[Ronde 3] Fransisca Remington - Ketakutan Seorang Iblis Bagian Tiga


By: Tearmeapart
Ketakutan Seorang Iblis: Bagian Tiga

Fransisca berada di tempat yang sangat gelap.

Ia terhimpit berbagai barang. Fransisca mencoba menahan nafasnya dan berusaha tidak bergerak.

"Katakan dimana tuan putri berada, Tristan!" suara seorang perempuan yang sudah dimakan umur terdengar membentak.

"Aku tidak tahu, Bibi Laurell," jawab seorang laki-laki. Fransisca tidak bisa mendengar terlalu jelas, namun suara anak tersebut terdengar dibuat-buat.

Hening. Fransisca penasaran, namun kemudian keheningan pecah.

Lemari tempat Fransisca bersembunyi terbuka. Di depannya, sosok seorang perempuan yang dimakan usia menyembunyikan wajah anak laki-laki yang menunduk di belakangnya.

"Tuan putri, berhentilah bermain-main. Guru Besar Edmund sudah tiba, jadi mohon segera bersiap-siaplah untuk belajar," ujar Laurell, "dan jangan buat Tristan berbohong lagi."

Bahu Tristan bergetar.

"Baiklah. Aku minta maaf, Tristan," ujar Fransisca. Tristan menggeleng.

"Kalau begitu, bibi akan menyiapkan pakaianmu. Belajarlah yang giat nona agar kau bisa membuat semua orang bangga," Laurell berbalik, "dan--"

Fransisca sudah menghilang. Lagi. Bersama Tristan.

"Aku tidak mau belajar sihir membosankan itu," ujar Fransisca sambil berlari meneyeret lengan Tristan, "Kau setuju, kan?"

"Mungkin kita bisa bicarakan dulu dengan Bibi Laurell."

Fransisca tidak peduli. Ia terus berlari sambil menggandeng Tristan.

Tiba-tiba terdengar ledakan keras.

"Putri Fransisca, gerbang benteng lawan sudah runtuh."

Di depan Fransisca terhampar lahan luas dengan kobaran api yang muncul tiap sisi. Sebuah benteng berdiri dengan kokoh dipisahkan oleh sebuah sungai besar. Jembatan besar menjadi satu-satunya penghubung, dan prajurit Granetus sedang bersorak-sorai disana.

Fransisca menatap tajam ke arah sumber ledakan dari atas kereta kudanya, "Golem musuh bagaimana?"

 "Kami menemukan kalau Golem mereka disimpan di bawah tanah."

"Ada kemungkinan aktivasi?"

Prajurit itu menggeleng, "Kami belum menemukan sumber energi Golem tersebut, jadi--"

Tiba-tiba terjadi lagi ledakan, namun kini para prajurit Granetus yang mengerang, "Golem!" teriak para prajurit yang sedang hanyut di sungai.

Fransisca tersenyum.

"Tristan, gantikan posisi komandoku. Pastikan garis belakang kita tidak rapuh dan siap dengan bala bantuan musuh yang akan segera datang," Fransisca menanggalkan mantel hitamnya dan melompat turun dari Draphion.

"Jangan memaksakan dirimu, Fransisca. Biarkan para prajurit mengurus Golem itu. Keadaan kita sudah sangat menguntungkan."

Fransisca menyentil dahi pengawal pribadinya itu dengan kuat.

"Kau pikir kau sedang bicara dengan siapa?"

Fransisca tidak berkata apa-apa lagi. Tristan dan semua orang tahu jika wanita itu terjun langsung di medan perang, mungkin pertempuran ini akan lebih cepat berakhir. Yang bisa mereka lakukan sekarang hanyalah berharap Fransisca bisa pulang dengan selamat.

Golem yang baru saja muncul mengamuk dengan cepat.

Badan besarnya, puluhan kali lipat lebih besar dari manusia umumnya, yang terbuat dari batu mengayunkan lengannya dengan beringas, menghempaskan siapapun yang berada di jalannya. Terdengar sorak-sorai dari dalam benteng. Batu hijau yang tersemat di kepalanya yang besar itu berkelap-kelip. Golem itu makin beringas. Namun sesaat kemudian, Golem jatuh ke tanah dengan keras. Disambar oleh bola magis Fransisca.

"Tetap pada posisi kalian! Golem ini adalah nyawa musuh yang terakhir. Habisi dia dan malam ini kita akan berpesta di atas mayat-mayat mereka."

Prajurit-prajurit Granetus kembali pada formasi mereka. Walaupun Golem di medan perang terus melontarkan orang-orang keluar dari medan pertempuran, mereka tetap mengangkat tameng di tangan masing-masing.

Fransisca menerjang Golem itu dengan cepat. Monster batu itu mengangkat tangannya, siap meratakan Fransisca. Dengan cepat, Fransisca memasang kuda-kuda, mengalirkan mana ke tangannya. Sesaat kemudian mereka berdua bertukar tinju. Tanah di bawah Fransisca retak menahan beban. Hasilnya imbang.

Prajurit Granetus makin berani, melihat pemimpinnya sendiri bertempur dengan gagah berani bahkan berhasil menandingi Golem tersebut. Mereka dengan cepat bergerak merebut benteng yang sudah terbuka lebar.

Sirkuit sihir di tubuh Fransisca berubah biru.

Dengan cepat ia melompat di udara, berputar, dan menggunakan tumitnya untuk menghajar batu di kepala Golem tersebut. Namun usahanya gagal.

Golem tersebut menangkap kaki Fransisca. Namun saat sedang terombang-ambing di udara, Fransisca membuat pistol dengan jarinya. Bola magisnya dengan tepat mengenai permata hijau golem tersebut. Fransisca akhirnya bebas. Golem tersebut roboh dengan cepat.

Fransisca menaiki tubuh Golem yang sudah sekarat itu. Dengan cepat, ia menggunakan cakar sihirnya untuk melepas paksa permata hijau monster batu tersebut. Golem itupun akhirnya berhenti sepenuhnya.

Dengan penuh rasa bangga, Fransisca mengangkat tinggi di udara permata Golem itu. Sorak-sorai langsung terdengar riuh di belakangnya. Pujian untuk dirinya bergemuruh di udara.

Fransisca berbalik ke arah para prajuritnya. Dan di depannya ayahnya tumbang di dalam sebuah kereta. Disampingnya, Ia melihat ibunya tersenyum.

Apa yang terjadi, pikir Fransisca. Ia ingat dirinya mestinya masih ada dalam perlombaan. Hari ini adalah ronde ketiga.

Fransisca keluar dari kereta kuda dengan cepat, dan lari berlawanan arah. Ia menembus kerumunan orang-orang yang memenuhi sisi jalan. Terompet-terompet berbunyi nyaring. Bendera warna-warni berkibar ditiup angin sepoi-sepoi.

Fransisca akhirnya berhasil keluar dari kerumunan itu, dan ia mendapati dirinya dalam ruangan. Sempit dan gelap. Di depannya, seorang pria tergantung. Tali tambang yang digunakannya sudah terlihat lapuk. Badan pria tersebut pucat pasi menunjukkan hidup sudah hilang darinya. Matanya lebam, bekas menangis. Tristan mati di depannya.

Fransisca bergidik. Ia menahan muntah. Kemudian suara nyaring membuat semua terang.

"Selamat pagi, para peserta. Jangan lupa hari ini ada ronde ketiga yang akan diadakan di gurun hitam. Untuk tiap peserta harap segera menuju tempat awal tim masing-masing. Terima kasih."

Suara Soraya yang muncul dari speaker hotel membangunkan Fransisca.

Gadis itu mengusap wajahnya berkali-kali. Matanya memerah. Pipinya basah.

*

Gurun Hitam tidak henti-hentinya bergetar hari itu.

Sebuah ledakan diikuti oleh ledakan lainnya. Debu-debu berterbangan di udara saat kendaraan hilir mudik di sekitar gurun. Beberapa orang berbaju hitam legam menyerbu dari dalam debu. Sebuah benda bersinar terang melaju cepat menembus debu, dan menghantam sebuah makhluk raksasa. makhluk raksasa itu berputar cepat pada keempat kakinya yang beroda.

"Iblis kurang ajar!" teriak seorang gadis dalam kabut debu yang sedang terjadi.

"Jangan berhenti berlari," teriak seseorang dalam kerumunan. Kerumunan baju hitam itu berlari lebih cepat, ingin segera keluar dari badai.

Benda bersinar itu kembali melayang cepat menembus badai debu, dan meledak tepat di tengah kerumunan orang-orang berbaju hitam. Beberapa dari mereka terhempas keluar dengan keras, beberapa lagi kehilangan anggota tubuhnya.

Zenistia yang melihat hal ini dari belakang jauh geram. Iblis itu bahkan mungkin tidak peduli bisa membunuh temannya, batin Zenistia. Matanya kembali fokus ke teleskop senapannya.

Perang di Gurun Hitam sudah berlangsung sejak matahari tepat berada di atas ubun-ubun peserta.

Teriknya matahari membuat para peserta tumbang akibat panas di gurun yang mengeluarkan panas yang luar biasa. Mayat-mayat itu tersapu ke samping oleh ledakan dan tak pernah lagi terlihat dalam pertempuran. Boneka yang dimiliki para peserta dengan cepat menghilang satu persatu akibat pertempuran sepertinya lebih keras daripada yang diperkirakan.

Sebuah robot berkaki empat memaksakan jalannya di tengah medan, namun kali ini langkahnya dihentikan lagi.

"Robot ini tidak akan hancur karena sihir mu, bangsawan sialan!" Evelyn kini bergerak zig-zag. Bola-bola magis Fransisca terbang melayang melewati robotnya dan menghantam barisan pertahanan tim gurun.

Evelyn mulai merasa kalau menghalangi jalan Fransisca mungkin lebih sulit daripada yang ia kira. Mengalihkan Fransisca dari prajurit gurun yang melesat maju berarti berhadapan satu lawan satu dengan Fransisca, dan kini robot perangnya mulai mengalami kerusakan.

Evelyn tetap memaksakan robotnya untuk tetap maju. Robotnya dengan cepat melaju ke arah Fransisca, namun ia berbelok dengan tajam dengan cepat membuat debu berterbangan menjadi dinding penghalang. Ia mengayunkan lengan robotnya pada Fransisca yang masih mencoba mengembalikan pandangannya, akan tetapi sebuah pedang langsung menahan pukulannya. Dengan satu gerakan, robot Evelyn terjungkal ke belakang. Perempuan berambut kuncir kuda langsung menarik kembali pedangnya.  Evelyn mundur dengan cepat.

"Bagaimana tuan putri? Butuh bantuan?" perempuan berambut kuncir kuda itu tersenyum pada Fransisca.

Fransisca membalas senyuman nya dengan jijik seolah berkata pada perempuan itu untuk enyah untuk selamanya, "Bagianmu sudah selesai?"

Perempuan itu tertawa, "Hampir. Yah artinya itu belum selesai yah?"

"Kalau begitu, cepat kembali. Aku tidak butuh bantuanmu, orang tua."

"Hei, aku punya nama, dengar? Azusa. Dan umurku masih 17 tahun, jadi jangan panggil aku tua," balas Azusa yang telah merayakan ulang tahunnya yang ke-27.

Gumpalan debu perlahan hilang. Jauh di depan Fransisca dan Azusa kini berdiri dua buah robot.

"Kau membawanya kemari?"

"Bekerja sama akan membuat segalanya lebih mudah," ujar Azusa sambil meraih pedang pada kerangka-kerangka menyerupai tangan yang melingkar di pinggangnya, "kau mau melawan gadis itu lagi atau bola bowling itu?"

Fransisca membentuk sebuah pistol dengan jarinya. Sinar merah seperti kunang-kunang terbang mengumpul di jari telunjuknya. Sesaat kemudian, Fransisca membuat gestur seperti menembak, dan sinar besar meluncur menghantam Tom dan Evelyn yang dengan cepat menghindar.

Tom, yang kini dalam wujud robot seukuran manusia, menyembur ke depan. Sepatu roda di kakinya menyebabkan kabut debu kembali menghalangi pemandangan.

Sirkuit tubuh Fransisca menyala merah. Ia kembali menembakkan peluru magis dari jarinya.

Melihat hal ini, Azusa langsung bergegas menghalang Evelyn yang mencoba menyerang dari kiri. Setelah beberapa tebasan, Evelyn berhasil membuat Azusa melepaskan pedangnya.

Evelyn dengan cepat melemparkan pukulan, namun badannya terlempar akibat badan Tom yang dilempar ke arahnya. Fransisca kini sudah berdiri di samping Azusa.

"Alfan, sekarang!"

