenaga pun kehilangan bilah cahayanya dan menjadi stick logam biasa.
Mengetahui kemenangannya membuat Zenistia menegakkan tubuhnya dan menatap Aileen yang berdiri mendampingi Azusa.
"Kita menang!!!" Azusa langsung meneriakkan kalimat itu sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
"Yah, kita berhasil mengalahkan ya," Aileen tersenyum tipis sambil ikut mengangkat Uzi.
"Padahal kita masih harus ke garis finish," Zenistia turun dari kepala T-rex dan bergabung dengan rekan-rekannya.
"Yah, kau benar. Mana Alfan? Kuharap dia tidak meninggalkan kita," Azusa mencoba mengamati sekitar sambil menyarungkan kembali pedangnya.
"Oh, aku melihatnya," Aileen menunjuk pada kepalanya asap yang keluar dari cerobongnya kereta yang mendekat.
Melihat kereta yang mendekat membuat Zenistia menarik nafas lega. Rasanya seperti mengetahui kalau dia sudah berhasil melewati semua rintangan dan hanya perlu melangkah satu kali untuk mengakhiri segalanya. Beban di pundaknya seperti menghilang begitu saja diterpa angin.
Tidak memerlukan waktu lama, kereta itu telah sampai di hadapan mereka. Roda besi berhenti berputar dan masing tampak tersenyum dari balik jendela kaca.
"Para putri merindukanku?" tanya Alfan yang mengintip keluar dari jendela.
"Aku sangat merindukan pangeran yang menunggangi kuda besi," Azusa menyarungkan pedang dan memasuki ruang masinis.
"Pangeran yang meninggalkan tiga putri melawan raja iblis," Aileen mengejar Azusa.
"Oi."
"Pangeran tampan yang menjemput para putri," Zenistia pun menjadi yang terakhir memasuki ruang masinis.
"Yah, terserahlah. Kita ke garis finish," Alfan menarik satu tuas dan peluit nyaring pun berbunyi.
Roda besi mulai berputar kembali dan kereta bergerak meninggalkan tempatnya. Azusa,  Aileen, dan Zenistia mengistirahatkan diri mereka. Alfan mengendarai keretanya hingga garis finish tanpa hambatan lagi.
Sampai di garis finish, mereka mengetahui kalau mereka bukan yang pertama sampai. Sudah tampak beberapa orang dan beberapa yang bukan orang sudah sampai di sana. Zenistia terus menekan rasa ingin membunuhnya dan mengalihkan perhatiannya pada rekan-rekannya barunya.
Mereka tidak memiliki waktu untuk berbaur dengan peserta lain. Ke empatnya langsung menuju ke gacha box dan mencoba peruntungan mereka. Aileen mendapatkan sebuah Knuckle blade berwarna hitam. Azusa mendapatkan sebilah katana dengan bilah pedang berwarna merah dan dapat mengeluarkan api, itu membuatnya benar-benar gembira bahkan melompat-lompat seperti anak kecil. Alfan mendapatkan sebuah pedang dengan bilah yang lebar berwarna biru, mungkin juga berfungsi sebagai perisai, melihat itu malah membuat Azusa mendekati Alfan untuk mencoba memiliki pedang itu bahkan Azusa menggoda Alfan dengan nakal. Zenistia mendapatkan sebuah gelang logam yang tidak dia mengerti fungsinya, tapi di gelang tersebut tertulis, "Burst Bracelet."
Dengan begitu ronde pertama pun berakhir. Zenistia dan rekan-rekannya barunya kembali ke hotel dengan damai.

Komentar

  1. Mungkin karena tak ada jarak antar paragraf membacanya agak membuat lelah. Narasinya terlalu banyak menggunakan imbuhan -nya yang sebenarnya tidak perlu karena telah jelas. Untuk para tokohnya, saya masih belum merasakan keterikatan pada tokoh utama, si Zenistia. Narasinya tak menjelaskan masa lalu dia, perasaan yang berkonflik, dan seluk-beluk jalan pikir menarik dan lain-lain. Jadi rasanya saya cuma melihat ruang lingkup khusus di pertarungan saja. Tak terlalu banyak hampering my enjoyment, karena battle-nya yang menjadi fokus. Untuk interaksi antar karakter sudah pas. Kemampuan dan ketidakmampuan Zenistia dibincangkan dengan para gadis yang menjadi rekannya. Tokoh yang hanya jadi penggerak mereka pun telah diberi karakterisasi yang cukup. Battle dengan dinosaurus dan t-rex diselesaikan dengan menggunakan kemampuan tiap tokoh yang hadir, yang menjadi nilai plus. Tak ada hal yang benar-benar menjadi minus, jadi overall menarik. Yang menjadi hal paling unik di sini menurut saya pertarungan dengan t-rex yang seru dan strategi yang dibangun logis dan berhasil. Saya beri nilai 8/10. Semangat~!

    BalasHapus
  2. Whew, langsung ngegas dari awal xD
    Bagusnya ceritanya jadi fokus, ga melebar kemana-mana. Walau paragrafnya ga ada spasi jadi lancar aja bacanya. Yang perlu ditambah mungkin reaksi Zenistia pada sekitarnya, opini pribadinya, dll. Supaya karakternya lebih kerasa.

    Berantem lawan dinosaurus di atas kereta api juga seru~

    Nilai: 8
    OC: Litus Kamara

    BalasHapus

Posting Komentar