[Ronde 2] Worca Shiwite - Almnesse Melancholy ft. Hattori

By: Ten Percent Roll

Persetan sudah kali keberapa ia bangun, Worca Shiwite muak!

Kebingungan menumpat otak. Dadanya juga sesak, terlebih lagi ruang geraknya. Gadis itu tidak diikat tali, namun disimpan dalam sesuatu yang kecil dan sempit, rasanya tentu sama. Mungkin peti. Absennya cahaya membuat semua gelap gulita.

Ngomong-ngomong, soal bangun tidur, ia sudah empat kali hari ini. Pertama, oleh ayam dengan ciap nyaringnya pukul satu malam. Sudah rutin sih, semingguan terakhir. Kedua, oleh maid yang memberitahukan bahwa sepuluh hari istirahat telah usai dan waktunya balapan.

Sekian menit lalu, Worca digugah oleh pilot helikopter, menyuruhnya turun dengan terjun payung. Tanpa diduga-duga, tali utama dan darurat rusak. Momen menyaksikan bayangan sendiri di tanah yang makin lama makin kecil-dalam keadaan tanpa parasut -mesti traumatis. Dan saat badannya menghantam tanah, ia membuka mata di dalam helikopter. Itu bangun tidur ketiganya.

Menghargai apa yang Oneiroi peringatkan padanya, Worca mengusulkan si transportasi udara didaratkan saja. Paman pilot menolak, memberi tawaran lain yakni rappling. Meniti tali sesuai panduan, Worca berhasil menjejak bentala, lega batinnya. Naik ke Spectacle Gokko, kebut-kebutan dikejar polisi setempat, kira-kira lima menit sampai ditabrak oleh truk yang supirnya mabuk, Worca Shiwite remuk.

Dan kini, bangun tidurnya mencapai nomor lima. "Entah bagaimana bunga tidur layu begitu bisa sampai berseri! Unggas keparat, ini salahmu memangkas waktu tidurku!" gumamnya. Apa yang dialaminya? Gabungan antara time loop dan time forward. Bila sensasinya bukan seperti di alam mimpi, jelasnya.

Perasaan lemas saat siuman dari pingsan, kekurangan oksigen, plus dua kali menemui kematian. Ia yang selama ini tak pernah gentar, panik. Bisa saja kini dirinya tengah dipaketkan ke gehenna, selagi para iblis menempa senjata masing-masing.

Worca berontak, kakinya menendang-nendang ke atas-setidaknya atas baginya-kuat-kuat. Ia tak nyaman dan takkan aman kalau terus-terusan stagnan. Perlahan, titik terang ditemuinya. Yang rupa-rupanya sebuah kandil.

Toko lampu dalam mal. Matanya silau oleh puluhan bohlam benderang. Keluar dari peti-yang sepertinya kemasan kandil-, Worca disambut atrium raksasa, bertopang tonggak-tonggak pilar hitam berbentuk huruf 'A' terjungkal, dempet delapan. Sejauh mata memandang, tiap lantai terdiri dari ubin sewarna karamel. Terhubung oleh eskalator perunggu. Dia telah berada dalam menara Bebal.

Berjalan menjauhi posisi awalnya, si gadis mutan diketemukan situasi bancuh. Ubin retak, berasap. Kaca pecah. Barang mewah entah utuh atau hancur berserakan, dan sebagainya. Seakan-akan habis diludahi meteroid.

Tertatih ia menyebrangi kekacauan itu, menuju cermin di salah satu stan. Berkaca, Worca sadar bahwa penampilannya juga kacau : rambut putih-birunya acak-acakan, wajahnya kusam, luka sayatan di lengan, juga celananya robek di bagian betis kanan. Lalu, ada siluet hitam di belakangnya.

Worca reflek mencabut Mana Boomstick dari holder, putar badan 180 derajat dan menodong sang sosok misterius. Seorang bocah berbalut Gi ninja, berjongkok di atas pegangan jalan dengan keseimbangan sempurna. Ditodong ia tak bergeming, ekspresinya masih datar-datar saja.

Sembari menyibak rambut hitam-ungu kerennya, si ninja berlisan, "Selamat datang di Menara Bebal, urutan dua."

"Kamu-"

Balasan Worca harus tertahan oleh pening luar biasa yang lagi-lagi menghantam. Berjubel-jubel memori serentak menjejal serebrum. Mulai dari bangun datar tujuh warna yang menyekat lift menjadi dua. Kaki yang nyaris menginjak taburan caltrop. Tendangan tinggi. Sekelebat sinar ungu. Televisi pagi yang menyebut nama; Riven.

