[R4] Zenistia Nisrina - The Diference Between Villain and Heroes

By:Mayn Urr Izqi

The Diference Between Villain and Heroes

"Sampai bertemu di ronde selanjutnya," sudah setengah jam yang lalu Zenistia mengatakan itu pada Super.

Pasang demi pasang peserta telah memasuki labirin, meninggalkan Zenistia dan Riska yang masih belum memasukinya. Matahari mulai menyembunyikan dirinya. Tak ada lagi langit kebiruan, itu telah digantikan dengan semburan warna merah di ufuk barat. Dengan lembutnya angin yang menerpa rambutnya, Zenistia menyiapkan dirinya.

"Baiklah, kalian yang terakhir. Silahkan masuk dan semoga beruntung," panitia mengatakan itu sembari memberi jalan pada Zenistia dan Riska.

Ke duanya saling mendekat dan bertatap mata. Kali ini Zenistia beruntung. Selain dipasangkan dengan ras non manusia, tidak akan ada orang lain yang akan melihat atau pun mendengar apa yang akan terjadi nantinya. Dengan kata lain dia bebas.

Ke duanya bertatap untuk beberapa detik sebelum Riska tersenyum ramah, tapi tanpa menghiraukannya, Zenistia malah berpaling dengan wajahnya yang berubah dingin.

Bukan lagi angin lembut dan hangat yang menerpa dirinya, tapi angin dingin yang menusuk leher belakang dan memberi kesan seolah kematian tengah merangkak mendekat padanya. Namun, karena sudah terbiasa dengan hal tersebut, Zenistia bahkan tidak menunjukkan reaksi sedikit pun. Riska yang merupakan seorang —jika bisa disebut orang— hantu pun tampak biasa saja.

Tembok labirin yang terbuat dari tulang belulang yang menjulang setinggi 5 meter. Tanah semerah darah dengan bau amis khas yang mirip layaknya bau amis darah. Ditambah dengan kabut yang menutupi banyak tempat. Labirin itu tampak seperti kematian sendiri.

Pelan, ke duanya mulai melangkah masuk menghiraukan semua itu. Mengambil arah ke kanan di pertigaan pertama. Zenistia meraih Light Saber dan mengaktifkannya. Saat sebuah cahaya kebiruan menarik perhatian Riska, dia pun berpaling pada Zenistia dengan wajah terkesan.

"Wooaaahh... Hebat. Itu seperti di film. Sepertinya kau adalah tipe orang yang suka mempersiapkan segalanya meski masalah masih terlihat jauh," dengan santainya Riska melempar semua itu pada Zenistia.

"Oh, benarkah? Tapi masalahku sudah ada di sini."

"Huh? Apa maksudmu?" Zenistia tidak memberikan jawaban sama sekali. Dia justru menebas secara vertikal dari bawah pada Riska. Beruntung Riska bisa melompat ke belakang sejauh tiga meter.

"Maksudku? Aku ingin kau mati," Zenistia mendekat dengan cepat dan menebas ke bawah.

"Baiklah jika itu maumu!!!" Riska melompat ke samping, terbang layaknya kilat, dan melepaskan pukulan.

Zenistia mengaktifkan photon bracelet dan menciptakan medan energi di tangan kiri sebagai perisai. Pukulan Riska mendarat tepat pada perisai energi. Serangan itu ditahan dengan mudah, tapi bukannya menebas menggunakan Light Saber, dia malah membuang light saber dan memukul mundur Riska tepat di bagian wajah.

Riska terhuyung sebelum akhirnya dia menabrak tembok tulang yang menjulang tinggi. Tak ingin menyerah membuat Riska langsung melompat dan terbang mendekat. Menendang secara horizontal, dihindari dengan menunduk oleh Zenistia dan memberikan pukulan uppercut, tapi berhasil dihindari dengan sebuah putaran di udara, dan berlanjut dengan tendangan lain yang berhasil mendarat di perut Zenistia.

Tapi Zenistia tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Dia tetap berdiri dengan wajah layaknya seorang pembunuh.

"Seperti yang di duga dari hantu. Kalian tidak memiliki power limiter, seperti manusia, tapi karena itulah kalian harus mati!!" ucap Zenistia dengan bibir yang menyeringai, sedangkan Riska sudah muak dengan semua itu.