Dari garis belakang, Zenistia memimpin beberapa orang untuk segera menyerang gerbang teleportasi tim angkasa.

Alfan menyalakan keretanya. Keretanya melaju bebas menembus medan pertempuran tanpa halangan. Beberapa peserta dari tim hijau yang tidak sempat menghindar, atau mencoba menghalangi, akhirnya menambah jumlah mayat di gurun.

Dari atas kereta, Zenistia menembak boneka musuh yang masih berkeliaran menggunakan senapannya. Sesaat kemudian matanya menangkap Fransisca  yang tengah berdiri jauh di depannya. Ia mencoba menembaknya, namun robot Evelyn menyergap dan menghalangi pandangannya. Lain kali, batin Zenistia.

Sementara itu di dalam kapal angkasa, beberapa petarung telah menyiapkan pertahanan tepat di depan pintu teleportasi. Tumpukan balok maupun barang-barang dikumpulkan untuk membentuk dinding, menyiapkan serangan kejutan. Kapal sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga hanya menyisakan ruangan kargo

"Hei, Worca! Bisa bergerak lebih cepat gak sih? Disuruh dorong balok aja lama banget," ujar Piwi selagi ia duduk santai di sebuah kursi bantal kesukaannya. Badan ayamnya yang mungil membuatnya terlihat terhisap ke dalam kursi.

Worca, perempuan yang seolah tidak mendengar namanya disebut, terus bersiul sambil sesekali mendorong balok di depannya. Siapa sih yang bawa kursi bantal ke medan perang seperti ini, batinnya.

Balok-balok akhirnya tersusun sedemikian rupa sehingga menghalangi langkah penyusup. Tiba tiba dari luar terdengar ledakan yang membuat kapal angkasa bergetar.

"Garis depan kita sepertinya baik-baik saja," ujar Solar yang sedang mengamati dari balik jendela kapal, "Sebagai gantinya kita harus menjaga tempat ini dengan baik."

Di dalam ledakan yang baru saja terjadi, Dengan tangan kosong, Fransisca menangkap tangan robot Evelyn dan hampir meremukkannya.

"Lepaskan tanganku, dasar iblis!"

Evelyn mengaliri robotnya dengan listrik, memaksa Fransisca melepaskan cengkramannya. Dari belakang, Tom mengayunkan kapak besinya. Fransisca berputar, memanfaatkan momentumnya, dan melemparkan tendangan, membuat kapak di tangan Tom terbang jauh.

"Sihir mu kelihatannya baik-baik saja," ujar Tom. Ia mengambil sebilah kapak lagi dari punggungnya, "Kupikir ini akan jadi pengalaman yang menyenangkan. Bukan begitu, Fransisca?"

Fransisca melompat. Ia melemparkan beberapa bola magis ke arah Tom, yang dapat menghidarinya, sebelum akhirnya mendarat dan kembali menghujani Tom dengan bola-bola magisnya.

Evelyn berusaha menjegal Fransisca, namun sebuah tebasan pedang milik Azusa dengan cepat menghentikan langkahnya.

"Minggir orang tua!"

"Jangan panggil aku tua, dasar bocah ingusan!"

Evelyn kembali terhempas. Tom lagi-lagi menimpa tubuhnya, "Bola setan, bisa tidak kamu tidak terbang-terbang seperti itu?"

Fransisca berjalan menuju tumpukan robot di depannya, sirkuitnya menyala biru, "Ambil saja bendera mereka," ujarnya.

Kereta Alfan sudah menghilang dari pandangan. Azusa mengerti. Ia menyarungkan pedangnya, "Jangan menangis padaku, kau mengerti?" Dan dengan begitu, Azusa berlari cepat menembus gurun yang menghampar luas di depannya.

Evelyn melihat Azusa berlari melewatinya, ia menoleh pada Fransisca, "Kau sebaiknya menyiapkan kalimat terakhirmu saat ini, iblis."

*

Di dalam kapal, para tim angkasa panik.

Mereka tak menyangka kalau musuh bisa masuk semudah ini.

"Apa sih yang dilakukan orang-orang di bawah sana?" Piwi mengeluh. Badan iblisnya sudah mulai memar-memar, "Pria mesum itu sebaiknya punya penjelasan."

Sebuah peluru sihir mengenai belakang Piwi yang sedang bergelut dengan seseorang, "Hei Worca! Kendalikan peluru gembelmu itu!"

Worca tidak menggubris ayam berwujud iblis yang pernah mengaku sebagai adiknya. Ia memunculkan beberapa kubus lagi di langit-langit ruangan. Aku ingin segera tidur, teriaknya dalam hati.

Rentetan peluru dengan cepat menghiasi dinding ruangan dengan cepat.

"Berhenti menghindar pria kaleng!" Aileen berteriak. Pria di depannya bangkit setelah berguling beberapa kali.

Aileen kembali melempar pukulan dengan jari-jari besi di jemarinya. Pria kaleng itu mundur, namun Aileen dengan cepat melempar tendangan ke arah kakinya. Dia tidak akan bisa menghindar kali ini, pikir Aileen. Namun pria kaleng itu kembali berguling menghindar. Perisai di punggungnya membuat suara gaduh tiap kali ia berguling. Solar kembali pada posisi semulanya: sebilah pedang yang ia genggam dengan kedua tangannya.

Zenistia mengeluarkan pedang cahayanya. Ia bersiap mengayunkan pedangnya pada Solar, namun proyektil peluru Worca memantul kesana-kemari dengan cepat disekitarnya. Gadis itu dipaksa mundur ketika Solar dengan gerakan cepat hampir menebas kepalanya.

Tidak sempat berhenti untuk mengambil nafas, Zenistia terangkat ke udara. Piwi mencengkram leher gadis itu. Wajah Zenistia berubah biru, namun kemudian ia terlepas bebas. Badan Piwi tertegun tersengat listrik.

"Tetap fokus, Zenistia!" ujar Alfan yang baru saja menembakkan Paralay-nya.

Zenistia mengumpulkan nafasnya yang hampir hilang selamanya. Ia menyalakan pedang cahayanya. Namun tiba-tiba, ia dan seisi pesawat terjungkal ke udara.

Ledakan besar kembali terdengar dari luar.

Seluruh isi kapal terombang-ambing di dalamnya, bergulingan kesana kemari, menabrak satu-sama lain.

Kubah raksasa berwarna merah perlahan membesar di udara. Cahayanya menutupi sinar matahari dan membuat seluruh gurun berwarna merah darah sesaat.

Di dekat ledakan tersebut, terlihat Fransisca berdiri tanpa memperdulikan semburan angin dari ledakan. Ia melipat tangannya. Matanya seolah sedang menilai hal yang sedang terjadi di depannya.

Tim gurun yang berada di kapal sesaat berpikir hal yang sama: apakah tim gurun di bawah sudah habis di bawah sana?

Mereka tidak sempat mencari jawabannya.

Piwi kembali melemparkan tinjunya dengan cepat. Worca membuat proyektil semakin banyak, peluru-pelurunya memantul kesana kemari membuat tim gurun susah untuk berkoordinasi.

"Zenistia," bisik Alfan.

Zenistia mengerti. Ia mematikan pedang cahayanya dengan berat hati.

Tiba-tiba tegangan listrik yang sangat besar muncul seperti petir yang membelah kubah raksasa yang makin membesar itu.

"Kau pikir kau sudah menang, iblis biadap?"

Robot perang milik Evelyn muncul dari tengah-tengah ledakan. Wanita yang sedang berada di dalam kokpit robot itu terengah-engah.

Tom muncul dari bawah bayang-bayang kaki robot milik Evelyn.

Zenistia menyalakan kembali pedang cahayanya, "Kita hanya perlu menyentuh bendera mereka, bukan?" ujarnya pada Alfan.

Alfan mengangguk.

Tim gurun kembali melanjutkan serangan mereka di dalam kapal.

Tujuan mereka hanya satu: menyentuh bendera itu secepat mungkin.

*

Di depan panggung tim gurun, tubuh-tubuh berjatuhan dari langit.

Azusa menyarungkan pedangnya, dan kembali berlari menuju panggung yang terbuka, "Masih meragukan kekuatanku?"

Spearman menyiapkan tombaknya, namun kuda-kudanya tidak menunjukkan ancaman, "Aku telah berjanji atas asas profesionalitas kepahlawanan, kalau aku tidak akan menyakiti perempuan."

Azusa mengayunkan satu pedangnya, dan menarik satu lagi pedangnya, mengayunkannya ke arah yang lain, "Kalau begitu cepat menyingkir!"

"Menyerah melawan para penjahat juga akan mencederai etos kepahlawanan," ujar Spearman, mengangkat tombaknya dan memutarnya kencang menciptakan gelombang angin yang kuat, "jadi aku akan menahanmu disini seperti yang teman-temanku harapkan."

Azusa kembali terlempar ke belakang, "Jangan salahkan aku kalau kau terluka, mengerti?"

Perempuan itu bergerak zig zag dengan cepat.

Spearman menyiapkan kuda-kudanya. Tidak akan tertipu gerakan itu lagi, batinnya.

Azusa berhenti dengan cepat, dan menyapu pasir di hadapannya, menghalangi pandangan Spearman. Azusa melompat ke atas dan menerjang ke bawah dengan cepat. Akan tetapi bilah pedangnya tidak menemui target.

Spearman muncul dari udara, menghantamkan badan tombaknya dengan keras mengakibatkan  getaran yang hebat. Azusa kembali terlempar ke belakang.

Azusa merasakan kakinya berat. Salah satu gagang pedangnya tidak dapat ditarik. Azusa baru saja kehilangan satu pedangnya. Akan tetapi perempuan itu tersenyum.

"Kau akan menyesali hal ini."

Spearman tidak peduli. Ia kembali memutar tombaknya dan membuat angin puyuh di depan panggung.

Azusa menancapkan pedangnya dan berdiri menahan terjangan angin.


*

Jauh dari dentuman ledakan di tengah gurun, seorang pria berperawakan seperti seorang militer melintas bebas di tepi gurun.

Salah satu tangan pria tersebut tidak pernah jauh dari saku celana dimana ia menyimpan pistolnya. Ia tidak menyukai baju hijau cerah ini karena membuatnya sulit untuk bersembunyi. Namun, berkat kegaduhan yang diakibatkan seseorang di tengah gurun sana, semua perhatian tim musuh akhirnya tertarik kesana yang membuatnya mudah menyelinap.

Deru mesin motor kencang muncul dari belakang. Pria berompi itu meraih pistolnya. Ia melihat kebelakang, dan dengan cepat menembak dua buah pisau yang melayang ke arahnya.

"Tidak kusangka kau baik-baik datang ke tempat sepi seperti ini," seorang pria berambut merah yang berantakan akibat diterpa angin turun dari atas motor, "Dengan begitu mayatmu tidak akan pernah ditemukan disini."

Pria berompi itu menyadari kalau orang di depannya menggunakan baju berwarna sama dengannya.

"Aku tidak peduli apapun tujuan dan motivasimu, tapi aku lebih baik mati daripada mati melihat orang sepertimu mencapai tujuannya."

Balthor langsung melempar dua bilah pisau dari atas motornya.

Abu menembak pisau-pisau itu di udara sekali lagi. Seketika, Balthor sudah berada di depannya. Abu dengan cepat membanting tubuhnya kesamping, mengikuti arah tinjuan Balthor. Tubuhnya terhempas.

"Tidak terlalu buruk," ujar Balthor.

Abu tidak sempat menarik nafas. Motor milik Balthor secara ajaib melaju cepat ke arahnya. Ia harus bergelinding di atas pasir untuk menyelamatkan kepalanya. Saat ia berhenti, ia mendapati Balthor sudah siap menginjaknya. Abu menangkap kaki pria brutal yang hampir merusak kacamatanya tersebut.

"Bagaimana rasanya diinjak-injak seperti ini, hah? Orang-orang sepertimu senang melakukan hal ini pada orang lain bukan?"

Balthor makin semangat. Ia menarik kakinya dan menendang pasir ke arah Abu yang tengah mencoba berdiri. Balthor langsung melempar tinjunya lurus ke arah pria di depannya, namun malah wajahnya yang merasakan kepalan tinju. Abu muncul dari balik debu pasir dengan kedua tangannya terkepal.

"Ini menjadi semakin menarik."

Balthor langsung kembali melesat.

Ia melepaskan tendangan tinggi yang berhasil ditahan oleh Abu. Balthor berputar dan menggunakan kaki satunya, namun Abu berhasil menangkapnya.

Abu langsung mendaratkan beberapa tinju ke arah Balthor dengan cepat, membuatnya tersungkur. Namun, Balthor kembali berdiri.

Menyadari ada motor yang datang dari belakang, Abu mengeluarkan pistolnya, namun ia disergap dari belakang oleh Balthor. Tembakannya mengarah ke langit.

Dengan satu gerakan, Abu membanting Balthor ke tanah, namun Balthor berbalik mengangkat Abu ke udara akibat momentum yang diterimanya.  Kedua orang itu kini tersungkur di tanah.

Abu menyadari di depan panggung sudah tidak ada siapa-siapa. Ia bergegas lari meninggalkan Balthor yang berteriak menghujatnya dari belakang.

"Mau lari kemana kamu, teroris?!" Balthor bangkit dan melemparkan sebilah pisau.

Abu berbalik dan menarik pelatuknya. Pelurunya habis. Ia mencoba bergerak secepat mungkin. Tetapi, pisau Balthor berhasil menyayat kakinya.

Balthor melesat dengan girang. Sudah terbayang di benaknya akan ia apakan orang dihadapannya.

Namun sebuah ledakan besar berdentum. Balthor dan Abu kehilangan keseimbangan.

Abu memanfaatkan kesempatan ini dengan melempar sebuah granat cahaya ke arah Balthor yang wajahnya masih mencium gurun.

Balthor bangkit dan mendapati semuanya berubah putih. Telinganya sakit.

"Kau sebaiknya mengingat ini, teroris jahanam!"

Abu sambil memegangi satu kakinya, berjalan dengan mudah ke arah panggung yang minim penjagaan.

*

"Hei, bola setan. Punya ide lain yang lebih bagus, gak?"

Tangan robot milik Evelyn baru saja hilang disambar peluru magis Fransisca. Dan kini motor penggerak rodanya sudah mulai berhenti mendadak, membuatnya hampir kehilangan nyawa di tengah gurun tadi.

"Tujuan kita hanya untuk menahannya disini, tidak lebih," balas Tom yang wujud robotya sudah mulai karatan, "kita tidak perlu mengalahkannya disini, jadi kita berlarian saja."

Evelyn tidak senang. Akan tetapi, gadis itu juga tidak mempunyai ide yang lain, "Jangan mati didepanu kalau begitu."

Tom berguling ke samping menghindari bola magis yang melayang cepat ke kepalanya.

Dari balik kabut debu, Fransisca muncul dengan beberapa bola magis bersiap di belakang pundaknya. Ia mengayunkan tangannya, dan bola bola itu berterbangan dengan cepat.

Tom mengayunkan kapak besinya untuk membelah bola magis yang datang ke arahnya. Akan tetapi bola magis tersebut terbelah menjadi dua di depannya, dan menyambar kakinya.

Di sisi lain, Evelyn berusaha mengendalikan robotnya yang sudah hilang keseimbangan.

Kaki robotnya sudah tidak merespon. Ia membanting kendalinya ke kanan, namun bola magis menghantam dari bawah dan menerbangkannya ke udara.

Evelyn panik. Layar di depannya berkedap-kedip merah. 'Gagal Mesin' diikuti bunyi sirine yang nyaring mengiringi jatuhnya robot milik Evelyn dari langit. Robot itu sudah tidak bergerak lagi. Gadis itu akan membayarnya, batin Evelyn.

Fransisca langsung menuju Evelyn yang mencoba keluar dari kokpit. Ia merasakan tubuhnya ringan.

Ini sempurna, pikir Fransisca. Dengan kekuatan ini, ia bisa mengalahkan apapun yang menghalangi jalannya.

Tom muncul dari samping menghalangi Fransisca, "Kita masih bisa bersenang-senang, tenanglah Fransisca."

Fransisca dengan cepat menyapu kaki Tom, dan menjotos wajahnya dengan kuat. Seketika pandangan Tom hitam.

Fransisca menarik salah satu lengan robot yang tidak bergerak di hadapannya. Fransisca menariknya kuat. Ia tersenyum. 

Evelyn yang melihat hal ini langsung bergegas lari menuju temannya.

Dengan satu tarikan terakhir, lengan Tom terputus. Urat-urat kabel dan pecahan besi berserakan di depannya. Tom tidak bergerak.

"Menjauh darinya!" Evelyn melemparkan sengatan listrik dari tubuhnya, namun listriknya hilang ditelan dinding tak terlihat yang melindungi Fransisca.

Menjadi kuat itu menyenangkan, bukan begitu Fransisca?

Gadis itu tersenyum. Kemudian ia tertawa. Seperti setan merasuki dirinya.

"Ini benar-benar menyenangkan!" ujar Fransisca sambil jelas-jelas menahan senyum yang hampir menyentuh daun telinganya.

Evelyn tertegun, "Jadi sekarang kau menunjukkan wajah aslimu?"

Fransisca menepuk debu di pakaiannya. Ia mendapati Evelyn di depannya, "Hei, gadis kecil. Kenapa dengan muka garangmu?"

Evelyn melemparkan tegangan listrik yang besar dari tangannya, namun kembali hilang di depan Fransisca.

"Tanpa basa-basi. Tidak apa, aku suka dengan orang sepertimu. Tidak banyak buang-buang kata dan membual kiri dan kanan," ujar Fransisca, "Karena keberanianmu aku memberimu pilihan, gadis muda. Bersujud padaku atau kupaksa kepalamu untuk bersujud padaku."

"Kau bercanda kan?"

Fransisca tersenyum.

Evelyn kembali melemparkan tegangan listrik yang tinggi, namun tetap nihil, "Kau suka jawabanku?"

Fransisca menggelengkan kepalanya. Ia menahan tawanya.

Seketika, Evelyn merasa dirinya melayang. Semuanya putih dan buram. Nafasnya hilang diantara angin yang menerpanya. Kini semuanya merah. Setetes darah membasahi pipinya.

Fransisca tersenyum, "Kau sebaiknya tidak mati terlalu cepat."

Evelyn kehilangan konsentrasi. Apa yang baru saja terjadi, tanyanya. Ia merasa berada di dunia lain.

Evelyn tidak sempat berpikir lebih lanjut. Perutnya dihantam sangat kuat. Terkapar menahan muntah.

Evelyn menengadah ke atas. Sinar terik matahari kontras dengan wajah yang sedang tersenyum sinis kepadanya.

"Kau tetap akan bersujud di hadapanku. Jadi jangan sia-siakan kebaikanku untuk memaafkanmu."

"Persetan dengan kebaikanmu," ujar Evelyn sambil menahan darah keluar dari mulutnya.

Fransisca menganyunkan kakinya, menghempaskan tubuh di depannya seperti menendang kerikil di tepi jalan, "Kau akan mengerti suatu saat."

Evelyn sudah hampir kehilangan kesadaran. Ia kehilangan banyak darah.

Fransisca tersenyum. Ia mengeluarkan cakarnya.

Ia mencengkram leher Evelyn dan mengangkatnya ke atas. Fransisca mencengkram begitu kuat seperti anak kecil memegang mainan kesukaanya.

"Kau bisa merasakannya, gadis muda? Jantungmu berdegup cepat, pikiranmu ketakutan ingin bebas, namun tubuhmu terperangkap bagaikan tikus bodoh."

Evelyn terdiam.

Fransisca mencengrakmnya makin kuat. Semakin Evelyn mencoba mencari nafas, semakin lebar senyum di wajah Fransisca. Mata Evelyn mulai berair.

"Kau bisa menangis sekuat yang kau inginkan. Tapi, tidak akan ada yang menyelamatkanmu. Tidak akan ada yang berani menentangku."

Wajah Evelyn membiru, dan senyum Fransisca melebar. Jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya terasa ringan. Ia merasa sempurna. Fransisca merasa dirinya akhirnya bebas.

Aku bebas!

Semua berubah putih.

Evelyn terlepas ke tanah. Ia berusaha mencari nafas. Matanya buram, namun ia melihat sosok didepannya memegangi kepalanya, dan berteriak keras.

Sirkuit sihir Fransisca berubah putih.

Ia menjerit histeris.

Fransisca merasa ringan.

Ia lelah.

Badannya terasa nyaman. Ia menyadari ia sedang tertidur di pangkuan seseorang. Di depannya, Fransisca mendapati sosok perempuan yang asing baginya.

"Maafkan ibu, Fransisca."

Fransisca setengah sadar.  Ia tidak mengerti.

"Ini semua salah ibu." tangan perempuan itu mengusap lembut wajah Fransisca.

Gadis itu tidak mengerti. Ia memutuskan untuk tidur.

Beberapa saat kemudian, Abu dengan mudah menyudahi ronde ketiga ini.

Perlahan kegelapan muncul seiring tenggelamnya matahari.

Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya