[Round 1] Fransisca Remington - Ketakutan Seorang Iblis Bagian 1

By: Tearmeapart
Ketakutan Seorang Iblis: Bagian 1

Malam hari sebelum babak pertama dimulai, para peserta memiliki kesempatan untuk menyantap makan malam yang telah disiapkan oleh pihak panitia. Sebagian memilih untuk beristirahat untuk perlombaan, namun sebagian sudah ada yang menyiapkan beberapa rencana untuk mencapai kemenangan di esok hari.

Fransisca memilih untuk menyendiri di taman atap hotel.

Ia menyandarkan dirinya di tembok pagar yang menjulang tinggi, dan matanya menatap langit bulan purnama dan lautan bintang.

Kekuatanku tidak berubah terlalu banyak, pikir Fransisca. Kehilangan separuh tanduknya, ia berpikir kalau kekuatannya akan hilang secara proporsional. Namun yang ia rasakan hanyalah sedikit perubahan. Apakah efeknya akan datang secara bertahap? Pikir Fransisca. Akan tetapi yang paling mengganggunya adalah perasaan aneh tiap kali ia menggunakan sihir.

Lautan bintang dan bulan purnama di langit seolah berkonspirasi menyembunyikan jawaban yang Fransisca cari tentang hal tersebut.

“Apa yang kau lakukan disitu?” tanya Fransisca menyadari sesuatu sedang bersembunyi dalam bayangan.

Sebuah makhluk yang entah bagaimana berbentuk bola bowling menggelinding keluar dari gelap, “Kupikir kau sudah menyadariku dari tadi.”

Tom, si makhluk berbentuk bola bowling, menggelinding mendekati Fransisca.

“Enyahlah, aku tidak ingat meminta kawan untuk malam ini.”

Tatapan dingin Fransisca membuat Tom berhenti.

“Tentu kau tidak meminta kawan. Aku tidak datang atas kehendak siapapun.”

“Kalau kau mengerti, cepat lenyap dari pandanganku.”

“Kurasa kita memulai perbincangan ini dengan sedikit gegabah. Perkenalkan namaku Tom.” Tom menggelinding sedikit seolah membuat gestur seperti gerakan membungkuk.

“Aku tidak pernah menanyakan namamu.”

“Oh, kupikir adalah hal yang sangat sopan dan terdidik untuk mengenalkan dirimu terlebih dahulu, bukan begitu.”

Fransisca berpikir untuk melenyapkan Tom dengan paksa, namun perasaan yang menghantui dirinya ketika menggunakan sihir membuat dirinya enggan melakukannya.

“Katakan tujuanmu.”

Tom kembali menggelinding pelan ke arah Fransisca, “Mencari teman bicara. Bertukar wawasan dan pengalaman. Hal itulah yang kucari. Dan kurasa kau adalah orang yang tepat untuk memuaskan rasa penasaranku.”

“Kau anggap diriku ini sebagai peramal?”

“Oh, tentu bukan. Tidak sama sekali. Jauh dari itu. Pertama kali bertemu denganmu aku merasa kau benar-benar berbeda dari yang lain, walaupun kita semua berbeda disini.”

“Kalau begitu bicaralah dengan yang lain.”

“Tidakkah penyihir kuat sepertimu merasa kalau kejadian yang kita alami ini benar-benar luar biasa? Maksudku dunia pararel sebelumnya hanya ada diatas kertas semata, dan kemudian kita semua menyaksikkan eksistensinya sekarang.”

“Banyak orang-orang sepertimu di kerajaanku, dan aku hanya berbicara dengan mereka tiga kali dalam sebulan.”

“Kalau begitu kah harus lebih sering berbicara dengan mereka. Kau mungkin akan mendapatkan jawaban tentang perasaan yang menghantuimu saat kau melayangkan bola-bola sihir itu.”

Fransisca menarik pandangannya dari langit malam dan melirik Tom dengan tajam.

“Kau merasakan sesuatu yang aneh kan, Fransisca?” Tom kini menggelinding lebih dekat ke arah Fransisca.

“Kau boleh bicara lebih lanjut.”

Ya ampun, orang yang merepotkan, pikir Tom.

Dalam kamus Fransisca, Tom adalah seorang homunculus. Sebuah makhluk hidup buatan. Dirancang sebagai sebuah media penyimpan informasi, Tom layaknya perpustakaan besar yang berjalan yang menyimpan rahasia alam semesta dari kemunculan awalnya hingga masa depannya.

