[Ronde 2] Ifan - Subtle Art of Giving Too Many F*ck

By: Nameless Ghoul
#1
Izinkan aku memulai hari ini dengan sedikit renungan filosofis.

Menurutku keberadaan manusia adalah paradoks yang menggemaskan. Misalnya, saat semua orang berkata kalau mereka ingin bahagia dan dunia yang lebih baik.

Manusia sebenarnya bisa bahagia bersama-sama jika saja semua saling memahami. Tapi nyatanya apa yang dipandang baik dan bahagia itu hanya dari sudut pandang perseorangan yang egois. Kita (ya, kau dan aku, Sobat) selalu ingin lebih dari yang lainnya. Tak ada ukuran pasti untuk menentukan "baik dan bahagia" seseorang karena pada dasarnya, kita punya tingkat egoisme yang berbeda-beda.

Egoisme itu tercermin dari sejarah dunia. Satu hal … bertahun-tahun aku berpikir dan tiba pada kesimpulan bahwa, barangkali, Tuhan menurunkan agama sesuai dengan kebutuhan manusia. Kau yang mendahulukan cinta dan moral, masuklah agama A. Kau yang menginginkan konsistensi dan kepatuhan mutlak, masuklah agama B.

Sederhana, seharusnya. Tetapi manusia yang egois berlomba-lomba membuat kesan bahwa pihak merekalah yang benar. Tidak ada yang mau mengalah dan, voila, Perang Salib, terorisme, genosida—dan itu sebagiannya! Perseteruan itu juga melahirkan kegoblokan-kegoblokan lain sampai zaman setelahnya.

Jadi, ingin keadilan atau tidak sih?

Aku sering terbayang mengakhiri dunia yang membingungkan ini dalam ledakan dan itulah motivasiku mengikuti Battle of Realms: supaya mendapat alatnya. Rasanya membahagiakan melihat potongan-potongan tubuh orang bego dan egois itu bergelimpangan. Mereka yang dulunya sok, merasa semesta memerhatikan mereka secara pribadi, ternyata bisa jadi makanan asu.

Tapi bagaimana pun, aku bukan Tuhan dan tidak ingin. Aku juga orang yang bermoral. Memangnya tega kulihat orang yang mati-matian berjuang dalam hidup hanya untuk kuhancurkan begitu saja? Menurutmu aku tidak bisa melihat hal baik di dunia ini?

Aku bukan monster. Aku punya perasaan dan, aku bangga dengan hal itu. Aneh memang, hari ini aku berpikir untuk jadi antagonis gila, besok-besok mungkin aku merasa ingin meledakkan diriku sendiri.

Oh, tunggu, kenapa aku memikirkan ini sih? Seharusnya aku konsentrasi pada babak dua.

Ini ronde permainan menyalakan lampu. Siapa cepat dia yang menang. Tipe yang kubenci sama sekali. Terus di mana Avant-Garde? Sial. Gantinya malah sepatu roda.

Bicara soal kecepatan, aku selalu rendah diri. Sejak lama, aku tidak pernah tanggap dan sigap. Jangankan begitu, kakiku sering terkilir karena pikiran ke mana-mana. Dan … lamunanku putus karena aku sudah tiba di tujuan.

Dengan kasar, aku diturunkan begitu saja dari helikopter. Saat ingin memprotes, kendaraan itu melesat cepat. Aku ditinggal sendirian. Di tengah pasar tumpah.

Ok.

Kupandangi sekeliling dan—hmm, ramai sekali. Tapi orang-orang terlihat biasa saja. Normies, sok-sokan memandang rendah dan mendecih padaku. Padahal mereka yang tidak menarik. Pesertanya aku, bukan? Berarti aku punya hal istimewa tertentu dibanding, kalian semua!

Banyak juga kios, beberapa menjual barang aneh. Sepertinya aku melihat botol-botol yang mengepulkan asap. Baunya membuat mabuk. Adakah yang menjual ganja? Lalu aroma apa ini? Daging panggang, jagung bakar, wah sedapnya …. Tiba-tiba jadi lapar, ingin makan babi halal. Cicip sedikit tidak dilarang, 'kan? Kurogoh saku dan tas, kemudian teringat mata uang di sini pastilah berbeda.