"...Ninja psikis?"

Riven salto turun, mendarat dengan satu kaki lurus dan satunya menekuk. Berdiri, ia mengulurkan tangan. Worca naik alisnya, namun tetap menyalami Riven. Tangannya dipelintir dan ia dibanting begitu saja ke ubin.

"Argh, aku ditipu!" Sindir Riven.

"Seharusnya aku yang berkata begitu!" Protes Worca selepas melenguh nyeri.

Mana Boomstick cepat-cepat membidik kaki Riven, memuntahkan peluru mana. Riven melepas cengkeramannya dan berguling ke sisi. Worca meluncur dua meter ke belakang, kembali memitar anggota badan si ninja. Yang disasar dengan lihai menghindari dua-tiga bola energi yang Worca tembakkan. Kinja zig-zag selagi terus menutup jarak.

Kini jarak keduanya 0.3 meter.

Sebuah tinju dilayangkan si ninja ke perut Worca. Si target menggeser posisi ke kiri, pukulannya luput tapi tendangan ke kaki yang menyusul tidak. Gadis mutan memperkuat pijakannya, batal tumbang. Sontak dirilisnya puluhan segitiga beragam warna ke udara, mengerubungi dirinya dan Riven bak lebah. 

"Ini yang kutunggu!!" Seru Riven dalam hati.

Si ninja lagi-lagi melancarkan pukulan ke perut, menerbangkan segitiga-segitiga yang terproyeksi menjauh. Namun kali ini, si target bukan hanya bergeser, tapi juga lenyap dari pandangan. Riven refleks menoleh ke kiri dengan siku terangkat. Benar saja, tendangan tinggi Worca tertanam di sikutnya. Serangan kejutan super gesit!

 "Persis seperti tadi, lho!" Pekik Riven riang, walau sambil merapatkan gigi menahan sakit.

Riven mundur teratur, "Ninjutsu sederhana, namun diimplementasikan keren," ucapnya. "Pertama, kukira serpihan dua dimensi melayang itu origami. Tapi, saat aku mau memegangnya, ia terus menjauh.

"Bahkan seekor lalat yang terbang melintas sekalipun membuat bangun datar kreasimu menyingkir. Asumsiku, tiap-tiap keping akan minggir kalau didekati mahluk hidup. Kan? Ini jutsu sensori."

Worca menenggak ludah. Ninja muda itu baru saja membongkar trik bertarung tangan kosong andalannya. Di mana tiap anggota badan musuh ada yang bergerak, akan membuat bentuk-bentuk 2D itu tercerai-berai, berpencar melebar. Dengan ini, Worca yang punya naluri baku hantam payah pun sanggup menebak arah serang lawan.

Pernah meringkus satu kartel narkoba sebelumnya, ia tak mengira justru seorang gadis pendek - disertai ninjutsu kreasi dua dimensinya - lebih mahir berkelahi ketimbang semua anggota persekutuan dagang obat-obatan.

"Pertama, maaf, Hattori. Aku bukanlah penduduk desa daun yang bisa jurus ninja sejak TK. Kemampuanku barusan seluruhnya sihir," jelas Worca. "Kedua, apa kau tau kucing hitam mana yang kutemui di jalan sampai-sampai benakku mencari realita seperti jarum dalam jerami?"

"Gaya ngomongmu ribet, serius..."

"Pernah ngobrol sama ayam?"

"Jadi begini," Riven berdeham, lalu tersenyum cerah. "Dalam beberapa menit ke depan aku akan belajar darimu. Dan tentu, kau tak bisa melawan. Tepatnya, mustahil."

"Maksudmu?"

"Kamu - ada di dunia ilusi."

Worca tersenyum kecut. Entah tawa atau bantahan yang akan keluar, walau tak sempat karena Riven melempar shuriken baru. Si gadis mutan memalingkan wajah, nyaris tergores di pipi. Anehnya, transformasi absurd terjadi. Shuriken memipih, membesar, melebar, meliputi Worca dan Riven dalam wujud kubah perak. Sontak, bentuk itu berubah lagi menjadi punya delapan sudut - sebuah balok. Dan sekarang, mereka ada di lift.