“Membuat makhluk sepertimu sepertinya akan membuat rahasia atau informasi bocor cukup mudah,” Ujar Fransisca saat mendengar asal-usul Tom.

“Mungkin penciptaku tidak berpikir untuk menggunakanku sebagai alat perang.”

“Tapi kurasa siapapun penciptamu itu cukup hebat. Kupikir makhluk sepertimu hanya ada dalam dongen-dongeng semata.”

“Ketika sudah berada di dunia ini, aku berpikir kalau dongeng-dongeng tersebut mungkin ada benarnya.”

“Jadi,” nada Fransisca mulai dingin, “apa yang kau tahu tentang masalah sihirku.”

Mata Fransisca menatap tajam Tom seolah mencari jawaban yang sesungguhnya dan tanpa basa-basi.

“Kurasa penyihir hebat sepertimu tidak akan pernah memunculkan keraguan apapun saat menggunakannya, bukan begitu?” mulai Tom.

Fransisca tidak menjawab apapun.

“Aku tidak tahu banyak bagaimana sihir bekerja di alam semestamu, namun aku merasakan energi yang kau keluarkan tidak sepenuhnya.”

“Jadi solusi apa yang bisa kau tawarkan?”

Tom berguling ke kiri dan kanan beberapa kali, “Aku merasa kalau aku bisa mencarikan sumber masalahmu, dan setelah kita menemukannya tentu kita akan bersama-sama membahasnya.”

“Kau bilang kau bisa merasakan kalau aku tidak mengeluarkan seluruh kekuatanku. Bagaimana kau tahu?”

“Yang aku bisa rasakan dari sihirmu, Fransisca, adalah tiap kali kau mengeluarkan sihir kau selalu menarik tenaga dari dalam tubuhmu, aku berkesimpulan seperti ini karena aku tak merasa dan melihat kau mengambil tenaga dari luar. Sistem sihir ini sangat unik buatku. Sihir dalam sepengetahuanku menggabungkan kekuatan dari luar dan dalam pengguna. Namun yang kulihat semua tenaga yang kau gunakan datang dari dalam dirimu. ”

Fransisca berpikir sejenak. Ia pernah mendengar gurunya dulu mengatakan hal serupa.

“Jadi maksudmu jika ada yang salah dengan sihirku, maka itu datang dari dalam diriku?” tanya Fransisca.

“Faktor psikologis ataupun keadaan mental memang berkaitan kuat dengan sihir pada umumnya. Walaupun kau menarik kekuatan dari alam luar maupun, dalam kasusmu ini, dalam dirimu, tetap pengguna sihir lah yang menanggung beban dari itu semua.”

Berbicara dengan Tom perihal masalahnya, Fransisca sampai pada kesimpulan kalau kehilangan tanduknya bisa berkontribusi besar pada gangguan sihirnya.

“Katakan padaku, garis-garis oranye ditubuhmu itu. Apa itu?” tanya Tom dengan bahagia.

“Mereka adalah sirkuit sihir. Semua penyihir yang kukenal di alam semestaku memilikinya.”

“Lalu apa fungsi mereka? Apakah setiap penyihir di tempatmu memiliki warna yang sama? Jika berbeda apakah ada perbedaan dari tiap warna tersebut?”

Fransisca masih belum yakin tentang sejauh mana tanduknya mempengaruhi sihirnya.

“Mereka muncul mengikuti formasi otot pada umumnya. Bentuk material apapun bisa dialiri sihir jika mereka memiliki sirkuit ini termasuk tubuh.”

“Kau tidak menjawab pertanyaan ku yang lain?”

Fransisca berpikir untuk mencoba sekali lagi menggunakan sihirnya untuk mencari tahu jawaban yang ia cari.

“Cukup sampai disini malam hari ini.”

“Tandukmu,” ujar Tom dengan cepat, “apa semua makhluk di dunia mu memiliki tanduk seperti itu?”

Fransisca menghentikan langkahnya. Sejenak ia berpikir untuk menghabisi makhluk yang sedang diam dia bawah cahaya bulan itu.

“Malam ini kau membantuku dan aku menghargai itu. Tapi sekali lagi kau tanyakan hal itu, besok kau akan ku ubah menjadi abu.”

Fransisca kembali berjalan meninggalkan Tom.

Tom mematung.

Ia berusaha mengingat keras-keras sejak saat itu juga untuk tidak pernah bertanya mengenai hal itu pada Fransisca

Benar-benar orang yang menakutkan, pikir Tom.
*
Pagi hari saat dimulai ronde pertama, orang-orang dikumpulkan di sebuah pantai pasir yang sangat luas. Untuk menang sangatlah mudah; lewati garis akhir dengan selamat. Iya, dengan selamat.

Area pantai dan jalur balapan telah dipenuhi oleh makhluk-makhluk raksasa yang siap menerkam siapapun yang dapat dilihat. Belum lagi para persinggungan antara peserta yang kemungkinan akan membuat jumlah peserta turun drastis.

Namun sepertinya hal itu tidak terlalu berarti bagi Fransisca. Ia memanggil Draphion, kereta kuda kesayangannya. Perawakan Draphion dan aura yang dikeluarkan Fransisca secara tidak langsung telah mengurungkan niat para peserta yang berpikir untuk menjegalnya dari awal. Mereka berpikir Fransisca akan menghancurkan mereka lebih kejam daripada makhluk-makhluk raksasa itu.

Ketika lomba dimulai, Fransisca, dengan kudanya, dapat dengan mudah menguasai langit pantai. Ia dengan cepat membunuh makhluk angkasa yang menggangunya dengan bola-bola magisnya. Dua tiga bola magis dilemparnya, dan perasaan itu muncul kembali. Perasaan yang memaksanya untuk mengeluarkan tenaga yang lebih besar. Fransisca mencoba menahannya dengan berhenti menggunakan sihir sejenak, dan perasaan itu hilang.

Jika begini terus aku akan kewalahan nanti, pikir Fransica tentang keadaanya. Ia akhirnya memutuskan untuk mengikuti perasaan aneh yang merasukinya saat ia menggunakan sihir itu. Fransisca berpikir ia akan menalukkan perasaan itu dengan kekuatannya.
Sebuah petranodon terbang dengan cepat ke arah Fransisca. Saatnya mencoba, pikir Fransisca.

Fransisca mengaliri tubuhnya dengan mana dan melompat. Di atas ia mengarahkan jarinya membentuk sebuah pistol dan bola magis keluar di ujung jarinya. Bola magis itu melayang dengan cepat menerjang petranodon di bawah Fransisca, dan mereka berdua terjun bebas ke bawah.

Di hutan, beberapa potongan mayat peserta dapat ditemukan ditengah pergelutan peserta lain dengan dinosaurus. Pekatnya hutan membuat para peserta kesulitan untuk mengamati sekitar; beberapa pohon mereka lewati dengan aman dan di pohon berikutnya mereka dikejutkan dengan raptor yang sudah mengejar dari samping. Beberapa mengabaikan kendaraanya dan mencoba untuk berjalan, namun keputusan tersebut kebanyakan berakhir dengan mereka dikepung para raptor atau mereka tidak bisa kabur dari tyrannousaurusyang kemudian memakan mereka seutuhnya. Di antara jeritan yang menembus dedaunan hutan, sebuah mobil tua sedang melaju dengan pasti.

Troya, gadis berambut pirang yang berada di balik kemudi mobil tersebut, terlihat sangat fokus dengan area sekitarnya. Sesekali ia melirik spionnya untuk melihat jika ada musuh ataupun pemburu di belakangnya. Dengan cepat ia memutuskan jalur yang dirasa aman dari para pemangsa daratan yang ada di hutan.

Dari sini aku tinggal berbelok menjauhi kawanan dinousarus dan menyisir daerah pantai hingga keluar hutan, pikir Troya.
Berada di tengah hutan membuat Troya memiliki penglihatan yang baik tentang keadaan sekitar. Ia melihat kawanan raptor sedang beramai-ramai di satu sisi suatu waktu dan ia menuju ke arah sebaliknya.

Saatnya tancap gas, pikir Troya. Namun ketika akan berbelok, dari balik pepohonan teriakan seekor raptor dari balik jendela mengejutkannya. Troya kehilangan kendali. Seekor raptor menabrak sisi mobilnya dengan keras. Troya mendapati mobilnya oleng dan terbalik.

Troya tidak memperhitungkan kalau raptor dapat menyisir kawasan hutan begitu cepat. Dari ratusan peserta yang bertaruh nyawa di hutan, sebuah raptor memilih Troya.

Troya keluar dari mobilnya dan berpikir kalau ia tidak akan bisa kabur dari raptor di depannya.

