[Ronde 4] Hei Heiheihei - This Might be the End of the Old Man and His Strange Tale

By: Sudar Mansur
Babak kali ini adalah yang paling berbahaya. Heihei mengerti hal tersebut dengan sekali tilik. Sekarang, udara di restoran rusak. Mencium bau lepasnya kekangan gairah membunuh memercepat degup jantungnya.
Dalam erang pelan, ia mendendangkan delapan frasa yang ia ucap kala dunia solot padanya. Namun, rupa pilar teleportasi menggagalkan usahanya. Bentuk tersebut menyengir. Heihei mendengar tawa kencang takdir.
Nama sepasang peserta terucap oleh panitia. Satu per satu. Nyaring, terpampang, tanpa keraguan.
Kehidupan menghilang sedikit demi sedikit dari wajah yang masih menunggu dan yang telah maju. 20 menit yang mengantarai hidup dan mati menekan batin. Seluruh peserta tak berbahagia dan bersenang-senang, kecuali mereka yang punya jiwa rusak.
Dua pemilik nama hanya harus kabur. Namun, mengetahui gelanggangnya adalah pulau neraka membuat Heihei menjerit dalam pikiran. Neraka adalah api, dan api adalah kelemahan mentalnya.
Ia akan hidup lagi kala tubuhnya hancur. Namun, kehancuran tubuh menyakitkan. Rasa sakit yang menggerogoti kala tiap-tiap luasan tubuh remuk selalu muncul kembali pada mimpi.
Kesadarannya bakal tetap ada, memang. Tetapi, merasakan pikirannya mengambang adalah hal terburuk. Tanpa keinginannya, seluruh nafsu, nalar, dan idealisme merangkak bebas di udara. Memuyengkan pikiran yang telah dihantui rasa sakit kematian.
Ia akan menjadi serpihan-serpihan energi spiritual. Tanpa ia mau, ia mengulangi rasa sakit yang ia dapat. Terus-menerus, sampai akhirnya satu bulan berlalu. Namun, kejadian tersebut traumatis. Seolah dunia memerkosanya tiada henti.
Heihei sudah terlalu banyak merasakan kematian yang demikian. Ia tak mau merasakan itu kembali. Meski babak ini menekan dirinya, ia harus menang.

Lalu, saat yang ditunggu datang.
Namanya muncul, berlanjut nama peserta yang menjadi pasangannya.
Padma. Gadis botak berhelm kepala gajah kuning.
Heihei tak pernah bertegur sapa dengannya. Ketika berjalan samping-menyamping dengan Padma, ia tak berbicara. Padma melakukan hal yang sama. Sepertinya ia tak mau membuka mulut.
Pilar teleportasi semakin membesarkan wujudnya pada pandangan. Heihei dan Padma maju ke depan, melangkah menuju arena babak keempat.

Di depan mata Heihei adalah Labirin Andarabhula. Di bawah kaki, warna merah darah menyebar. Di samping, longgok tulang belulang menjadi dinding. Pikiran bahwa hal ini menarik muncul duluan, dan secara refleks ia merogoh saku—mencari telepon genggam. Namun, merahnya tanah memelototi. Pikiran bahwa hal ini menakutkan menggentarkan tangan.
Heihei menoleh ke pasangannya. "Apakah Anda merencanakan sesuatu?"
Padma berdiam. Tak seperti Heihei, ia tak gentar melihat sekeliling. Ketika Heihei kembali mengulang pertanyaan, barulah Padma menyahut.
"Iya."
Hal baik. Heihei menyenyumi Padma. "Bisa beritahu saya? Saya akan melakukan segalanya untuk Anda."
Padma tertawa kecil. Api memijar dari kepalanya. Membesar, lama-kelamaan makin memerah.
Heihei menjerit. Ia jatuh terduduk. Kedua lengannya menutupi wajah. Tawa Padma menggelegar.
"Sayangnya, tak ada dirimu dalam rencanaku."
Perlahan, Padma melangkah mundur. Senyum senang yang polos memenuhi wajah. Padma tak segan mengambil kesempatan. Kesempatannya sekarang.
Padma melihat babak kedua Heihei, sewaktu Tom menggunakan kekuatan lava. Heihei mengambil tindakan drastis mematahkan sayap dan menyangkutkannya di sela lift, hanya untuk kabur dari merahnya lumpur panas. Tindakan kecil tersebut malah meyakinkan Padma bahwa api adalah kelemahan lawannya.
Heihei hanya melihat. Merasakan kobaran api membuat tubuhnya kejur. Keringat dingin jatuh. Matanya membelalak. Merahnya api menakutkan. Mulutnya mencoba melontarkan kedelapan frasa. Namun, ia mengulang-ulang "tangga berpilin" dan "kumbang tanduk."
Api masih menyala kala Padma menjauh. Kemudian api berbelok ke kanan. Labirin kembali gelap. Tetapi, merah tanah seolah bercahaya. Mengingatkan Heihei pada kobaran api barusan. Ia berdiri. Satu kakinya ia taruh ke depan. Namun, ia berhenti.
Hendak ke mana ia? Membalas dendam? Heihei ragu. Kesunyian sekitar membuatnya bingung. Di tengah pucatnya rentetan tulang dan merahnya tanah, suara tinjak keras bergaung. Datang mendekat, dari depan.
Sosok besar menutup cahaya yang sudah sedikit, memberi bayang besar pada dinding dan tanah. Yang Heihei lihat pertama kali adalah tanduk seperti tiang tanpa akhir. Merah, lebih merah dari tanah.
Jubah berwarna serupa berkibar. Heihei teringat pada panji-panji saat perang berkobar. Wajah menyerupai binatang bengis adalah pemilik tubuh sintal tersebut. Ia membuka mulut.
"Kamu telah dikorbankan." Suaranya berat. Tiada serpih keramahan. Kemudian, bibirnya membentuk senyum. Sebuah rupa kekejaman. "Aku akan memburumu."
"Ini bahaya."
Heihei bergumam. Ke kanan, Padma dengan kompornya menunggu. Sosok Astaroth menjadi benteng di depan, menghentikan jalur masuk. Ia hanya mampu ke kiri.
Heihei memacu kakinya. Menjejak tanah langkah demi langkah. Terpaksa masuk ke dalam tempat yang tak ia kenal. Merahnya tanah memedihkan mata. Astaroth masih jauh di belakang. Adrenalin yang mengalir membuat Heihei tak memedulikan sakit pada kaki dan pinggang.
Jarak dirinya dan Astaroth melebar. Dengan begini, ia bakal kabur dengan mudah. Berupa bongsor menyulitkan Astaroth bergerak. Heihei bercekakak cekikik pada rupa Astaroth yang mengecil. Kedua kakinya semakin berpacu. Heihei merasa ia adalah angin, tak bisa dihentikan.
Kecuali, oleh dinding tulang belulang.
Tak ada jalan lain, bahkan setelah berbelok ke tikungan terakhir di ujung. Dinding menghambat Heihei. Semua kesenangan menghantam jalan buntu, tewas berurai. Semua sakit yang ia harusnya rasa memukul tubuhnya sekaligus. Ia menjerit.
Dari timbunan tulang di depan, bentuk astral menyisip keluar. Melihatnya mungkin tanda-tanda bahwa ia kelelahan, namun Heihei yakin itu hal nyata. Bentuk gelembung perwujudan hantu yang sering muncul pada kartun bergelayut di depan.
Heihei bakal tertawa pada horor sekaliber gel konnyaku tersebut, bila ia berdiam dan tidak berubah ke bentuk yang jauh lebih mengerikan.
Ayahnya.
Heihei mengingat informasi babak kali ini. Peserta akan dihantui dosa masa lalu. Namun, yang datang padanya adalah hantu yang sesungguhnya. Menatap wajah keras ayah yang menatapnya balik mendiamkan Heihei.
"Kamu adalah putra tertuaku, Akihito(顕仁). Namun, kamu selalu membenciku. Selalu memusuhiku."
Mendengar hantu ayahnya bicara membuat Heihei kesedakan. Namun, rasa takutnya berubah menjadi kebencian. Apa yang ayah ucap benar. Heihei membencikan sang ayah selalu dan senantiasa.
"Jadi, dosaku adalah membencimu? Konyol. Bagiku itu bukan dosa, pak tua."
Tentu, kebencian adalah salah satu bentuk dosa. Namun, Heihei berkukuh bahwa hal itu wajar. Sayangnya, menetapkan hatinya pada kebencian bukanlah resolusi.
Hantu ayah meledak dengan gemuruh nyaring. Heihei sadar ia masih berdosa. Panitia berucap peluang selamatnya peserta yang tak mendapatkan resolusi dosa adalah sangat minim. Heihei tak peduli.
"Aku akan membencimu sampai dunia berakhir, pak tua."
Itu adalah apa yang telah ia tetapkan.
Langkah kaki besar mendekat, sebagai akibat dari gagalnya resolusi dosa. Heihei terpaku. Kebencian pada ayahnya tak surut, namun ketakutan mengambil alih fokus pikiran. Ia menatap merahnya tanah.
Astaroth dengan langkah tegap menyusul jarak. Heihei berdiri di depan belokan menuju jalan buntu. Telinganya mendengar jelas cekikikan tiada kekang. Tak perlu lama, wajah kejam Astaroth ada di depan mata.
"Apakah kamu mengaku menyerah dan bersedia jiwamu aku ambil, manusia bodoh?" Astaroth bertanya, sesopan yang seorang raja iblis mampu.
Heihei tak menjawab. Iya, dan semua upaya mewujudkan hasratnya pada sang bos berakhir sia-sia. Tidak, namun ia bisa apa? Di sini jalan buntu. Tak ada jalan keluar.
"Saya mungkin memang bodoh." Heihei menyadari fakta tersebut. Ia tak mengelak darinya. "Tetapi, saya tak mau berhenti berjuang."
Ia merogoh saku. Beberapa lembar uang sepuluh ribu yen. Heihei melemparnya ke belakang, ke arah dinding tulang. Uang yang ia lempar raib menjadi angin badai. Badai menghantam timbunan tulang, menyebarkannya. Jalan baru terbuka.
Heihei melanjutkan pelarian. Karena menganggap kanan adalah pilihan buruk, ia membanting setir ke kiri. Suara gelak tawa lepas. "Justru, kamu akan semakin aku buru gara-gara tindakanmu. Kamu memanglah bodoh."
Heihei tak memedulikan ucapan tersebut. Ia terus berlari.
Setelahnya, ada tikungan. Cahaya berkilauan masuk ke mata Heihei. Suara peradaban mengalun. Ada permukiman.
Penduduk labirin adalah makhluk bermiripan manusia. Kulit mereka merah, senada dengan warna tanah. Mereka bertanduk, namun semuanya patah—menciptakan kesan tumpul yang ramah. Sepasang sayap kecil menghiasi punggung.
Hvyt, nama makhluk tersebut, melakukan kegiatan masing-masing. Ada yang bertegur sapa dengan sesama, ada yang bermain-main, ada yang duduk santai di teras. Melihat ketimpangan buruknya lokasi dengan normalnya aktivitas warga membuat Heihei takjub.
Namun, ia tak bisa bertamasya. Suara langkah keras dan pasti dari Astaroth mewaspadakan dirinya. Heihei melanjutkan berlari. Ke arah kanan, menuju ujung kompleks kediaman ketiga. Tetapi, keadaan permukiman menyulitkannya bergerak.
"Permisi! Saya ingin lewat!"
Heihei terpaksa masuk ke dalam lautan Hvyt. Kepadatan warga membuatnya hampir-hampir tak maju. Namun, hal yang sama juga terjadi pada Astaroth. Karena ia adalah pemimpin, beberapa warga mengerubungi dirinya. Astaroth, meski adalah seorang raja iblis kejam dan beringas, harus menyempatkan diri beramah-tamah dengan masyarakat yang ia pimpin.
Heihei bebas dari kejaran Astaroth. Namun, ia harus segera ke garis akhir. Jika Padma yang mengkhianatinya sampai duluan, maka Heihei tak mampu menerima kebodohan dirinya kali ini. Tetapi, hanya melihat sekeliling tak membuatnya tahu arah yang benar.
Heihei lupa sudah sejauh apa ia berlari. Ia tak menghitungnya. Ia lupa arah mana saja yang ia ambil selepas datang. Rasa senang kabur digantikan oleh hal lain: ketidaktahuan, yang menggerogoti hati perlahan.
Di tempatnya berdiri, ada banyak jalur masuk. Ke kanan, dua di depannya, dan satu jauh menuju kiri. Heihei mesti memilih jalan, cepat. Astaroth membubarkan warga yang sedari tadi mengganggunya. Astaroth tinggal berjalan santai.
"Bajingan…"
Heihei bingung pada keempat pilihan. Ia tak tahu jalur yang ia pilih jalan menuju kebuntuan atau bukan. Tak ada yang tahu. Namun, bila dirinya terus-menerus berhenti, Astaroth bakal mengambil jiwanya.
Bukan sekadar menghancurkan tubuh, melainkan mengambil jiwa. Panitia perlombaan tahu bagaimana cara membunuhnya dengan benar. Heihei mana mungkin selamat kalau jiwanya menghilang. Ia tertawa setengah menjerit kesal.
Putus asa, Heihei mengambil salah satu jalur di depan, yang sebelah kiri. Kakinya lemas, namun ia tetap memaksa maju. Satu tikungan ia lewati. Tikungan berikut mungkin jalur menuju garis akhir. Heihei akan tersenyum, apabila di depan bukanlah jalan buntu.
"Benar-benar bajingan!"
Heihei kembali terduduk. Kakinya kebas. Bernapas pun terasa sakit. Hanya ada ruang kosong di depan. Tak ada jalur menuju kemenangan. Heihei mengacak-acak rambutnya.
"Kenapa keberuntunganku menjadi kacau-balau?!" keluh Heihei. Lagi-lagi, bentuk gelembung putih transparan menyisip dari timbunan tulang belulang. Bentuk itu kembali berubah wujud menjadi ayahnya. Heihei meringis.
"Mau apa lagi kau, pak tua?!" teriak Heihei. Ia tidak senang pada kedatangan ayah, dengan wajah keriputnya yang menjengkelkan dan tak menyenangkan. Ayah menatapnya rendah. "Sewaktu kau hidup pun kau terus memperlakukanku seperti ini: menabur garam pada tiap keputusanku."
"Ini karena kamu tak mendapatkan resolusi atas dosamu," kata ayahnya, berdengus. Heihei tertawa kecil. Sosok tersebut persis melakukan hal yang Heihei ucap. Segala sifatnya mirip dengan ayah. "Karenanya, kemungkinan dirimu kabur hampir mendekati nol."
"Bacot kau, pak tua keparat."
Heihei berdiri. Ia lalu menebas sosok ayah dengan kipasnya. Kipas menembus ayah dan menancap pada dinding tulang. Pasangan ayah dan anak rusak saling menatap. Dalam-dalam, lekat-lekat, serta penuh kebencian masing-masing pihak.
"Apa kamu akan terus-menerus membenciku? Akihito?" Ayah bertanya. Heihei tertawa mendengarnya.
"Tentu. Aku akan selamanya membencimu."
Kembali, bentuk ayahnya meledak. Dengan halilintar dan gemuruh geram. Heihei mencibir aksi gempar tersebut.
"Jatuh dari kudamu dan makan tahi, pak tua."
Heihei berbalik. Ia ingin kembali ke tempat sebelumnya. Namun, sebuah bayangan besar menggelapkan jalur. Astaroth menunggu. "Se-kak-mat!"
Menggunakan bodi besarnya, Astaroth dengan mudah menutup jalur masuk dan keluar. Hanya ada sela kecil yang tersisa, namun Heihei yakin hanya hewan kecil macam tikus yang mampu pergi.
Astaroth menjulurkan lengannya ke depan. Tangannya membentuk tinju besar. Heihei menyiapkan tubuhnya pada serangan yang akan datang kapan saja. "Tangga berpilin… Kumbang tanduk… Desolation Row…" Ia panik. Mulutnya komat-kamit membaca mantra penenang placebo itu.
"Jangan bicara sendiri!" Astaroth melepaskan tinju. Tepat ke arah Heihei. Heihei mundur ke belakang, menghindarinya. Astaroth perlu waktu lama memukul, namun Heihei percaya satu pukulan cukup membunuhnya.
Mudah memang menghindar, namun ini adalah ruang sempit. Kalau dirinya terus-menerus mundur, suatu saat ia akan membelakangi dinding. Ia sekarang berada di belokan menuju jalan buntu. Ia tak bisa selamat lebih lama lagi.
Heihei tak mau menggunakan badai. Uangnya semakin sedikit. Semua koin dan lembaran patut ia hitung.
Terlebih, ia ingin sedikit saja menghajar pasangan yang mengkhianatinya. Meski Bos Genbenkan akan kecewa padanya kelak, Heihei bakal menggantinya dengan pemotongan gaji sendiri. Ia menyimpan uang untuk menghamburkannya di depan wajah Padma sepuas yang ia mau.
Bertujuan baru membuat Heihei tersenyum. Adalah saat yang tepat menggunakan jurus itu. Astaroth kembali menarik tinju, menyiapkan pukulan.
"Jangan menyengir putus asa!"
Heihei kembali mundur. "Tori-ou Danzai Dan!" serunya. Dua klona dirinya muncul di samping kiri dan kanan. Kanan Michizane, kiri Masakado. Kedua nama mereka ia ambil dari wujud reinkarnasi jiwanya sebelum kelahiran dan setelah kematian. Bersama mereka membuat Heihei percaya diri.
"Masakado, serang hidung! Michizane, bantu saya serang badannya!"
"Oke!" ucap kedua klona serentak.
Astaroth tersenyum pada lawannya yang bertambah. "Akhirnya kamu serius juga. Maju!"
Masakado memunculkan sayap. Ia lalu terbang mendekati bagian kiri kepala Astaroth. Tengu mampu memotong jarak dengan cepat, dan Astaroth terlambat melepas tinju. Masakado menggores hidung Astaroth. Heihei dan Michizane melakukan tugas mereka: mengoyak pakaian kerajaan raja iblis yang mewah dengan sabetan ha-uchiwa.
Darah tak mengalir dari bagian tubuh Astaroth yang Heihei kerat. Tak ada luka yang tercipta. Bak benteng besi, tubuhnya menghalau semua bidasan. Heihei berdecak, kecewa tak menorehkan luka.
Astaroth terbahak-bahak. "Konyol! Itu jurus andalanmu? Aku sempat kaget dirimu punya sayap, namun ternyata tetap tak ada gunanya! Serangan kecil macam itu mana bisa menghentikan raja iblis yang immortal dan invincible!"
Astaroth menghajar kedua klona Heihei. Mereka berdua hancur dengan mudah. Heihei mundur, menghindari pukulan untuknya. Namun, timbunan tulang menyegel jalur mundur berikut. Astaroth terkekeh-kekeh.
"Tak ada jalan keluar bagimu. Meskipun kamu menghancurkan dinding, kamu akan tambah aku buru. Aku hendak mengejarmu lebih cepat. Kalau perlu, aku bisa menyuruh wargaku membunuhmu."
Napas Heihei terengah-engah. Wujud manusianya sudah tua dan melemah. Menyobek pakaian saja melelahkannya. Namun, Heihei masih tersenyum. "Begini, ya, Tuan Raja Iblis." Heihei menodongkan jari telunjuknya ke arah Astaroth. Air mukanya berseri-seri. "Mungkin memang tak ada yang bisa mematikan dan mengalahkan Anda. Tetapi, tak ada yang mengatakan bahwa tak ada yang bisa memengaruhi tubuh Anda!
"Tinggikan!"
Heihei menyatakan aktifnya kemampuan ha-uchiwa. Astaroth mengubah bentuk wajahnya, mengungkapkan gering penuh derita. "Apa?! Berengsek!"
Namun… Heihei salah membaca genre. Babak keempat bukan bergenre aksi dengan selipan komedi. Namun, bergenre horor. Hidung Astaroth tak memanjang. Raut wajah tersiksa yang ia buat menjadi ejekan. Kekejaman tiada tara mempersolek wajah Astaroth, membuatnya makin menakutkan.
Heihei kembali mengingat hal-hal penting yang bodohnya ia lewatkan begitu saja. Padma mengorbankannya. Menunjuknya sebagai orang yang harus menderita, sebagai orang yang mendapatkan beban. Tindakan Padma menyegel babak Heihei kali ini.
Ia menderita, dan akan terus begitu. Takdir telah menetapkan hal tersebut.
Terlebih, Astaroth bukan sekadar predator lazim ala film-film aksi. Astaroth mengambil jiwa. Kalau jiwanya diambil, Heihei berakhir. Semua hubungan dengan semesta asalnya terputus. Selesai. Tamat.
Heihei mencoba merangkul harapan, yang tersembunyi di relung-relung keputusasaan. Namun… Hal lembut yang ia rasa bukanlah harapan. Semua harapan telah musnah. Yang ia peluk adalah ketakutan. Kelembutan yang ada di tangan adalah kelembekan.
Kelembekan segala tentang dirinya: kelembekan kekuatan yang tak berguna; kelembekan keteguhan yang telah luluh lantak; kelembekan jiwa yang awalnya waras namun bergeser menuju kegilaan.
Heihei membisikkan sunyi delapan frasa. Namun, mereka hanyalah ketiadaan guna. Produk dari gerakan lidah, paru-paru, dan udara. Tak lebih dari objek di hadapan teror yang murni ngeri.
Namun… Ada satu lagi cara agar ia selamat dari semua penderitaan. Mencari resolusi dari dosa yang ia perbuat, dan peluangnya keluar dari neraka terkutuk tidak lagi menjadi sangat minim. Mungkin tetap bakal minim, namun tetaplah besar.
Sayangnya, harapan tersebut didapat dengan melepaskan kebenciannya terhadap ayah.
"Sampai akhir semesta aku tak akan memaafkan ayah," kata Heihei. Orang tua macam dia bisa menangis kala menghadapi horor macam ini, dan menangislah ia.
Semua pesan yang ingin ia sampaikan telah ia kirim. Astaroth menyenyumi tindakan Heihei. Namun, senyumnya ramah. Astaroth membuat jalan keluar dengan memunggungi dinding.
"Cepatlah lari. Mengambil jiwamu sekarang kurang enak. Kamu perlu bumbu tambahan lagi."
Heihei lantas berlari tanpa keraguan. Melihat punggung Heihei berada semakin jauh di depan membuat Astaroth bercekikikan. Heihei perlu satu bumbu lagi agar jiwanya sempurna dan semakin enak untuk ia santap. Bumbu tersebut adalah tekad baja, yang tak segan mengubah diri.
"Apa ia mampu?"
Astaroth kembali menahan tawa. Tiada yang tahu. Namun, ia menantikannya.

Heihei kembali ke permukiman Hvyt. Dari arahnya sekarang, yang membelakangi ruang tertutup tempat Astaroth menunggu, ia mengambil jalur kiri. Heihei memacu, tak memedulikan mengapa Astaroth melepaskannya begitu saja.
Hanya ada satu hal dalam pikirannya: kabur.
Setelah melewati satu belokan dan jalan lurus, Heihei menjumpai permukiman kembali. Aktivitas Hvyt menyepi. Suara yang ada tak segaduh sebelumnya. Kebanyakan yang Heihei dengar adalah kelengangan.
Namun, rasa senang kabur surut kala ia melihat ada banyak jalur. Di kiri jauh ada. Dari arah jarum jam kesepuluh sampai kesatu pun ada. Melihat hal tersebut memendekkan napasnya. Heihei perlu istirahat segera.
Ia mendekati permukiman, menuju salah satu rumah paling dekat. Ia mengetuk pintu. Tidak keras. Ia terlalu kecapaian. "Permisi, Tuan atau Nyonya pemilik rumah. Saya peserta lomba. Saya ingin meminta bantuan."
"Iya, sebentar!"
Beberapa saat berlalu, pintu terbuka. Heihei merogoh kantong, memberikan beberapa lembar yen bernominal besar. "Izinkan saya beristirahat di sini. Ini uang untuk biayanya."
Pemilik rumah, seorang Hvyt pria, dengan senang hati mengambil uang. Ia lalu mempersilakan Heihei masuk. Heihei menjatuhkan diri pada lantai, di belakang pintu—menutupnya. "Terima kasih atas bantuannya, Tuan."
Hvyt pria tersenyum ramah. "Senang bisa membantu."
Heihei melunjurkan kaki dan bernapas perlahan—beristirahat. Hvyt pria membawa segelas air, namun Heihei menolak. Hvyt pria menggaruk kepala, pergi meninggalkan Heihei sendiri.
Heihei menatap dalam kelopak mata. Semua jalan keluar mustahil. Ia tak mampu melawan Astaroth. Ketakutan dan keputusasaan masih menggerayanginya.
Ia tak bisa melawan. Ia tak bisa tetap berjuang. Ia tak bisa menjaga kewarasan.
Mungkin ini adalah akhir si pria tua dan kisah anehnya.
Seluruh lintasan kehidupannya berjalan cepat pada latar hitam. Ia mengingat senyuman sang bos dan tingkah konyol dua rekan wanitanya yang tak mau akur. Kemudian, dinding besar bertumbukan dengannya.
Ia tak akan lagi menjumpai hal-hal tersebut.
Untuk selama-lamanya.
Tetesan air turun pada pipi.
"Ayah, om aneh ini menangis, lo!"
Suara anak kecil membuatnya membuka mata. Tepat di depan, ada wajah penasaran seorang anak perempuan Hvyt. Si anak memerhatikan Heihei lekat-lekat. Ayah perempuan tersebut, pria Hvyt pemilik rumah, terburu-buru menggendong putrinya.
"Maaf atas kelancangan anak saya, Tuan."
Pria Hvyt membungkuk-bungkuk berulang kali. Putrinya tergelak setiap ayahnya bergerak demikian. Heihei menggeleng. "Tidak apa-apa."
Anak perempuan Hvyt memaksa ayahnya bermain. "Sekarang," katanya tegas. Ketika ayahnya bertanya, "Di mana?", putrinya menjawab "Di sini!" Sang ayah tak mampu menolak. Ia kembali meminta maaf kepada Heihei, karena akan mengganggu istirahatnya.
"Sama sekali tidak masalah, Tuan," kata Heihei, terpaksa. Melihat anak kecil mengesalkan dirinya. Namun, pria Hvyt telah berbaik hati membantu. Heihei harus bersopan-sopan.
Anak Hvyt memaksa ayahnya menjadi kuda-kudaan. Sang ayah memperbuat suruhan putrinya. Gelak manis mereka membuat Heihei ikut tersenyum. Namun, melihat keakraban tersebut juga memilukan Heihei.
Apa ia dan ayahnya melakukan hal-hal sedemikian? Apa ia dan ayah pernah tidak bergumul karena politik? Apa ia dan ayah pernah berdamai dan melepas kebencian? Apa ia dan ayah berperilaku layaknya seorang anak dan ayah?
Heihei tak mau mengingat. Dadanya menyesak. Napas yang masuk kembali terpenggal-penggal. Heihei mengucap delapan frasa candu. Namun, suara yang keluar adalah rintihan serak. Keluarga Hvyt berhenti bermain-main. Mereka segera mendatangi Heihei.
"Om kenapa? Sakitkah?"
"Tuan. Apa Anda perlu air atau semacamnya?"
Melihat keduanya berbarengan panik membuat Heihei tertawa. Napasnya yang berjubel kembali teratur. Ayah dan putri Hvyt, yang merasa Heihei mempermainkan mereka, memasang wajah cemberut.
Namun, dari lantai rumah keluarga Hvyt, muncul gelembung hantu. Itu berubah menjadi ayah Heihei. Ayah menatap dingin putranya. Tetapi, tak seperti yang sebelumnya, kali ini Heihei mencoba mengesampingkan dendam.
Heihei berdiri, menghadap ayah langsung. Keluarga Hvyt saling memagut, takut-takut. Heihei menghela napas. Delapan frasa ia ucap sampai selesai. Kemudian, ia menyenyumi rupa ayahnya. "Bagaimanapun, aku adalah anakmu. Terlebih, kamu mengajarkanku delapan frasa yang selalu aku ucap."
Sewaktu Heihei masih menjadi manusia, ketika ia belum menjadi kaisar bergelar Sutoku, kala umurnya masih delapan tahun… Ia adalah anak yang lemah. Ayah tegas mengajarkannya cara berpolitik dan berperang sejak umur begitu. Namun, ketika malam datang, mereka berdua bercanda sedemikian rupa.
Macam teman akrab.
Ayah menjadi kuda-kudaan untuknya, ayah membacakan puisi-puisi Kanke dan Saigyou, ayah mendongeng sebelum ia tidur, kemudian meninabobokannya. Ayah bukanlah orang yang pandai bernyanyi, Heihei tahu hal tersebut.
Sebagai ganti suaranya yang jelek, ayah mendendangkan delapan frasa yang menyenangkan putranya. Akihito kecil suka menuruni tangga spiral istana. Setiap musim panas, Akihito menangkap kumbang tanduk di hutan.
Ayah mengajarkan bahasa dan penganan kaum barbar dari benua jauh, salah satunya mengenai suatu hukum penjara dan tar buah ara. Ayah memberitahukan kematian orang suci di negeri dekat laut Mediterania. "Meski ada penjara dan kematian, harapan selalu ada," kata ayah, seusai bercerita.
Ayah menasihati Akihito agar berwaspada kepada hal-hal kecil—titik singular—yang ia lakukan. "Perubahan kecil akan berakibat besar." Ayah juga menjelaskan bahwa bunga hortensia—yang Akihito sukai—adalah jenis tumbuhan perdu. Ayah memuji Akihito sebagai seorang bintang rahasia di hatinya.
Ayah, meski menjadi seorang rival berpolitik, tetap dan selalu menyayanginya.
Ayah, yang dahulu ia bayangkan sebagai monster, sekarang berubah. Menjadi sosok lemah dan lembut. Hantu ayah memeluk putra tertuanya. Heihei merasa suatu kehangatan yang telah lama hilang dalam kehidupannya kembali.
Kali ini, sosok ayah tak meledak. Namun, mengurai menjadi butir kristal yang bergayutan. Heihei tersenyum. Kehangatan yang ia rasa memenuhi tubuh, melepas semua lelah yang ada. Ia menemukan resolusi atas dosanya.

Heihei meminta pamit kepada keluarga Hvyt. Ia keluar dari tempatnya beristirahat. Bersangga di dinding samping rumah, ada Astaroth. Ia tersenyum tipis. "Selamat atas keberhasilanmu. Jiwamu telah menjadi lebih sedap. Lanjutkan larimu bila tak mau masuk ke dalam perutku."
Heihei tertawa pada Astaroth. Ia orang baik. Seorang raja yang ramah terhadap warganya. Heihei merasakan ikatan aneh terbentuk di antara mereka. "Dengan senang hati."
Heihei membalik arah, ke belakang. Heihei lanjut berlari. Astaroth mengejar dengan penuh semangat. Seolah ayahnya mengarahkan, ia memilih jalur arah jam kesatu. Ia berbelok di tikungan kiri kemudian kanan. Mengikuti jalan lurus.
Di belokan terakhir, ada berita baik dan buruk. Baiknya, di depan ada sungai. Sebuah kapal motor memangkal di sana. Android NGSR menakhodainya. Buruknya, Padma pun ada. Ia tersenyum sombong.
Namun, bukanlah dendam yang muncul dari hati Heihei. Melainkan, pertanyaan. Padma mesti memiliki alasan mengapa ia berkhianat. "Boleh saya tahu, apa keinginan yang Anda mau kabulkan melalui perlombaan ini?"
Padma tersenyum kecut. Ia menatap tanah. "Aku tak pernah menjumpai orang tuaku. Aku selalu hidup di jalanan, mengais benda-benda yang kutemui. Kalau aku menang, aku ingin uang membeli rumah dan makanan enak."
Heihei memahami gadis itu. Ia hanya ingin kehidupan yang lebih baik. Membandingkan impian miliknya dan milik Padma melecut Heihei. Keinginan mereka sama-sama egois, namun milik Padma lebih mulia.
"Saya ingin membahagiakan orang yang saya cintai, bos, dengan uang yang banyak." Padma hanya menatap Heihei sebagai orang aneh. Namun, Heihei tersenyum. "Karena kita saling ingin mewujudkannya, maka majulah."
Padma membalas dengan senyum kedamaian. Kemampuan [Kompor] menyala. Heihei berlari, sayap gagaknya menjadi pendorong. Padma bingung kenapa Heihei tidak takut. Ia memerahkan api kompornya.
Namun, Heihei telah sampai di depan mata. Tanpa tersentak. Ternyata, Heihei menutup kelopak matanya rapat-rapat. Ia tak melihat api yang Padma buat. Padma berdecak kagum, lalu menarik kapak-palu dari suatu kantong wearpack-nya.
Padma menghunjam kapak-palu ke tubuh Heihei. Namun, kipas menebas tangan Padma. Bidikan lepas, menghantam udara. Heihei tak segan mengentak kipas ke perut Padma. Api kompor meleduk, memadam. Ketika kobaran api yang ia rasa surut, Heihei membuka kelopak mata.
Ia menusuk tubuh Padma. Darah berceceran. Luka yang Heihei beri fatal. Namun, keduanya malah tersenyum. Tipis, namun ada. "Maafkan saya," kata Heihei, takzim. "Saya telah memutus harapan Anda."
Padma menggeleng. Rentetan kenangannya berjalan. "Aku tak punya tempat pulang. Aku ikut perlombaan untuk menang atau mati mencoba. Tidak apa-apa." Perlahan, matanya menutup—kesadarannya larut. Tubuhnya melemaskan tiap-tiap otot.
Heihei tak sanggup melihat kematian. Karenanya, ia menggendong Padma seperti putri tiba-tiba. "Saya enggan membunuh. Tenang saja, Anda akan saya taruh di kapal. Kita akan kembali ke hotel. Harapan Anda masih ada, Nona."
Heihei berlari ke kapal. Setelah menaruh Padma di tempat aman, ia pun ikut masuk. Android NGSR segera melakukan tindakan medis pada luka yang Padma derita. Padma lantas kebingungan. Ia telah mengorbankan Heihei kepada Astaroth. Heihei pasti merasakan banyak penderitaan berkatnya.
"Mengapa kamu menyelamatkanku?" tanya Padma. Heihei, yang sedang asyik memotret pemandangan sungai dengan kamera telepon genggamnya, hanya bercekikikan pada pertanyaan tersebut.
"Bos—pria yang paling aku cinta di seluruh semesta—memerintahkanku menolong orang lain." Matanya menyiratkan kegemilangan. Padma merasa lucu pada ideologi merawak macam itu. Meski android tengah mengoperasinya, ia terbahak-bahak. Luka yang seharusnya terjahit lepas kembali.
Namun, Padma menyenyumi orang bodoh itu.
Ia masih memiliki kesempatan lain meraih impiannya. Heihei pun demikian.
Itulah yang terpenting.
Heihei kehilangan sesuatu hari ini—kebenciannya terhadap ayah, namun ia juga mendapatkan sesuatu yang lebih berharga—kasih sayang ayah yang ia kelupaan. Dirinya telah berkembang. Meski ia bakal terus bertindak bodoh dan serampangan, ia akan tetap berjuang meraih impiannya. Padma pun demikian.
Keduanya akan hidup menyongsong tantangan hari esok.

Komentar

  1. Hmm... kenapa padma di akhir seolah nungguin hei kalau katanya dia sudah mengorbankan hei? astaroth juga agak lucu, bisa2nya dia beramahtamah dulu dgn warga. no big deal, cuma kesan pribadi. yang membuat dahi bikin berkerut, itu malah pemilihan katanya spt "menyenyumi". kesannya janggal. itu hypercorrect. sisanya cukup lancar dibaca. konfliknya jelas dan banyak adegan aksi. sebelumnya maaf baru komentar, padahal udah baca sekitar 4 atau 5 kali. nilai 8 -ifan

    BalasHapus
  2. Parental-Issue itu selalu bikin teriris :'(
    Ada beberapa tulisan2 fatal sih yang bikin kenyamanan membaca berkurang (Makasih ifan udah menuliskan beberapa). Tapi ditengah2 mulai kerasa nuansa Heihei seperti biasanya.

    Somehow partner Heihei itu selalu anak kecil jadi secara ga langsung developementnya menarik.
    Nilai 8 deh dri Tora Kyuin

    BalasHapus
  3. Jadi, akhirnya titel entri ini betulan, ini entri terakhir Hei4. This is so sad, Alexa, play despacito.

    Entri kali ini padanan katanya terasa meningkat ya, ketimbang ronde-ronde sebelumnya. Entahlah karena memang author Hei aslinya kalau menulis begini, saya baca Horuta juga soalnya. Tapi mau yang biasa atau yang begini bagus bagus saja.

    Penggambaran Astaroth dan teror yang diberikan di sini menurut saya paling baik, belum lagi ternyata Hei punya konflik dengan sang ayah. Juga Hei yang harus berkali-kali menolak untuk menerima dosanya, meski pada akhirnya, setelah perjalanan panjang, bertaubat. Seperti komentar sdr Sudar di entri r2 saya, di sini juga saya senang melihat emosi dan semangat Hei yang naik turun.

    Penutupnya juga pas. Saya merasa keputusan Hei kepada Padma benar-benar seperti Hei.

    Dan, ternyata 8 frasa keramat Hei juga sampai dijelaskan makna-maknanya, meski saya tau — ini referensi Enrico Pucci. Saya baca Jojo juga lho. >:(

    Walakhir, sebenarnya saya ngarep Hei kirim entri ronde 5. Ternyata tidak. Semoga BoR berikut berkesempatan ikut, sdr Sudar.

    N : 9

    OC : Worca S.

    BalasHapus

Posting Komentar