Belum sempat mewawancarai Riven terkait apa yang baru diperbuatnya, Worca tergemap kesekian kali ketika tangannya bergerak sendiri. Meraba-raba. Matanya pun mendapati sesuatu. Keping-keping persegi merah mewujud dari udara kosong. Melebar dan melebar hingga lift terpisahkan 'sekat'. Kesemua kotak memendarkan aura kebiruan setelahnya. Dan boom, kotak angkut terbelah dua.

"Ingatan pertama tadi!" Batin Worca.

"Kilas balik tak selalu datang dalam lima dimensi seperti ini, kan?" Ucap Riven bangga. "Ada yang ketinggalan, maaf."

Dan yang dirujuk Riven barusan tentunya - penumpang lain kala itu. Mulai bocah sampai nenek, muncul begitu saja dalam kondisi menjerit. Mendorong Worca ke lubang yang dibuatnya sendiri.

Si gadis mutan menyeru histeris ditarik gravitasi, berbeda dengan si ninja yang malah duduk sila selama jatuh, seakan tatami transparan melindungi bokongnya. 

"Mumpung belum sampai dasar, kematian palsumu, dua-duanya ulahku. Intinya, berbahagialah! Ini bukan akhirat," kata Riven santai. "Juga, lift mal ada dua. Jangan cemas karena merusak salah satunya."

Hampir menghantam tanah, raga Worca melayang, membeku di udara. Tatapannya terlempar ke atas di mana penumpang-penumpang lift lain juga demikian, terhenti. Cuma Riven saja yang bisa melakukan gerak berenang.

Sekedip kemudian, skena berganti lagi. Kembali ke atrium, lantai 32. Menengok ke bawah, ujung sepatunya menyenggol sedikit sebuah ranjau paku. Tergemap sekejap, ia cabut kakinya dan lompat ke belakang. Ini ingatan nomor dua. Worca lega batal tetanus.

...Tak lama karena Riven tiba-tiba saja terpingkal di punggungnya. Si ninja cilik mendorong Worca kuat-kuat, memaksa cewek itu memperkokoh posisi berdirinya, enggan terperosok. "Graaaaaaah!!!" Riven memperkuat desakannya. Worca perlahan menunduk. Keringat mengucur, gelisah bakal jadi manusia spons karena sekujur badan bolong-bolong.

"Hyaaaaaaaaat!!" Riven mengerahkan segenap tenaga. Worca kalah. Badannya jatuh begitu saja, menimpa puluhan caltrop di ubin. Sampai disadarinya, pedihnya logam menusuk daging tiada kunjung terasa. Malahan, badannya menembus lantai ibarat jeli. Terus menembus, dan keluar di lantai 33. Ya, justru naik. Tapi, kepala di bawah. Riven muncul di sampingnya, bertepatan dengan dengan atrium yang berputar 180 derajat hingga dunia tak lagi terbalik.

"Masih belum menyadari ada di alam bawah sadar?" Riven pasang kuda-kuda. "Tinggal dua lagi!"

Si ninja merangsek maju. Refleks, Worca menyebar kumpulan bangun datar ragam-warna bagai confetti ke kiri, kanan, dan depan. Menyibak satu-satu serpihan 'origami' di hadapannya, Riven memukul acak ke segala arah. Lokasi berdiri Worca tak kunjung ia temukan. 

Semua cuma akting si ninja, peristiwa ini sudah ia alami. dilemparkannya bom asap ke bawah. Menyelimuti semua figur 2D Worca dan dirinya sendiri dalam kepulan kelabu.

Dan yang ditunggu tiba - bunyi batuk Worca. Riven menyeringai, melejit ke sumber suara. Persis di mana si gadis mutan tengah menutup mulut tanpa bergerak seperti patung. "Kena kau!", kunai di tangan langsung ditusukkannya ke perut Worca. Tapi, tidak terjadi apapun, hingga lima detik, Worca lenyap jadi ratusan persegi.

"Namanya klona piksel," Ujar Worca, melompat dari balik kepulan asap. Tendangan tinggi diantarkannya ke pipi kiri Riven. Worca pun sadar, ini adalah serangan pertama yang benar-benar telak sepanjang ronde dua ini. Ingatan ketiga.

"Rasanya seperti deja vu?" Tutur Riven. Berdiri di tengah-tengah asap yang akhirnya menipis. Menyaksikan hal tersebut, Worca terbelalak. Lantas siapa yang dicium oleh sol sepatunya? - Rupanya sebuah manekin laki-laki berbalut Gi ninja, persis milik sang lawan.

"Gerakan brilian, sungguh. Sayang, aku ogah kena dua kali," tutur si ninja, mengelupas lapisan kecil di pipi. Rupanya ia menyembunyikan luka lebam yang seungu tinta habis mencoblos di pemilu.

Lidah Worca kelu.

Melihat sang lawan sudah paham bagaimana kondisinya kini, Riven memasang wajah datar. "Terakhir," ucap si ahli pembuat 'kecelakaan'. Belati dengan bilah berupa pendar cahaya ungu muncul begitu saja di genggaman Riven. 

"Astaga, aku melawan Sith. Tentu aku tak unggul, daritadi tidak mengambil daratan tinggi." 

Tak menggubris ucapan itu, Riven melempar bom asap keduanya. Dua kontestan tersebut lagi-lagi mandi gas kelabu. Kini trik sensori Worca takkan efektif, karena mustahil melihat perubahan gerak proyeksi bangun datarnya, asap terlampau tebal.

"Halo, Obi-Wan."

Rupanya, Riven tengah melaju dengan badan serendah paha Worca. Sekelebat cahaya ungu ditebaskannya ke betis target. Belum selesai, ia berhenti di belakangnya dan meberi sabetan vertikal di tulang belikat. Worca terdiam. Menanti rasa sakit yang akan tiba. Walau sampai lewat sekian hitungan, tidak ada luka atau darah mengucur. Tapi, sesuatu yang jauh lebih aneh : asap legam. Perbedaan antara hasil bom asap yang abu-abu membuat gas dari badan Worca kentara gelapnya.

"Ini aliran mental. Jika kusentuh," Riven menggenggam gas legam dari belikat lawannya. Tiba-tiba saja mata Worca putih, pandangannya hilang, semua kosong. Sebentar saja, karena Worca kembali mendapat inderanya, dan sadar. "Kau bahkan bisa kubuat koma."

"Cih! Lantas sekarang kau membuatku setengah tewas bersama khayalan-khayalan bikinanmu?!"

"Untung, cuma sedikit goresan yang kubuat. Menyadari gerak-gerik anehku, kamu langsung kabur. Entah ke mana. Intinya, kalau lukanya kecil aku cuma bisa memanipulasi mentalmu sedikit - dalam kasus ini, mimpimu."

Diberitahu demikian, barulah Worca ingat dirinya tidak melihat asap hitam itu di 'realita'. Semua jadi visual sebab ini dunia ilusi karya Riven. Ia juga memperoleh memori tengah berjalan tergesa ke arah kumpulan sinar terang dan memasukkan diri ke peti besar. Oh, rupanya siksa ruang sempit dan hampir kehabisan oksigen itu ulahnya sendiri.

"Tapi akhirnya aku tau kamu di mana berkat komunikasi dalam pengendalian mental ini. Bravo, buatmu. Sanggup menang petak umpet lawan ninja."

"Ya."

"Sayang, waktu di dunia ilusi ini rasanya saja yang lama, di dunia nyata cuma lewat semenit saja, kok."

"Serius?"

"Karena itu, kau masih belum bakal bangun dari peti di dunia nyata untuk beberapa puluh menit di sini," Riven angkat kedua tangan, merujuk dunia ilusinya. "Jadi, mau terus memberontak atau mulai berbagi trik bertarung denganku?"

Terduduk, Worca tampak hilang gairah. Tiada lagi yang bisa dilakukannya untuk kembali ke realita. Ia paham, ia sadar, ia tahu betul kini tengah eksis dalam rekayasa mental. Namun, pengetahuan begitu tidak melonggarkan kekangan ilusinya. Ia terjebak.

Putus asa, Worca mengharap kesempatan terakhir. Ia ingin menang. Mutan-mutan dalam penjara itu butuh penyelamat. Dan ia yang memiliki peluang, malah tersungkur di ronde dua. Kelamaan, ia ikut heran pada betapa apatis dirinya. Bila tujuannya sepenting itu, apa peserta lain tidak punya?

"Hei, Hattori."

"Hm?"

"Kalau juara satu, minta apa sama NGSR?"

"Tubuh cibernetik!" Riven menjawab tegas.

"Sungguh?"
"Kenapa? Asal kau tahu, meski dengan segala keunikan dan kehebatan yang kupunya, aku ini tidak sempurna. Kalau raga cyborg telah kudapat, aku akan jadi ninja sempurna!"