Ia mengutuk keputusannya yang tidak lebih awal menyusuri pantai. Berlomba lari dengan raptor tidak akan membuatnya memenangi perlombaan ini, pikir Troya. Ia mengambil tang dari tas abu-abunya. Mencoba bertahan hidup adalah satu-satunya hal yang dipikirkan Troya saat itu. Ia mundur perlahan.

Raptor tersebut tidak membuang waktu. Ia mengambil langkah zig-zag dan mengarahkan taringnya ke Troya.

Troya berusaha menghindar, namun Raptor tersebut dapat menggigit lepas syal di lengan kiri Troya.

“Menjauh!” teriak seorang wanita!
Troya menolah ke arah suara, dan mendapat seorang wanita berpkaian tempur mengendarai ATV dengan pedang laser di salah satu tangannya.    
Wanita tersebut melaju kencang ke arah raptor dan menebaskan pedangnya. Raptor tersebut melompat menjauh menghindar.

“Kau tidak apa-apa?” tanya wanita di motor.

Troya mengangguk. Tangan kirinya kesakitan.

“Cepat naik, disini tidak aman.”

“Syalku,” kata Troya dengan cepat.

Wanita di atas motor tersebut melirik ke arah raptor yang tadi menyerang Troya. Syal merah tergeletak di dekat kakinya. Dari arah lain terlihat kawanan raptor mendekat.

Zenistia, seorang prajurit tempur, tahu dalam situasi ini kabur adalah pilihan yang tepat.

“Kau benar-benar membutuhkannya?” tanya Zenistia.

Troya mengangguk dengan pasti.

“Bantu aku mengalihkan para raptor ini kalau begitu,” Zenistia turun dari motornya dan menyiapkan senapan otomatisnya, “mereka sangat cepat, jangan sampai kita terpisah.”
Zenistia dengan lihai membidik raptor-raptor yang sudah mengelilingi mereka. Dengan cepat laser-laser menerjang, namun para raptor dengan lincah menghindari nya dengan berlarian. Troya di satu sisi memegang erat palu, siap memukul raptor yang mendekat.

Di tengah kegaduhan tersebut, syal milik Troya masih terlantar di tanah. Sesekali syalnya terbang terbawa angin yang dihasilkan kala raptor berlari melewatinya.

Puluhan peserta lain memanfaatkan keadaan mereka dengan melenggang bebas menembus hutan. Sesekali terdengar suara jeritan entah dari mana.

“Kau bisa mengendarai ATV?” tanya Zenistia yang dijawab oleh anggukan Troya, “Nyalakan mesinnya. Kita kabur dari mereka sekaligus mengambil syalmu.”

“Mobilku akan hancur disini!”

“Kita akan memancing mereka jauh dari sini. Berdoa saja. Kau tidak ingin mati di sini, bukan?”

Troya takluk.

Mobil dan nyawanya adalah hal yang sama, namun kini ia harus menelantarkan mobilnya.

Zenistia mengarahkan para raptor itu menjauh dari syal dengan menembak berkali-kali daerah sekitarnya. Para raptor itu menjauh dan menghindar, namun sesekali mencoba menyambar.

“Jalan!”

Troya langsung memacu ATV dengan kencang.

Zenistia mengulurkan tangannya untuk mengambil syal yang berada di tanah, “Sekarang tinggal ke garis akhir.”

Troya dan Zenistia kini mencoba membaur di antara peserta lain. Mereka yang tadinya menjadi incaran para raptor, kini membagi beban tersebut pada peserta lain.

“Tetap mengarah ke tengah, kita masih butuh bermanuver,” perintah Zenistia sambil sesekali menembakkan senapannya.

Beberapa kali mereka bermanuver menjauhi kawanan raptor. Troya dengan lincah bergerak zig-zag menembus hutan. Pikirannya kembali pada mobilnya yang masih menunggu di hutan sana.

“Mereka masih mengejar?” tanya Troya.

“Beberapa,” jawab Zenistia.

Namun kemudian para raptor berhenti, bergumam kecil, dan mereka mengambil langkah seribu dengan cepat.

Apa yang terjadi, pikir Zenistia. Ia menghadap depan, dan seketika terkejut.

“Dari samping!”

Troya menoleh, dan mendapat seekor tyranoussaurus berdiri menyambut mereka. Ia membanting setir, namun karena tak ingin oleng lagi, Troya menghentikan ATV untuk menjaga keseimbangan.

