[Ronde 2] Nyai Dasimah-Nyai, Penyembah Bealdor dan Pohon Uang

By: Ribato Linda


Nyai, Penyembah Bealdor dan Pohon Uang

Suasana malam di Kota Almnesse memang luar biasa. Dari sudut pandangku sendiri kota dengan kegiatan terbanyak di malam hari ini sangat memuakkan. Meski di bagian barat kota ini dipenuhi dengan jajanan kuliner yang luar biasa enak. Sate kuda, Bistik buaya, dan jangan lupakan ubur-ubur panggang. Aku sangat menyukai semua makanan itu, terutama yang aku sebutkan paling akhir. Akan tetapi, di bagian timur terdapat tempat pendosa menghabiskan uang. Tidak ada cara yang lebih buruk menghabiskan uang daripada berjudi, melempar uang pada penari striptis, atau minum sampai kau terkena epilepsi. Tentu aku sendiri adalah penyembah Dewa Bealdor yang taat. Dengan celana kain dan sepatu pantopel bewarna coklat, mantel bagus juga topi koboi yang trendi, aku cukup percaya diri dengan penampilanku. Membela yang lemah, menjauhi maksiat, juga berbagai pada semua manusia adalah inti dari ajaran yang aku anut. Bealdor adalah Dewa cahaya yang mengalahkan ratu gelap Hel yang telah lama memperbudak manusia. Sewaktu kecil aku selalu ingat, patung Bealdor berdiri dengan gagah di tengah kota mengangkat pedang dengan baju zirah juga jubah yang berkibar. Setelah pemerintahan yang baru berkuasa, patung dirobohkan dan diganti dengan sebuah menara tinggi yang seolah ingin menggambarkan bahwa kekuasaan mereka melebihi Dewa. Aku memang sangat membenci pemerintah. Walau begitu, Dewa Bealdor telah memberi segala hal padaku. Pekerjaan dengan gaji yang cukup besar, rumah kecil dan mobil yang berhasil aku beli dengan menabung, juga yang paling penting adalah calon pengantin tercintaku Elise. Satu minggu lagi kita akan menikah. Itu yang kupikirkan sampai saat tubuhku tiba-tiba kehilangan kendali dan aku diserang rasa pusing yang menyakitkan.
"Adolf rupanya," aku bisa mendengar mulutku berbicara sendiri. "Hmm, nama yang tidak buruk. Energi kehidupannya juga sangat besar. Dia pasti sangat mempercayai Dewa."
Tubuhku mulai berjalan dan mataku menatap tajam ke arah Menara Bebal. Mengetahui maksud pikirannya aku berusaha melawan dan merengkuh kesadaranku kembali.
"Kenapa kau menatap menara itu dan mengambil tubuku? demi Sang Cahaya Bealdor."
Seorang wanita keluar dari tubuhku dengan bentuk yang sedikit aneh. Kau pasti mengetahui bentuk hantu. Tubuh yang lengkap dengan bagian kaki yang mengecil dan terhubung dengan dada–lebih tepatnya jantungku.
"Sudah kuduga orang bermental kuat yang sangat percaya dengan Dewa memang sangat sulit dirasuki." Perempuan itu mengambang sembari bersendekap, mirip sekali dengan layangan.
"Siapa kau sebenarnya? jangan coba-coba menyakitiku karena cahaya Sang Bealdor akan melindungiku."
"Kumohon jangan memulai ini . Aku memang orang yang sangat optimis pada suatu hal. Tapi aku juga orang yang skeptik terhadap Dewa. Ayolah ... mereka itu manusia sama seperti kita."
"Tidak, Sang Cahaya Bealdor adalah penyelamat semua manusia dari perbudakan dan tirani Ratu Hel yang kejam. Sudah sepantasnya aku ... bahkan juga–"
"Kau bisa mengatakan itu pada Dewamu yang berubah menjadi menara. Sekarang ... bisakah kau diam dan biarkan aku merasukimu selama beberapa jam! Aku hantu yang sangat sibuk dan lawanku pun tidak akan menungguku." potong hantu itu.
"Lawan kau bilang? apa yang sebenarnya–"
"Papan besar itu, semua pengumaman di kota ini–apa kau ini buta huruf?" Hantu itu lagi-lagi memotong.
Tiba-tiba hantu itu sekali lagi memasuki tubuhku.
"Ah, ini benar-benar lebih baik. Tapi ... sial sekali aku. Dua kali merasuk ke dalam tubuh seorang laki-laki. Dan kali ini adalah maniak yang menyembah pria dengan besi di seluruh tubuhnya."
Menggunakan tubuhku, perempuan itu mulai berlari ke arah menara Bebal. Aku sendiri masih terkejut karena kini aku yang berwujud seperti hantu tertarik di belakang mengikuti tubuh yang dirsuki hantu perempuan itu.
"Apa yang kau lakukan? cepat kembalikan tubuhku!"
Setelah mengetahui mekanisme gerak dari tubuhku–lebih tepatnya rohku–, aku berusaha melayang mendekati sosok yang sudah diambil alih oleh hantu perempuan itu.
"Apa kau tidak dengar? aku memerintahkanmu untuk mengembalikan tubuhku!" Pekikku keras ke arah telingaku.
"Berhentilah berteriak di telingaku! Itu sangat menyakitkan brengsek!" Teriak hantu itu nampak keasl.  
"Itu adalah telingaku secara teknis dasar hantu sial!"
"Jika kau terus berteriak, aku akan melepaskan seluruh pakaianmu agar semua orang mengira kau adalah orang gila." Ancam hantu itu.
"Jangan lakukan hal itu, jika kau melakukannya aku bersumpah demi Bealdor yang agung–"
"Ya, sebut saja pria bodoh berambut panjang yang patungnya sudah dirobohkan itu," Hantu perempuan itu mulai membuka bajuku. "Sepertinya ... untuk orang yang taat beribadah, kau memiliki tubuh yang bagus."
"Kau benar-benar hantu keparat yang mesum."
Setelah  lelah memaki hantu yang merasuki tubuhku–aku tidak mau berdebat denganmu mengenai ini. Bayangkan saja, kau sedang melayang sambil melihat dirimu sendiri berjalan setengah telanjang sembari mengacungkan jari tengah ditengah kota–aku akhirnya sampai di depan Menara Babel.
"Aku tahu pikiranmu hantu picik," aku menatap menara babel sembari menelan ludah. "Tidak, aku tidak akan membiarkanmu masuk ke menara hina itu."
Seperti orang tuli hantu perempuan itu membuat tubuhku melangkah dalam menara. Diserang rasa panik yang berlebih–walau sedikit memalukan, kau bisa menyebut ini phobia–aku mencoba masuk kembali ke dalam tubuhku dengan melakukan gerakan seperti seorang penyelam handal. Perlahan aku mulai mengambil alih kesadaran, juga kontrol tubuhku. Meski begitu, hantu itu nampak melawan sehingga tubuhku nampak seperti seorang yang sedang melakukan tarian rap.
"Sudah kubilang kembalikan tubuhku dan keluar dari gedung ini!" Aku yang berhasil mengontrol tubuh berusaha untuk berbalik semari meregangkan tanganku untuk memperlambat diriku yang ingin memasuki gedung.
"Kau kira kau bisa mengalahkan Nyai Dasimah yang hebat, Guru Besar Enam Pilar dan Atma Jenius. Ketika aku merasuki seseorang, ketika itu pula dia akan jadi tawananku."
Kami akhirnya masuk ke dalam gedung dengan napas yang tersengal-sengal sebelum akhirnya jatuh lunglai.
"Apa kau mau membuat tubuhku lelah dan melihatku kalah bertanding–kau penyembah patung berjubah!"
"Kau benar-benar orang yang tidak tahu sopan santun. Kau seharusnya sudah tahu namaku, tapi kau tidak pernah menyebutkannya. Aku bahkan tidak tahu namamu, hantu sial yang merasukiku."
"Mari kita mulai ini dari awal. Namaku adalah Nyai Dasimah. Kau bisa memanggilku Nyai untuk mempersingkat saja. Dengarkanlah Adolf, aku sedang mengikuti turnament yang diadakan raja di dunia ini. Aku tahu kau memiliki satu atau dua keinginan yang ingin kau wujudkan. Mungkin aku bisa membantumu–"
"Apa ini," potongku. "Sekarang kau mencoba untuk menyuapku? sungguh luar biasa bobrok moralmu."
"Ayolah, kita bisa melakukan hubungan yang saling menguntungkan. Bagaimana jika aku meminta Raja Rasyid untuk meruntuhkan bangunan ini dan membangun patung Bel ... Bel ... pokoknya aku bisa membantumu."
Aku menimbang kembali penawaran dari Nyai Dasimah.
"Jika aku bisa menumbangkan gedung ini dan membangun kembali patung Sang Cahaya Bealdor, aku mungkin dapat membangkitkan kembali kepercayaan semua orang terhadap ajaran lama kami." pikirku.
Dialiri semangat untuk mengajak semua orang kembali pada jalan yang diberkahi cahaya, tubuhku–aku mulai lelah menyebut ini, rohku yang kumaksud–dipenuhi perasaan yang berkobar.
"Baiklah, tapi beri aku juga kontrol tubuh. Kita akan saling membantu mulai dari sini."
Aku berdiri dan menatap tempat futuristik di hadapanku. Lantai marmer dengan dengan desain Burung Phoenix yang menatap angkuh ke atas, beberapa lift, meja yang biasa digunakan untuk menerima tamu denan desain dinding berlambang H yang diukir dengan indah sebagai simbol dari sponsor yang menyelengarakan event kali ini. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Menara Bebal sungguh indah.
"Baiklah Dasimah, ini adalah pertandingan kedua yang harus kau menangkan. Kali ini tidak ada pria mesum dan kau berada di dalam tubuh yang bagus. Kau pasti bisa melakukan ini." 
Aku terenyak melihat Nyai Dasimah–aku mulai bosan menjelaskan ini. Hantu itu, berada dalam tubuhku dan itu bukan aku, meski itu adalah tubuhku–sedang berbicara seperti orang gila.
"Aku sering sekali melihat ini kepada orang yang tidak beragama. Mereka gila dan sering berbicara sendiri seperti orang gila."
"Maaf–Tuan penyembah berhala–ini adalah caraku untuk menyemangati diriku. Apa bedanya dengan kau yang sedang berdoa dan menyebutkan nama patung yang sudah dirobohkan itu."
Aku ingin sekali membantah kata-kata Nyai Dasimah jika tidak ada suara berisik yang tiba-tiba datang dari arah belakang.
"Itu ...." 
Nyai Dasimah berlari untuk memastikan suara berisik yang dia dengar. Setelah berlari beberapa meter, dia menemukan seorang anak kecil yang menaiki bintang aneh–hentikan, aku tidak mau mendeskripsikan hewan itu. Terutama wajahnya dan juga sesuatu di punggunya. Untuk orang beriman sepertiku hal itu sangat tidak beradap.– sedang berjingkat kegirangan.
"Demi kegadisan para perempuan! Itu benar-benar menyenangkan Flipbbarf."
Setelah berteriak kegirangan sepertinya gadis itu menyadari keberadaan kami.
"Apa paman berkumis aneh ini yang akan menjadi lawanku? aku rasa ini adalah hari yang buruk untuk paman. Paman akan hancur seperti Nudiustertian itu."
"Gadis kecil," Nyai Dasimah menggerakan tubuhku ke arah anak kecil itu kemudian melakukan gerakan menjitak dengan kedua tangan. "Memangnya kau pikir dengan siapa kau berbicara!"
Gadis kecil itu mengerang kesakitan dan membuatku merasa iba.
"Hei, haruskan kau melakukan kekerasan kepada anak kecil itu?" tanyaku.
"Anak kecil, apa kau tidak lihat makhluk aneh yang dia bawa? kau lihat di puggung makhluk itu?" teriak Nyai Dasimah.
"Itu adalah pohon uang. Bayangakan berapa banyak Ubur-ubur panggang yang bisa kau beli dengan itu." Tanpa sadar aku meneteskan air liur.
"Berhentilah melakukan hal yag menjijikkan kau 'orang yang beriman.'."
Gadis itu menyentuh celana kain bewarna coklat yang aku pakai kemudian menggoyangkan tangannya sedikit.
"Kenapa paman berbicara sendiri? apa paman sudah gila?" gadis itu memiringkan kepala, memasang ekspresi polos pada wajah.
"Aku bukan orang gila!" Teriakku dan Nyai Dasimah secara berasamaan.
Kami terus berdebat hingga membuat anak itu bosan dan memutuskan untuk pergi.
"Bukannya kau sudah setuju bahwa kita akan bekerja sama untuk memenangkan pertarungan ini."
"Aku menyetujuinya dengan syarat kau membiarkan aku mengontrol tubuhku."
Saat kami menjadi semakin panas–aku tidak menyarankan kalian untuk berdebat dengan seorang gadis dan juga seseorang yang fanatik–Nyai Dasimah menyadari bahwa anak kecil juga hewan yang dibawanya menghilang.
"Anak itu ...," Nyai Dasimah mengerang sambil memegang kepala kuat-kuat. "Dia pasti sudah naik lift dan sampai di puncak menara sekarang."
"Apa kau tidak memiliki kemampuan terbang atau semacamnya? dari tadi kau terus mengoceh mengenai jeniuslah, gurulah." Sindirku.
"Jika kau mau seluruh tubuhmu berlubang akan kulakukan." 
"Kalau begitu kita naik lift agar lebih cepat sampai di lantai atas."
***
Kami akhirnya sampai di lift staff setelah bertemu dengan gadis kecil yang masuk ke dalam lift staf sembari memberikan salam tidak sopan–kau pasti mengetahuinya, menurunkan kelopak bawah mata dengan tangan dan menjulurkan lidah. Benar-benar ciri khas dari anak-anak– kepada kami. Berkat itu aku mendengar umpatan Nyai Dasimah–meski aku tidak mengetahui bahasa yang dia pakai, tapi aku tahu bahwa hantu itu sedang mengumpat – dengan menggunakan lidahku. Aku dapat menangkap satu kata-kata yang sedikit tidak jelas. Hmm ... sesuatu tentang Lento–kalau tidak salah–hingga membuat diriku yang bermoral ini menangis. 
"Maaf sebelum anda masuk ke dalam lift, bisakahah kami cek identitas anda." 
Pria berbaju serba hitam mulai melakukan scan dengan menggunakan alat aneh ke seluruh tubuhku.
"Maaf sepertinya anda tidak terdaftar dalam lomba ini. Anda yang merupakan penduduk biasa harusnya tetap berada di bawah."
"Cih, aku benar-benar sudah tidak sabar." Nyai Dasimah yang berada dalam tubuhku nampak kesal.
Nyai Dasimah memerintahkan bola roh yang ada di belakang tubuhku dengan kedua jari–telunjuk dan tengah– dan melempar kedua penjaga hingga mereka pingsan. Hal itu menjawab pertanyaanku mengenai kegunaan keenam bola bulat yang melayang di belakang punggungku. Tanpa ragu Nyai Dasimah menaiki lift–tentu saja dia tidak cukup pintar untuk mengoprasikan lift itu, jadi aku terpaksa membantunya–dan pelan tapi pasti kami menuju lantai yang paling atas.
"Aku penasaran, kenapa kau sampai report-report mengikuti lomba ini? apakah kau hantu penasaran yang masih memiliki beban?"
Aku bisa merasakan sedikit kenangan menyedihkan muncul pada memoriku.
"Awalnya aku mengikat rohku agar tidak berenkarnasi adalah karena balas dendam kepada pria yang membunuh seluruh sukuku. Akan tetapi, setelah bertemu dengan bocah keriting itu, aku sadar bahwa bertahun-tahun hidup lalu mengikat rohku ke dunia ini tidak berarti. Aku hanya ingin mengajarinya seni enam pilar sebelum benar-benar lenyap."
"Jadi reinkarnasi itu ada?"
"Aku tidak mau menjelaskan ini secara rinci. Yang pasti di duniaku, semua orang ingin mencapai moksa dan beberapa mencari cara menjadi Dewa dengan meningkatkan kemampuan mereka hingga mencapai Awatara." Nyai  Dasimah membuat ekspresi malas saat menjawab pertanyaanku.
"Hei, setidaknya kau tunjukan sopan santun setelah meminjam tubuhku dengan menjawab pertanyaanku secara antusias.  Lagipula, masih tujuh puluh lantai lagi sebelum puncak."
Kami banyak sekali membahas konsep kehidupan, Dewa dan Sang Pencipta hingga tanpa sadar kami menjadi semakin akrab.
***
Ketika kami sampai di puncak menara, nampaknya anak kecil itu telah membuat kedua tuas naik ke atas–sekadar info untukmu. Kami berbagi pikiran dan kenangan ketika berada dalam satu tubuh. Meski, sangat susah untuk mengakses seluruh informasi dari roh perempuan bernama Nyai Dasimah ini–hingga beberapa warna lampu menjadi bewarna emas.
"Bukannya seharusnya kau menghentikan dia?"
"Kau terlalu brisik!" 
Nyai Dasimah memasang ekspresi serius pada wajahku. Secara tiba-tiba rohku tertarik keluar dari dalam tubuhku. Mengetahui hal itu aku berusaha menyelam kembaliu ke dalam tubuhku. Seperti menubruk sebuah besi, sepertinya perempuan itu menggunakan suatu cara agar rohku tidak masuk.
"Sekarang biarkan aku yang bertarung, 'orang beriman'."
Nyai Dasimah menyeringai. Dengan sekali gerakan dia membuat sayap di punggung dan menekan tuas. Menghentikan gadis kecil itu dari kemenanganya. Nyai Dasimah sekali lagi melayang ke sisi kiri tuas dan menarik tuas itu ke bawah dan merubah lampu menjadi bewarna pink.
"Baik gadis kecil. Aku bukanlah orang yang pendendam. Aku akan melupakan kejadian di lift jika kau membiarkanmu menarik panel itu." Nyai Dasimah bersendekap.
Dengan ekspresi menyedihkan gadis itu memegang pannel dengan erat.
"Tidak, aku tidak mau melepas ini. Aku akan menang dan menciptakan konten besar mengenai pertandingan ini." Ketus Gadis kecil itu.
"Kalau begitu," Nyai Dasimah melempar satu bola roh ke arah panel dan membuat anak kecil itu tepelanting. "Aku tidak perlu bermain-main lagi."
Nyai Dasimah memegang panel dan untuk satu detik memastikan kemenangannya. Namun, sesosok hewan berkelibat sangat cepat dan memukul Nyai Dasimah hingga Nyai Dasimah membentur dinding atas yang terbuat dari kaca khusus.  Nyai Dasimah jatuh dengan dan memuntahkan dari segar dari mulut.
"Hei, beberapa hari lagi aku akan menikah. Apa kau ingin membuatku bonyok ketika hari itu berlangsung?" tanyaku panik.
"Apa kau buta, aku berusaha keras untuk menang,"Nyai Dasimah berusaha keras berdiri memegangi perut yang terkena cakar sembari menyeka mulutnya yang berdarah. "Juga ... apa kau tidak lihat makhluk itu."
Rohku yang masih terhubung dengan tubuh mendapati sesosok kucing kecil–menurut perkiraanku adalah setinggi gadis kecil–hei dimana gadis kecil itu ngomong-ngomong–dengan sikap penuh permusuhan menatap kami sambil menjilati cakarnya.
"Hei, apakah itu adalah gadis yang tadi?" tanyaku penasaran.
"Sepertinya begitu." Jawab Nyai Dasimah yang masih memegangi perut.
"Demi kegadisan para perempuan! kenapa aku harus mendapat lawan orang gila seperti ini. Paman Berkumis aneh, berhentilah berbicara dan hadapi aku seperti pria jantan."
Aku bisa merasakan kemarahan mengaliri Nyai Dasimah. Meski begitu, nampaknya Nyai Dasimah hanya diam untuk menjernihkan pikiran. Saat itulah gadis kecil itu menghilang sepertin angin.
"Nyai!"
Aku ingin memperingatkan Nyai Dasimah. Namun, nampaknya Nyai Daimah mengetahui hal itu dan memerintahkan dua bola roh mengelilingi dirinya.
"Pilar kedua, gelombang Roh."
Saat gadis itu muncul secara tiba-tiba di belakang kami, tiba-tiba dia terpental dengan secara dramatis–kau bisa membayangkan bola tenis yang dimuntahkan mesin otomatis– dan mengahantam dinding yang terbuat dari besi hingga membentuk cetakan manusia setengah hewan itu. 
"Kurang ajar kau paman kumis aneh," Gadis itu menggeram "Aku akan mencukur kumis paman hingga habis."
"Baiklah, aku tidak menyukai humornya mengenai kumisku. Memang kumisku sangat tipis dan hampir menyerupai bentuk jendela yang biasa digunakan untuk mengintip. Tapi menurutku kumis ini sangat berkelas. Kau bisa bertanya pada tunanganku jika kau mau," batinku. "Nyai sekarang ini bukan soal kompetisi, ini adalah masalah pribadi. Hajar dia atau kudoakan kau menjadi hantu selamanya."
Gadis itu sekali lagi bergerak dan berhasil mencabik celana dan juga sepatu pantofel milikku
"Berhentilah berteriak di telingaku brengsek," teriak Nyai Dasimah yang kini berada di angkasa."Beruntung aku mengambil tindakan cepat dengan melayang."
Aku kembali mencarri gadis itu yang ternyata mengambil pose, menekuk kaki dan bersiap untuk meloncat. 
"Nyai!" Aku berusaha mengingatkan Nyai Dasimah.
"Sudah kubilang dia cuma anak kecil." 
Nyai Dasimah membuat bola roh sementara gadis itu melayang dengan cepat ke arahnya. Dengan gerakan indah Nyai Dasimah melempar bola roh dengan pelan, menghilangkan sayap di punggung hingga dia jatuh dan membuat anak perempuan itu menabrak bola roh. Anak perempuan itu terpental berputar di udara dan jatuh menabrak panel dan membuat panel itu turun ke bawah.
"Tidak bisa di maafkan!" 
Lingkaran yang ada di atas kepala anak itu meresap di dahi. Selembar uang muncul dan berubah menjadi sosok yang menakutkan. 
"Tidak mungkin, penguasa kematian, Dewa dari alam bawah, Yama. " Nyai Dasimah menelan ludah dan menarik kartu yang dia menangkan di ronde pertama.
"Tidak ... tidak  ... tidak, aku tidak mengizinkan kalian untuk saling bunuh saat ini."
Penyelenggara turnament muncul–aku tidak perlu menjelaskan siapa dia. Dia adalah Raja brengsek Rasyid yang telah mengubah patung Bealdor menjadi menara jelek ini. Raja Rasyid melemparkan sebuah benda kecil yang langsung menyerap sosok menakutkan yang diliputi api bewarna hijau.
"Nyai Dasimah, kau memanangkan ronde ini." Raja Rasyid tersenyum.
"Apa-apaan sebenarnya anak itu," tanya Nyai Dasimah. "Hei, katakanlah bagaimana bisa kau memanggil Raja Kematian Yama dengan mudah?"
"Cukup Nyai Dasimah, pertandinganmu sudah usai. Untukmu Adolf, makan pil ini agar lukamu sembuh."
***
Aku turun ke bawah menara dengan Nyai Dasimah yang telah melayang keluar dari tubuhku.
"Makanlah pil itu. Jika aku menang, aku akan mengembalikan menara ini seperti semula."
Mentari mulai muncul dan membuat diriku menjadi sedikit melankolis. Diamlah! Semua orang bisa menjadi melankolis ketika melihat matahari terbit.
"Apakah jika aku meminum pil ini aku akan kehilangan memoriku tentangmu?"
Nyai Dasimah nampak terkejut dengan pertanyaanku.
"Jangan khawatir, aku adalah orang yang menepati janji. Aku berdoa agar setelah ini kehidupanmu bahagia bersama tunanganmu."
"Begitu," Aku mendesah kemudian memandang Nyai Dasimah dengan mata yang berkaca-kaca. "Kalau begitu terima kasih hantu tidak beradap, aku juga mendoakan agar kau dapat kembali bertemu dengan muridmu dan mengajarinya seni enam pilar yang hebat itu. Aku rasa dalam kehidupanku yang monoton, satu hari ini begitu menakjubkan."
Aku tersenyum lalu menenggak pil itu.


Komentar

  1. Apa yang saya suka dari entri ini :

    + Interaksi Nyai dan Adolf. Adolf di sini terkarakterisasi dengan baik, sungguh.
    + Narasi yang terkait dengan latar tempat Almnesse bagus, membayangkannya jadi mudah.

    Apa yang menurut saya mengganjal :
    - Typo yang terlalu banyak sampai ke taraf mengganggu. Contohnya, report-report, wtf fam. Menara Bebal sama Babel juga sering ketuker-tuker.
    - Kamu merujuk Gubbins Lollygag yang laki-laki sebagai gadis kecil, really? Do you even read the CS? Ini bener-bener fatal. Apa sdr Ribato(?) tidak riset? Kekuatannya Gubbins juga tidak digunakan secara maksimal, ya.
    - Kesannya Adolf jadi karakter utama di entri ini. Melahap spotlight kedua OC BoR tersebut(?).
    - Jujur penulisan battlenya kurang smooth. Opini saya aja.

    Cuma mau tanya saja :
    - Tidak ada. Lebih ke saran : berhubung deadline juga masih lama, bahkan sekitar 20 entran lebih juga belum kirim entri ronde 1, agaknya tidak perlu terburu-buru. Proofread sedikit would not hurt, right.

    Saya titip 6 dulu. Berharap Nyai dan Authornya berkembang di ronde berikut. Maaf dan semangat.

    OC : Worca S.

    BalasHapus
  2. Lagi-lagi, paragraf pertama dipenuhi wall of text yang membuat mata saya sakit. Alangkah lebih baik apabila paragraf pertamanya dipotong menjadi bagian-bagian kecil.

    World building dari kanon panitianya bagus. Karakterisasi Adolf pun terbangun dengan pas. Sayangnya, Adolf menjadi fokus cerita dibandingkan dengan Nyai.

    Interaksi antar Adolf dan Nyai pun terlalu memakan banyak jumlah kata, menjadikan porsi battle-nya teramat sedikit. Namun, deskripsi tempat dan kejadian yang singkat dan jelas serta padat memudahkan saya membaca.

    Namun, karakter tambahannya, Gubbins, sangat kurang. Di narasi ia disebut sebagai gadis, padahal ia laki-laki. Terlebih, kalimat yang ia pakai terlalu mengikuti CS dan jadinya jatuh ke kaku.

    Tak ada pengembangan dan interaksi yang bermanfaat antar Nyai dan Gubbins. Battle Gubbins pun terhenti oleh Rasyid yang datang out-of-nowhere, membuat tension yang telah dibangun sebelumnya cukup percuma. Rasyid pun salah disebut sebagai raja, padahal setahu saya Rasyid adalah ilmuwan megakorporasi NGSR. Yang jadi raja Esmetas adalah Raja Mellow.

    Overall, entri kali ini tercipta dengan terlampau buru-buru. Meski, ya, saya juga tak berhak mengatakan demikian karena semua entri saya pun juga buru-buru. Saya kurang bisa menikmati pertandingan yang terjadi, padahal Gubbins yang lumayan OP mampu membuat Nyai yang cukup manusiawi bersinar.

    Saya beri nilai 6/10. Tetap semangat!

    OC: Hei Heiheihei

    BalasHapus
  3. calon komeng sy udah diborong sm suhu2 di atas, terutama soal poin kekurangan. sekarang sy pengen ngomongin bagusnya sj. walau karakterisasi 2 entrant ketutup sm char random, sy seneng interaksi yg terjadi. dialognya enak diikuti dan lucu. tp aneh aja, kenapa dr sekian byk orang malah milih adolf yg susah dirasuki dn potensi bikin ribut? ktanya kota maksiat, so mgkin dis ana ada mafia, tukang tagih atau apa yg fisiknya lebih kuat. mgkin sy melewatkan sesuatu jd, koreksilah kalau salah. sy kasih nilai 7. -Ifan

    BalasHapus

Posting Komentar