Worca tersenyum. "Apa kau punya seseorang yang ingin dibanggakan?"
Riven mengernyitkan dahi. "Maksudmu?"

"Apa yang belum bisa kau capai di tubuhmu sekarang ini? Bahkan meski dirimu kecil, kau cukup kuat melawanku."

"Itu karena kau boncel."

"Mengingat tinggimu 135 centimeter, hinaan tadi bertambah ofensif dua kali lipat," Worca mencibir. "Intinya, apa kau ingin terus lebih berkekuatan karena ada yang ingin kau pukau? Atau kau ingin memulihkan harapan seseorang yang kecewa pa-"

"Tidak, tidak. Semua untukku sendi-"

"Kau jujur?"

Sejenak, Riven terbayang akan ninja-ninja lain di akademi. Belasan shuriken tepat sasaran dan tawa angkuh. Juga boneka jerami penuh koyak kecuali lingkaran merah di perutnya yang bersih, di hadapannya.

"Apa minatmu, menanyakan semua itu?!"

"Rasanya... Sangat tak enak, ya. Selalu gagal dan tidak bisa mengubah keadaan jadi sesuai keinginanmu. Aku juga, kok. Membayangkan kalau nanti sudah kembali ke kampung halaman tanpa hadiah turnamen ini, akan seperti apa orang-orang yang menaruh harapan padaku."

"Hei-"

"Mengecewakan orang-orang yang sudah mempercayakan asanya ke genggamanmu, lalu kau pergi meninggalkan mereka ke tempat jauh. Dan, meski sudah pindah ratusan mil tetap tak ada yang bisa diperbuat. Fakta bahwa aku malah lebih niat dengan pindah dimensi sekalian, terus tetap bertangan hampa, uh, parah, ya?"

Riven bingung. Kenapa perasaannya campur aduk pada omongan cewek itu? Si ninja sama sekali tak mendeteksi nada tipu daya. Untaian kata lawan bicaranya murni curahan hati. Si gadis mutan tengah membuka diri. Berkeluh kesah ke Hattori - panggilan yang mulai ia biarkan.

"Sekarang aku sudah tak bisa apa-apa 'kan? Ya aku pasrah saja."

"Worca?"

"Selamat, ya. Tidak masalah, kalah di ronde ini masih bisa lanjut, kok. Walau skorku jadi minim."

"Tunggu-"

"Aku menyer-"

[2]

Enam jadi total jumlah bangun tidurnya. Sesak napas dan sempitnya peti sudah familier, ia bahkan tak merasa kaget lagi. Pening pun tidak menyertai. Ia keluar dari peti bekas tempat kandil lebih lancar dari pertama kali. Memperhatikan cermin, penampilannya masih sama berantakan : rambut putih-birunya acak-acakan, wajahnya kusam, luka sayatan di lengan, juga celananya robek di bagian betis kanan. Yang berbeda cuma satu, bayang-bayang hitam mengancam absen.

Perbedaan kedua, segala suasana kini terasa, 'nyata'. Mal yang harusnya sesak pengunjung ini seratus persen lengang.

Lalu, suara mesin, tepatnya lift yang perlahan turun terdengar. Di lantai 32, pintunya terbuka. Dan yang ditunggu, Riven, tiba. Gemetaran, kakinya melangkah pasti ke hadapan Worca. Meski ada air di tepi, matanya menyorot tajam. Giginya gemeretak tak henti-henti. Kedua tangannya mengepal sampai merah.

"Berani sekali kau."

Alih-alih mundur teratur akan bahaya yang menyongsong, Worca terdiam di posisinya, menunggu Hattori menghampiri.

Jarak mereka pun sudah 0.3 meter.

"M-mentang-mentang mu-musuhmu jauh lebih muda, se-seenaknya berdusta dan sok hilang harapan demi memancing kasihan dariku!! Kau pikir dirimu sehebat itu, menyerah seakan-akan kalau engkau terus berjuang, aku takkan menang? Jawab!!"

Bibir Worca masih rapat. Gadis itu jelas tak ada niat demikian, tapi, niatannya mengelak sejak awal tidak ada. Malah ia yang merasa berdosa sudah membuat Riven turun ketika nyaris mencapai ruang kendali.

"Tinggal sedikit lagi sampai kuubah seluruh lampu di kota ini emas, sampai kau menumpahkan semua isi hatimu," Riven meremat-remat kepalan tangannya sendiri, lebih dan lebih kuat. "Pastinya! Pastinya keputusan ini akan kusesali sa-sampai kapanpun, namun, aku memberimu peluang terakhir, cewek pendek!!"

Akhirnya, Worca dapat dorongan segar ke motivasinya. Ia angkat bicara, "Kau tahu, membiarkanku bangkit sama saja dengan membiarkanku menang."

"Aku sudah mengalahkanmu sekali."

"Baiklah, apa peraturannya?"

"Balapan sampai lantai 88, sesuai semula," Riven mengeluarkan belati psikisnya. "Dan kalau kena ilusi mentalku lagi, takkan kubangunkan sampai ronde tiga."

"Sepakat," balas Worca.

Selepas berpandangan sejenak, mereka berlari. Anehnya, tak satupun berminat naik lift. Mereka berkejaran di eskalator seperti tikus dan kucing. Semua berjalan begitu cepat, kecuali pada dua kontestan itu. 

Kilat cahaya ungu dan shuriken kerap dilemparkan, begitu pula dengan peluru-peluru mana beserta puluhan bangun datar. Mereka salip-menyalip, bertukar serangan guna memperlambat laju lawan. Worca tanpa sengaja menjatuhkan tabung penembak mana-nya, begitu pula Riven. Tapi, tak ada yang punya pikiran memungut, keduanya fokus ke finis.

Sampailah mereka pada ruang khusus staf yang penjaga-penjaganya tumbang oleh si ninja. Keduanya berteriak, menyasar tangga darurat untuk balapan vertical running babak dua. Namun batal, mereka gencatan senjata, masuk lift dan duduk di dalamnya. Ngos-ngosan. Duduk istirahat sampai lantai 86 dan kembali adu cepat ke 88.

Sesampainya di lantai teratas menara, keduanya berpamitan, tersenyum. Riven dan Worca melompat bersamaan. Dan di sini, kesalahan fatal Riven selain memperbolehkan kesempatan kedua pada lawan ialah, memberi waktu yang cukup agar Worca mana-nya pulih 61%.

Diciptakannya delapan segitiga oranye, membentuk sebuah gelang. Sebelum Riven sadar, objek magis itu telah terbenam di pijakan kaki kirinya. Membuat lubang yang cukup untuknya terperosok. Si ninja tersangkut.

"Terima kasih," tutur Worca, menyeka setitik air di pipi..

[3]

Potret kota Almnesse dengan cahayanya yang pink kesemuanya tertempel di dasbor Spectacle Gokko. Worca mengusap foto tersebut dengan ujung telunjuknya, sembari tersenyum kecut.

Sementara itu, helikopter yang mengantarnya tadi telah mendarat jauh di timur. Malas kena cerca rampus dari si pilot kalau berlama-lama, Worca tancap gas meninggalkan menara Bebal.

Komentar

  1. Worca kena ilusi. Pembawaannya magis.

    Riven terlalu polos wkwkkw.
    Ada typo memberi jadi meberi.

    Overall menarik. Humornya dipangkas kayaknya.

    7/10 dri Tora Kyuin

    BalasHapus
  2. Narasinya terasa nyaman, concise dan cukup mudah dipahami. Mindrape oleh Riven keren, karena gak tertebak. Pertarungannya cukup, telah dibangun dengan baik. Setelah curhat Worca, aksi jadi menurun namun tetap ada meski short dan fast-paced. Yang paling saya suka dari entri ini mungkin semangat bertarung Worca yang naik turun di sepanjang perjalanan. Overall, saya terhibur dengan kisah Worca kali ini. Saya beri nilai 8/10.

    BalasHapus
  3. Worca kena ilusi Izanami-nya itachi. (Plak) :V


    1. Sedikit kebingungan di awal karena ilusi yang berubah secara drastis, tapi akhirnya bisa dimengerti. Yeeeeey

    2. Ada typo satu.

    3. Battle di akhir kurang greget banget. Sumpah, gak puas karena tenis yang tinggi tiba-tiba turun terlalu drastis.

    4. Dan ternyata hampir 3000 kata hanya diisi oleh satu scene yang nyatanya kurang dari lima menit. Damn! 😂😂

    Tapi overall aku tertidur kok
    8/10 dari Zenistia_Nisrina

    BalasHapus

Posting Komentar