[Ronde 2] Hei Heiheihei - Old Man and Bowling Ball



By:Sudar Mansur
Heihei menatap kecemerlangan Kota Almnesse. Angin berembus kencang. Rambutnya yang tersisir rapi menjadi berantakan.
Hatinya dipenuhi banyak emosi sekaligus. Senang dan takut, bahagia dan cemas. Babak kedua balap dan tarung antar dimensi dimulai. Namun, ia tak mengeluh.
Di hatinya terngiang suara bosnya. Keramahan, kebijaksanaan, dan kasih sayangnya tercurah. Sebuah senyum menyempil pada wajah. Heihei akan memenangkan pertandingan ini. Demi sang bos.
"Tak ada kata main-main lagi."
Heihei diturunkan di sisi barat kota. Tua muda pria wanita bergumul di kios-kios makanan yang berjejer rapi.
Berbekal tabung oksigen kecil hadiah ronde pertama dan sepatu roda sideline panitia, si pria tua menatap lautan manusia di depan matanya. Heihei kembali mengingat apa yang dua kaleng berbicara di hotel ucap.
Berlawanan dengannya, lawannya pada ronde kali ini diturunkan di sisi timur. Tujuan mereka adalah Menara Bebal. Di menara, ia harus balapan sampai ke puncak dan mengaktifkan tiga panel lampu.
Kaki si pria lantas bergerak. Ia sudah punya keuntungan. Ia tak akan menyia-nyiakannya.
"Demi delapan juta dewa! Makanan manis di sini terlampau menggugah!"
Kecuali untuk makanan manis.

Tom adalah bola boling berpengetahuan dan berperasaan. Dengan kedua hal tersebut, ia telah berulang kali merampas ratusan identitas selama 500 tahun hidupnya.
Ia akan melampaui segala macam entitas mahakuasa, dan menjadi yang terkuat di jagad raya. Sayangnya, cahaya kendaraan dan gedung hiburan malam membuat wujud bolanya kehilangan warna biru. Warna tersebut larut dalam bening.
Artinya: bahaya.
"Aku harus berubah wujud.
"Reincarneren."
Si bola boling berpikir. Apa wujud yang tepat? Karena lawannya adalah orang Jepang, maka Tom memilih salah satu sosok memori yang berasal dari negeri itu.
Dari wujud bolanya muncul kepala, tangan, dan kaki. Warna biru tubuhnya menjadi warna kulit. Tak lama, Tom berubah menjadi sosok gadis berumur delapan tahun. Rambut hitam dengan potongan bob menghiasi kepala.
Pakaian yang digunakan pun telah direkonstruksi dengan rapi. Sweater merah muda dan rok senada dengan frill yang teramat banyak.
Senyum polos—namun liciknya—muncul.
Nama si gadis adalah Souka Tomu.
Ia adalah hasil percobaan mutan yang gagal. Tomu telah membunuh ratusan orang setelah kabur dari laboratorium. Tom merampas ingatannya sewaktu ia mengelana ke Jepang.
Bumi-Utopia-nya memanglah "utopia." Hanya saja namanya adalah kepalsuan. Namun, itu adalah kisah untuk nanti. Sekarang, Tom perlu fokus memenangkan ronde keduanya.
"Intelejensia."
Tom menyintesis seluruh pengetahuan yang ia tahu tentang ronde ini. Ia dengan segera dapat gagasan bagus.
Tom memasang wajah sedih dan panik. Ia segera berlari ke salah satu polisi penjaga ketertiban lalu lintas yang ia pertama temui.
"Mbak polwan. Saya tersesat. Orang tua saya ada di Menara Bebal. Bisa antarkan saya ke sana?"
Kalimatnya tersisip isak tangis. Namun, meski penyamaran dan aktingnya sempurna, si polwan dirudung kebingungan. "Mengapa ada anak kecil di pusat hiburan malam?" Kecurigaan tertanam.
Namun, melihat lelehan air mata polos sang gadis membuat si polwan menurunkan penjagaan. "Tentu! Seorang polisi harus melindungi rakyatnya!"
Dengan sigap, mbak polwan menggenggem erat tangan Tom. Ia lalu membawanya menyeberang.
Tom, di lain pihak, terus-menerus menggigit bibir. Kepribadian Tomu benar-benar haus akan darah. Tom harus menahan diri agar tak membunuh.

Setelah puas menghabiskan sejumlah besar uang, Heihei sampai di Menara Bebal.
Karena menara ini berfungsi sebagai mal, orang-orang berjubel di tiap sudut. Si pria fokus mencari sesuatu yang aneh. Bola boling di keramaian pasti mudah ditemukan.
Sayangnya, ia tak menemukan apa yang ia mau.
"Kenapa saya tidak menemukannya?"

Dengan hak istimewa polisi, si polwan berhasil sampai di Menara Bebal dalam waktu singkat.
"Kau tahu, dik? Dengan jembatan super tadi, kita sampai lebih cepat dibanding berjalan kaki lewat jalur barat!" kata si polwan, bangga.
Tom, sayangnya, tak menyahut. Ia mengangguk, bibirnya masih ia gigit.
Si polwan kemudian menengok sekitar. Mencari orang yang kemungkinan adalah orang tua si gadis. Sayangnya, walkie-talkie-nya menggonggong. Ia harus kembali ke posnya segera. Si polwan langsung meminta maaf pada Tom. "Mbak dipanggil atasan, dik."
Namun, sebelum ia pergi, si polwan menarik tangan seseorang yang dekat dengan mereka.

Tangan Heihei ditarik kencang. Tubuhnya berbalik ke belakang. Ada seorang polwan dan seorang gadis kecil.
"Maaf mengganggu, pak. Bisa saya menitipkannya? Ia tersesat. Saya perlu bertugas dulu!"
Si polwan tak menunggu jawaban si pria tua. Ia segera mengoper tangan si gadis ke Heihei, lalu pergi. Heihei segera mengumpat dalam hati.
"Kenapa saya harus bertemu anak kecil lagi?!"

"Nona, maaf bila saya berkata demikian. Namun, saya sedang bekerja juga. Saya akan menitipkan Anda ke satpam mal."
Namun, ketika Heihei ingin melepas tangannya, si gadis menolak. "Paman… Aku cuma mau paman!"
Tom, dalam hatinya, lantas berbahagia. Lawannya tak mengenalinya. Leabed Liskor bisa membuat pria ini jadi sayuran segera. Namun, Tom berusaha agar tetap tenang. Ia lebih baik menggunakan orang ini daripada mengalahkannya.
"Temani saya mencari orang tua saya di mal ini!"
Heihei menghela napas. Kalau anak kecil tak memberi uang, artinya mereka tak berguna. Itu adalah peraturan Heihei.
Namun, ia tak bisa melawan mereka.
Terlebih, berbicara soal anak kecil mengingatkannya pada bosnya, yang jauh lebih muda. Kedua rekannya di Peternakan Unggas pun adalah anak kecil baginya. Namun, mereka adalah satu-satunya teman dalam hidup Heihei.
"Baiklah. Saya akan mengantar Anda hanya sampai lantai delapan."

Heihei dan gadis yang ia jaga mencari dengan saksama lantai satu sampai tujuh. Mereka bertanya-tanya pada orang lain soal ciri-ciri orang tua si gadis. Sayangnya jawabannya aneh dan konyol.
Di lantai delapan, mereka berdua kecapaian.
"Nona manis, bisakah Anda konsisten soal rupa dan bentuk orang tua Anda? Mana ada ayah berbentuk bola boling kuning dan ibu bercorak polkadot!"
"Paman! Aku serius! Aku lahir karena burung pelikan berbentuk bola boling datang dari langit!"
Heihei hanya mampu menarik napas kesal.
"Ada es krim! Mari beli, paman!" Si gadis menarik pria tua ke kios es krim. Si gadis meminta dengan memelas. Heihei tentu tak tega dan mengeluarkan uang untuknya.
Kedua pasangan berbeda umur ini lalu makan es krim bareng.
"Jadi, nama Anda siapa, nona manis?"
Karena bosan dan bingung, Heihei berbasa-basi.
Si gadis bersemangat menjawab. "Namaku Souka Tomu! Sou() dari biru, ka() dari bagian kesatuan! To() dari topi baja, dan mu() dari tombak-kapak!"
"Nona orang Jepang?! Saya baru tahu kalau di sini juga ada Jepang…"
Dimensi lain memang misterius, pikir Heihei. Mengingat soal Jepang membuatnya tertawa.
"Nona tahu? Di dunia saya, saya mengutuk Jepang selamanya."
Namun, mengingat demikian membuat gambaran akan bosnya muncul.
"Tetapi, saya sudah melepas dendam saya. Berkat bos saya. Karenanya, saya berjuang keras untuk tubuhnya."
Tomu mendengarkan ocehan Heihei. Si pria tua bercerita panjang lebar soal kisahnya. Hati Heihei tergerak oleh sesuatu. "Mungkin, aku tak benci anak kecil lagi."

Tomu mengajak Heihei mencari lagi. Mereka sampai di lorong menuju lift staf.
Tidak ada jiwa lain di sini. Suara yang terdengar adalah detak jantung mereka seorang. Heihei segera sadar akan suatu keanehan. "Mengapa si gadis membawaku ke tempat yang ditujukan khusus buat peserta balapan?"
Namun, si pria terlambat menyadarinya. Tangan kirinya terputus.
Darah segar bercucuran. Cat merah menghiasi dinding, lantai, dan tubuh keduanya. Si gadis lalu mengisap darah yang menetes dari tangan si pria tua.
"Tomu bisa dibaca Tom(トム), dasar bodoh." Tom segera masuk ke dalam lift. Ia segera menekan tombol menutup pintu. "Sampai jumpa, paman. Aku akan memenangi ronde ini."
Heihei lantas tertawa mendengar ucapan Tom.
"Aku koreksi ucapanku. Anak kecil memanglah bajingan! Daiakutengu!"
Kemampuan Heihei aktif. Ia mampu mengirimkan kesialan pada orang yang menyentuh darahnya.
Tombol menutup pintu macet. Si pria tua masuk ke dalam lift. "Maukah Anda berdansa dengan saya yang hina ini, oh bola boling nan mulia?"
Dansa cha-cha antara tengu dan bola boling dimulai. Ballroom-nya adalah kubus kematian ini.
Pintu lift tertutup. Tak ada ruang untuk kembali.
Tomu, identitas yang digunakan Tom sekarang, memiliki kekuatan super melebihi manusia. Ia mampu memutus satu tangan orang dewasa dengan mudah.
Tom mengayunkan tinjunya ke arah si pria tua.
Heihei melemparkan uang koin 100 yen ke lantai. Kakinya dibawa angin badai miniatur yang singkat, ke belakang tubuh Tom. Heihei mampu menghindari tinju Tom. Tangan tangan Tom menghantam dinding lift. Ia membuat lubang besar di sana.
Heihei segera mengambil kesempatan mencekik leher si gadis dari belakang. Tom tak mampu bernapas. Tangan dan kakinya menggelinjang.
"Tom, bukan? Maafkan saya, namun sepertinya sayalah yang akan menang."
Layar di atas pintu lift menunjukkan angka 20. Namun, pintunya membuka di lantai 21. Ada orang yang hendak masuk ke sini.
Dua orang staf masuk ke dalam. Heihei dan Tom berhenti bertarung. Keduanya berpura-pura sibuk pada urusan mereka masing-masing.
Kedua staf tentu kaget pada kedua orang asing yang ada di lift khusus. Terlebih, ada bekas lubang besar dan cat merah berceceran. Namun, keduanya pura-pura tak peduli. Mereka menutup pintu dan menekan tombol lift.
"Maaf, nona-nona ingin pergi ke lantai berapa?"
Heihei bertanya, senatural mungkin. Salah satu dari staf menjawab, "Lantai 40."
Heihei dan Tom lalu tertawa. Mereka harus berdiam diri selama beberapa menit ke depan.