Zenistia melepaskan pukulan yang berhasil dihindari dengan lompatan ke samping oleh Riska. Kaki kanan Riska pun melayang dan menargetkan wajah Zenistia. "Bak!!" serangan itu ditahan dengan logam di punggung tangan kanannya. Menyadari Riska terdiam untuk beberapa detik, membuat Zenistia langsung melepaskan pukulan sekali lagi. Namun, tentu saja Riska langsung melayang, berputar sambil bergerak ke belakang Zenistia, dan menempatkan kakinya di kepala Zenistia.

Zenistia terhempas ke depan. Wajah menabrak tembok belulang dan terhenti begitu saja. Tanpa memberi istirahat, Riska langsung terbang mendekat dan mengepalkan tangannya. Namun, beberapa detik setelah kepalan tangan itu di lepaskan, Zenistia bergerak ke samping. Membuat Riska hanya bisa melubangi tembok tulang.

Riska hendak menarik tangannya, tapi Zenistia sudah melepaskan pukulan tangan yang bersarang tepat di wajah Riska. Gaun putih itu ditarik Zenistia dan dilanjutkan pukulan lagi di tempat yang sama. Saat pukulan ke tiga hendak dilepaskan, Riska langsung membawa Zenistia terbang. Refleks akan takut ketinggian membuat Zenistia langsung melepaskan gaun putih itu dan membiarkan Riska melayang di udara.

"Kau sendiri sepertinya bukan manusia. Mana ada manusia yang bisa menahan pukulanku?" Riska tampak mendekat luka di wajahnya. Beberapa detik kemudian, Riska terhuyung hendak jatuh, tapi masih bisa bertahan di udara.

"Maaf saja, tapi itu berkat armorku yang terbuat dari campuran dari 21 unsur kimia yang dibuat dengan metode pendinginan. Membuatnya menjadi logam yang bisa menyerap energi kinetik, Unobtainium. Yah, meskipun masih bisa hancur jika terlalu banyak menyerap energi kinetik. Ngomong-ngomong.... Hanya tinggal menunggu waktu hingga kau turun ke sini," Zenistia menyeringai sekali lagi.

Di atas sana, Riska tampak kebingungan. Kepalanya terasa pusing, pandangan memudar, dan tubuhnya terasa lemah.

"Apa? Apa yang kau lakukan padaku?!!!" Riska berteriak hingga membuat tembok-tembok tulang bergetar bahkan Zenistia harus menutup telinganya.

Saat suaranya mulai reda, Zenistia tersenyum puas sambil menatap dari bawah pada hantu yang kini setengah transparan. Riska tampak terkejut atas kondisi yang tak pernah dialaminya.

"Apa yang kau lakukan padaku?!!!"

"Kekuatanku adalah menyegel kekuatan lain melalui sentuhan. Aku bisa mengatur tipe Penyegelan menjadi beberapa bagian atau keseluruhan. Aku bahkan bisa menentukan jangka waktu untuk segel yang kubuat, bisa sementara atau pun permanen. Untukmu, aku membuatnya menjadi permanen."

"Itu tidak menjelaskan kondisiku saat ini bodoh!!!"

"Tenanglah hantu bodoh! Aku bisa saja menyegelmu secara langsung dan permanen, tapi aku akan langsung pingsan di sini, karena itu aku menyegel kekuatan untuk menjadi seratus bagian dan secara permanen."

"Sudah kubilang itu tidak menjelaskan kondisi... Ku?" Riska kembali kehilangan keseimbangan. Namun, masih bisa mempertahankan dirinya di udara meski kesadarannya semakin memudar dan melemah.

"Hantu. Kalian adalah bentuk dari energi negatif dan kumpulan ingatan dari seseorang yang dipadatkan, dengan kata lain kalian adalah kekuatan itu sendiri dan tidak memiliki tubuh fisik. Lalu... Apa yang terjadi saat aku berhasil menyegel kekuatanmu secara utuh dan permanen?" Riska terdiam mendengar itu, "Kau akan menghilang dari dunia ini."

Tanpa mengatakan apa pun lagi atau mungkin lebih tepat jika tidak memiliki apa pun untuk dikatakan. Riska hanya terdiam melamun di udara dan berbalik. Dia terbang menjauh tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Benar-benar tampak seperti hantu.

Sebelum menyadarinya, telah mengalir darah merah dari hidung Zenistia. Mungkin karena tabrakan dengan tembok tadi.

