[Ronde 1] Litus Kamara - Toss and Turn

By: Treize

Aku pasti akan menang, dan membawakan kalian oleh-oleh yang banyak. Karena itu, tidak perlu khawatir.

Dengan seluruh cinta dari lubuk hatiku yang terdalam,
Litus.

***

“Panasnya ....”

Seorang pemuda berjaket biru berdiri lunglai di pantai berpasir di sisi laut. Ia menyeka keringat yang mengalir di dahinya.

Padahal belum sepuluh menit peserta-peserta Battle of Realms diteleportasi ke arena babak pertama ini, tapi Litus Kamara sudah kehilangan hampir setengah energinya hanya karena terik matahari yang membakar tanpa ampun.

Harus bertarung melawan musuh alaminya di babak pertama adalah sebuah pukulan yang berat, tapi ia tidak akan membiarkan semangatnya tergoyahkan.

Para peserta mulai memenuhi garis awal dan bersiap-siap dengan kendaraan masing-masing.

Litus menyeret kereta luncurnya ke titik yang paling dekat dengan laut.

Ia memutuskan untuk mengambil jalur tercepat agar bisa segera kembali ke hotel.

Litus memulai mempersiapkan kereta luncurnya. Ia mengulurkan tangan ke depan lalu mengayunnya seperti konduktor. Di setiap ayunan, ia menyebutkan sebuah nama;

“Ark!”

Di depan kereta luncurnya muncul pusaran angin kecil membawa keping-keping salju yang berputar dengan cepat, memadat, dan membentuk seekor anak anjing berjenis st bernard.

Litus tersenyum melihat boneka salju itu melompat-lompat di atas pasir seperti anak anjing sungguhan.

“Merry! Argo! Ferry! Sierra!”

Anak-anak anjing salju terus bermunculan hingga tepat 10 ekor. Litus memasangkan mereka pada tali-tali penarik kereta luncurnya, lalu ia sendiri naik ke kursi pengemudi.

Setelah persiapan selesai, terdengar suara sirene pertanda perlombaan dimulai.

Derit roda ATV, deru jetpack, dan debur motorboat yang dinyalakan secara serentak saling bersahut-sahutan memeriahkan permulaan perlombaan itu.

Litus menatap tajam ke arah laut sambil menggenggam tali pengendali kereta luncurnya dengan erat.

“Ayo berangkat! Snowman!”





***

Isla Wunder, pulau tak berpenghuni yang dulunya merupakan pusat pengembangan teknologi kloning. Mereka mengkloning makhluk-makhluk yang seharusnya sudah punah ratusan juta tahun yang lalu: dinosaurus.

Sejak ditinggalkan, pulau ini menjadi cagar alam untuk para dinosaurus yang dibiarkan bebas berkeliaran.

Sampai saat ini.

Litus duduk diam di kereta luncurnya yang kini sudah mengudara. Anjing-anjing saljunya berlari mengarungi langit beberapa puluh meter di atas laut.

Sejak awal penerbangan, musuh pertamanya di babak ini langsung menampakkan diri.

Dengan hati-hati Litus menoleh ke kiri. Di sebelahnya, selusin pteranodon tengah menilik ke arahnya. Reptil-reptil bersayap itu membayang-bayangi Snowman dengan ketat.

Mereka tidak menyerang. Insting primitif mereka mengatakan kalau ada objek tak dikenal yang sedang melambung di sekitar sana, tapi tak terlihat apa pun.

Objek tersebut tentu saja Litus. Ia menenangkan diri untuk menekan hawa kehadirannya, membuat dirinya ‘tidak terlihat’ di mata para pteranodon.

Litus melihat banyak peserta pengguna jetpack dan motorboat tumbang dikerumuni para predator langit.

Seorang pria yang terlihat seperti kesatria dengan jetpack berusaha melawan dengan pedangnya, namun sia-sia ketika para pteranodon melubangi perutnya, mencungkil matanya dan mencabik-cabik tubuhnya di udara.

Di sisi lain, seorang gadis yang menaiki semacam papan luncur tengah bermanuver menghindari paruh-paruh yang mengincarnya.


Litus dapat melihat gadis itu semakin terdesak.

Semakin banyak pteranodon yang datang dari segala arah, sampai akhirnya mereka berhasil menabrak si gadis skater dan menjatuhkannya.

Litus, masih berusaha untuk tenang, tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari kejadian itu.

“Dia masih hidup,” ujarnya pada diri sendiri.

Gadis itu terlihat terombang-ambing dari satu paruh ke paruh lainnya.

“Aku ... harus menolongnya!”

Litus mengibaskan tali pengendalinya kuat-kuat. “Ke sana! Snowman!”

Para st bernard salju berbelok dan menukik tajam seperti roller coaster.

Bersamaan dengan itu, sihir Litus pun terlepas. Pteranodon yang berada di sekitarnya kini dapat melihatnya dan seketika mengejar kereta luncur itu.

“Sial!”

Litus beranjak dari kursinya. Ia mengambil busur dan anak panahnya lalu membidik ke belakang.

Ia memanah beberapa pteranodon terdekat, mengincar sayap-sayap mereka sehingga mereka jatuh ke laut.

Dengan cepat anak itu kembali menghadap ke depan. Gadis itu sudah berada di atasnya.

Litus menjulurkan kedua tangannya ke depan, lalu, dengan tepat, menangkap jatuhnya si gadis skater.

“Naik!” perintah Litus.

Setelah menukik, Snowman kembali mengubah arah menanjak dengan tajam.

“Lepaskan! Jangan makan aku!” si gadis skater mulai memberontak di genggaman Litus.

“Hei! Tenanglah!” kata Litus sambil menurunkannya ke kursi di sebelahnya.

“Ah ..., aku masih hidup?” kata gadis itu setelah ia berhasil duduk dengan benar. “Kau yang menolongku?”

Litus tidak menjawab karena sibuk memanahi pteranodon yang sudah dekat.

“Di depan!” seru si gadis skater.

Litus menoleh ke depan. Dua ekor pteranodon berhasil mencuri jarak dan mematuki anjing-anjing salju penarik Snowman.

“Aver! Merry! Shawn!” Litus memekik pilu melihat tiga boneka saljunya hancur menjadi es serut. “Hentikan!”

Ia menjatuhkan kedua pteranodon itu.

Namun, keadaan sama sekali tidak membaik. Dari dua ekor yang jatuh, empat ekor datang menyusul. Dan jumlah itu semakin berganda.

“Kalau begini tidak akan ada habisnya ....”

Tangan Litus terhenti di senar busurnya. Ia teringat si kesatria yang mati dengan mengenaskan. Apa dirinya dan gadis itu akan mengalami nasib yang sama?

Litus nyaris memejamkan matanya—menerima takdir—sebelum beberapa pteranodon memekik secara serentak.

Bola-bola cahaya melesat dari langit dengan gerakan terarah, seperti peluru, atau tombak, menembus tubuh para pteranodon.

Bayang-bayang besar jatuh menaungi Snowman. Litus mendongak, dan melihat sebuah kereta kuda hitam melintas di atas mereka.

“Hama pengganggu,” ucap gadis berambut putih dan bertanduk yang berdiri di atas kereta kuda itu. Ialah yang mengendalikan bola-bola sihir tadi.

“Kau—,” Litus memulai berbicara, tapi si gadis skater memotongnya.

“Hei! Terima kasih sudah menolong kami!”

Si penunggang kereta kuda melirik ke bawah. Wajahnya menunjukkan ekspresi jijik, seakan Litus dan si gadis skater telah membunuh anjing peliharaannya.

“Namaku Sephiria! Dan ini, ah, siapa namamu?” si gadis skater—Sephiria Aida—bertanya pada Litus.

“Litus,” jawabnya singkat.

Sephiria melanjutkan, “Di depan masih banyak monster, bagaimana kalau kita maju bersama-sama!”

Si gadis bertanduk menjawabnya dengan nada dingin, “Aku tidak tertarik bekerja sama dengan orang-orang lemah.”

Gadis bertanduk itu menunjuk ke arah Snowman. Bola-bola magisnya melesat menghancurkan boneka-boneka salju yang tersisa.

Tanpa sihir yang menariknya, Snowman kehilangan daya apung. Kereta luncur dan kedua penumpangnya itu pun terjun bebas menuju laut.

“K-kenapa ...?” ujar Litus di sela-sela napasnya.

Ia mendongak ke arah si gadis bertanduk. Tanpa menoleh ke belakang lagi gadis itu berlalu.

“KITA JATUH! PEGANGAN!” Sephiria memecah lamunan Litus.

Mereka pun bersentuhan dengan permukaan laut.

Jatuh dari ketinggian seperti itu, permukaan air terasa seperti permukaan beton. Litus merasa tubuhnya seakan remuk luar dan dalam.

Ia berenang dengan susah payah ke permukaan. Arus laut di sana begitu kuat, ia harus terus bergerak jika tidak ingin terseret jauh.

“T-tolong!” teriak Sephiria.

Gadis berbandana merah itu terlihat mengapung sambil berpegangan pada Snowman.

“Sephiria!” Litus ingin menolongnya, tapi arus laut terlalu kuat, jarak mereka semakin melebar.

“Sial ...,” Litus kesulitan berenang. Pakaian musim dinginnya menjadi berat setelah menyerap air.

Ia menyelam untuk melepas sepatu dan jaket yang memberatkannya. Namun ketika kepalanya berada di dalam air, ia justru melihat sesuatu yang lebih mendesak.

Di kedalaman, seekor mosasaurus tengah mengintainya dengan moncong terbuka lebar.

Litus menghentikan apa pun yang barusan ingin ia lakukan dan menendang dengan keras menuju permukaan.

Ia tidak bisa berenang secepat itu, sementara taring-taring itu sudah mendekat.

Litus menjulurkan tangannya ke arah si buaya raksasa. “Iceberg!

Dari telapak tangannya, terbentuk sebuah bongkah es raksasa untuk memisahkan jaraknya dari sang predator.

Mosasaurus itu menggigit ujung es dan mendorongnya ke atas. Litus ikut terdorong keluar dari dalam air.

Di atas bongkah es yang ia ciptakan, Litus berpegangan erat selagi si mosasaurus menyeretnya ke arah pesisir.

Bongkah es itu menabrak tebing di sisi laut. Litus menggunakan kesempatan itu untuk melompat ke daratan.

“Hahhh ....”

“....”

“Selamat ....”

***

Posisi Litus sekarang berada di ujung area hutan, hampir mendekati tebing, tempat garis akhir berada.

Ia berlindung di bawah sebatang pohon besar untuk beristirahat sejenak.

Seluruh tubuhnya basah kuyup, dan ia masih bisa mengecap asin air laut yang tidak sengaja terminum. Air laut sama sekali tidak memulihkan energinya, malah membuatnya bertambah haus.

Bekal yang ia bawa pun tertinggal di Snowman. Kereta luncur favoritnya yang hilang di tengah laut, bersama Sephiria si gadis skater yang kini terpisah dengannya.

Litus mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia tidak boleh menurunkan kewaspadaannya. Di hutan ini pasti ada banyak dinosaurus yang berkeliaran.

Dengan hati-hati ia menyelusur dari pohon ke pohon. Hutan itu terasa hangat dan lembap, dan setiap kali ada angin yang berembus, tercium pula bau darah yang menyengat.

Litus mempercepat langkahnya. Ia bisa melihat area tebing sudah dekat.

“Tinggal sedikit lagi ...,” ujarnya pelan. Suaranya terdengar kering dan kasar. Ia berharap di garis akhir ada yang menjual minuman dingin.

Selagi berkonsentrasi melewati pohon-pohon dan semak belukar, Litus mendengar kegaduhan di dekatnya. Raungan seekor dinosaurus. Entah jenis apa, tapi pastinya sangat besar.

Ia menduga ada peserta lain yang sedang bertarung.

Anak itu berpikir sejenak. Terakhir kali ia menolong seseorang, hanya ada rentetan nasib sial yang menyusul.

“Ya, itu bukan urusanku. Aku harus bergegas.”

Saat itu, ia melihat seorang peserta lain berlari tergesa-gesa seperti sedang dikejar sesuatu.

“Si penyihir,” tebak Litus. “Kenapa berlari? Di mana kereta kudanya?”

Jawabannya segera muncul dari dalam hutan. Seekor tyrannosaurus tengah mengejarnya.

Tapi ada yang tidak biasa. Seluruh tubuhnya berwarna hitam pekat, dan wajahnya hanya terdiri dari mulut yang menyeringai lebar.


“Ahhh!”

Tyrannosaurus hitam itu berhasil menyusul dan menggigit si gadis bertanduk, lalu melemparnya kembali ke dalam hutan.

“Apa itu? T-rex?” Litus tercengang melihat kejadian aneh itu.

“Perempuan itu ....”

Litus berjalan selangkah.

“Dia sudah merusak Snowman dan menyusahkanku.”

Ia mengambil beberapa langkah lagi.

“Aku ... tidak perlu menolongnya ‘kan? Dia pantas menerima karmanya.”

Raungan dinosaurus itu kembali terdengar, menggetarkan tanah dan pohon-pohon sekitar.

Litus menghentikan langkahnya.

Ia berbalik dan masuk kembali ke dalam hutan.

***

Sedikit lebih jauh di dalam hutan, terdapat bangunan-bangunan usang yang dulunya merupakan laboratorium tempat percobaan kloning dilakukan.

Di salah satu reruntuhan itu seorang perempuan bersembunyi dari pengejarnya.


Gadis bertanduk itu—Fransisca Remington—mengutuk dirinya sendiri karena sudah membiarkan seekor hewan tak berakal mempermainkannya.

Padahal, semua berjalan dengan sangat mudah tanpa ada hambatan yang berarti. Sampai ia mencapai area hutan dan sesosok makhluk hitam menyerangnya secara mendadak.

Makhluk hitam itu telah menghancurkan kereta kudanya.

Ia sudah mencoba melawan, namun tyrannosaurus bayangan itu seakan tidak bisa mati. Cakar iblis dan bola-bola magisnya tidak menimbulkan pengaruh apa pun. Justru, makhluk itu terus menggigit dan melemparnya ke sana ke mari seperti mainan.

“Kurang ajar! Tidak bisa dimaafkan!”

Tubuhnya penuh luka cakaran dan gigitan. Walau ia sudah menggunakan sirkuit sihir untuk lapisan perlindungan, gigitan tyrannosaurus itu tidak main-main.

“Hei.”

Seseorang memanggilnya dari belakang. Padahal, ia sudah memastikan hanya ada ia sendiri di sana.

Secara refleks Fransisca membalik badan, menghunus cakar iblisnya pada siapa pun yang sudah berani membuntutinya.

“T-tunggu!” Orang itu menghindar ke belakang, lalu terjatuh.

Fransisca melompat ke atas orang itu dan menindihnya.

“Kau ...,” Fransisca menghentikan cakarnya.

Orang yang berada di bawahnya hanya seorang anak remaja bertopi rajut biru.

Litus meneteskan keringat dingin merasakan cakar iblis Fransisca berada tepat di atas lehernya.

“M-maaf ..., aku tidak bermaksud mengagetkanmu,” kata Litus dengan hati-hati. “Bisakah kau berdiri dari sana?”

Fransisca bangkit, membiarkan Litus bebas.

Gadis itu memberikan tatapan tak acuh. “Kau ... masih hidup?”

Litus merasa sedikit enggan dengan nada bicara Fransisca yang terdengar angkuh.

“Em ..., ya. Kurasa aku beruntung,” jawabnya.

“Lalu? Kenapa kau ada di sini? Di luar sana ada makhluk jahanam yang mencegah siapa pun melewati hutan. Kita terjebak.”

Litus menggaruk-garuk kepala. “Uh ..., justru karena itu, kupikir akan lebih baik kalau kita bergerak bersama-sama.”

Fransisca mendengus tajam. “Sudah kubilang aku tidak tertarik berkerja sama dengan orang-orang lemah. Aku bisa menanganinya sendiri.”

Fransisca mengaktifkan sirkuit sihirnya lalu melesat keluar dari laboratorium.

“Ah! Tunggu!” Litus mengejarnya.

Pemandangan hutan kembali menyapa mereka. Tidak jauh dari sana terdengar raungan si tyrannosaurus bayangan beserta teriakan peserta-peserta yang kurang beruntung bertemu dengannya.

“Aku tahu jalan yang aman! Ikuti aku!” Litus menunjuk arah tempatnya datang.

Fransisca tidak menghiraukannya dan berlari sekehendaknya sendiri.

“... Uhh.”

Tidak punya pilihan lain, ia yang harus mengikuti Fransisca.

Walau tidak saling bicara, pada akhirnya mereka menunjukkan kerja sama yang cukup baik. Dinosaurus-dinosaurus pemangsa yang mereka temui dapat ditaklukan dengan mudah.

“....”

Fransisca memerhatikan Litus yang berhasil memanah seekor raptor dengan busurnya.

“Mungkin kau tidak seburuk yang kukira.”

“... Apa itu pujian?”

“Jangan diambil hati,” kata Fransisca berlari melewati Litus.

Merasa gadis itu sudah sedikit lebih bersahabat padanya, Litus berpikir mereka dapat menyelesaikan lomba ini tanpa masalah lagi.

Fransisca memberikan aba-aba untuk menunduk.

Di depan mereka, terlihat sang nemesis mondar-mandir mencari mangsa.

“Makhluk terkutuk itu ...,” Fransisca menggertakan gigi dengan kesal.

“Mungkin kita tidak bisa mengalahkannya. Tapi kalau hanya melewatinya, kupikir bukan hal yang sulit,” ucap Litus.

Fransisca memberikan tatapan tidak setuju.

“Kaupikir kenapa selama ini aku kesulitan? Makhluk itu bisa sangat cepat kalau dia mau. Gerakannya seperti bayangan, dan serangan apa pun tidak mempan.”

“Kalau begitu—”

“Kita berpencar.”

“Eh?”

“Kita bagi perhatiannya. Siapa pun yang diincar, dialah yang harus melawannya.”

Gadis itu melompat keluar dari semak-semak lalu berlari ke arah jam dua.

“Tunggu!”

Litus tergagap di tempat, terjebak dalam dilema antara menyusul Fransisca atau menuruti siasatnya.

Anak itu memutuskan.

Ia melompat keluar dan berlari ke arah jam sepuluh, arah yang berseberangan dengan Fransisca.

Tyrannosaurus bayangan memilih mengincar si gadis bertanduk.

Fransisca memunculkan cakar iblisnya. “Baik! Kita selesaikan sekarang!”

Namun sebelum mereka bertukar pukulan—atau lebih tepat cakaran—tyrannosaurus itu berhenti dan meraung keras. Ia membalikkan badan.

Di seberang, Litus telah melepaskan anak panahnya. Ia memanah si tyrannosaurus beberapa kali, memancing perhatian makhluk itu.

“Hei! Kemarilah!”

“Jangan lakukan hal yang tidak perlu!” protes Fransisca.

Gadis bertanduk itu menggunakan bola-bola sihirnya untuk menyerang, namun tidak dihiraukan.

Sang nemesis telah terfokus sepenuhnya pada Litus.

“Tenang, serahkan saja padaku,” anak itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, lalu berseru, “Grim Reaper!

Terjadi ledakan cahaya berwarna kebiruan di sekelilingnya. Cahaya kebiruan itu bermetamorfosis menjadi patung es berbentuk dewa kematian raksasa; sosok kerangka berjubah, sayap malaikat, dan sebuah death scythe.

“Arcadia! Tahan t-rex hitam itu!”

Setelah diberikan nama, patung es dewa kematian itu mulai bergerak. Sosok raksasa itu mengangkat sabitnya lalu menerjang si makhluk bayangan.

Kedua raksasa itu saling bertabrakan.

Di dekatnya, Litus berdiri terhuyung-huyung. Tubuhnya terasa terbakar dari dalam. Ia mengalami overheat karena terlalu banyak menggunakan sihir.

Sang dewa kematian berhasil mengunci tubuh tyrannosaurus bayangan ke tanah. Death scythe raksasanya melingkar di leher sang t-rex.

Ini saatnya lari, namun Litus mulai kehilangan orientasinya. Di matanya, semua terlihat terlalu terang dan berputar-putar.

Ia nyaris tersungkur kalau saja tidak ada uluran tangan yang membantunya berdiri.

“Kau terlalu memaksakan diri.”

Fransisca sudah berada di dekat Litus. Ia memapah pemuda itu agar tidak jatuh.

“Aku ...,” Litus berbisik dengan suara serak, “... haus ....”

“Oh. Tunggu sebentar.” Fransisca merogoh jubahnya dan mengambil sebotol air minum kemasan. “Aku membawanya dari hotel. Kau boleh meminumnya.”

Mata Litus langsung berbinar melihat botol air yang diberikan padanya. Ia segera membukanya dan menghirup isinya sampai habis dalam satu tegukan.

“Terima kasih!” ucap Litus sambil mengelap bibir.

Fransisca memerhatikannya. “Kenapa kau bersikeras membantuku? Padahal aku sudah melakukan hal yang buruk padamu.”

Litus terdiam. Ia terpaku oleh mata gadis itu, yang memiliki warna berbeda. Biru dan merah, gemerlap bagai permata.

Mata yang sudah memikatnya sejak pertama kali bertemu.


Litus membuang muka untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Dadanya berdegup kencang.

“Tidak apa-apa,” jawabnya gugup, “tidak perlu alasan khusus untuk menolong seseorang ‘kan?”

Fransisca menatapnya heran.

“Y-yang penting sekarang, ayo kita pergi! Akan kuberi tahu Ark untuk menahan t-rex itu selama mungkin,” sergah Litus dengan cepat.

Ketika mereka berbalik untuk mengecek keadaan si tyrannosaurus bayangan, ada beberapa hal yang telah berubah.

Dinosaurus yang ditahan oleh patung es dewa kematian itu bukan si tyrannosaurus bayangan. Tapi hanya tyrannosaurus biasa. Memiliki mata, hidung, dan berkulit hijau. Dan dia sudah mati.

“Apa yang terjadi?” tanya Litus.

Fransisca dapat menduga beberapa hal, seperti, adanya makhluk bayangan pengambil alih tubuh makhluk atau benda lain. Tapi ia menyimpan teori itu untuk lain kali.

“Entahlah. Setidaknya sudah tidak ada gangguan lagi sekarang.”

Litus menatap patung es yang ia ciptakan untuk terakhir kali. Dewa kematian itu pun meretak, dan hancur berkeping-keping dengan sendirinya.

***

Rintangan terakhir Isla Wunder adalah tanjakan tebing yang curam.

Sebagian peserta mendaki tebing tersebut dengan tangan kosong karena kendaraan mereka tidak bisa bergerak vertikal.

“Kau bisa memanjat?” tanya Fransisca.

“Ya,” jawab Litus. “Tapi, seandainya saja ada Snowman ....”

“Ah! Akhirnya ketemu!”

Sebuah suara terdengar dari belakang mereka.

“Tikus! Aku mencarimu ke mana-mana!”

Itu si gadis skater berbandana merah.

“Sephiria?” balas Litus. “Tunggu. Siapa Tikus? Namaku Litus!”

“Ah, maaf, aku sedikit lupa karena sudah lama kita tidak bertemu. Hehe.”

“Aku pikir belum sampai satu jam  ....”

“Yang penting, aku senang kau selamat! Arus laut itu benar-benar gila! Apa kau melihat super crocs itu!? Kupikir aku akan ditelan hidup-hidup!”

Sephiria terus mengoceh tanpa henti, membuat suasana di sana menjadi lebih ringan.

Mereka berkenalan lagi dari awal dan saling bertukar informasi.

“Maaf, aku telah melakukan hal yang tidak perlu dan membuat kalian susah,” kata Fransisca.

“Tidak usah dipikirkan,” balas Litus. “Kaulah yang menyelamatkan kami duluan. Kalau kau tidak ada, mungkin saat ini kami sudah berada dalam perut pteranodon.”

“Oh iya, Lite, aku punya hadiah untukmu.”

Sephiria menyentuh choker putih di lehernya. Dari ornamen berbentuk huruf ‘x’ di sana, keluarlah benda yang tidak asing lagi.

“Snowman!”

Litus segera menghampiri kereta luncurnya yang ia sangka sudah hilang selamanya. Ia mengeceknya dengan teliti. Tidak ada kerusakan serius.

“Dengan begini kita bisa mendaki tebing ini dengan mudah.”

Ia kembali menciptakan sepuluh boneka salju penarik kereta luncur. Namun, kali ini bukan berbentuk anak anjing st bernard. Sepuluh boneka salju itu berbentuk ubur-ubur yang melayang-layang di udara.

Litus menggabungkan ubur-ubur salju dengan kereta luncurnya hingga terlihat seperti balon udara.

“Itu ... sesuatu,” komentar Sephiria.

“Lucunya,” komentar Fransisca.

“Ayo naik,” ajak Litus.

Ketiga peserta itu pun naik ke atas kereta-luncur-balon-udara-ubur-ubur-salju dan lepas landas menuju puncak tebing.

Di area tebing itu tidak ada begitu banyak dinosaurus. Para predator darat berpusat di hutan, sementara pteranodon berkeliaran di sekitar pantai.

Mereka dapat menikmati pemandangan pulau dengan santai.

Sampai di puncak, mereka turun dan berjalan ke garis akhir.

Ada antrean kecil di depan sebuah kotak yang terlihat seperti peti harta karun bajak laut. Mereka menekan tombol di peti itu untuk mengambil hadiah yang berbeda-beda untuk setiap peserta.

Fransisca yang pertama membuka peti. Di dalamnya ia mendapati sebuah botol kecil yang terbuat dari kristal.

Selanjutnya Sephiria. Di dalam petinya ia menemukan pick gitar multifungsi.

Giliran Litus. Dengan gugup ia menekan tombol peti gacha. Diiringi bunyi klik, peti itu terbuka.

Litus menjulurkan tangan untuk meraih benda di dalamnya; sebuah quiver berisi bermacam-macam anak panah yang telah dimodifikasi.

“Keren.”

***

Komentar

  1. Saya suka suka suka banget dgn gambarnya, penggunaan warnanya cerah dan soft, bikin doki-doki aja nih! apalagi liat si litus yg tersipu sipu asu gitu...! lagian kontras banget dgn kondisi medan tempur yg berdarah2 dgn dinosaurus2 nya yg garang

    Karakter litus, entahlah, saya bisa mendapatkan kesan amit, eh imut-imutnya, mungkin karena didukung oleh gambar yg manis, karena deskripsi litus disini masih kurang, kalah porsi dengan adegan tersipu-sipu asunya XD moga2 bisa ketemu dgn Irene biar bisa diraep XD

    Sejujurnya, ketimbang deskripsi yg kamu sajikan, aku lebih mendapatkannya dari gambarmu, ya benar, satu gambar lebih dapat menjelaskan ketimbang seribu kata2, tapi ini kan kita sdg menulis, bukan menggambar, jadi sebaiknya tulisanmu bisa lebih memberikan deskripsi yang lebih jelas, gak sekedar singkat2 doang, sesuai dgn deskripsi dari gambarmu. seenggaknya biar sama2 fair dgn peserta lain yg gak bisa eh gak menyertakan gambar.

    -7/10 dgn salam penuh cinta dari Irene-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soal gambar... sebenernya udah ditimbang-timbang supaya ga ganggu cerita. Tapi ternyata masih mencolok ya ;w;

      Ok lain kali deskripsinya yang mesti diimprove. Makasih udah mampir!

      Hapus
  2. ini kalo pengaturan paragrafnya gak pendek2 terus bakal lebih oke. dan yah, idem komen di atas. kurang deskripsi padahal pov 3. jangankan deskripsi, reaksi karakter untuk ketemu event A, event B itu kayak b aja. pembeda karakter litus dengan yg lain pun belum kelihatan. entah itu dari cara bertindak, cara mikir, kelakuan yg gak lazim, atau bisa ke plot nyeleneh. nilai 8 udah termasuk effort ilustrasi. -Ifan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Paragrafnya jadi pendek2 karena banyak yang dicut/edit supaya masuk kuota. Mungkin sekitar 1500 words kena pangkas orz

      Anyway makasih udah baca! -Treize, authornya Litus

      Hapus

Posting Komentar