Lantai 40. Kedua peserta ronde kedua saling menahan diri menahan dendam dan rasa haus darah. Kedua staf keluar di lantai tersebut. Ketika pintu lift menutup, pertarungan keduanya kembali dimulai.
Tom berubah bentuk menjadi bola boling. "Abri!" teriaknya. Cahaya terang membutakan Heihei. Heihei sama sekali tak bisa melihat apa-apa, kecuali tirai putih.
"Reincarneren!"
Tubuh Tom berganti bentuk menjadi tubuh lain. Suara tembakan senjata api dan bau mesiu khas muncul.
Si pria tua kena peluru pada tangan kiri, tepat di atas tangannya yang putus. Ia menjerit, seperti binatang kecil tak berdaya.
Ketika cahaya Abri pudar, Heihei menatap musuh barunya: pria paruh baya berjas cokelat dengan topi fedora senada. Di tangannya, ada tommy gun.
"Perkenalkan, Tommy Leone. Dia mafia keluarga Diavolo di Italia."
Tom menembakkan tommy gun-nya lagi. Karena jarak mereka dekat, si pria tua sudah pasti akan mati.
"Sayonara, pendejo."
Rentetan timah panas keluar dari mulut senapan.

Heihei masih berdiri. Ia menangkis peluru dengan Ha-uchiwa dan serangan angin uang koin. Uang koinnya habis, namun tak apa.
Tom perlu waktu mengisi ulang magasin senapannya. Heihei segera memotong jarak. Ia mengusap kipasnya ke arah hidung Tom.
"Tinggikan."
Hidung Tom lantas bertambah panjang dan berat. Ujungnya kena dinding lift. Rasa sakitnya membuat Tom melepas genggaman pada senjatanya. Heihei segera mengambil tommy gun dan menggunakannya untuk memukul hidung Tom.
Tom segera berubah bentuk menjadi bola boling. Ia tak mampu menahan rasa sakit sebelumnya.
"Ejecutar!"
Ia pun terbang dan mencoba terjun ke atas kepala Heihei. Sayangnya, si pria tua hanya perlu menghindar dengan mudah.
"Orang lansia macam saya masih lebih cepat dibandingkan Anda, tuan bola boling."
Heihei mengayunkan kipasnya ke arah Tom. Luka pada kepingan memori membuat Tom berteriak kencang. Ia perlu berganti wujud kalau tak mau kalah. Panel di atas pintu sudah menunjukkan lantai 60. Tom harus bergegas.

Ketika panel lantai berubah menjadi 61, tubuh Tom pun berubah pula. Kekuatan Reincarneren aktif. Ia berubah wujud menjadi remaja pria 18 tahun.
Kemeja hitam dengan tambalan merah berbentuk persegi di mana-mana. Celana jin pendek ketat warna biru tua. Lalu, satu tutup mata ala bajak laut.
Dari kedua tangan wujud Tom sekarang, muncul lumpur batu panas.
"Namanya Thomas Lava Edgyson."
Lava yang keluar segera tumpah ke lantai lift. Tak perlu waktu lama bagi lumpur panas tersebut untuk merusak pijakan.
Tom bergelantung di lubang yang telah ia ciptakan sebelumnya. Heihei, di lain pihak, terjebak.
Ia tak bisa membuat lubang atau terbang ke lantai 86. Bahkan dengan tabung oksigennya, ia bakal jatuh.
"Waktumu sudah habis, om. Arrivederci."

Heihei memunculkan sepasang sayapnya. Tom tertawa melihat keputusan si pria tua. "Kamu bakal jatuh, om!"
Namun, Heihei tak berniat terbang. Ia menyisipkan sayapnya yang kiri ke sela pintu lift. Heihei lantas berteriak kencang. Sayapnya membentur dinding. Tulangnya patah. Bentuk sayapnya menjadi tak keruan.
Tetapi, bentuk yang terpelintir justru membuat si pria tua bertahan di lift tanpa pijakan.
"Saya masih belum mau menyerah, tuan bola boling."
Tom tersenyum atas niat tangguh si pria tua. Namun, ia memamerkan tangan kirinya. Dari telapaknya lava beterjunan. Senyumannya lebar.
"Cukup aku kibas tangan ini, kau akan lenyap."
Tentu, Tom benar-benar melakukan apa yang ia ucap.
Untungnya, pintu lift membuka. Mereka telah sampai di lantai 86. Heihei segera menyembunyikan kedua sayapnya. Ia lalu memacu diri, berlari ke tangga menuju lantai berikut.
Tom bergegas menyusul. Remaja laki-laki tersebut mengayunkan tangan lavanya ke segala arah. Dinding, jendela, dan lantai pun mencair.
Heihei menghindar semampunya. Napasnya menjadi pendek. Darah yang hilang atas putusnya tangan kiri membuatnya pusing bukan kepalang. Ia perlu mengakhiri ronde ini dan dapat perawatan.
Segera.
Si pria tua menggunakan tabung oksigennya untuk dapat udara segar barang sedikit. Namun, ia tak bisa membohongi tubuhnya. Kakinya lemas. Ia terpaksa berhenti. Tom segera membalap Heihei.
"Sampai jumpa, om!"
Tangga menuju lantai tempat para staf beristirahat terkoyak oleh lava Tom. Heihei menghela napas. Ia harus memanjat bagian yang tak terkena lumpur panas. Dengan satu tangan saja.

Setelah berhasil memanjat, si pria tua menengok lantai staf. Sayangnya, ia tak menemukan musuhnya.
"Ia pasti telah sampai di lantai puncak."
Bekas lava yang melelehkan keramik lantai mengarah pada tangga terakhir. Heihei segera melangkah maju. Ia merapal kedelapan frasa, candunya untuk bisa rileks. Ia terpaksa memanjat lagi.
Lantai ke-88 adalah sebuah ruangan segitiga luas. Dinding dan lantainya bergelimang warna emas. Cahaya lampu di atap gemerlapan. Di bawah, lanskap kota Almnesse memapar. Lampu kendaraan dan bangunan berkerlapan.
Namun, panorama indah tadi dirusak oleh Tom. Ia berdiri di panel barat. Tampaknya, panel tersebut telah menyala. Sisi kota bagian barat menyala dengan lampu emas.
Heihei menatap wujud manusia rampasan Tom. Matanya penuh dengan determinasi gelap.
"Saya akan menang. Pasti menang."
Heihei memunculkan sayapnya. Ia lepas landas. Tujuannya: panel kontrol timur. Namun, karena sayapnya yang kiri terluka parah, ia hanya bisa terbang dengan satu sayap. Si pria tengu terbang dengan tak keruan.
Tetapi, usahanya cukup untuk bisa memotong jarak. Di belakangnya, Tom berlari kepayahan. Ia tak bisa mengalahkan kecepatan sayap seorang tengu, dewa angin gunung. Langkah kakinya terasa berat.
Si tengu berhasil menyalakan panel timur. Lampu kota di sisi tersebut menyala merah muda.
"Sialan… Padahal aku akan menang sedikit lagi…"
Kepala Tom pun terasa berkunang-kunang. Ia terlalu membebani dirinya dengan menggunakan terlalu banyak Reincarneren. Alhasil, kepribadian Tom si bola boling meredup.
Ia terpaksa merubah diri menjadi bentuk aslinya. Dalam bentuk begini, ia tak akan mungkin bisa menyalakan panel kontrol. Terlebih, cahaya di lantai ini terlalu terang. Warna biru tubuhnya memudar cepat.
Ia perlu melakukan sesuatu.
"Kalau begitu, tinggal aku lenyapkan saja si pria tua itu." Intelejensia-nya mengatakan demikian. "Ejecutar!"
Tom terbang. Tujuannya, semua bola lampu ruangan ini.

Satu per satu lampu di lantai 88 Menara Bebal pecah. Di kegelapan yang mengitarinya, Heihei berdiam. Maju tanpa melihat apa-apa sama saja bunuh diri. Matanya mengedarkan pandangan. Musuhnya pasti dekat.
Benar saja, bola bersinar terang tengah bergerak liar di udara. Tom berulang kali menembakkan cahaya Abri pada ruang kosong secara arbitrer. Si pria tua tersenyum.
Si bola ternyata bodoh. Dengan mematikan lampu untuk menyelamatkan dirinya, ia sama saja memberi Heihei ruang luas untuk bersembunyi.
Asal ia tak kena cahaya Abri, si tengu bisa berjalan santai sampai ke panel kontrol utara. Meski ia punya banyak kesempatan menyabet si bola hidup, si tengu mementingkan balapan.
Panel utara menyala. Warna merah muda menghiasi sisi utara kota Almnesse. Melihat perubahan warna tentu membuat Tom mengetahui lokasi musuhnya.
"Aku sengaja mengumpanmu keluar!" kata Tom, bangga. Bola boling meluncur cepat ke arah panel utara. Cahaya Abri berkekuatan penuh menyinari tempat itu.
"Kamu yang akan kalah!"
Cahaya Abri menyinari bentuk manusia. Tabrakan tak terhindarkan. Dengan ini, Tom menyegel kemenangan.
Namun, ada hal yang aneh.
Heihei memunculkan sayapnya. Ia menutupi sekitar wajah dengan sayap kanannya. Heihei sama sekali tak melihat cahaya Abri.
"Dapat!"
Heihei langsung memeluk erat bola boling yang melayang kepadanya.
"Dengan begini, saya telah membuat Anda tak mampu menyusahkan siapa pun lagi."
Heihei memacu kakinya untuk melaju kencang ke panel pertama, yang masih berwarna emas. Senyuman lebar muncul di wajah Heihei. Dengan ini, langkahnya menang tinggal sedikit lagi.
"Leabed Liskor."

Seluruh ingatan, kemampuan, dan kepribadian Heihei dirampas. Tubuh tanpa jiwa tersebut lalu berhenti berlari.
"Aku… aku ada di mana?! Kenapa ruangan ini gelap?! Siapa… aku…?!"
Kemampuan Leabed Liskor mutlak. Jika ia menghendaki, Tom bisa merampas identitas musuh ketika bersentuhan fisik. Tom jatuh dari pelukan si pria kebingungan.
"Reincarneren."
Lalu, bentuknya yang bola berubah perlahan menjadi sosok kopi sempurna Hei Heiheihei.
Daitengu jahat, pengutuk Jepang, salah satu dari tiga onryou dan youkai terkuat.
Memori Heihei benar-benar berharga. Si bola boling mengetahui akan dunia supernatural yang dahulu ia tak tahu.
"Saya… Sebentar lagi akan dekat menjadi sosok mahakuasa semua semesta."
Tom mencoba menggunakan salah satu kekuatan Heihei, Tori-ou Danzai Dan. Dua klona dirinya muncul.
"Jadi, klona pertama bernama Michizane. Yang kedua adalah Masakado." Tom, dalam wujud Heihei, tersenyum lebar. Kemampuan ini benar-benar memudahkan pertandingan lantai 88. "Michizane, kamu ke panel utara. Masakado, kamu ke panel barat."
"Yes, my Lord."
Kedua klonanya menurut. Mereka pergi ke tempat yang sesuai dengan apa yang Tom perintahkan.
Namun, tak Tom ketahui, bejana kosong mendengar kedua nama yang terucap.
"Michizane…? Masakado…?"
Ia tak mampu mengingatnya. Namun, mendengar kata pertama yang terucap membuat air matanya luluh.
Sugawara(菅原) no Michizane(道眞) adalah nama asli dari Genbenkan(原平管) Doushin(道眞).
"Ia adalah…"
Si pria tak mampu mengingat lebih jauh. Namun, tangisannya makin lebat. Tangisan yang keluar bukan karena frustrasi. Namun, karena penyesalan. Penyesalan yang tak si pria ketahui.

Alkisah, Kaisar Sutoku mengutuk Jepang. Dua reinkarnasinya, Michizane dan Masakado, bernasib sama—diusir dan dipermalukan negara mereka sendiri.
Mereka lalu mengutuk dan mendendam.
Namun, Michizane tak hendak berbuat demikian lagi. Ia mencintai manusia kembali. Ia pun menjadi Dewa Tenjin, dan putus dari tiga wujud Sutoku.
Tenjin-sama pun menangkap Sutoku, dan memeliharanya.
Nama Michizane Sutoku pakai hanya sebagai memento kehebatan Tenjin-sama melawan takdirnya.
Satu kata yang selalu ia ucap, bos, muncul. Si pria tak berhenti mengucurkan air mata. Meski secara teknis Doushin adalah avatar dirinya, ia sekaligus adalah panutannya.
Si pria berdiri. Tatapannya menantang Tom.
"Akulah Hei Heiheihei!"
Ingatan yang telah Tom rampas bergerak kembali ke tubuh Heihei. Tom berubah menjadi bola boling. Cooldown dari Ejecutar membuatnya tak mampu bergerak lebih lanjut. Ia pun tak bisa menggunakan Reincarneren.
Heihei, yang kembali ingat akan dirinya, berjalan santai ke panel barat. Dengan begini seluruh lampu kota Almnesse telah diubah warna menjadi merah muda.
"Pemenangnya… Hei!"
"Ronde kedua berakhir!"
Suara dua kaleng berbicara merayakan kemenangannya. Namun, si pria tua masih tak sanggup mengelap tangisnya.
"Lagi-lagi, saya diselamatkan oleh bos…" Senyumnya terkembang. "Saya akan menang. Demi bos. Pasti."
Niatnya memenangkan balapan semakin kukuh. Heihei lalu pingsan akibat kekurangan darah.

Komentar

  1. 1. saya suka dengan entri kedua ini, lebih rapi, dengan pacing lebih pelan, alur yang lebih nyaman dibaca, dan aksi yang lebih intens dari entri sebelumnya. Saya suka close combat antara Heihei dan Tom di dalam lift, meskipun rasanya terasa janggal saat mereka bisa melakukan gerakan pertarungan dengan timing yg cukup lama di tempat sesempit itu (misal seperti saat Tom hendak memukul, Heihei masih sempat mengeluarkan koin 100 yen dan heihei masih sempat menghindar dengan angin kecilnya)
    2. waktu si polwan menyerahkan tom ke heihei terasa janggal, emangnya ada polisi yang akan melakukan tindakan aneh begitu? klo dia memang sibuk tentunya akan membawa si anak kecil ke pos polisi terdekat, bukan menyerahkan ke orang asing. Adegan pertemuan mereka berdua terasa dipaksakan lewat cara ini.
    3. tangan heihei terputus di lantai 7 dan heihei yang notabene sudah tua dan kehilangan banyak darah, bisa bertahan, bertarung, dan survive hingga lantai 88 tanpa ada usaha apapun darinya untuk seenggaknya memberi perban pada tangannya? tidakkah ini terasa sangat janggal? Atau mungkin Heihei sangat sakti sehingga darah berkurang satu galonpun dia masih bisa hidup? tapi kalo memang seperti itu, setidaknya berikanlah penjelasan.
    4. satu yang sangat mengecewakan saya adalah adegan pertarungan yang begitu intens dan sangat menarik diikuti tiba-tiba dirusak dengan penjelasan yang sulit dipahami di bagian terakhir saat Tom mengambil kesadaran Heihei... jujur saja, saya tidak paham ketika Michizake dan Masakado muncul lalu Heihei tiba-tiba menangis dan dia tiba-tiba tersadar tentang dirinya? Terus ada penjelasan tentang nama asli? bejana kosong? kaisar sutoku? tenjin? Deskripsi belum digali dengan kuat di bagian ini, hanya sepotong-potong. Penjelasan diberikan secara tersirat sehingga perlu pembaca yang punya pengetahuan lebih tentang Heihei, yang mana bila pembaca itu adalah penggemar Heihei maka tidak masalah, tapi bagaimana dengan pembaca baru yang tidak tau siapa itu Heihei?
    5. Tom digambarkan dengan sangat baik meskipun bukan OC milik penulis, ini sangat mantap.
    6. Skor 7/10, saya ingin memberi poin 8 tetapi di bagian terakhir it cukup mengecewakan saya.

    -Irene Feles-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya benar-benar tak bisa mengelak karena semua kritiknya kena... Saya memang terlalu terburu-buru sewaktu menulis dan ingin cepat-cepat selesai karena real life. Terima kasih karena telah membacanya dengan begitu cermat. 3000 kata ternyata gak cocok buat drama. Sekali lagi terima kasih atas komentarnya.

      Hapus
  2. Anjir komentarku udah diambil juga... -_-
    Ini terus mau komen apaan? 😕
    Bingung sendiri jadinya....

    Kasih nilai aja deh 7/10

    Soalnya ane gak paham sama sekali di bagian akhir. Mungkin authornya bisa mengurangi menambahkan masa lalu yang dari OC-nya. Soalnya ini race bukan novel solo, jadi kalau tiba-tiba ngasih flashback, pembaca jadi bingung. Apalagi aku gak ngerti sejarah Jepang dan penamaan Jepang kayak gitu.

    -ZENISTIA NISRINA_

    BalasHapus
    Balasan
    1. Satu-satunya cara melawan Leabed Liskor-nya Tom ya dengan flashback siapa dirinya, sayangnya.
      Really, si bola boling beneran omnipotent.
      Tapi memang saya terlalu terburu-buru jadi saya memang berdosa. Terima kasih karena telah mau membacanya.

      Hapus
  3. Sudar submitnya cepat terus ya. :)

    Apa yang saya suka dari entri ini :

    + Beberapa detil kecil yang saya sendiri gak kepikiran, kayak Tomu = Tom (iya juga ya), dan penamaan wujud-wujud rampasannya dia yang namanya Tom semua juga (Tommy sama Thomas)
    + Battle scene yang seru dan mudah dibayangkan (meski ada beberapa yang kurang halus penulisannya)
    + Penjelasan masa lalu dari Hei yang ternyata suka pada bosnya karena masa lalu dan alasan yang kuat, not pure g a y (meski sebenarnya gak masalah sih kalau emang 'cuma' homo, since itu bikin karaktermu lebih unik(?))
    + Dialog Hei yang kesannya formal banget ini entah kenapa kadang malah bikin pingin ketawa(?).

    Apa yang menurut saya mengganjal :
    - Ini tangannya habis putus terus udah? Gak kesakitan berkepanjangan, atau darah berkurang banyak, apa gimana. Memang bagus kalau kamu ngasih karaktermu tekanan/kesialan, tapi kalau akhirnya ditinggal begitu aja juga bakal bikin pembaca bertanya-tanya.
    - Saya yang baca CS ini, paham kok sama ending scene-nya. Bagus kok, malahan. Tapi kalau yang gak baca? Memang ada penceritaan singkat mengenai itu setelahnya, tapi kurang smooth. (Mungkin bakal lebih bagus kalau sekalian dibuat Tom kaget dikit si Hei punya kekuatan ini, sekalian introduce power itu, belum dipakai di ronde 1 kan?)

    Cuma mau tanya saja :
    - Ini ketahuan masuk ke area khusus staf kok mereka pas ketemu di lift kayak gak kaget gitu ya? Seakan-akan pengunjung memang biasa masuk keluar menara bebal. Ini nggak masuk ke hal mengganjal sih, soalnya memang saya sendiri nggak tahu gimana orang orang di sana, belum tanya panitia(?).

    Sejujurnya 7, tapi karena saya ngeh ending scene, dan entri ini juga menghibur, 8. Jangan diulangi ya. :(

    OC : Worca S.

    BalasHapus
  4. Wadaw udah dicuri start sama komentar diatas.
    Selalu jadi yang pertama Hei Heihei memang. Panutan.

    Ada perbaikan di pembawaan cerita yang jadinya lebih "nyaman" diikuti dibanding R1.

    Apalagi ya? Udah diulas semuanya sih
    7/10 deh dari Tora Kyuin

    BalasHapus

Posting Komentar