Target yang lebih besar akan lebih gampang, pikir Zenistia. Dia membidikkan senjatanya. Namun seketika, darah turun deras seperti hujan dari langit. Sebuah petranodon, dengan dadanya berlubang besar, jatuh menimpa tyrannousaurus dengan kuat, membuatnya tidak sadarkan diri.

Troya dan Zenistia yang tidak mengerti apa yang terjadi dan hanya bisa terdiam dan melihat ke langit, dimana mereka melihat sosok wanita jatuh dari sana.

Seketika pandangan mereka dipenuhi oleh gumpalan tanah yang terbang ke udara, dimana wanita itu mendarat dengan keras.

Dari gumpalan debu tersebut, muncul Fransisca. Matanya seperti orang mati. Tandukku, kupikir benar itu masalahnya, pikirnya. Aku harus benar-benar mencoba sesuatu.

Troya dan Zenistia beberapa saat terpatri di tempat melihat Fransisca. bermandian darah yang jatuh dari langit.
Perasaan ini tidak terlalu buruk, pikir Fransisca. Perasaan aneh di dalam diri Fransisca makin berdegup kencang, dan ia berusaha mengikutinya.

Zenistia akhirnya sadar, “Troya, cepat menjauh!”

Troya tersentak. Tangannya mencoba-coba meraba kendali ATV untuk memulihkan kesadarannya.

Mungkin tubuhku yang belum terbiasa dengan perubahan ini, pikir Fransisca. Aku harus mencoba mengikuti perasaan itu.

Fransisca menyadari keberadaan Zenistia dan Troya yang sedang bersiap-siap kabur. Ia langsung melompat menyambar mereka.

Zenistia melepas tembakan. Beberapa laser dengan cepat menuju Fransisca, dan laser-laser Zenistia menghilang seolah ditelan di udara.

Troya akhirnya dapat menggenggam kendali ATV, dan langsung kembali memacu kendaraannya. Fransisca yang tertinggal mengambil ancang-ancang. Sirkuit sihir di tubuhnya berubah merah.

Jangan bilang dia mencoba mengejar, pikir Zenistia yang melepaskan beberapa tembakan lagi.

Benar saja. Fransisca langsung melesat cepat dan melompati pepohonan untuk menghindari tembakan Zenistia. Fransisca langsung membombardir mereka dengan bola-bola magisnya.

“Troya, tidak bisa lebih cepat lagi?”

“Tidak! Kita bisa kehilangan keseimbangan”

Troya hampir kembali hilang keseimbangan saat bola magis menghantam tanah di dekatnya. Balapan sambil melewati hadangan dinosaurus adalah satu hal, namun balapan selagi diburu seorang pembunuh adahal hal lain, pikirnya. Tyranossaurus terdengar lebih baik saat ini. Ia berharap sedang berada dalam mobilnya sekarang.

“Kita hampir keluar dari hutan!” ujar Troya.

Kemudian, sebuah bola magis menghantam tepat tanah di depan ATV. Troya dan Zenistia terlempar ke udara. Mereka terguling dan terkapar di tanah.

“Kau tidak apa-apa, Troya?” Zenistia berusaha mengembalikan penglihatannya yang kabur. Ia berusaha berdiri walau kakinya masih sedikit goyah. Melumpuhkan Fransisca sejak awal mereka bertemu adalah pilihan yang baik, pikirnya, tidak bisa pernah terlalu hati-hati dengan iblis seperti dia. Di depannya ia melihat sesuatu bergerak secepat kilat.

Fransisca mengambil langkah besar.

Ia melompat dengan cepat ke arah Zenistia, mendarat dengan kaki kiri beberapa langkah di depan Zenistia, melangkahkan kaki kanannya keluar, dan melemparkan tendangan ke bagian kaki Zenistia dengan cepat.

Zenistia tidak sempat merespon. Kakinya tidak kuat berdiri. Saat itu juga, kaki kanan Fransisca sudah melayang ke arah kepalanya, dan menghempaskannya ke pohon.

Troya yang sudah sadar berusaha menolong Zenistia, namun tangannya dikunci, ditarik oleh Fransisca yang kemudian menggunakan tumitnya untuk menghantam lambung Troya. Ia memuntahkan sedikit darah. Terbesit keinganannya untuk melihat mobilnya, mungkin untuk terakhir kali.

Zenistia langsung membidik Fransisca dan menembakkan senjatanya tanpa henti. Laser-laser yang keluar dari senjatanya semua kembali hilang ditelan bumi saat mendekati Fransisca.

Di depan Fransisca, Troya masih tumbang memegangi perutnya.

Bunuh dia.

Zenistia kembali menembakkan lasernya sambil mendekati Fransisca.

Bunuh dia.

Laser-laser itu kembali menghilang saat mendekati Fransisca, seolah ada dinding yang menghalangi.

Bunuh dia.

“Akan kubunuh kau.”

Fransisca langsung mencengkram wajah Troya dengan tangannya yang sudah berlumuran darah dan mengangkat tubuhnya ke udara.

Zenistia langsung membuang senapannya dan mengeluarkan pedang lasernya. Ia berlari menuju Fransisca, namun bola magis langsung menghantam tanah di depannya.

Bunuh dia.

Cengkraman Fransisca makin kuat, dan Troya bisa merasakan kepalanya akan pecah kapan saja.

Bunuh dia.

Perlahan sirkuit sihir di tubuh Fransisca berubah biru. Cengkramannya makin kuat. Troya tidak bisa lagi bernafas.

Bunuh dia.

“Akan kubunuh kau.”

Dan seketika pandangan Fransisca gelap.

Kakinya berat. Tangannya seperti di rantai. Ia merasa seperti di pasung. Fransisca merasa lelah. Ia menutup matanya. Ia ingin beristirahat.

Seketika, badannya mulai terasa dingin. Kakinya terasa ringan. Tangannya kini bebas dari rantai yang membelenggunya. Ia merasa bebas, namun badannya bergerak tanpa kehendaknya.

“Akan kubunuh kau!” teriak Fransisca.

Dan Fransisca terbangun.

Ia melepaskan Troya dari cengkramannya.

Fransisca melihat kedua telapak tangannya. Ia menemukan kalau dirinya bermandikan darah. Fransisca menemukan Troya, yang wajahnya sudah hampir membiru dengan napas terengah, di depannya. Perasaan itu muncul kembali.

Zenistia yang mendapati Fransisca seperti kehilangan akal, kembali menerjang dengan pedangnya.

“Draphion!” teriak Fransisca

Dan dari langit muncul kereta kuda kesayangannya itu. Fransisca langsung berusaha secepat mungkin untuk meninggalkan tempat itu.

Zenistia menjatuhkan pedangnya, dan mengutuki kereta kuda yang mulai hilang dari pandangannya. Ia dengan cepat membawa Troya bersamanya menggunakan ATV menuju garis akhir.

Di langit, Fransisca bersembunyi di balik keretanya.

Tangannya bergetar.

Beberapa saat kemudian Draphion berhasil membawanya ke garis akhir, dan Fransisca langsung pergi menuju ruangannya tak peduli dengan hadiahnya.

Badannya bergidik ketakutan.

Hari pertama usai.

Di malam yang sangat dingin baginya, Fransisca bermimpi sedang berjalan dengan dua orang yang menggandeng kedua tangannya.

“Aku akan menjadi ratu yang hebat seperti ibu!”

Kedua orang yang menggandeng tangan Fransisca tersenyum ke arahnya. Tentu saja, senyuman mereka berkata.

Mereka bertiga sedang berjalan menuju parade. Di depan, balon-balon, hiasan warna-warni, dan stand manisan tidak ubahnya magnet bagi Fransisca. Ia berlari sendirian ke keramaian.

“Ayah, ibu,” ujar Fransisca sambil menoleh kebelakang, “Cepat kemari.”

Fransisca mendapati orang tuanya menghilang. Parade di hadapannya menghilang. Langit berubah gelap. Semuanya menghilang tanpa jejak. Ia sendirian.

Bunuh mereka.

Tiba-tiba dunia bergetar.

Bunuh mereka semua!

Dunia pun pecah.

Fransisca jatuh ke kegalapan tanpa ujung. Sendirian.

Komentar

  1. Sesuai judulnya, entri ini berfokus seputar ketakutan Fransisca ya. R1 dipakai buat fondasi karakternya juga bagus; ada motivasi, unjuk kekuatan, dan sedikit flashback buat perkenalan. Kejar-kejaran Troya sama Zenistia di pertengahan aja mungkin agak terlalu panjang. Hampir aja lupa kalau pemeran utamanya Fransisca.

    Last verdict: Bunuh dia.
    /plak

    Nilai: 8
    OC: Litus Kamara

    BalasHapus

Posting Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya