[Ronde 3] Ifan - Perfect Imperfection

By: Nameless Ghoul
#1
Since dawn of time the fate of man is that of lice
Equal as parasites and moving without eyes
A day of reckoning when penance is to burn
Count down together now and say the words that you learn—

HIME HIME!! HIME!!
SUKI SUKI DAISUKI
HIME!! HIME!!
KIRAKIRARIN «

Bersama mulainya reff lagu wibu klise yang dibawakan Soraya langsung, kencangnya mengalahkan "Year Zero" yang kustel dengan headset, ronde ketiga dimulai. (Aku curiga sebenarnya hanya dibawa ke pulau isolasi di bumi bukan di dimensi lain tapi nanti saja kubahas). Pakaianku tiba-tiba berubah jadi hitam. Aku masuk Faksi Gurun. Tanda kemenangannya adalah kontak fisik dengan panitia robot bernama kearab-araban di atas kapal udara.

Yang paling seru dari semua adalah aku diberikan sepuluh boneka petarung mirip aku. Kusebut mereka Tiny Ifan™. Dan karena mirip denganku, salah satu dari mereka menyelinap kabur. Dua lagi mengaku terkilir di tengah konser. Aku mengacungkan jempol, pasrah.

Sebenarnya aku tak mau unjuk gigi. Aku benci menarik perhatian dan membuat orang berekspektasi. Tapi kalau karena itu aku diabaikan dan dijahili pada akhir pekan, aku tidak tahan juga. Jadi, di tengah kerumunan yang tengah menyusun siasat, aku berdehem keras. "Ohayou minna, aku punya strategi."

"Ke mana saja kau?" tanya preman berambut hitam-hijau. "Strategi baru saja diputuskan dan kita sepakat."

Aku mengernyit. "Oh ya? Kukira kalian melihat bola ngomong."

Praktis orang sebal. Kerumunan bubar. Aku menarik orang berkostum superhero dan bertanya, "Apa rencananya?"

"Fokus menyerang dan ada yang menyelinap, Nak, begitulah intinya," jawab superhero.

"Bagaimana dengan pertahanan, goblooook!?" Aku ingin menjambak rambutku atas keluguan yang terjadi. "Siapa bertugas menyentuh Rasyid?"

"Siapa pun yang ditugaskan menyusup. Aku dan Nona Izetta bertugas jaga."

"Monyet." Kuperintahkan Tiny Ifan siap dengan Avant-Garde masing-masing, dipimpin olehku. Rasyid milikku seorang. Persetan dengan melawan peserta lain. Kenapa sih di dimensi ini masih banyak saja manusia tolol?

Suara Soraya si basic bitch membahana. "Ganbatte, Tim Gurun! Pastikan kemenangan kita!"

Ada yang memanggil-manggil. Ternyata pria dengan jas lab dan kacamata. Tidak tampan, tapi beraura intelektual. "Aku ingin menumpang."

Baru ingin menanyakan identitasnya, aku segera teringat dia barangkali bola shapeshifter. "Tom? Tahu saja seleraku."

Kubiarkan dia masuk, dengan pengertian apa pun yang dilakukannya takkan terlalu menyusahkan mengingat satu tim. Kelima tiruannya masuk Avant-Garde tiruanku, dan sisanya dalam wujud bola mini. Kami pun melesat.

Aku masih ingin marah dengan formasi tim, tapi sadar strategiku belum tentu lebih baik. Tenang, Ifan, kau harus menerima. Walau aslinya bola, peserta bernama Tom itu konon terbukti kecerdasannya. Aku juga sudah pernah mengobrol beberapa kali dan memastikan itu benar.

"Aku penasaran," kata Tom, "kamu mengatakan punya strategi. Bolehkah aku mendengarnya?"

"Tidak terlalu hebat sih. Intinya, aku akan menempatkan lebih banyak di pertahanan, dengan salah satunya Dian si hantu, dan mengirim si bocah virus di garda serang. Karena aku tahu hantu dengan skill teleportasi di tim seberang. Hantu lawan hantu, itulah yang kupikirkan. Lalu aku dan kau, salah duanya, bertugas menyentuh Rasyid. Kau bisa berubah wujud sementara aku bisa menghilang. Bukan lewat tiang teleportasi tapi langsung ke kapal. Itu gambaran awalnya. Kalau saja orang mau mendengarkan dan memaparkan skill masing-masing, strategiku bisa lebih mendalam."

"Fokus garda belakang? Itu terdengar sangat pesimistik. Aku percaya bahwa tim bisa menang dengan efisien bila mengerahkan sumber daya ke garis depan." Ajaib, ternyata dia mau mendengarkan.

"Bukan pesimis," debatku, "ada yang kuat sekali dalam tim kita dan sayang kalau diletakkan di belakang. Kau malah menempatkan yang sedang-sedang saja di garda serang seperti mau mengumpan. Lagipula bagaimana kauyakin tim musuh tidak memperhitungkan penyusup?"

"Tidak, kamu keliru. Strategiku lebih tepat dalam hal ini karena banyak peserta kuat pada tim."

Kunaikkan piring terbangku jauh dari jangkauan unta terbang, tapi laju lambat karena tak ingin hilang arah. Tiny Ifan mengikuti. Sambil memiringkan kendaraan, dari balik kaca, kulihat orang-orang bergelut di tengah padang pasir. Berbagai ledakan, tabrakan sinar, kendaraan yang jatuh lagi dan lagi menghiasi pandangan. Dasar bego, malah ada yang memilih unta biasa sebagai kendaraan.

"Katakanlah kekeliruan ada padaku. Tetap saja, formasi defensif membuat kemenangan terhambat, bahkan membuat sia-sia garis depan. Mereka justru akan mudah dihancurkan. Kusimpulkan kamu terlalu antisipatif terhadap kekalahan cepat." Tom tertangkap menilik tasku. "Tapi, kamu jelas lebih berlogika. Lain waktu dalam pertempuran tim, akan kupertimbangkan perkataanmu."

"Sebuah kehormatan." Aku ingin mendebatnya lagi, tapi malas. Ngomong-ngomong dia terdengar seperti "cewek itu".

Tom membenarkan posisi kacamata. "Boleh kutahu apa saja kemampuanmu?"

"Karena sekarang menurutku, kita sedang menjalankan rencanaku," aku melirik ke samping, "aku keberatan." Biasanya aku bisa menebak orang, tapi sekarang aku tak mendapat gambaran apa-apa.

Dari ketinggian, tampak pilar teleportasi menuju kapal. Sudah ada beberapa anggota Faksi Gurun. Ada yang mengendarai kereta uap mini dan papan selancar. Kelihatannya rencana Tom berjalan sempurna.

Tak lama kemudian, kapal udara berisi Rasyid terlihat jelas, melayang beberapa puluh meter dari permukaan tanah. Bentuknya literally kapal laut namun melayang di udara, hanya dua kali lebih besar dari yang pernah kulihat. Deknya luas, dan di ujungnya kulihat panitia robot bernama kearab-araban itu. Dia berdiri tanpa pertahanan. Tapi—

—ada dua, ah, tiga peserta menjaga. Dua di atas dek, dan satu beserta beberapa klon terbang. Formasi yang jauh lebih bego tapi … klon pria bersayap gagak menuju ke arahku!

"Kupikir ini saatnya kamu mengakui kelemahan rencanamu," sindir Tom, "sekarang bagaimana caranya turun?"

"Ya, ya, aku sangat lupa memperhitungkan kemungkinan ini."

Tom tampak kesal.

"Orang tidak selalu pintar!" Sialan, kenapa kebegoanku kambuh di saat begini. Memalukan saja. "Ngomong-ngomong kaubisa menembak akurat?"

"Dalam wujudku sekarang, kurasa tidak."

Aku membuka tutup Avant-Garde, membidik, dan berakhir meledakkan udara kosong. Walau begitu, kekuatan ledakan mengempaskan dua minion sayap gagak. Tiga boneka lekas menyambar ke arahku. Kuaktifkan mode melayang otomatis pada piring terbang. Tak percaya diri pada tembakanku, kukejutkan kedatangan mereka dengan kunci inggris besar. Kuhantam satu tiruan si sayap tepat di tulang pipinya, membuat darahnya muncrat. Dia jatuh dari udara seketika.

"Menyerang langsung begitu, kukira tidak bisa lebih bodoh lagi," sinis Tom.

Seakan semua belum cukup, tiba-tiba, terdengar bip keras. Piring terbangku menunjukkan indikator kehabisan bahan bakar total. Anjing, aku 'kan sudah mengisinya penuh sebelum pertandingan!

Kendaraanku terjun bebas, tanpa kendali apa pun. Aku luar biasa panik. "Kita perlu solusi cepat!"

"Kamu tidak ingin menyebutkan kemampuanmu saat kuminta." Tom berubah wujud menjadi bola hitam dan berkata, "Kukira kamu pintar." Setelah itu, si bola menghilang, meninggalkan pakaiannya.

Dasar pengkhianat.

Berpikir, Ifan. Berpikir. Hidupmu di ambang batas sekarang. Apa yang harus dilakukan? Ini sudah tiga ronde, dilarang nihilis. Siapa tahu menang. Harapan terkabul lebih pasti daripada mengumpulkan tujuh bola naga. Mungkin bisa membuatmu menjelajah antardimensi bahkan, membuat dia—tidak, bangsat, aku tak mau mengingatnya lagi.

Aha! Ada solusi tapi berisiko. Menembakkan diriku dengan pistol teleportasi tepat ke dek, akan memutus kejatuhanku yang fatal. Meleset sedikit mati juga, memang, tapi aku tak punya pilihan. Merebut jas dan kacamata, aku menghilangkan diri. Tubuhku menembus Avant-Garde begitu saja, dan kendaraan itu ditarik gravitasi lebih besar.

Kupandangi sekeliling, dan hanya terlihat lima piring terbang mini. Dua Tiny Ifan gugur. Kutekan F imajiner.

Jas lab kuselipkan di karet celana, sementara kacamata kujepit di kerah kausku. Dari balik tas, secepat mungkin, kuambil pistol teleportasi. Isi tasku berhamburan: buku nonfiksi, jurnal harian, beragam bla bla bla sains, novel stensil, amitriptyline dan kawan-kawan. Aku hanya bisa menyelamatkan kedua pistolku dan beberapa peluru. Total lima buah, dan aku belum mengecek label efeknya.

Setelah posisi kurasa sedikit lebih tinggi dari dek, masih tidak terlihat, kulontarkan diriku dengan pistol teleportasi. Zap!

Demi apa pun, akan kurayakan hari ini dengan trolling berbagai grup. Berhasil. Aku mendarat di atas pagar kayu pinggiran dek, selisih satu setengah meter dari udara. Tiga puluh senti ke kanan saja aku tewas.

Duh, dadaku sakit. Aku mendarat tengkurap. Untung ukuran B. Saat itulah wujudku kelihatan.

Tapi, sial. kenapa semuanya gelap?

Kegelapan itu sangat singkat dan, begitu berakhir, ternyata aku tembus pandang lagi. Yang berbeda, kini kakiku berubah lancip serupa Emir, dan terhubung dengan … tubuhku?


#2
Energi kehidupan bocah itu tidak begitu besar. Tapi kehadirannya kemari menandakan dia cukup berbahaya untuk dianggap angin lalu. Karena itu, kuambil tubuhnya agar tim lawan tidak menang. Lebih hebatnya lagi, aku mungkin bisa mengecoh timnya sendiri. Kuperintahkan juga bonekaku untuk mengambil alih boneka-boneka dalam piring terbang. Sisanya berinisiatif jaga di jalan masuk.

Roh si bocah meniup-niup mata raganya sendiri. "Ternyata peserta lain. Hantu pribumi? Yah, setidaknya perkenalkan diri dulu, lah." Bicaranya cepat sekali, kupingku seperti ditusuk-tusuk. "Namaku Ifan. Aku mengklaim diriku sebagai ahli serial Rick and Morty, menunda-nunda dan tidur, dan bukan noob dalam MOBA tapi tidak bau bawang. Tontonlah serial yang kusebut, maka IQ-mu naik sepuluh poin dalam tiap ep—"

"Berhenti bicara dan biarkan timku menang. Ini akan berlangsung dengan cepat dan kamu tidak dirugikan."

"—Untuk personal, aku mahasiswa semester empat di tahun ketiga, masih single dan tengah mencari siapa pun tak peduli gender dengan kriteria IQ minimal 120, baik dan pengertian, dan rajin. Penampilan tidak penting—"

Kepalaku benar-benar mulai sakit sebelah. "Diam atau aku keliling telanjang bulat."

Si roh tertawa kencang. "Silakan. Diam-diam aku kepengin, malah. Itu sudah kumasukkan dalam 100 daftar keinginan hidup, di dalamnya termasuk menggabungkan bocil dengan anjing. Sudah terbayang aku akan dipanggil onee-san … main yuk~" Dia sampai membuat gerakan-gerakan dan ekspresi yang bodoh.

Aku menutup kuping, lalu berlari. "Diam!"

"—tapi telanjang itu nanti setelah badanku sedikit lebih bagus. Aku berencana operasi plastik, seperti grup tiang listrik yang dipuja cewek-cewek itu. Kalau sekarang, aku sih tidak khawatir karena punyaku rata. Paling kau yang harus siap-siap dilempar tomat busuk karena badanku tidak—"

Kudekati tepian geladak kapal. "Jatuh dari sini pasti tewas. Aku akan terjun kalau kamu bicara terus!"

"Silakan saja dan aku akan jadi teman yang menyebutkan daftar alasan betapa gobloknya novel Wattpad dalam keabadian, termasuk drama-dramanya. Aku dengan senang hati melakukannya."

Keadaan justru memburuk. Semakin lama merasukinya, semakin pikirannya yang tak beraturan itu mencampuri pikiranku. Benakku membayangkan wanita berkacamata tersipu, ruangan penuh tabung berasap, bapak-bapak berkumis ciuman, wanita berkacamata tersenyum, ledakan menembus awan, spons kuning dan bintang laut berpakaian, wanita berkacamata marah, pria aneh berkepala miring di atas kursi roda, adegan mesum, wanita berkacamata mengata-ngatai si bocah dan pergi, orang-orang melakukan senam dalam kostum ketat, luar angkasa, konser musik, dan masih banyak lagi. Semua berlangsung dalam waktu sekejap saja.

Belum lagi suara-suara janggal yang mengatakan hal buruk tentang bocah itu, seperti dia menyedihkan, bodoh, pecundang, tidak berguna, jelek, aib, memalukan, dan lain-lainnya. Aku juga dengar teriakan sakit, tangisan, tertawa yang silih berganti. Aku mematung dalam kebingungan yang ngeri.

"Kamu bisa bertahan dengan semua kegilaan ini? Dan kamu bahkan menyukai sesama jenis? Demi diriku sendiri! Bibit kesialan macam apa yang menimpaku hari ini?!" Aku bahkan tak tahu harus bersimpati atau marah pada musuhku yang satu itu. "Berengsek, ini salah satu hari tersialku seumur hidup dan mati. Lebih baik merasuki pria saja, meskipun risih. Ternyata benar kata orang, pria lebih stabil secara mental." Tanganku memegangi kening.

Ifan mengambil alih tubuhnya, kemudian bergegas dan terkekeh. "Benarkah itu? Aku bangga dibilang begitu, to be honest," katanya. "Dan kau bisa mengakses pikiranku juga? Menarik. Aku jadi ingat beberapa teori psikologi dan—"

Aku mengusirnya lagi. "Cukup! Aku mohon padamu!" Dan aku malah masuk badan kapal, bukannya langsung menuju rekanan tim. "Dengar, bocah berkepala ribut, biarkan aku mengambil tubuhmu selama beberapa jam. Kamu menyukai seseorang, bukan? Jika aku menang, aku berjanji akan memberimu guna-guna paling hebat. Bahkan aku mampu membuat parasmu ayu dan digemari banyak orang."

"Aku cuman ingin jadi buronan intergalaksi!" Ifan berteriak di depan telinga. "Aku berkesimpulan kauperlu tubuh untuk bergerak dan tak bisa sembarangan ganti, 'kan? Karena itu dengan semua rikkitikkitavi-yang-belum-pernah-kubaca, kau malah memilih bertahan dalam tubuhku. Sekarang, bagaimana kalau kuajukan penawaran juga? Kaubantu aku dengan kemampuanmu. Sebagai balasan, kita berteman."

"Apa untungnya bagiku?!"

"Itu artinya kubiarkan kita berbagi tubuh hari ini dan dalam waktu-waktu tertentu dan ya, aku berhenti bicara tidak jelas. Nanti juga kuberikan rahasia kepintaran menyimpang non-obat dan, asal kautahu, itu jenis yang terbaik." Jemarinya membentuk hati. "Karena kita Teman-Teman Bulu Burung."

"Kamu pikir siapa dirimu itu?! Aku Nyai Dasimah, sang Atma Jenius dan Master Teknik Enam Pilar takkan mengalah pada bocah gila, sinting, dan miring sepertimu!"

"Jenius apa? Kalau jenius harusnya kaubisa menaklukkanku, 'kan? Hehehe. Padahal, kata orang, aku underdog—sori kau kampungan tampaknya. Itu berarti aku tidak diperhitungkan."

Ingin kumelangkah lebih jauh menuju rekan tim, tapi Ifan memeluk wajah raganya, menghalangi pandanganku. Dia menggiringku masuk ke ruangan sempit nan gelap. Tepat saat itulah terdengar ledakan hebat, sepertinya berasal dekat dari kapal angkasa.

"Dengar? Itu timku. Alasan lain untukmu membantuku," katanya, "sejak awal faksi kalian tidak beruntung karena orang-orang kuat, menurut statistik, ada pada timku. Bisa kubilang, aku salah satu yang terlemah dan tidak diperhitungkan tapi kaulihat, aku lebih dulu di sini. Kalian tak punya harapan sejak awal."

"Kamu pikir aku akan percaya kata-katamu?!" Walaupun begitu, ingatan Ifan mengungkapkan kebenaran. Pada tim lawan ada bocah penyebar virus yang banyak dibicarakan, bola yang bisa berubah wujud, pahlawan kuat dengan tombak ajaib, bahkan seorang dewa.

"Dibanding mengurusi timmu, aku sedang berlomba dengan timku. Aku ingin menyentuh bendera supaya orang tidak meremehkanku lagi. Tim kalian sih jelas-jelas payah."

Apa yang dikatakannya langsung terpampang dalam benakku. Kulihat bocah itu diejek buruk rupa oleh peserta remaja, diusir, diberikan makanan paling kecil dari prasmanan, dan lain-lainnya. Bahkan laki-laki mesum seperti Balthor tak mau memandangnya.

Ledakan kedua mengguncangkan kapal. Kali ini beruntun. Getarannya membuatku terhempas menabrak dinding. Aku ingin membantah, tapi Ifan lebih dulu bicara, "Satu lagi. Ingatkah kau kalau, sekalipun faksi kalah, orang bisa punya tempat aman dalam pertandingan kalau berperan penting? Nah, bantu aku sentuh Rasyid. Hitungannya kau sudah berusaha menghalangi penyentuh bendera—"

"Diamlah, bocah, aku sedang berpikir!" Ada benarnya perkataan bocah sinting itu. "Ya … meskipun aku biasanya optimis, sejak awal aku memang ragu atas timku yang terdiri dari kumpulan bocah dan monster aneh. Juga rencana yang dibuat wanita kuping lancip. Sulit untuk membantah karena tidak kutemukan tubuh yang tepat."

Ifan mengangkat alisnya. "Jadi?"

"Aku tidak bodoh. Kalau timku kalah, mungkin aku akan kalah juga. Dan aku takkan bisa mengajari keriting berengsek itu untuk selamanya."

Kupisahkan diriku dari si bocah gila, membiarkannya berjuang sendiri. Kemudian, kuperintahkan boneka-boneka yang merasuki Ifan untuk saling serang. Tinggal empat. Satu kuisyaratkan turun dan memberitahu kuping lancip bahwa aku sudah meninggalkan tubuh lawan, lalu mengirimnya lagi untuk memerangi sesama.

Sekejap kemudian, sambil tertawa, boneka yang baru kuperintahkan itu malah melontarkan bola roh kepadaku.


#3
Aku selalu menduga kalau orang berusaha menghipnosisku atau sejenisnya, mereka akan gagal total. Coba saja kalau bisa, dan nikmati roller-coaster pikiranku yang aneh. Gratis, kok. Heh-hehe-hehehe. Tapi sial kau, Nyai, memberiku harapan palsu. Untung kau tidak lebih pintar dengan menembak diriku pakai pembeku.

Meski begitu, jarak menuju Rasyid tinggal beberapa puluh meter. Aku hanya harus keluar dari sini dan menembaki orang dengan peluru yang kupunya. Kita lihat: dua peledak, dua pembeku, satu bom asap. Dengan kemungkinan berhasil 60%, harapan terbaiknya, tiga saja. Seperti sadar keberadaanku, si robot melambaikan tangan.

Satu, dua, tiga … aku keluar dan berlari. Di luar sudah ada beberapa anggota Faksi Gurun.

Tapi seperti seharusnya klimaks, ada saja penganggu dan dari rambutnya yang putih aku menebak dia sadis. "Helo," sapaku, "berapa seribu minus tujuh?"

Responsnya berupa aura hitam yang menyelimuti tubuh si cowok. "Aku tidak ingin memulainya, Kak, jadi menyerah saja." Dih, pakai senyum sok cool segala.

Belum lagi dengan cewek elf mengarahkan panah. Tapi yang cowok mencegahnya. "Biarkan aku mengurus ini."

"Kau akan membunuhnya," desis elf.

"Kali ini tidak akan."

Aku membulatkan bibir. "Keras juga kalian, ya." Kuacungkan pistol pada keduanya. Pistol teleportasi di kiri untuk cowok, dan pembeku di kanan untuk elf. "Gerak dikit kutembak."

Mengkhianati kata-kataku sendiri, tak diduga keduanya, aku menembak elf dulu, namun meleset di kiri dan mengenai Rasyid. Robot itu terpental keluar kapal! Timku memandangiku penuh permusuhan. B-bangsat … apa aku akan didiskualifikasi? Atau … menang?

Tapi kapal udara ini tak menunjukkan tanda-tanda akan mendarat. Bagaimana ini? Kenapa aku membuat semuanya tambah buruk?

Masih ada sepasang Tiny Ifan, babak belur. Sepertinya mereka berhasil membuat tiruan roh Nyai Dasimah tunduk, terbukti dari kemampuan terbang dan bola energi di belakang tubuh.

Kuperintahkan mereka bertarung dengan tiruan elf habis-habisan. Bagian-bagian dek lepas dari tempatnya, layar berlubang, asap, panah berhamburan. Aku menghindari efek yang ditimbulkan susah-payah. Meski secara langsung tiruan tak bisa melukai peserta, kerusakan fisik yang ditimbulkan tetap saja merepotkan. Di sisi lain, aku tak melihat rambut putih. Aku pun menyingkir.

Perang baru masuk pemanasan.

Semua keributan itu memancing tawa yang kutebak si badut. Dia mendekat, namun terkena teleportasi klonku dan mental menabrak kemudi berjarak lima meter. Kusimpulkan efek serangan klon 1: 100 terhadap peserta. Mumpung dekat, kubekukan badut sekalian dari belakang. Memperpanjang kendali, Tiny Ifan turut menembaki klon si badut dengan peledak.

Tapi kemudian, kesepuluh tiruan rambut putih menggandakan diri. Masing-masing lima puluh, tebakanku. Dan bayangkan hampir semua dari mereka menggunakan sepatu anti-gravitasi dan berjajar seperti membentuk jaring pertahanan. Beberapa dari mereka mengeluarkan misil dari udara kosong. Satu Tiny Ifan meletus dengan epic, sementara satu lagi kabur hanya untuk dihadang dan ditarik dari kepala, tangan, dan kakinya sampai putus.

Ok, untung tak jadi pakai rencanaku. Betewe, di mana kau, Tom?

Terjadi angin ribut, tapi tak cukup kuat untuk menggeser posisiku. Kulihat tiruan-tiruan rambut putih berhamburan seperti dandelion ditiup. Rupanya si sayap gagak. Bersama enam tiruannya, dia menciptakan angin puyuh yang hampir menyapu bersih dek dari keberadaan boneka musuh. Apa itu sebenarnya Tom?

Tiga Tiny Ifan yang menaiki piring terbang ikut membantu dengan menembakkan peledak pada tiruan rambut putih, dan satu lagi yang bisa terbang menghamburkan bola-bola energi. Tunggu, dari mana mereka? Oh, tentu saja—mereka 'kan jenius sepertiku!

Di ujung dek, Rasyid sudah berdiri lagi, naik dibekali sepatu roket.

Bala bantuan pun datang. Ternyata cowok yang mirip karakter Touken Ranbu, ninja cilik, dan lain-lain. Si ninja melempar ponsel layar sentuh ke arah Rasyid, namun ditepis tiruan elf. Klon lawan itu lalu dihantam bola energi oleh Tiny Ifan. Setelah itu, semua bahu-membahu membasmi klon Faksi Angkasa yang tersisa. Darah, potongan tubuh, isi kepala dan perut klon yang sintetis memenuhi kapal.

Mengerti aku hendak menuju Rasyid, rambut putih yang asli menghadang. Bukan hanya aku, ternyata, semua anggota timku juga dihentikan rambut putih yang menggandakan diri. Aura hitam menyelimuti mereka. Suaranya berubah cempreng dan terdengar persis psikon—pat.

"Truth or dare. Hal apa yang paling membuatmu takut?"

Tom tidak menjawabnya, dan dia langsung jatuh dan membeku. Matanya membelalak. Takut bernasib serupa, aku menjawab asal, "Wibu psikopat?"

Tiba-tiba aku duduk di pelataran kampus. Di bawah rimbunnya pohon. Semuanya tampak nyata, termasuk orang-orang yang berkeliaran.

Oh, sihir ilusi untuk membuatku menderita atau semacamnya, ya? Keren, dan akurat karena menampilkan latar yang membuatku galau berkepanjangan. Kukira akan menunjukkan drama orang tuaku membenciku atau ternyata aku bangun di rumah sakit jiwa. Coba saja bangsat, aku sudah kebal.

Sebelahku Fransiska, atau kupanggil Sis, cewek yang pernah kuanggap sahabat, dan sedang marah-marah. "Satu hal yang tidak kusukai dari dulu. Kamu senang berpikir segala hal itu tentangmu padahal, sadar, dunia ini tidak berpusar pada kamu—"

Sebelum bagian paling buruknya dimulai, aku menamparnya. Mengubah total apa yang sebenarnya terjadi. Bingkai kacamatanya patah. Bunyi tamparan membuat beberapa muka orang lewat berpaling, tapi tak berbuat lebih jauh. Sis tak menyangka itu hingga dia melotot, setelah itu balas menamparku lebih keras.

Kurang ajar. Aku membalas lagi dengan menjambak rambutnya, dia pun menjambak rambutku. Kuludahi dia sekalian. "Dasar goblok!" sembur Sis dengan wajah yang teramat murka.

"Kau lebih tolol," balasku. Aku ingin sakit hati dan menyesal tapi, ngapain juga ya, ini 'kan tidak nyata. Jadi aku takkan segan.

"Kamu," Sis meninju hidungku, "cuma memikirkan diri sendiri. Dan kamu tak pernah ada artinya bagiku."

Aku menjerit. Selagi kewaspadaanku luntur, Sis menghajarku hingga terpuruk. Aku pura-pura kesakitan dan dia berbalik, saat itulah aku menerjangnya dari belakang. Orang-orang mencoba melerai, dan kami berpisah.

Dalam dekapan orang, Sis menatapku tajam. "Kamu orang paling bego yang pernah kukenal! Kamu kira aku tidak tahu selama ini kamu hanya ingin terlihat edgy!" Orang-orang pun memandangiku seperti aku pencuri saja.

Hal itu tidak terjadi di dunia nyata, tapi aku sangat kesal. Menghubungkan penyakitku dengan keinginan cari perhatian? Kaupikir aku aneh begini karena pansos?

Kutepis tangan yang mendekapku, kemudian berlari ke arahnya, menendang "junior" laki-laki yang melerainya, lalu kuhajar Sis. Dia berusaha membalik keadaan, dengan tenaganya yang jelas lebih besar berkat olahraga, tapi aku tak tinggal diam. Kubeset mukanya dengan pisau, sementara Sis masih berusaha memukuli mukaku.

Tanpa sengaja, aku mencolok matanya. Dia tersentak ke belakang dengan shock. Tak merasa bersalah atau apa pun, sekalian saja kuhujamkan pisauku ke lehernya—tapi hanya keinginan. Karena aku kembali lagi ke atas kapal. Kenapa ilusinya berhenti?

Rupanya rambut putih lari-lari dikejar kecoa ungu. Selagi orang-orang masih membatu, menahan keinginan untuk mengabadikan pemandangan baju merah kotak-kotak yang bersimpuh penuh derita, aku berlari sekuat yang kumampu.

Dan berhasil berjabat tangan dengan Rasyid.

"Ternyata memang kamu," katanya, dan aku tak tahu dia bangga atau bosan. "Kata orang kamu menyusahkan. Aku juga sempat mengira kamu kesalahan dalam sistem pendaftaran."

"Kurangi melihat orang dari tampilannya!" seruku gembira. "Dan ingat namaku, ya! Aku Ifan! Aku mungkin tidak jenius, tapi aku bisa melakukan apa pun jika ingin!"

Kapal udara stagnan ini akhirnya bergerak turun perlahan-lahan. Pertandingan berakhir kurang dari dua jam, karena sejak awal pembagian timnya berat sebelah. Satu persatu peserta menghilang, dikembalikan untuk beristirahat. Persis sebelum lenyap, orang-orang memandangiku penuh makna. Baju merah kotak-kotak kulayangkan sebuah jari tengah manis.

Mumpung belum dipaksa balik, aku bertanya pada tiruanku yang masih tersisa, "Sudah puas main MOBA analog?"

Dia nyengir lebar.


#4
Di depan cermin, aku mencoba penampilan baru. Mengenakan jas lab dan kacamata sepertinya akan membuatku kelihatan lebih pintar, mengurangi sinting. Bukannya begitu, yang ada aku seperti melihat bayangan cewek itu. Jadi kulepaskan saja. Dan tak terasa aku mulai sesengukan.

Padahal sejak kuinjakkan kaki ke dunia lain, aku telah berhasil mengenyahkan dia dari hatiku. Tapi belum sebulan kemudian, dia balik lagi.

Aku ingin membencinya, melupakannya seperti keinginannya, dan sudah kurasakan bagaimana menyakiti dia, tapi hatiku yang lemah ini tak sanggup. Perasaanku justru memilih tetap mengharapkannya.

Pikiranku memutar perpisahan menyakitkan itu lagi dan lagi. Sialan sialan sialan! Hentikan, otak, aku benci lanjutannya! Kuiris lengan bawahku lagi dengan pisau. Darah keluar sedikit, kemudian kuisap. Kenapa aku begitu bego mengharapkan orang semacam itu, hah?

Ada tujuh miliar manusia, dan infinit karena sekarang aku transdimensional, mengapa aku harus mengejar orang yang tidak mengharapkanku? Banyak yang lebih pintar, cantik, penyayang dan pengertian, dan lebih lainnya. Aku seharusnya sadar untuk menerima kenyataan.

Kenyataan kalau dia tidak menyukaiku sebagaimana aku menyukainya.

Airmata tambah deras. Bangsat. Tapi kalau boleh jujur, dalam hidupku yang monoton ini, aku memang hampir-hampir membenci semua orang.

Maksudku, kebanyakan dari mereka berotak dangkal. Secara akademis memang bagus, aku kalah jauh, tapi mereka sering membosankan. Pintar hanya untuk pencapaian itu bukan kepintaran sejati. Aku tidak mengakui yang semacam itu karena … pada akhirnya keberadaan mereka kurang bermakna. Lahir-bocah-dewasa-kerja-menikah-beranak-tua-mati. Begitu saja terus sampai matahari ditelan lubang hitam.

Aku ingat orang-orang ambisius di kampus. Begitu lulus, mereka menikah. Semua nilai A itu untuk menarik perhatian lawan jenis. Mereka cuman bisa menghafal teori magitek, praktik dan menghubungkan kaitan antar bagiannya nol besar. Namun dengan itu mereka selamat dengan prestasi cemerlang.

Kautahu betapa sebalnya aku yang mati-matian memerangi kemalasan, sementara kuabdikan jiwa dan ragaku demi sains? Arrrghhh aku ingin menukar posisi hidung mereka dengan testis!

Tapi Sis berbeda. Dia jauh lebih pintar dariku, dan punya semangat yang sama. Lebih penting lagi karena dia menerimaku apa adanya. Kalau aku beragama, itu adalah Fransiskaisme.

Namun aku mengecewakannya. Aku mengecewakannya dengan ketololanku. Mengakhiri hubungan mesra yang kubangun sejak lama.

Walau begitu, semua toh sudah terjadi. Kesalahanku tak bisa diperbaiki. Yah, mungkin itu kehendak probabilitas semesta untuk membuatku lebih tegar dan normal. Aku harus kuat.

Meski suka membanggakan betapa dank diriku, ada sisi diriku yang ingin kenormalan. Kubayangkan diriku cewek standar, menikah dengan cowok jock yang tolol. Bangsat, batal kepengin deh.

Dari komputerku, yang secara ajaib mempunyai jaringan interdimensi, kukirimkan e-mail otomatis untuk Sis. Dikirim tiga hari ke depan. Isinya kuungkap nanti saja ya, ronde depan. Hahaha.

Bel kamar berbunyi. Dari lubang pintu, kulihat tamuku si bola, masih dalam wujud ilmuwan. Kenapa bukan lewat layar hologram, bangsat? Kalau dipikir-pikir lagi, datang langsung begitu juga tampak aneh. Waspada, kubekali diriku dengan pistol teleportasi.

"Ifan—atau," Tom menyeringai, dan tiba-tiba menyebutkan nama asliku. "Tidak perlu mencurigaiku. Aku menawarkan kerja sama—"

—untuk menguasai dunia ini.

Pertama dalam beberapa tahun terakhir, aku merinding. Hanya sekejap, karena berikutnya tertawa terbahak-bahak.

Kutembak CCTV yang terlihat di koridor. "Aku tertarik, lebih pada kenapa harus aku."

Komentar

  1. Heihei tewas <3

    Sebuah entri yang sangat menarik. Di tengah-tengah, bagian battle diganti jadi konflik mulut antar Nyai dan Ifan. Yep, kemenarikan Ifan benar-benar terasa di sana.

    Saya senang Heihei bisa kameo sedikit apalagi ia dikalahkan dengan teramat mudah.

    Mulai dari konflik batin pas kena jurus si wibu psikopat, saya jadi teramat senang membacanya. Kisah hidup Ifan dramatis namun dipaparkan dalam cara yang lumayan chaotic (agak humoris, namun malah tak tega) namun tetap memancing simpati. Tali-temali penghubung plot berikut, kerjasamanya dengan Tom, dan cinta tak terbalasnya pada Sis, pun sukses membuat saya penasaran.

    As always, your entry always fascinates and entertains me! Narasinya enak dan mengalir, dan membacanya tak membuat saya kelelahan.

    Saya beri nilai 9/10. Semangat terus, Ifan~

    BalasHapus
  2. Podium R3 dicuri oleh nihilistic-yet-chaotic Ifan.
    Seperti biasa narasi ngalirnya bikin bacaan serasa "Hidup" dan di beberapa titik bisa bersama2 berteriak [Insert Nama Hewan]. Nambah jatah jdi 4k nampaknya semakin membuat solid karakterisasinya.

    Of all the song why Hime hime. Wkkwkw

    8/10 dri Tora Kyuin

    BalasHapus
  3. Akhirnya kedudukan Hei4 sebagai entran pertama selama 2 ronde lengser juga oleh Ifan. 2fast4me. Btw r1 sama r2 saya udah baca tapi belum komentar, hhe. Soalnya komentar udah direbut semua. :(

    Apa yang saya suka dari entri ini :

    + Narasi dari sudut pandang Ifan yang mengalir baik, gak bikin capek pas baca, dan konsisten. Mencerminkan kepribadian Ifan dengan baik. Di ronde-ronde sebelumnya juga emosi Ifan naik-turun, di entri ini juga bisa tiba-tiba nangis begitu. :(
    + Beberapa omongan nihilis Ifan di entri-entri sebelumnya juga yang ini, saya kadang sampai mengutip dia. "Bangsat" - Ifan, 2k18.
    + Pendeskripsian battle yang bisa sangat meriah dan kacau, tapi tetap terkemas cukup baik.
    + Nyaris setengah lebih karakter masuk dengan porsi cukup atau cuma disebut saja. Karena nggak ada karakter saya, gak saya +1 deh. /slap/ /tidakbegitu/
    + Saya juga merasa beberapa narasi ada yang sedikit 'menyindir', dan itu meski agak jahat tetap saja bagus. /slap/ /tidakbegitu/

    Apa yang menurut saya mengganjal :
    - Kebanyakan jokes masa kini yang menurut saya, ehm, teramat memaksa dan cringy. :(((
    Dead memes, Hime hime, moba analog, yha. Mungkin orang lain suka, tapi jujur yang begitu sedikit bikin ilfeel.

    Cuma mau tanya saja :
    - Kenapa gaya font-nya selang-seling? Tapi kayaknya ini sengaja, ya.
    - Kenapa Ifan selalu digambarkan terkucilkan dan menjijikkan di mata peserta lain? Saya rasa OC-OC di sini tidak sekejam itu. :(

    8 dulu. Kalau ronde-ronde selanjutnya bisa lebih baik, saya gak bakal ragu ngasih 9 atau 10. Tetap semangat, ok.

    OC : Worca S.

    BalasHapus

Posting Komentar