Zenistia segera menyeka darahnya dan menatap pada langit merah yang kosong. Sosok hantu tak lagi terlihat. Namun, dia masih memiliki hal yang harus dilakukan. Karena itu Zenistia segera mengambil Light Saber miliknya dan menyarungkannya lantas meninggalkan tempatnya.

Srak-srak-srak!! Suara langkah kaki Zenistia menggema di labirin yang suram itu. Sejauh mata memandang hanyalah tembok tulang dan tanah semerah darah yang terlihat. Ditambah dengan angin dingin yang menggelitik tulang punggung dan kabut yang menutupi ujung jalan yang dia lalui membuat semuanya mencekam sempurna. Sayangnya dia tidak merasakan hal itu karena telah melalui berbagai hal yang mirip.

Misi pembataian phantom yang berakhir dengan pletonnya yang menghabisi phantom paling banyak. Masih bisa dia ingat dengan jelas bangkai berbagai makhluk yang ditumpuk menjulang tinggi dan dibakar sebagai pengganti kayu bakar untuk menghangatkan diri di tengah gurun pasir.

Pasir yang diinjaknya saat itu pun juga berwarna merah juga sama seperti tanah yang tengah diinjaknya. Angin dingin dan suasana mencekam pun juga terasa sama seperti hari itu. Satu-satunya yang terasa kurang hanya keberadaan senior yang disukainya.

Pertigaan. Zenistia hendak berbelok. Namun, terhenti setelah dia melihat kobaran api jauh di sana. Dia pun mengurungkan niatnya dan terus berjalan, tapi terhenti saat api menyambut jalan di depannya. Hendak berbalik dan berlari, tapi terhenti saat menyadari bahwa dirinya telah terkepung oleh api.

Dia segera menoleh ke kanan dan ke kiri dan mencoba mencari segala sesuatu yang bisa dipakainya untuk menyelamatkan diri, tapi tak ada apa pun di sana. Ritme degub jantungnya mulai tak karuan dan pikirannya mulai kacau.

"Zenistia tolong!!" suara itu membuat Zenistia terdiam tak bergerak. Saat dia berbalik dia pun membuka ke dua matanya lebar-lebar. Di tengah api, ayah ibunya tengah memeluk satu sama lain sambil mengulurkan tangan pada Zenistia.

"Zenistia tolong!!!" namun, Zenistia hanya berdiri mematuhi di tempatnya. Tak bergerak seinchi pun karena rasa takut yang telah merantai ke dua kakinya.

"Setidaknya selamatkan dirimu!" saat kalimat itu diucapkan ibunya, sosok hitam muncul dan membakar ke duanya. Zenistia hanya terdiam bahkan tak mampu berbuat apa pun.

Dia terjatuh dengan wajah shock akan apa yang baru saja dilihatnya. Dia gagal menyelamatkan ayah ibunya. Phantom itu membakar semuanya, keluarganya, rumahnya, bahkan mimpinya. Hanya meninggalkan rasa takut akan api yang tidak bisa diobati lagi.

Saat sosok hitam itu mendekat, Zenistia hanya bisa terdiam menatap kosong pada sosok tersebut. Sepasang sayap muncul di punggung sosok hitam itu dan Zenistia langsung bangkit dan berbalik.

"Tidak!!!!!!! Tolong!!! Tolong aku!!!!" dia berlari sejauh satu meter sebelum mengetahui bahwa dirinya dikepung api. Tak dapat melarikan diri dan tak berdaya.

Dengan rasa takut dan kematian yang masih menempel di kakinya, Zenistia berbalik pada sosok hitam itu. Sosok itu semakin mendekat dan dekat hingga dia meraih tangan Zenistia dengan paksa dan membawa Zenistia ke angkasa.

"Tidak!! Jangan bawa aku!!! Lepaskan aku!!!! Tolong!!!! Kak!!! Tolong aku!!! Kak Zenist!!!!!!" sekuat tenaga dia berteriak.

"Hoi, jangan melamun!" Zenistia mengangkat wajahnya saat seseorang menepuk bahunya.

Pelan, Zenistia berpaling pada orang tersebut. Wajah seorang lelaki dengan senyum ramah, tapi dengan mata yang tajam menusuk pun terlihat.

"Ah, Kak Zenist?" Zenistia memalingkan kepalanya kebingungan.

"Memangnya siapa lagi?" Laki-laki itu duduk di samping Zenistia.

Zenistia mulai berpaling dan mencoba mencari tahu keberadaannya. Langit hitam bertabur bintang, gurun pasir dengan pasir berwarna merah, angin dingin yang menembus armor mereka, dan api yang membakar para Phantom.

"Ah, benar. Kita sedang dalam misi," Zenistia bergumam.

"Memangnya kau pikir kita ada di mana?"

"Ehehehe..."

"Dasar," Laki-laki itu mengelus kepala Zenistia, sementara Zenistia hanya tersenyum kecil. "Apa kau yakin dengan ini?"

"Huh? Maksud Kakak?"

"Kau membiarkan ayah ibumu mati di bakar api dan sekarang kau menjadi anggota pasukan khusus. Apa sebenarnya tujuanmu? Jika kau hanya ingin membunuh phantom untuk balas dendam, sebaiknya kau berhenti! Tidak, tidak mungkin kau balas dendam. Mungkin... Kau hanya mencari alasan hidupmu, benar?"

"Hmm..." Zenistia mengangguk pelan. "Setelah kematian ayah dan ibu, aku tidak memiliki apa pun lagi. Semuanya habis dibakar api. Menjadi anggota pasukan khusus pun hanya pengalihan perhatian supaya aku bisa berpura-pura memiliki tujuan."

"Kalau begitu sebaiknya kau berhenti!"

"Benar, seharusnya aku melakukan itu dari dulu, tapi berkat kepura-puraan itu. Aku jadi memiliki sesuatu saat ini, yaitu mencegah orang lain mengalami hal yang sama denganku. Itu juga sebagai penebusan dosaku karena tidak bisa menyelamatkan ayah dan ibu. Aku akan membunuh phantom supaya mereka tidak bisa menyakiti manusia bahkan sebelum mereka memikirkan hal itu. Aku melindungi manusia, karena itu aku harus tetap di jalan ini. Di sisi lain ada yang harus kukatakan padamu?"

"Apa maksudmu?"

"Meski Kakak saat ini hanya ilusi, tapi aku berjanji padamu. Aku akan kembali dan akan menyelamatkan dunia kita. Para Phantom akan lari ketakutan saat mendengar namaku dan manusia akan bisa hidup dengan damai. Saat itu terjadi, aku ingin berada di sebuah rumah yang menghadap ke hutan. Aku ingin tinggal di sana denganmu, bukan sebagai rekan kerja. Namun, sebagai istrimu Kak Zenist," Zenistia mendekat dan menempelkan bibirnya pada laki-laki itu.

"Ah, aku akan menunggumu."

###

Pelan, Zenistia membuka ke dua matanya. Bangkit dari tanah dan menyadari dirinya telah pingsan dan bersandar pada tembok tulang. Di hadapannya jalan lurus dengan cahaya di ujung. Namun, jalan itu tidak sepi. Ada banyak makhluk non manusia yang tergeletak tak sadaran diri di sepanjang jalan. Zenistia menyadari kalau mereka adalah para peserta yang mungkin gagal dan terjebak dalam ilusi.

Dia bangkit dan berdiri. Mengaktifkan Light Saber dan mendekat pada makhluk terdekat. Menatap makhluk itu dengan dingin, sebelum akhirnya menusuk jantungnya dengan Light Saber. Satu korban jatuh. Dia kemudian berlanjut ke korban selanjutnya sambil terus berjalan menuju ke sumber cahaya.

"Aku akan kembali dan menyelamatkan dunia kita, Kak Zenist."

###

"Mas!!! Jangan tinggalkan aku!!!! Aku mencintaimu!!! Gadis itulah yang membunuhku!!!! Jangan percaya padanya!!!!! Mas Bokir!!!!"

Riska membuka ke dua matanya dengan cepat dan memandang langit-langit dengan lampu yang menggantung. Dia mulai bangkit dan menemukan dirinya terbaring di atas kasur lembut. Di dalam kamar yang hangat dan terang.

"Oh, kau sudah bangun?" sosok seorang nenek dengan kulit merah, bertanduk, dan saya kecil di punggung memasuki ruangan. "Bagaimana keadaanmu?"

"Kurasa lebih baik. Terima kasih," Riska mencoba untuk tersenyum.

"Tetapi apa yang terjadi padamu? Kau tiba-tiba jatuh di depan rumahku dan membuat anak kecil ketakutan."

"Ah, aku peserta Batle of Realms."

"Oh, itu menjelaskan keadaan tubuhmu yang unik," mendengar hal itu membuat Riska melihat tangannya. Baik tangannya mau pun tubuhnya, semuanya tampak setengah transparan. Dia bahkan bisa melihat benda-benda melalui tubuhnya. Dia tampak seperti bisa lenyap begitu saja.

Blam!!!!! sebuah dentuman keras membuat ke duanya berpaling. Jendela terbuka dengan sendirinya dan menampilkan sebuah cahaya kebiruan yang lurus dan meratakan apa pun yang disentuhnya.

"Cepat pergi keluar!!" Riska mendorong nenek itu keluar dari jendela dan dia sendiri segera keluar. Sesaat setelah itu, cahaya biru itu langsung menyambut rumah si nenek dan membuat rumah itu menjadi abu.

Abu yang diterpa angin, halaman rambut yang berserakan, penduduk yang berlarian menyelamatkan diri, dan cahaya biru yang merubah segalanya menjadi abu. Hanya itu yang terlihat di mata Riska.

Tangisan anak kecil yang meminta pertolongan, jeritan gadis yang menggemari ke setiap sudut, dan suara langkah kaki yang tiada henti terdengar. Semua itu terdengar jelas menembus telinga Riska.

Semua yang dihadapannya membuatnya berpikir. Makhluk macam apa yang bisa melakukan sesuatu seperti ini? 

Dia terdiam, tubuhnya menggigil meski dia adalah hantu, hatinya seperti disayat pedang, dan dadanya sesak membuatnya sulit bernafas. Entah kenapa, tapi semuanya menjadi hening. Dia tak lagi mendengar apa pun dan semuanya tampak bergerak sangat lambat. Sama seperti saat dua batu menghimpit tubuhnya. Rasa kematian yang merayap keluar dari kegelapan dan memeluk tubuh dingin secara lembut dan pelan. Semuanya terasa sama. Namun, hal yang membedakan adalah di pintu masuk desa.

Para laki-laki Hvyt tampak membawa senjata masing-masing dan mencoba membunuh seorang gadis berambut pendek, tapi mereka bahkan tidak bisa melukai gadis itu. Gadis itu bisa menghindari setiap serangan yang diberikan dan langsung membalas dengan memberi kematian. Pedang cahaya biru di tangannya, telah merenggut berbagai nyawa. Baik anak kecil, wanita, bahkan orang tua.

"Zenistia!!!!!!!" Riska melesat layaknya kilat pada Zenistia yang diserbu para Hvyt. Zenistia yang menyadari hal itu langsung mengaktifkan Photon Bracelet dan menggabungkannya dengan efek dari Burst Bracelet. Medan energi langsung menutupi seluruh tubuhnya, tapi Riska tidak berhenti. Kepalan tangannya semakin keras dan dilepaskan begitu saja.

Saat pukulan itu bertemu dengan medan energi Zenistia. Ledakan energinya membuat para Hvyt terhempas begitu saja. Beberapa dari mereka selamat karena berhasil mendarat dengan kaki, tapi yang lain tidak. Beberapa dari mereka tertancap pada kayu dari rumah yang roboh dan beberapa menabrak dinding dan tertancap pada tulang tajam di sana.

"Pergilah!! Aku bisa menahan keparat ini!!!" Riska berteriak memerintah, sementara Zenistia malah berwajah dingin.

Para Hvyt tidak berpikir panjang. Mereka langsung membentuk kelompok dan melarikan diri dengan masuk ke labirin.

Zenistia mematikan medan energinya. Menendang kaki Riska dan Riska pun terjerembab di tanah. Tidak berhenti, Zenistia menginja wajah Riska dan mencegah Riska untuk bangkit.

"Tar-2145, Burst!" dengan kalimat sederhana itu, dia menekan pelatuk senjatanya. Cahaya biru kembali muncul dan diarahkan pada para penduduk. Apa pun yang di sentuh cahaya itu menjadi abu. Tak terkecuali para Hvyt yang kini tak lagi tersisa.

"Kau monster!!! Penjahat kurang ajar!!" Riska Menendang Zenistia hingga terhempas dan menabrak tembok. Debu mengepul dari tembok tempat Zenistia mendarat, sedangkan Riska mulai bangkit meski tubuhnya masih terasa lemah.

Dari balik kepala debu itu, Zenistia berjalan dengan pelan dan menunjukkan dirinya yang berwajah dingin.

"Penjahat? Apa yang kau tahu tentang itu?"

"Kau baru saja membunuh satu desa. Berapa banyak nyawa yang kau renggut? Apa kau tidak memiliki belas kasih? Kau penjahat keparat!!!" Riska melesat sekali lagi dan melepaskan pukulannya, tapi Zenistia bisa menghindari pukulan tersebut dengan mudah dan membuat Riska memukul tembok lagi.

Balasan dari Zenistia muncul. Jab kanan mendarat di wajah Riska, dia terhuyung ke samping, tapi Zenistia nistia tidak berhenti. Jab kiri kembali menyusul, disusul lagi dengan jab kanan, dan diakhiri dengan uppercut. Riska pun terhempas ke atas dan berakhir tergeletak di tanah.

"Monster, ya?" Zenistia menurunkan ke dua tangannya sambil menatap tubuh Riska yang hampir menghilang seutuhnya. "Jika kau melihat dari sudut pandangmu atas apa yang kulakukan  barusan, tentunya kau akan melihatku sebagai penjahat. Namun, cerita akan berbeda jika kau melihatnya dari sudut pandang duniaku. Kau akan melihatku sebagai pahlawan."

"Pahlawan macam apa yang menghabisi satu desa?"

"Robin hood. Dia mencuri dari orang kaya dan membagikan harta ceritanya ke rakyat miskin. Menurutmu dia penjahat? Atau pahlawan?"

"Dia penjahat."

"Salah. Dia adalah ke duanya. Dia adalah penjahat bagi para orang kaya yang telah bekerja keras untuk menyusun hidup dan dia juga adalah pahlawan bagi rakyat miskin yang membutuhkan bantuan. Setelah semuanya, penjahat atau pahlawan hanya masalah sudut pandang saja."

"Apa yang ingin kau sampaikan pada orang yang akan mati untuk ke dua kalinya ini?"

"Di duniaku. Aku bertempur dengan berbagai ras non manusia, aku melindungi manusia. Karena itulah, aku adalah pahlawan bagi manusia, tapi aku juga seorang penjahat bagi para ras non manusia."

"Diamlah! kau membuatku semakin muak. Setidaknya biarkan aku mengenang wajah Mas Bokir sekali lagi, karena mimpiku untuk kembali hidup, sudah lenyap."

"Kaulah yang akan diam di sini," Zenistia menundukkan tubuhnya pada Riska yang tak lagi bisa menggerakkan seujung jari pun. Tangan kanannya mengepal dan bergerak pada wajah yang babak belum itu. Pukulan pun diterima Riska. Bersamaan dengan itu, dia menghilang dan lenyap.

Zenistia pun bangkit dan menatap langit yang gelap bertabur bintang. Tampak indah tanpa kedatangan satu pun ras non manusia.

"Grrrrrr....." geraman itu membuat Zenistia berpaling. Menatap sosok besar berotot dengan pedang besar di tangannya. Rambutnya hitam panjang berantakan, matanya semerah darah, nafasnya berat, dan Zenistia bisa merasakan aura dingin yang keluar dari tubuh hitam besar itu. Rasa dingin itu menusuk kulit, tapi Zenistia tidak lari dan malah menatap sang iblis Astaroth.

"Aku sebenarnya tidak mau melakukan ini karena konsep perbedaan kekuatan, tapi aku harus mencari tahu," entah apa yang digumamkan Zenistia, tapi dia menarik Dream Liner dari sarungnya.

Iblis Astaroth langsung berlari. Setiap pijakan yang dia ambil menghancurkan tanah dan pedang besar diangkat tinggi-tinggi dari kejauhan. "Aaarrrgghhhhh!!!!!" 

Zenistia masih berdiri di tempatnya. Dream Liner diangkatnya dan dia meneriakkan, "Line!!" pelatuk pun ditekan dan sebuah laser melesat keluar dari ujung Dream Liner. Astaroth tidak menghindar, dia menerima serangan tersebut. Cahaya kebiruan menempel di tempat serangan Dream Liner. Sebuah benang cahaya panjang menghubungkan ujung Dream Liner dan tubuh Astaroth.

Pelan, Zenistia mengarahkan Dream Liner ke kepalanya dan menekan pelatuknya. Sebuah benang biru pun kini menghubungkan kepala Zenistia dan Astaroth.

"Connect!!!" bersamaan dengan teriakan Zenistia, Astaroth terhenti dan terjerembab ke tanah.

Ke duanya memasuki alam bawah sadar dan saling menarik. Namun, Astaroth yang tidak pernah mengalami hal tersebut pun kalah. Zenistia yang menjadi pemenang harus menerima ingatan Astaroth di masa lalu dan menerima kekuatan milik Astaroth. Kekuatan tanpa batas dan menjadi abadi.

Pelan, Zenistia membuka ke dua matanya. Tubuh hitam kekar tak lagi terlihat di wajahnya. Yang terlihat adalah satu Hvyt yang berjalan mendekat pelan dengan tenaga yang hampir tidak tersisa.

"Cukup menyedihkan kisahmu Hvyt. Jatuh cinta pada musuh, dikutuk menjadi pelindung kaummu untuk untuk selamanya, dan tidak bisa meninggalkan pulau ini untuk selamanya untuk bertemu dengan orang yang kau cintai hingga akhirnya hayatnya. Sudah tiga ratus tahun kau melindungi tempat ini dan akhirnya kau jatuh cinta lagi, tapi aku merenggutnya. Kau memang tidak ditakdirkan untuk bahagia," sebelum Hvyt itu berlari, Zenistia sudah melesat dan memukul perut Hvyt tersebut. Namun, Hvyt tersebut tidak terhempas, melainkan hancur menjadi kepingan kecil yang berserakan di berbagai tempat. "Dengan ini, kau pun mati. Raja Iblis Astaroth atau mungkin lebih suka jika kusebut, pahlawan Hvyt. Orang yang dikhianati kaumnya karena jatuh cinta."

Zenistia menatap kumpulan daging yang berceceran itu, tapi segera berbalik dan menatap ke tembok. Dengan tak adanya Astaroth, dia bisa menghancurkan tembok sesuka hati dan membuat jalan pintasnya sendiri.

Zenistia mengambil kuda-kuda dan melesat layaknya kilat. Menghancurkan lima lapis tembok sebelum akhirnya dia mengulangi hal tersebut hingga lihat menit berlalu. Kekuatan Astaroth menghilang dari tubuh Zenistia, tapi Zenistia tak lagi membutuhkannya. Dia sudah bisa melihat kapal NGSR di pelabuhan. Azusa, Super, Riven, dan rekan-rekannya tampak melambaikan tangan padanya.

Zenistia segera mendekat pada mereka. Super langsung memberi Zenistia jus aple, Azusa langsung memeluk Zenistia, Riven dan Ebenezer menanyakan apa yang terjadi di labirin.

"Di mana Riska?" saat Laurel menanyakan itu, semua orang pun sadar kalau Riska tidak bersama dengan Zenistia.

"Sebaiknya kalian tidak tahu," Zenistia tersenyum kecut.

"Astaroth, ya?" Riven bergumam.

"Ah, aku lelah. Aku akan istirahat dulu," Zenistia berjalan masuk dan menuju ke kamar yans sudah disiapkan untuknya oleh panitia.

Dia langsung membandingkan tubuhnya ke kasur dan memeluk guling dengan senyum manis di bibirnya.

"Kak Zenist, aku akan pulang dan menyelamatkan dunia kita. Aku berjanji," Zenistia menutup matanya dengan pelan dan membiarkan dirinya terlelap menuju ke alam mimpinya.

Komentar

  1. Selesai baca, kesan pertama yg timbul adalah... Riska itu samsak pelampiasan banget. Wkwk. Saya gak mengikuti ceritanya Zenist secara dalam sih (hanya liat CS dan r1) dan saya pikir dia batu banget. Udah suka menggeneralisasi, diwujudkan pula generalisasi itu dalam tindakan. Kayaknya bukan orang yg menyenangkan untuk diajak diskusi //eh. Untuk entrinya sendiri cukup rapi dan deskripsinya dapet. Kebayang suasana dan ruang fisiknya, tapi saya rasa blm dalam nyentuh ranah emosi, masih terlalu umum motivasi yg ada. Simpelnya macam, "Ini semua salah phantom gua hancurkan mereka semua!" Padahal r4 ditujukan buat penggalian karakter. Skor 8 -Ifan

    BalasHapus

Posting Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya