[Ronde 1] Dian - Aku terdampar di Isekai

By: Ichsan Leonheart

Aku terdampar di Isekai
“Conquer the body first, then the heart shall follow.”
Itu cara pandangku.
“Gak usah banyak ngatur strategi buat pedekate atau apalah. Lo cupu kalo kebanyakan mikir cuma buat ngedeketin cewek. Kebanyakan ‘cingcai’ itu namanya. Udah [hantam] aja cewek yang lo suka, selebihnya tinggal insting biologis mereka yang bekerja, Muahahahaha!
Aku tertawa lepas dipenuhi bangga. Tiada henti aku menceritakan hal tersebut pada adik kelas, para pejaka yang masih culun punya. “Jadi begini, pada dasarnya semua cewek itu sama aja, kalo udah dikasih tahu soal ‘ena-ena’, mereka bakalan ketagihan, terus nagih tanpa berkesudahan.” Lewat cara itu aku berhasil menaklukan banyak mangsa berkualitas di sekolah.
Para junior ini butuh arahan, terbukti dari goresan pensil pada buku yang berisi ragam intisari ucapan. Mereka bersungguh-sungguh untuk menerapkan ideologiku ini.
Pencapaianku dalam bidang ‘pacaran’ sanggup membuat iri banyak orang. Banyak perempuan cantik idola sekolah berhasil kutaklukan. Keseharianku begitu indah penuh warna berhiaskan darah perawan.
Siapa yang tak kenal Dian? Playboy ngehe dengan jumlah pacar seperti tim kesebelasan. Tak ada yang cemburu satu sama lain, mereka rela berbagi selayaknya istri korban poligami.
Hidupku terasa komplit.
Lalu fajar itu menyingsing keesokan harinya. Sang surya yang mungkin akan kurindukan untuk selama-lamanya.
Seperti biasa, di pagi hari kubersusah payah bangun tidur dari mimpi basah. Dikuasai malas, lenganku menopang bangkit sambil menggerutu. Batinku bertarung melawan kantuk yang menyerbu, “Aaaahsempak-ku lagi-lagi basah dengan sperma.
Maka kuperiksa saja selangkanganku, hanya untuk terentak kaget seketika itu juga.
"Gak ada.." 
Terjadi keheningan. Kuraba berulangkali dengan seksama bagian sensitif di bawah sana. Kudapati si Jhonny menghilang keberadaannya. Hanya ada tulang selangka, beserta belahan daging vertikal penuh kelembaban memanjang ke bawah.
Terjadi keheningan. Hati terasa hampa, sukar menelaah realita, entah untuk beberapa lama.
"Apa yang...."
Lenganku masih berusaha meraba. Mataku terbelalak, mendapati absennya sesuatu yang seharusnya ada di sana.
Dadaku yang berbentuk bidang kini berubah kenyal. Tersembunyi di balik kemeja longgar dan berukuran besar. Gumpalan itu memiliki tonjolan sebesar ujung kelingking di bagian puncaknya. Kulihat diameter lenganku terlihat menyusut kecil. Aku bahkan tak ingat pernah memiliki kulit putih nan halus seperti ini.
Apa-apaan ini?
"Mustahil..."
Suaraku bahkan terdengar tinggi. Ciri khas perempuan, begitu kontras dengan suara laki-laki. Rambutku memanjang hingga sebatas pinggul, begitu kusut tak terawat. Kutatap cermin besar yang tersemat di pintu lemari. Kusadari keberadaan gadis cantik berparas cantik, tengah terkesiap menatap balik dari dalam cermin.
Aku pingsan seketika itu juga.
.....
"Emaaaak!" jeritku tak percaya. Aku bangkit seketika, terperanjat dengan napas teregah-engah. Jantungku berdesir keras. Rasanya sedetik tadi aku bermimpi buruk.
Ah iya, aku memimpikan tubuhku berubah kelamin menjadi perempuan.
Mulutku tersungging, mengukir senyum tak simetris. Aku terkekeh, berlanjut dengan ledakan emosi seraya tertawa terpingkal-pingkal.
"Anjaaay, serem pisan. Mana ada gue jadi perempuan. Bisa kacau dunia persilatan," ucapku seraya menenangkan diri. Dadaku entah kenapa terasa berat kala aku terbahak-bahak
Pandanganku kembali terarah pada cermin di jendela, menatap kehadiran sosok berwajah cantik dengan rambut panjang berkelok-kelok. Helai demi helainya merona kemerahan seperti ledakan sang supernova bewarna kulit jeruk. Dia terperangah menatapku seraya memegangi wajahnya. Aneh sekali, tindakannya sama dengan apa yang kulakukan saat ini. Dia memeriksa dua bongkahan payudara miliknya. Sementara jemariku meraba lembut sepasang tonjolan bulat di bagian dada.
Mataku terbuka lebar, mengangkat wajah menatap sosok di cermin sana. Aku kembali pingsan detik itu juga.
******
Kujambak rambutku sendiri.
Ini pasti mimpi.
Ini pasti mimpi.
Ini pasti mimpi.
Sugesti itu terus kuberikan untuk menenangkan diri.
Kenapa?
Kenapa?
Kenapa?
Batinku berulangkali melontarkan pertanyaan yang sama
Apa aku diculik alien? Apa ini permanen? Seumur hidup aku harus seperti ini?
Pikiranku kacau. Aku terduduk di pojokan seraya menerawang. Jemariku menggerayangi kepala, mengacak-acak rambut kusut nan panjang. Kucubit pipiku berulangkali, berusaha memastikan bahwa ini hanyalah mimpi.
Mimpi?
Ah iya, kenapa segalanya menjadi gelap begini? Aneh sekali, aku bisa melihat kedua tanganku. Badanku juga terlihat jelas. Tapi tidak dengan sekeliling. Segala sesuatu seperti berubah menjadi kegelapan semu.
Desir angin pantai tertangkap telingaku. Pikiranku kosong. Aku merasa lelah tanpa sebab.
Sejumput cahaya terlihat temaram menyinari segalanya. Perlahan pandanganku mulai menangkap ragam warna dan cahaya. Suara-suara lain timbul tenggelam muncul ke permukaan. Derai suara ombak seolah membetot kesadaranku, memaksa untuk bangkit memasuki realita baru. Telapak kakiku merasa tak nyaman oleh keberadaan pasir pantai. Sedetik setelah mendongak, baru kusadari keberadaan langit biru lengkap dengan terik sang surya.
Kenapa aku memakai sepatu hak tinggi di tempat seperti ini?
Tadinya aku masih mengira duduk termenung di dalam kamar. Rupanya sedari tadi aku begitu sibuk tenggelam dalam pikiran sendiri, sampai-sampai aku tak sadar akan keberadaan puluhan— bahkan mungkin ratusan orang di sekeliling.
Di situ pikiranku terhenti.
Tepatnya kenapa… dan sejak kapan aku ada di sini?
Aduh, apa aku mulai menjadi gila? Kenapa mendadak ada di pantai? Ini juga bukan diriku yang asli. Kuarahkan pandangan ke bawah, menatap keberadaan dua bukit kembar di bagian dada.
Dian, seorang lelaki playboy kini hadir sebagai perempuan gemulai.
Inikah yang orang sebut sebagai [Isekai]? Momen ketika kamu tertabrak Truck-kun, lalu terlempar menuju dunia lain dan memulai hidup baru di sana?
Tapi aku tidak ingat pernah tertabrak truk. Teknologi Virtual Reality di tempatku juga belum semaju di novel Isekai murahan satu itu. Dan ya, aku tidak melihat ada kastil terbang di langit sana. Ini bukan SAO, ALO, atau GGO.
Jadi ada apa gerangan? Tentu aku sudah menepis kemungkinan bahwa ini sekadar bunga tidur. Karena sebagaimana kerasnya aku memelintir putingku, rasa sakit yang mendera tidak kunjung menyadarkanku dari mimpi ini.
Beneran sakit lho. Ini aku bicara soal memelintir puting payudara. Benar-benar pelajaran berharga, aku berjanji untuk tidak lagi melakukannya.
Masih belum terima, secara konyol aku mencoba untuk memerintahkan diri sendiri demi membangunkan diriku di alam nyata, "Wahai diriku yang sedang tertidur, kuperintahkan kau untuk bangun!"
Hening
Tak ada perubahan. Ini asli. Sungguh menyebalkan. Mataku melotot kosong, lalu berjongkok berusaha mengumpulkan kewarasan.
Ini asli. Ini nyata. Serasa menyerah, dengan terpaksa aku akhirnya percaya.
Oke, oke... sekarang gimana?
Masih dikuasai kebingungan, kuedarkan pandanganku di tengah hiruk-pikuk suasana. Kulihat ada beberapa orang yang terlihat mencolok.
Atau malah saking datarnya hawa keberadaan mereka, orang-orang itu seolah menghilang.
Seperti kuntilanak itu contohnya. Dia sama sepertiku, sama bingungnya sampai-sampai ketika semua orang sibuk memilih kendaraan, dia malah jongkok sendirian sambil mengubek-ubek pasir dengan seutas ranting kering. Keberadaannya saja sudah menyiratkan aura depresi. Apa dia semacam arwah gentayangan?
Lalu di sampingnya ada seorang bapak-bapak berpakaian taktis seperti seorang anggota militer. Penampilannya mengesankan seseorang yang berbahaya. Seperti teroris misalnya? Tapi aku agak bingung juga sih, soalnya teroris satu ini terlihat khusyuk membaca buku karya Stephen Hawking : Theory of everything.
Kuperhatikan lagi lebih seksama, terdapat berbagai makhluk absurd lain yang memenuhi seisi pantai. Ada bola aneh berwarna biru, ada juga pokemon berbentuk siluet hitam dengan mulut  mengangga.
Oh, tak perlu kujelaskan tentang semacam makhluk hidup berbentuk angka tujuh di sudut lainnya.
Tempat ini terasa surealis, tapi ini bukanlah alam mimpi.
Belum hilang bingung di kepala, mendadak saja getaran kecil terasa lembut menggoncang kedua payudara. Merasa terkejut? Tentu saja, tapi tak ada waktu untuk meresapi nikmat ini. Jadi kucabut saja benda kotak datar itu.
Sebuah [handphone], merk-nya Nokia 6
Kenapa harus Nokia 6?
Lalu ada yang lebih aneh lagi, Hey, sinyalnya full bar! Di logo layanannya bahkan tertulis koneksi 4G. Aku tidak mengerti kenapa, tapi setidaknya aku bisa membuka fitur telepon untuk menghubungi keluargaku.
=[Maaf, nomor yang Anda tuju sedang berada di dimensi lain. Silakan coba beberapa saat lagi.]=
Kubanting hape itu keras-keras, meski tentu saja tidak berdampak banyak karena diredam oleh pasir putih yang terhampar luas.
Layarnya berkedip-kedip  menampilkan sebuah pesan. Didorong rasa penasaran, mau tak mau kuambil kembali benda laknat itu, untuk kemudian membaca tampilan layarnya.
-=[Selamat datang di ajang balap sehat Omniversal.]=-
Surat elektronik itu memainkan sebuah rekaman ucapan seseorang.
-=[Hallo Battlers, terima kasih karena telah memilih NGSR sebagai sponsor utama. Anda berhak mendapatkan bonus event, yakni kendaraan N-Max 155cc. Gunakan itu sebaik mungkin. Silakan baca syarat dan ketentuan untuk ...]=-
“Halah, bacod.” Jemariku melakukan [scrolling] sampai bawah, melewati beragam peraturan dan tata cara kegiatan yang menjemukan.
Intinya sih, aku harus tiba di penghujung pulau. Ada tiga rute, lewat darat melewati hutan, rute laut, atau udara—sumpah, aku tidak tahu bagaimana caranya, lagi pula di sini tak ada pesawat terbang—untuk mencapai garis finis.
Belum sempat kucerna seluruh kerumitan itu, peluit balap tiba-tiba saja terdengar melengking memenuhi udara. Orang-orang terlihat bergegas memacu kendaraan masing-masing.
Di depanku ada perempuan seksi. Rambutnya pirang seraya mengendarai motor Sports kebakaran.
Iya, kamu nggak salah baca. Motornya memang kebakaran.
Itu ada api, nyala, membakar seisi [body] motor. Tapi anehnya perempuan seksi tadi tak sedikit pun merasa kepanasan. Apa aku sedang melihat [Moeifikasi] dari Ghost Rider?
Perempuan itu sempat menoleh ke arahku. Tak lupa ia lontarkan senyum menawan yang sukses membuatku mengawang. Sambil mengesampingkan pasir pantai yang menyembur menciprat ke wajah, aku sempat mengintip celana dalam bermotifkan stroberi di balik rok mininya itu.
“Aaah, dia kah sosok [heroine] yang harus kukejar?”
Lantas sekarang bagaimana? Haruskah aku ikut balapan? Atau melakukan improvisasi dengan memacu kendaraan mundur ke belakang? Kau tahu kan, bisa saja ada jalan curang tersembunyi yang mengantarku langsung menuju garis finis? Semacam [secret eastern egg] atau apalah namanya.
Tapi mungkin aku terlalu delusional. Sulit membedakan realita dengan fakta di film khayalan. Kulihat di belakang sana sudah terdapat pasukan keamanan dengan persenjataan lengkap. Ada satu bapak-bapak yang sempat melakukan kontak mata denganku, wajahnya menggeleng pelan memberikan isyarat berupa peringatan keras. Mimik wajahnya itu seakan berkata, “Enggak, ini bukan film ‘Ready Player One’. Jadi jangan macam-macam, nak.”
Oke, berjalan mundur sepertinya bukanlah pilihan.
Motor matic pun kupacu, roda belakangnya sulit mendorong maju karena gagal mendapat traksi di medan berpasir.
Aku melewati perempuan depresi berpakaian putih. Dia masih saja mengubek-ubek pasir.
Jadi kutekan saja tuas rem motor. Harga diri lelakiku tak sanggup membiarkan seorang gadis terabaikan begitu saja. Jadi kuhampiri dia, lalu menjulurkan lengan bak seorang ksatria berkuda putih untuk mengajaknya.
“Neng, sendirian aja, butuh bantuan?”
Dia menatapku dengan pandangan tak percaya, “Kamu bisa lihat aku?”
Hah?” bingung aku dibuatnya.
“Aku hantu,” ucapnya ragu.
“Terus?” Aku sudah tak peduli lagi dengan segala keanehan di sini. Jadi melihat dinosaurus pun seharusnya aku tak akan kaget.
“Ngggh....” Gadis itu terlihat semakin bimbang.
Aku tak mau membuang waktu, jadi kutarik saja lengannya untuk bangkit, dan mempersilakan dia duduk di jok belakang. Aku agak khawatir dengan keberadaan Pokemon berwujud siluet hitam yang sibuk memakan beberapa petugas keamanan. Mulutnya beneran besar lho, satu kali lahap saja hilang itu badan satu orang utuh.
Butuh usaha ekstra untuk bisa keluar dari daerah pantai. Sulit rasanya untuk mengabaikan banyaknya mayat manusia. Aku tak pernah tahu balapan bisa menjadi segini brutalnya.
Oh, di sebelah kanan juga ada semacam ikan paus. Badannya besar sekali. Dia melontar dari dalam air seperti seekor lumba-lumba. Hanya saja itu bukan ikan paus, dan dia meloncat dengan mulut terbuka, melahap banyak sekali peserta.
Tadinya aku mau bilang itu hewan lucu juga. Sebelum akhirnya aku tersadarkan akan betapa konyolnya ukuran makhluk itu. Lihat saja, sekelilingku bahkan sampai gelap tertutupi bayangan. Kukira ada awan lewat, ternyata sang surya memang hilang tertutupi oleh ujung bagian kepalanya.
“Makhluk apaan itu?!” jeritku histeris. Ukurannya terlalu besar, mungkin sebesar gedung Burj Khalifa.
Sedetik setelah tubuh hewan itu kembali menabrak lautan, tercipta riak air raksasa layaknya gelombang Tsunami. Aku semakin dikuasai panik, memacu motor semakin kencang memasuki jajaran pepohonan lebat.
Gadis hantu yang kubonceng masih mendekap erat, lengannya lantas agak melonggar, “Wah ada dinosaurus!”
Telingaku mendengar suara derap langkah kuat. Di kedua sisiku ternyata ada reptil seukuran sapi, berjalan dengan kedua kaki, sibuk berlari menyelamatkan diri. Kami sama-sama dikejar tumpahan air bah. Tujuannya tentu saja menuju arah tebing.
“Beneran ada dinosaurus!” Aku memaki frustrasi.
Dinosaurus itu mungkin herbivora, atau mungkin karnivora pintar yang lebih mementingkan nyawa sendiri dari pada makanan. Badan mereka terlihat semakin mengecil, efek perspektif karena kian menjauh.
Motor Matic tidak pernah dirancang untuk melewati jalan terjal [off road]seperti ini. Jadi  mau tidak mau, aku harus pasrah terkena gulungan ombak.
Selanjutnya? Yah, aku sendiri bingung. Tiba-tiba saja semuanya gelap. Aku seperti diserang rasa kantuk yang mendadak. Padahal tadi paru-paruku merasa sakit karena menghirup air laut.
Yang jelas aku belum mati.
Karena saat ini aku mendengar banyak sekali suara jeritan pilu di kejauhan. Erangan sakit dari seseorang yang mungkin membutuhkan bantuan.
Ah... aku sendiri sepertinya butuh bantuan. Lengan dan kakiku pegal tak bisa digerakkan. Daun-daunan mengelilingku. Tapi anehnya, aku bisa melihat tanah—lengkap dengan rerumputan—jauh di bawah sana.
Ternyata aku tersangkut di atas pohon.
Ng.... Tolong...?
Kulihat sekeliling. Tak ada siapa pun di sini. Hutan ini terdengar ramai, namun terlihat sepi di saat bersamaan.
Pandangan mataku kemudian menangkap keberadaan kain putih di tengah semak belukar. Dia pasti gadis yang kutolong tadi.
“He—..” ucapanku terhenti. Bunyi derap langkah terdengar menggema di sekitar. Genangan air di atas tanah bahkan menciptakan riak kecil.
Gusti ya Rabb... adegan ini terasa klise, tapi memang terasa begitu menakutkan. Dan memang begitu, aku wajib takut pada kehadiran sesosok hewan buas setinggi (mungkin) lima meter. Bentuk keseluruhannya seperti ayam raksasa, hanya saja kulitnya keras seperti iguana. Dan tentu saja, dia memiliki rahang besar yang bisa mencuap lebar seperti kuda nil.
Dinosaurus itu... tak salah lagi, itu pasti T-Rex!
Aaaaah! Dia akan dimakan. Bagaimana ini?!
Aku bingung, jarak antara kepala dinosaurus dan posisiku cukup dekat. Jika aku menjerit untuk mengalihkan perhatiannya, aku bisa ketahuan. T-Rex itu tinggal menengadah, lalu melahapku selayaknya snack.
Ini antara dia atau aku.
Tahi kucing!
Aku tidak akan sanggup melihat seorang perempuan dilumat, dimakan hidup-hidup. Lebih baik aku saja yang mati, tak apa asal dia bisa hidup.
“Heeeeey! Kadal busuk! Jangan makan dia!”
Tak ada respons. Mungkin teriakanku kurang kencang.
“E’Koplok! Sini, makan gue aja, anjing!”
Dinosaurus itu semakin merunduk untuk melahap sang gadis.
Badanku meronta keras, berusaha membebaskan diri dari sulur ranting yang membelenggu. Tanpa sengaja [handphone] Nokia 6 yang terselip di antara payudara jatuh tertarik gravitasi. Benda itu menghantam puncak kepala sang T-Rex.
Entah mungkin itu hanya imajinasiku, tapi tak seharusnya [handphone] bisa membuat kepala dinosaurus terentak keras seperti diinjak sesuatu. Sang dino terlihat sempoyongan seperti habis dihantam batu lima ton.
Kadal itu meraung kesal. Pandangan matanya terkunci padaku.
Perhatian dino itu sukses teralihkan, dia menengadah tinggi seraya mempertontonkan gigi tajamnya.
Ah... emak...” aku merasa begitu pasrah.
Hantu perempuan bergaun putih perlahan mulai siuman. Dia terkesiap tak percaya tatkala melihatku yang hendak disantap.  Kami saling bertemu pandang. Terdapat jeda kosong dalam keheningan.
Run.. you fool!” Entah kenapa aku malah mengulang ucapan Gandalf.
Daaaaannn... dinosaurus itu pun melahapku.
Kecuali aku salah. Karena memang kenyataannya begitu. Aku ternyata tak mati. Badanku ditarik ke belakang oleh seseorang. Ujung dadaku nyaris saja terjepit oleh rangkaian gigi tajam itu.
“Eh?” Aku berusaha menoleh, mendapati gadis yang tadi berada di bawah sana, kini muncul begitu saja di belakangku.
“Kakak hendak mengorbankan diri untuk menyelamatkanku? Itu manis sekali, tapi sayangnya tidak perlu. Aku kan sudah mati.”
Bicara apa dia?
Aku terlepas dari jeratan. Tubuhku tergantung tinggi seperti baju di jemuran.
“Kak...” Dia berusaha memanggilku. Kalimatnya terasa menggantung.
“Dian,” buru-buru aku menyambutnya, “Panggil saja aku Dian.”
“Kak Dian, aku Ambar... maaf yah, aku gak bisa terbang lama-lama.”
Aku tidak akan menanyakan kenapa.
“Soalnya kakak berat.”
Anjing. Umpatku kesal.
Kami akhirnya turun di tempat acak. Dari sana Ambar memberitahuku akan beberapa kemampuannya. Seperti kemampuan menghilang, terbang, dan yang menurutku paling unik adalah mengendarai hewan.
Ambar mengendarai seekor Ankylosaurus seperti halnya seekor kuda. Dinosaurus itu terlihat begitu jinak, menuruti seluruh perintah Ambar begitu saja.
Mungkin dulunya dia seorang Heroic Spirit dari Class Rider.
“Seingatku dulu pernah ada orang Indonesia membeli hewan itu seharga 10 Juta Dollar.”
“Wah iya? Mahal juga ya?” Ambar menimpali.
Kami berdua lantas melakukan safari dengan menunggangi seekor dinosaurus jinak. Ada banyak sekali suara letusan senjata, raungan hewan buas, serta jeritan kesakitan para manusia.
Aku dan Ambar memilih untuk tak menghiraukan mereka. Kami memosisikan diri untuk bertelungkup, berpegangan pada duri di punggung sang dino sambil berusaha menyembunyikan keberadaan dari para peserta lain.
Pergerakan tunggangan kami lantas terhenti. Di hadapannya, muncul seseorang dengan kondisi tubuh berdarah-darah.
“Hey, itu bukannya teroris yang tadi?” ucapku terkejut.
“Kak Dian kenal dia?”
Aku menggelengkan kepala. Pria itu sedang dikejar dinosaurus pemangsa. Dinosaurus itu terlihat berbeda dari banyak spesies yang pernah kulihat. Itu bukan T-Rex, tapi juga bukan Raptor, karena Velociraptor tidak mungkin memiliki badan sebesar itu. Dua lengannya juga panjang. Lalu satu lagi, tekstur badannya terlihat berbaur dengan latar sekitar, persis seperti gurita. Dia pasti dinosaurus hasil rekayasa genetika.
“Indoraptor!” pekikku tak percaya.
Ambar sontak bingung, “Indomie?”
“Bukaan! Ayo pergi, itu dinosaurus berbahaya!”
“Tapi itu gimana? Orang itu kita tolong?” Ambar menatapku lekat meminta persetujuan.
Kuangkat kedua bahu sebagai jawaban, “Terserah.”
Hewan tunggangan kami mendadak berputar arah, mengayunkan ekornya yang berduri untuk mengambil momentum demi menghajar sang Indoraptor. Sontak saja aku terpelanting jatuh, gagal berpegangan tak kuat menahan kuatnya efek inersia.
Ambar merangkul pria dengan rompi anti peluru. Aku ikut membantu memapah teroris itu. Kami berdua melarikan diri sementara Ankylosaurus sibuk bergumul dengan predator haus darah tadi.
Kami tiba di sebuah tebing terjal. Garis finis ada di atas sana. Tempat ini tidak mustahil untuk didaki, hanya saja konturnya begitu curam dan mengharuskan siapa pun untuk ekstra hati-hati.
Gerimis turun membasahi daratan. Kami berlindung di sebuah cekungan tebing.
Ambar terlihat begitu telaten memeriksa luka-luka pria tadi. Lengannya tiada henti menekan luka goresan di bagian paha. Raut wajah gadis itu menyiratkan sejuta kekhawatiran. Aku sendiri bingung dibuatnya, seolah mereka berdua sudah kenal dekat satu sama lain.
“Kau seperti seorang istri yang telaten merawat suaminya.”
Keduanya saling pandang dalam heran. Entah siapa yang memulai, tapi mereka tiba-tiba berubah canggung satu sama lain.
Ya tuhan, aku seperti sedang melihat sepasang anak SMP berpacaran.
Namanya Abu, dan dia tak peduli pada acara balapan ini. Dari keterangannya, aku bisa tahu bahwa acara balapan ini memiliki fitur PvP—maksudku, sistem di mana semua orang bisa saling membunuh satu sama lain. Abu sendiri bisa terluka karena ulah peserta lain.
Aku dan Ambar sama-sama berpikir demikian. Yang penting tiba saja di garis finis. Aku beruntung bertemu dengan Ambar dan Abu yang tak memiliki niat permusuhan.
“Kita tunggu para peserta lain untuk menyelesaikan acara. Terlalu berbahaya jika kita mengambil risiko bergabung dengan peserta lain.”
Pada akhirnya, sang surya terbenam di penghujung senja. Kami tiba di garis akhir dengan berjalan kaki dipenuhi keringat bercucuran.
Acara selesai, dan aku masih terjebak dalam tubuh perempuan lemah. Sumpah, ini menyebalkan.

Komentar

  1. At least referensinya lebih nyambung dan tepat sasaran daripada entrynya Tora Kyuin yang hit and miss. Meski saya kasih nilai plus plus untuk bagaimana narasi yang asik dibaca ini keren dan Dian yang menghibur, namun cerita secara keseluruhannya sendiri, bagaimana a terjadi ke b, tidak terlalu jelas. Rasanya ini karena lebih fokus ke hubungan antar karakter, Dian coping with how he changed his gender, memperkenalkan Dian dan ngasik referensi.

    Ini entry yang cocok untuk memperkenalkan Dian

    Over all, ini bagus, namun saya ga sadar kalau udah kelar dan udah sampe garis finish. ehe~

    9/10

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya kayaknya udah klop sama style narasi begini. Kerasa nyaman buat nulis secara autowriting.

      Plusnya bisa explore banyak hal dari sisi pikiran MC.

      Minusnya, saya agak kesulitan buat mendeskripsikan kejadian demi kejadian karena gaya penceritaan yang terlalu berfokus pada isi kepala MC.
      Jatohnya narasi kejadian sekitar jadi heavy telling.

      Thanks udah mampir Rai.

      :D

      Hapus
  2. "Holy, ada yang nyebut nama gue" [Bukan kamuu]
    #Skip

    Field-View Dian yang sekena dia kayak giniada plus minusnya.
    Plusnya dia ngegampangin aka gak bikin gerakan dia terganggu. Minusnya ya terbatas pada apa yang dia hadapi doank aka susah multi-task. Ekspansi dari problem solvingnya masih "kekanakan". Tapi bisa dinikmati karena pembawaannya Dian sendiri yang seperti itu.

    Ini kalo difilmkan jadi kayak telenovela yg isi pikirannya bsa dibaca penonton. Masing2 mikir penggambaran gimana.

    Balapannya kerasa balapan. Penuh aspek ngehe.

    8/10 dri Tora Kyuin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aspek ngehe yang sejalan dengan OC dan Authornya, wkwkwkwk

      yah, itu memang masalah klasik kalo pake PoV 1, lebih enak explore isi otak MC, tapi agak kesulitan narasiin hal-hal di dalam cerita yang terjadi di luar pengetahuan MC.~

      Telenovela yang ada suara simbal plus zoom in ke arah mata yak?

      Thanks for reading, will do counter-visit soon~
      :D

      Hapus
    2. Gestur kepala penuh kesombongan si Dian. Gue curiga pemeran Dian pasti Meriam Belina. Yakin. wkwkwk
      Siap

      Hapus
  3. Mau protes soal kendaraan Rizka yang jadi bisa nyerang, tapi ga papalah 😂😂 OOC is a habit in BOR anyway

    Pace ceritanya ga cepat ga lambat. Tadinya sempet ngira bakal sempet nyeritain pengalaman Dian saat jadi selir ifrit dan kenapa mau jadi selir ifrit. Nyatanya malah abis ganti kelamin langsung isekai, what? How come ini makhluk gender bender bisa jadi selir ifrit?

    Terus yang paling menarik adalah, KENAPA AMBAR SAMA ABU-NYA JADI GITU?

    Inisial A&A keren juga sih tapi... whyy?

    Oiya itu velo sama t-rexnya kurang tereksplor nih tapi maklum sih karena 3k kata sure is torture.

    Dari beberapa karya kak Ichi, emang ini yang enak dan santai narasinya Umi baca.

    Nilai: 8/10

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tadinya mau masukin backstory itu dulu, tapi berhubung 3k jadi urung.

      Akhirnya saya bikin keputusan buat bikin si Dian amnesia, wkwkwkwk

      Style narasi saya emang jadi kayak gini setelah nulis Novel Karma Itu Lonte (Novelnya Dian yang nyeritain dia sampe jadi selir jin ifrit, wkwkwk)

      Thanks Um :D

      Hapus
    2. Oiiya, Ambar-Abu kan OTP, wkwkwk


      Dan benar, gak seru kalo gak OOC.

      Hapus
  4. 1. eniwei kang, ini orang kan hantu ya, tapi kenapa dia gak sadar ya klo udah jadi hantu? meski amnesia tapi kan pasti tetap terasa ada bedanya dia hantu atau manusia toh? atau mgk gak ada bedanya berubah rasa dari manusia ke hantu? entahlah, saya blm pernah ngerasain jg XD
    2. Abu yg berdarah-darah, disini kalem seperti shiba inu :O dan lagi Abu jadi penggemar stepen hacking? dan lagi, Abu seorang talkative? entahlah, agak bertentangan dengan di charshetnya
    3. Dian, selaku playboy kelas ngehe, rupanya pengetahuannya soal dinosaurus luas juga ya, sampai tahu yg namanya indomisaurus. klo cuman sekedar t-rex okelah itukan makhluk viral banget, tpi klo sampe sekelas angkilosarus dan indomie seleraku rasanya gmn gt, lagian dian jg bkn tipe tukang baca....
    4. bagian: "emaaak..." sampai "...pingsan detik itu juga" ini kan hanya ingin jelasin kalo dia udah resmi jadi betina, kurasa sdh ditekankan di bagian atasnya.
    5. celana dalam stroberi, oh ayolah, ngakak saya XD
    -8/10 dengan salam penuh cinta dari Irene-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anggap aja authornya sendiri nge'OOC'in OC dia sendiri~

      Abu nggak banyak omong kok, dia cuma ngasih info sekenanya aja, itu juga off screen, wkwkwk

      Dian itu fans Film Jurrasic Park/World

      IMHO, Orang ganti kelamin secara ngedadak nggak bakalan bisa 'nerima' gitu aja. Butuh banyak kontemplasi buat melewati fase denial, makanya 1/3 entry ini fokus di sana aja. Kan nggak semua pembaca entry ini pernah baca Karma itu Lonte~

      5. Dian dan Iriana (semoga aja) kan OTP~ :D

      Hapus

Posting Komentar