Aku mengetuk kepalaku yang berisi otak(-otak). Hei, Ifan, ingat ini misi! Malas boleh, goblok jangan.

Tujuanku adalah menara di tengah kota. Dari posisiku sekarang, bangunan luar biasa besar itu tampak jelas, dengan ratusan jendela bersinar. Aku teringat bangunan yang kulupa namanya di tengah Soul Society. Besar sekali, dan hanya itu persamaannya. Hahaha. Dengan kejelasan yang ada, aku pun meluncur.

Ngomong-ngomong aku punya lawan di sini. Lantas kenapa aku terus leha-leha? Sialan. Aku tidak ingat namanya, yang jelas potretnya muncul dalam pemberitahuan awal. Dia sejenis putri mahkota dengan tanduk satu. Tampangnya di atas rata-rata dan andai saja tidak harus berduel, aku mungkin akan naksir—ah tidak.

Karena aku jelek, anjing.

Aku harus mencapai kendali lampu, sebelum si cantik. Yah, kau memang cantik, tapi aku pintar. Aku mungkin perasa, tapi IQ-ku 134, belum genius namun cukup masuk Mensa. Dan pintar haruslah lebih unggul. Untuk membakar semangat, aku membayangkan meninju wajah-wajah kolega kampus. Aku benci mereka semua.

Hmm, sebentar, dengan apa aku sampai cepat ke Menara Bebal? Gerak bagi Ifan merupakan keajaiban tahunan dan, kurasa bukan hari ini keajaibannya. Pakai pistol teleportasi ke diri sendiri? Ide bagus, tapi peluruku hanya lima. Bagaimana kalau si cantik ternyata si buas di dalam? Tapi kakiku mulai pegal, mata berkunang-kunang, jadi, aku membalikkan badan, mengarahkan pistol, dan—

—sudah berpindah lima ratus meter ke depan. Bau-bau pemenang sudah menguar. Empat amunisi kurasa lebih dari cukup, aku yakin. "Karena aku Tiny-Girly-Rick!" seruku secara spontan.

Bangsat, ini sangat delusional. Kelakuan chunibyou. Dasar impulsif. Simpan bau bawangmu, Ifan, kaubisa sinting sepuasnya di hotel nanti.

Puluhan pasang mata terarah kepadaku. Biasanya aku cuek, toh tak kenal. Tapi entah kenapa, sekarang aku luar biasa malu. Aku jadi ingin pipis. Jadi, aku menembak diriku lagi.

Dan begitulah ceritanya aku sampai di halaman depan Menara Bebal. Dengan sisa tiga tembakan pistol teleportasi. Tidak banyak orang berlalu-lalang, sehingga aku lekas jalan.

Tapi di sini, aku mulai ragu. Bagaimana kalau aku capek-capek perang hanya untuk kalah? Logikanya, keluarga kerajaan dididik dengan disiplin tinggi. Pasti kemampuan lawanku hebat atau semacamnya. Sedangkan aku … yah, kautahu sendiri.

Duh, kenapa aku terus-terusan merendah begini? Aku mungkin tolol secara akademis (itu juga karena aku terlampau malas belajar), tapi tidak dengan strategi hidup. Dan dari ratusan peserta di ronde satu, aku peringkat belasan. Itu 'kan bukan pencapaian sampah. Dengan pengertian itu, aku mengangkat muka.

Aku mungkin payah. Tapi tidak sepayah itu.

Mari kita perang. Sebelum itu, aku mau belanja.


#2
Aku benci orang yang berpura-pura sampai ke dasar jiwaku. Mereka hadir ke dunia hanya sebagai contoh bagi yang lainnya. Contoh untuk mengakui kelemahan dan sadar diri tentangnya.

Orang seperti itu, salah satunya adalah ibu dan adikku. Orang-orang yang tak pantas memegang takhta. Dua iblis tidak kompeten yang berkeliaran dalam Kerajaan Granitus dengan kesombongan kempis. Pembunuh raja yang tanpa otak.

Kalian pikir bisa memimpin kerajaan hanya dengan keinginan standar untuk dipandang tinggi? Lucu sekali.

Dasar tidak berguna. Sampah.

Akan kuseret kalian semua ke tiang gantungan.

Tapi sebelum itu, aku harus memenangkan turnamen ini.

Lawanku lebih parah dari pelayan, dilihat dari tampangnya. Dia juga tidak menampakkan aura iblis atau manusia super. Kemampuan dan senjatanya tak begitu hebat. Lawan yang sangat tidak imbang. Mengapa panitia memilihnya menjadi peserta?

Sepertinya aku menang mudah dan cepat. Apa aku kecewa? Kurasa tidak.

Bukannya aku tak suka tantangan. Hanya saja, ronde kedua ini bukan tempat untuk praktik. Apalagi dengan lawan lemah seperti itu. Alih-alih pengalaman, yang ada hanya membuang waktuku. Lebih baik aku berlatih sendiri.

Jadi begitu diturunkan dari helikopter, aku masuk mode merah. Kugunakan aura iblis untuk berlari sekuat tenaga (aku menolak pemberian motor balap karena tidak bisa mengoperasikannya, tapi aku tak bodoh dengan mengatakannya). Mobil-mobil yang melaju kencang bahkan tak mampu menyentuhku. Dalam waktu sekejap saja, kurang dari lima menit malah, aku tiba di pelataran Menara Bebal.

Menang dalam satu jam. Aku pasti mampu.

Demi harga diri dan kerajaanku.

Demi ayahku di neraka.

Demi membunuh wanita keparat itu.

Namun setibaku di lobi, wajah itu sudah terpampang. Dia hendak masuk lift.

Muka kusam tapi pucat, rambutnya beruban tapi muda, cukup tinggi namun bungkuk. Namanya Ifan, tidak punya marga. Jelas-jelas rakyat jelata. Dia menyeringai lebar memamerkan gingsulnya yang jelek.

"Duluan ya, cantik."

Ada dua lift di posisi terdekat. Kedua-duanya menuju ke atas dan masih lama untuk turun. Aku pun menaiki eskalator yang ada, berlari dengan aura iblis ketika sampai di lantai berikutnya menuju eskalator lanjutan, dan begitu terus hingga lantai kedelapan. Tidak ada Ifan di sini, jadi—

—dia di belakangku, dan menodongkan pistol! Tubuhku mendadak beku. Kenapa aku tak merasakan keberadaannya?

"Aku benci tidak dinotis di ronde satu!" raungnya. "Mereka pikir aku tidak unik dan menarik. Padahal, Abu si teroris sekalipun bisa lewat dengan ini!"

Berisik lalu-lintas kota memenuhi pendengaran. Aku terbelalak. Bagaimana—aku? Tiba-tiba aku terjun bebas, seperti dijatuhkan dari lantai kesekian gedung. Ifan mengalahkan … aku?

Air mataku terbit. Aku teringat ayah, kebencianku pada ibu semakin menjadi-jadi, dan perih memenuhi hatiku. Apa aku akan mati di sini? Di—di tangan orang payah seperti Ifan? Apa aku bermimpi? YANG BENAR SAJA!

Aku Fransisca Remington, putri mahkota Kerajaan Granetus, tidak akan kalah.

Merah meliputi diriku. Pikiranku bergulir cepat. Kualiri kedua kaki dengan keseluruhan mana, dan aku sukses mendarat selamat dengan kakiku. Atap mobil yang menjadi pendaratanku runtuh, membunuh orang di bawahnya. Tapi aku tak peduli lagi pada nyawa manusia.

Tak ingin jatuh ke lubang yang sama, kuciptakan tiga bola sihir berkekuatan besar mengelilingi tubuhku. Akan kulempar semua bila diperlukan. Aku takkan segan lagi.

Dengan kecepatan tertinggi, kuraih lift dan sampai di lantai delapan dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Tentu saja Ifan tidak di sini, mungkin dia sudah sampai ke lantai teratas.

Bagaimana ini?

Kuperhatikan sepasang lift khusus staff. Satu lift baru sampai di lantai belasan. Mungkinkah itu Ifan? Kalau benar begitu, apa yang sebenarnya terjadi? Daripada menebak-nebak, aku menyambar lift menuju ke atas. Para staff penganggu yang muncul pada beragam lantai kulontarkan keluar begitu saja.

Butuh waktu lama hingga akhirnya aku tiba di lantai 86. Ifan sedang menuju tangga. Satu kakinya terseret-seret dan wajahnya dipenuhi darah dari kepala. Kulontarkan ketiga bola sihir ke arahnya, dan seketika muncul perisai mana mengelilingi tubuh perempuan itu. Walaupun demikian, dia tetap terpental dengan posisi tengkurap.

Dia tidak bergerak.

Begini saja? Aku mengaktifkan sirkuit mana pada sepasang mataku dan menemukan pancaran energi yang lemah. Dia mati?

Kemenangan bagiku adalah sebuah kepastian. Ini tidak menarik dan, jujur saja, betapa menyedihkannya perempuan jelek itu. Sekian tahun kehidupannya yang keras kuhancurkan begitu saja hanya dengan tiga kali serang.

Aku bukan orang yang tanpa ampun seperti ibuku. Sebagai orang yang menghargai usaha, aku akan memberi musuhku penghormatan terakhir. Kudekati perempuan itu, hendak berjongkok—

Ifan memegangi satu kakiku dan lagi-lagi menodongkan pistol. Kali ini ke arah wajahku.

"Staff menyita pistol teleportasiku bangsat!"

Lalu, terdengar suara klik. Tapi aku masih di tempat, hanya mendapati pistol yang meledak tanpa makna. Lengan Ifan terkulai. "Oke, kau menang," katanya dengan napas putus-putus. Wajahnya babak belur. "Jangan lupa … panggilkan medis. Aku mau pulang cepat. Dan tolong yakinkan panitia akan … performaku bila perlu. Aku tidak ingin me-mengembalikan … Asus ROG yang … baru kudapat."

Pembicaraan ini membuatku kesal. "Jadi kau menyerah begitu saja? Tanpa perlawanan?"

"Memangnya aku punya pilihan lain, berengsek?" Ifan terdengar akan menangis. "Sudah, cepat menang! Kepalaku mau … pecah mendengar suaramu! Kaumau aku jadi hantu … bangsat … yang berubah wujud jadi mantan sahabatmu? Me-mengingatkan kau ternyata emosional, bipolar, dan bukan … tiny-girly-Rick? T-tidak, A-Adonai, Tuhan … Yesus, Ahura M-Mazda …, Dewa Siwa, aku benci—"

Sudah buruk rupa, lemah, gila pula. "Kalau itu yang kaumau, aku akan menang—"

Ifan sontak menghilang dari lantai. Aku menengok ke segala arah, dan tak menemukan apa pun. Sial, mengapa dia … mengapa dia selalu berhasil menipuku? Kenapa aku begitu bodoh jatuh dalam perangkapnya dua kali? Bersama kemarahanku, lima bola magis termaterialisasi di belakang tubuhku.

Ke mana kau, penipu? Akan kubuat kau benar-benar cacat.

Sontak, terdengar ledakan kecil disusul radiasi cahaya. Kulindungi pandangan dengan lenganku. Apa-apaan ini?

Di tengah-tengah terang yang keterlaluan ini, terdengar suara Ifan. Aku tidak bisa menentukan posisinya. Seperti berada di sampingku, sekaligus jauh.

"Waktuku tidak banyak memang, tapi aku mau pamer," ujarnya cepat sekali. "Ternyata aku tak salah, karena kau segoblok itu, Tuan Putri yang Berlagak-Sok-Seperti-Richard-The-Lion-Heart. Kalau aku jadi kau, aku tidak peduli apakah musuhku hilang dan akan segera menyambar tangga."

Menyadari hal tersebut, aku pun berlari. Terdengar letupan, namun tak terjadi apa-apa. Pada letupan kedua, kakiku seperti membeku. Secara harfiah. Dingin merambat dari kaki menuju ke kepalaku.

Tawa Ifan membahana.

"Cantik-cantik kok bego, padahal katanya putri mahkota," suara itu terdengar makin jauh. "Kalau pusat kekuatan negaramu ada di bangsawan, kau akan mudah didepak. Kalau pusatnya ada di raja, kau mati konyol. Negaramu bakal hancur, koplok."

Darahku mendidih. Bisa-bisanya orang yang tidak hebat seperti dia bicara begitu kepadaku! Tahu apa kau soal bangsa iblis! Mana dan kemarahan mengaliri pembuluh darah. Es di sekelilingku mencair sedikit demi sedikit. Ketika es surut dari wajahku, kini hendak melepaskan tungkai kakiku, kudapati Ifan sudah di lantai 87.

Suara cemprengnya menggema. "Sumber air sudekat. Beta sonde pernah terlambat lagi. Lebih mudah bantu mama …."

Kakiku berliput mana. Mode merah masih tersisa kira-kira setengah jam, jadi tak perlu khawatir. Dengan satu kali tolakan, aku tiba di pijakan teratas tangga lantai 87. Ifan memunggungiku, cara berjalannya masih menyeret-nyeret seperti terkilir. Bagaimana dia sampai begitu cepat?

Aku melontarkan kelima bola magis sekaligus. Terdengar ledakan kecil disusul asap di tempat Ifan sebelumnya berada. Aku benar-benar menikmati ini. Rasanya seperti memanggang kecoa. Makan itu, jalang! Tapi sebentuk perisai sihir ternyata menangkis keseluruhan seranganku.

Sepertinya Ifan baru akan tertawa, tapi tiba-tiba dia terpuruk menyamping. Aku takkan terjebak lagi. Kubombardir dia dengan sihirku. Satu, dua, lima, sepuluh. Perisai sihir memang masih melingkupi Ifan, tetapi tak banyak berarti. Tubuhnya mulai berasap, pakaiannya koyak, dan dia muntah darah.

Rasakan itu. Rasakan! Beraninya kau menghinaku, manusia rendahan. Kau juga menghina rakyat yang telah mempercayakan aku sebagai pewaris takhta.

Aku mendekati tubuhnya yang hangus. Kuinjak kepalanya yang penuh uban itu. "Ini untuk penghinaanmu terhadap Putri Mahkota Granetus."

Ifan mengarahkan pistol padaku, namun kuempaskan jauh-jauh. "Sekarang, kaubisa apa?"

Perempuan itu belum kapok juga. Dia malah nyengir kuda, sementara darah mengucur deras dari sela giginya yang tidak rata. "Kau … tidak boleh … membunuhku, putri mahkota berengsek."

"Tapi aku tidak dilarang membuatmu buta."

Ifan mendengus. Air matanya mengalir. "K-kali ini aku akan … kuliahmu … menguliahimu … politik, kubaca dari … Il Principe … atau Seni Perang … lupa … terus terang saja," katanya. "F-Fel … Felicia Peddington atau … apa pun, dasar … sialan, kau tidak … menyadari sesuatu?"

Aku penasaran akan apa yang dikatakannya. "Apa yang tidak kusadari?"

"K-kekuatan saja … belum cukup memimpin … sebuah negeri."

"Jadi kau merasa layak menasihatiku seperti itu? Kaukira aku tidak diajarkan berpolitik? Kaukira nasihatmu yang pertama kali kudengar?"

"Ta-tapi kau memang … tidak bijaksana. Aku … bersungguh-sungguh soal … perkataan—" Ifan batuk darah.

Kutendang pipinya agar semakin banyak darah yang keluar. Orang payah yang berlagak sok harus mati. Bisa-bisanya berbual dalam keadaan sekarat.

"—ku … tempo lalu. Kau … kerajaanmu akan … musnah di-dipim—" Kutendang pipinya yang satu lagi, kemudian menginjak kaki dan tangannya kuat-kuat. Ifan menjerit, dan benar-benar menangis.

Bola sihir kecil terbentuk di ujung telunjuk, kuarahkan ke mata lawan. Namun sekali lagi, Ifan lenyap begitu saja di bawah kakiku. Persis sebelum sihirku terlontar. Dengan kondisi begitu, bagaimana mungkin? Kekuatan macam apa yang dimilikinya? Nyawanya berapa?

Kurasakan mataku basah, dan berbau … LUDAH GAIB?

Semua lelucon ini harus diakhiri. Akan kubalaskan dendamku nanti. Tidak bisa membunuh di sini? Kubunuh dia di hotel!

Segera, aku menuju tangga. Di bawahnya, dengan bersimpuh, Ifan tampak tengah mengisi amunisi, mengokang pistol, lalu membidikku. Tidak kena.

Bersamaan dengan ancang-ancang tembakannya yang kedua, aku mengumpulkan mana untuk serangan pamungkas. Kali ini berbentuk panah tipis.

Mata magisku memindai tubuh lawan, yang anehnya tampak sehat secara internal. Serangan fatal dapat ditujukan ke perut. Tanpa pertolongan, dia akan mati dalam lima belas menit. Aku akan sudah memenangkan ronde ini sebelum itu. Dan bila perempuan itu mati pada akhirnya, itu salah panitia dan bukan salahku.

Panah dan amunisi meluncur. Ifan berkelit sedikit, dan panahku meleset sehingga hanya merobek pinggangnya. Selain itu, dia tidak menembakku. Pistolnya terarah ke atas.

Aku mendongak. Lagi-lagi ledakan cahaya. Aku bergegas ke arah yang seingatku tangga. Dapat pegangannya!

Sinar mereda begitu kupijak tangga ketiga belas. Aku memandang ke depan.

Ifan tengah berjoget. Mukanya makin terlihat dekil dan mengenaskan, tapi dia tampak tidak peduli. Tangannya, yang memegang dua pistol, menunjuk padaku.

"Sudah tertipu berapa kali, Tuan Putri?"

Tak kubiarkan dia angkat bicara. Kubombardir dia dengan bola magis. Tapi perisainya tidak kunjung surut. Dampak seranganku hanyalah sedikit luka bakar dan tubuh yang berasap.

Dari dalam perisai transparannya yang aktif menghalau sihirku, kulihat dia tertawa terbahak-bahak. Diambilnya sesuatu dari dalam saku dan memakannya. Darah segar keluar dari mulutnya, tapi dia tidak terlihat sakit.

Aku terkejut. Kenyataan menghantamku di perut.

Aku dipecundangi orang gila.

Tidak mungkin!

Cakarku tumbuh. Aliran mana pada kaki membuat lambunganku meninggi. Takkan kumaafkan. Kalau tidak bisa kuserang dengan materialisasi sihir, akan kurobek dia hingga menyerpih.

Ifan membidikku lebih dulu. "Aku mau pengakuan dosa," katanya. "Aku pintar dan aku bangga."

Masih tidak percaya dengan penglihatan dan pendengaranku, aku kembali berada di luar Menara Bebal. Terjun bebas.


#3
Ketiga tuas yang dimaksud panitia kutarik cepat-cepat. Dari balik jendela, kusaksikan kota asing ini serempak menyalakan lampu pink. Eugh, itu warna mewakiliku? Terlalu cewek.

Aku merebahkan diri di lantai yang dingin, persetan jika panitia tiba-tiba datang.

Yeah, aku menang. Telak mengalahkan putri mahkota dimensi lain. Kalau kuceritakan ini ke orang-orang di kampus, mereka pasti tidak percaya. Mereka selalu mengira aku payah, si absent-minded yang sering keseleo karena suka melamun.

Mereka tidak tahu saja kalau, aku bisa melakukan apa pun bila mau. Sayangnya, aku jarang mau dan takut gagal.

Tapi, aku teringat sesuatu, apa yang kulalui hari ini antara musuhku terlalu bego atau bisa jadi keberuntungan semata. Maksudku, strategi (jika aku boleh menyebutnya begitu) yang kulakukan memang mengandalkan nasib saja. Aku hanya mencoba peruntungan berakting jagungwi dan bermodal sepuluh butir pil darah palsu. Plus, intuisi.

Besok-besok andai lawanku sekuat Felicia Flamingo dan lebih pintar dariku, ditambah merciless? Mampus.

Jelas, hari ini aku cuman hoki. Aku masih medioker seperti biasa. Okelah kalau begitu.

Aku jadi teringat rumah. Bagaimana kabar ibu-bapak? Aku kabur dengan pamit selembar surat, karena mereka pasti takkan mengizinkanku kalau meminta terang-terangan. Tapi untung, ada kakakku. Dia akan mengurus segala kebutuhan.

Ruangan ini semakin dingin, dan tak ada yang datang. Badanku makin berbau tak keruan. Gosong, amis, bau ketiak. Kaki dan tanganku remuk, tapi yang lebih penting … kaus band kesayangan seharga 180 ribu sampai compang-camping. Tali behaku pun putus.

Felicia tidak kemari untuk balas dendam apa? Ngomong-ngomong, aku teringat dia dan dilanda keinginan minta maaf.

Mungkin dia ingin ikut ajang ini untuk jadi orang bijaksana, balas dendam pada pengkhianat kerajaannya, atau kepentingan lain yang lebih besar. Sementara aku—bangsat aku malah tertawa—inti tujuanku hanya pamer ke mereka yang pernah mem-bully diriku sejak SD hingga SMA. Aku jadi merasa bersalah.

Sepertinya akulah yang egois kali ini, sedangkan aku sering membenci orang-orang macam itu. Sialan. Ifan bangsat, kenapa bisa-bisanya kau berlaku demikian? Katanya ingin berprinsip tidak sama dengan masyarakat yang goblok dan jahat? Ternyata kau tidak lebih baik.

Diriku yang menyebalkan ini layak dihukum. Dari balik kaus kaki, kukeluarkan pisau tipis.

Goresan di lengan kananku jadi lima belas.

Komentar

  1. Lagi-lagi, saya terhibur dengan entri Ifan. Fokus entri kali ini ada di PoV Fransisca, dan karakterisasinya terbangun dengan baik. Anda telah mengisi Fran dengan motivasi, monolog, dan flaw yang cukup bagi karakter tambahan. Ifan pun, meski kerap kali terluka oleh Fran, tetap melakukan trik-trik kotor yang keren. Masing-masing karakter telah berjuang semampu mereka. Fran yang dijadikan laughingstock Ifan pun cukup memancing simpati saya. Karakterisasi Ifan yang benar-benar random dan chaotic bersinar lewat dialognya dengan Fran dan aksi-aksinya yang heboh. Ifan pun selalu dirundung kegalauan soal kehidupan, dan membaca kata hatinya sangat nyaman (tidak intrusif) dan hilarious pula. Saya beri nilai 8/10. Saya always rooting for the underdog, jadi saya penasaran entri Ifan yang berikutnya bakal seperti apa. Tetap semangat terus~!

    BalasHapus
  2. Monolog terbangsat dari semi nihilist seorang Ifan yang sesuai judulnya. Subtle Art of Not Giving a Fuck.
    Tanpa sensor demi kenyamanan iman.
    Walau ga dark kayak R1.

    Mungkin karena Ifan "terpaksa' peras otak lawan Fran kali makanya dia berani nekat.
    Pembawaan ceritanya membuat saya merasa "Balapan" harus cepat2 membaca hingga selesai. Krn tiap 3 paragraf always hooked di tiap interaksi Ifan. Yang mana itu nilai plus.

    Dari saya 8/10 juga.
    From Bojekers, Tora Kyuin.

    BalasHapus
  3. Saya nyaman sekali dengan monolog gaya nihilism yang gak pake rem dalam penarasian-nya.

    Tuan putri sampe dibegoin, tiga kali pula. Ckckckckck

    Nilai 8/10
    Oc : Dian

    BalasHapus

Posting Komentar