[Ronde 2] Nadaa Kirana Swastikachandra - Xanax

By: A Certain Cute Cat
Xanax

Alangkah indahnya,
Alangkah indahnya manjapada tanpa adanya predestinasi
Alangkah indahnya mayapada jika kirana calak menyertai
Alangkah indahnya marcapada saat Tuhan aku bunuh mati
Alangkah indahnya dunia andaikata kita tak ada lagi
Alangkah indahnya panggung fana sewaktu kau datang mencemari
Alangkah indahnya bentala sebelum kau aku bunuh mati
Alangkah indahnya buana seandai angan masih di sini
Alangkah indahnya semua yang telah aku miliki
Alangkah indahnya hidup ini seumpama aku bunuh diri

Nadaa Kirana Swastikachandra, 25 September 2027
Sleman, Yogyakarta


"Do you have anxiety…?
… I have anxiety."
Nadel terbangun, jantungnya berdetak kencang terasa sangat sakit hingga ia kesulitan untuk mengambil napas. Penglihatannya samar-samar, ia merasa tertekan di dalam kepalanya. Apa yang telah ia lakukan? Sedang dimana ia sekarang? Apa ia akan baik-baik saja? Pertanyaan-pertanyaan itu terus membuat otaknya gelisah.
Sedikit demi sedikit panik mulai menguasai tubuhnya. Tangan dan kakinya ia coba gerakkan namun entah mengapa ia tak bisa merasakan apa-apa, ia ingin berteriak. Niatannya terhenti oleh bau harum yang merangsang penciumannyasedikit mirip seperti wangi lavender. Semakin ia menghirupnya, semakin tenang pikirannya. Sampai tahap dirinya benar-benar rileks, ia mulai mendapatkan kejelasan matanya secara perlahan.
Nadel berada di sebuah ruangan. Ruangan yang bersih dan rapi bergaya ala Victorian didominasi oleh warna coklat hikori dan emas. Yang paling mencolok adalah adanya perapian di samping kanannya, menyala terang dan hangat. Tak luput juga di pengamatannya, terdapat portrait beberapa orang di setiap sisi ruangan. Ia hanya bisa mengenali lukisan Christopher Marlowe, dan Charlotte Brontë yang terus-terusan menatapnya tanpa henti.
"Sudah enakan, Kachan?"
Nadel terkesiap, ia berani bersumpah sebelumnya tak ada orang lain di sini kecuali dirinya. Tapi di sanalah sosok itu berada, berdiri dengan punggung menghadap Nadel, terhalang oleh meja kaca besar berpondasi kayu eboni. Merasa seperti mengenalnya, namun gadis yang kini terbaring di chaise lounge berselimut tebal itu tak dapat mengingat namanya. Kedua matanya pun mencari-cari lagi. Berfokus pada meja kerja yang tampaknya miliknya, ia menemukan sebuah nama yang tertulis jelas di desk name"Dr Andreas Wicaksono".
"D-dokter?" panggil Nadel tergagap.
Sosok itu membalikkan diri, senyum lembut yang melegakkan hati merekah dari bibir yang sudah tua itu. Ia berjalan tek tergesa-gesa menghampiri Nadel, membawa teh hangat yang sedari tadi berada di genggamannya.
"Apakah kamu bisa merasakan tanganmu?" tanyanya.
Nadel mencobanya, lambat-lambat namun pasti ia bisa menaikkan jari kelingkingnya lalu menurunkan jari manisnya lalu ia sudah mampu menguasai kedua tangannya lagi. Dokter Andreas terlihat lega, ia memberi tehnya kepada Nadel sembari berucap, "minumlah." Lantas dirinya kembali ke meja kerjanya, mencari-cari sesuatu yang sepertinya penting.
Untuk sesaat Nadel tak bisa mengalihkan pandangannya dari orang yang telah berumur banyak itu. Rambutnya yang putih namun tetap stylish dengan gaya combed back, tak luput juga janggut goatee rapi, monocle pada mata kanannya, serta setelan kemeja putih dengan dasi hitam berlorek merah dilapisi waistcoat abu-abu. Sungguh dirinya masih terlihat mempesona di usianya yang lanjut. Merupakan pujian yang tinggi jika itu datang dari Nadel.
"Aku membaca puisimu yang kamu buat lusa lalu." Dokter Andreas membenarkan posisi monocle-nya. Ia menemukan apa yang ia cari, secarik kertas lusuh bernodakan darah di sebagian besar bagiannya. "Aku tertarik dengan satu baris ini, 'Alangkah indahnya hidup ini seumpama aku bunuh diri.'" Ia mendongak ingin mengerti reaksi apa yang Nadel beri. Namun gadis itu hanya diam, menatap kosong keadaan di luar melalui jendela bay yang terpasang di salah satu sudut ruangan. Cangkir tehnya masih penuh tak diminum, Nadel mulai bersenandung tidak memperdulikan apapun.
Dokter Andreas menghela napasnya. Pada satu waktu ia merasa suka cita melihat gadis itu begitu damai dan tenang, dirinya yang lain semakin khawatir dengan perubahan suasana hati Nadel yang terlampau drastis dan kian hari tak bisa diprediksi.
Menahan niatannya, ia melipat kertas lusuh itu dan menaruhnya di saku celana selagi dirinya kembali memeriksa keadaan Nadel dari dekat. Dokter Andreas berjongkok, melipat pelan kemeja lengan panjang yang menutupi kedua pergelangan tangan Nadel. Bekas-bekas itu masih jelas, sayatan berikut sayatan menghiasi kulit putihnya yang cantik. Dokter Andreas tak bisa menolak rasa sakit yang menusuk hatinya sekarang, ia berusaha sangat keras untuk tidak menitikkan air mata. 
"Kachan, apa yang kamu senandungkan?" tanyanya halus sembari mengusap penuh kasih rambut Nadel yang tergerai panjang.
Nadel tak segera menjawab. Ia menyelesaikan terlebih dahulu dendangannya, lantas menatap Dokter Andreas dengan senyum manis yang seketika tersaji di wajahnya. "PortisheadAll Mine."
"Sepertinya kamu sangat suka dengan lagu itu."
"Aku jatuh cinta dengan lagu itu, Dok."
"Apakah lagu itu mengatakan perasaanmu yang sebenarnya, Kachan?"
"Aku ingin memiliki segalanya."
Dokter Andreas mengangguk, ia meluruskan kembali gulungan lengan panjang kemeja Nadelmerasa tak cukup kuat untuk melihat lukanya terus menerus. "Apa yang sebenarnya kamu ingin miliki?"
Nadel tampak kebingungan, sekejap ia memejamkan matanya, detik berkutnya ia memiringkan kepalanya, sesungguhnya ia juga tak cukup mengerti. "Aku ingin… segalanya."
Pria tua itu memaklumi, ia tak akan memaksa lebih jauh apa yang gadis muda itu tidak pahami. "Apakah kamu sudah mengetahui cara untuk mendapatkannya?"
Nadel tersentak, iris matanya menatap Dokter Andreas bulat-bulat. Sepertinya ada satu hal yang gadis itu lewatkan, tak terpikirkan olehnya sama sekali. "A-aku akan, aku akan… belum tahu."
Dokter Andreas tertawa ringan, "sudah-sudah, suatu hari pasti kamu akan menemukannya." Ia menepuk bahu Nadel tiga kali. "Apa kamu akan meminum teh itu?"
Nadel menggeleng. "Aku suka harumnya."
Pria itu meringis lagi, ia tak pernah mengira tingkah laku Nadel bisa sepolos ini. "Lakukan apa yang kamu suka, Nak." Menyudahi perbincangannya, Dokter Andreas menuju kursinya yang berhadapan dengan Nadel. Ada gawai serupa tablet yang tergeletak di atasnya. Ia mengambilnya, menyentuh alat itu berulang kali dengan satu jari seraya mengetikkan sesuatu.
"Dok." Tahu-tahu Nadel memanggilnya lagi.
"Iya?" jawabnya tanpa menghadap gadis itu.
"Apakah aneh jika aku memiliki teman imajinasi?"
Dokter Andreas menghentikan apa yang dilakukannya sekarang, menaruh kembali gawainya di kursi. "Well, semua orang pasti setidaknya pernah memiliki teman khayalan, itu sesuatu yang normal." Lantas berbalik mendekati Nadel untuk bertongkat lutut, mendengarkan apa yang ingin dibicirakan gadis itu lagi. "Ceritakan pada saya mengenai temanmu ini."
Nadel tiba-tiba bergidik ngeri sendiri. "Hanya saja, mereka bukan benar-benar temanku, dan sepertinya mereka itu nyata."
"Mereka? Memangnya ada berapa dari mereka?"
"Dua orangehh, bukanmereka ada tiga, aku rasa."
Dokter Andreas menyadarinya. Secara mendadak peluh keluar dari dahi Nadel, mata gadis itu tak bisa fokus pada satu arah, tangannya bergetar hingga cangkir tehnya tak bisa berhenti bergoyang. Nadel mendadak mengalami kegelisahan yang hebat.
"Tenang, Nak. Masih ada saya di sini." Dokter Andreas mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, sebuah aromaterapi. "Saya ambil teh"
"MEREKA DI SINI!" Nadel menjadi histeris, ia melempar cangkir tehnya seolah mencoba mengincar seseorang lain yang berada di ruangan ini. Cangkir itu terbang menuju lukisan Charlotte Brontëpecah berkeping-keping begitu menabraknya.
Jika sudah seperti ini, perkataan dan hanya sebuah aroma menenangkan tentu percuma. Dokter Andreas merogoh sakunya lagi, kali ini mengambil suntik elektronik dengan alprazolam sebagai dosisnya. Ia bersiap segera memakainya, tetapi ragu saat dirinya sadar Nadel sudah menerima cukup banyak dari obat itu.
"DI BELAKANGMU! DI BELAKANGMU!" teriak Nadel menunjuk-nunjuk sesuatu di belakang Dokter Andreas.
Pria itu tak mengacuhkannya. "Kachan, kumohon tenang"
Seorang lain itu menggigit leher Dokter Andreas, mengoyaknya hingga kepala terlepas dari tubuhnya. Tak sempat dokter itu membela dirinya, kejadiannya berlangsung terlampau cepat. Nadel kehilangan akalnya, menjerti sekeras yang ia bisa, tak sengaja membalikkan chaise lounge membuat dirinya terjungkal jatuh tak berdaya.
"MAAFKAN AKU! MAAFKAN AKU!" pekiknya tanpa henti. Sungguh dirinya ingin segera melompat keluar dari jendela, namun kakinya terlalu lemah hanya untuk berdiri.
Seorangsosok itu muncul berdiri di chaise lounge yang terbalik. Perlahan-lahan rupanya mulai jelas terpampang. Tiga orangsatunya berbagi satu tubuh dengan dua kepala. Masing-masing bermuka hancur tak ada kulit yang menutupi. Merah darah, gigi tajam, leher memuntir ke arah yang mengerikan. Ketiganya menatap Nadel kosong tak ada mata di sana, bernapas berat seakan bernafsu untuk menghabisinya sekarang juga.
"AMPUNI AKU! AMPUNI AKU! AMPUNI AKU!" Nadel menangis sejadi-jadinya.
Mereka tak mendengarkan, melompatlah turun dari kursi itu, memperebutkan tubuh Nadel hingga merobeknya menjadi dua.


Nadel membuka matanya. Sebuah sensasi yang mengerikan seperti arwahnya baru saja terbang kembali ke raganya dengan brutal. Ia tak mampu bergerak, tak mampu berucap. Mungkin saja sebenarnya ia sudah mati dan ini adalah penglihatan terakhirnya sebelum nyawanya entah melayang kemana lagi.
Akan tetapi, yang dilihatnya bukanlah  alam baka ataupun nerakaitupun jika hal seperti itu adaia mendapati dirinya menatap sebuah langit-langit metalik suatu bangunan sembari terbaring tak berdaya, pemandang kota yang ramai pun dengan jelas tervisualisasikan dari kaca miring tembus pandang mengarah ke jalanan. Ia masih ada di menara Bebal.
Ia kesal, marah, ganaria tak bisa merasakan kedua tangan dan kakinya, ia tak bisa merasakan keberadaan mulutnya, ia tak bisa merasakan apapun. "JANGAN MAIN-MAIN LAGI!" teriaknya di dalam hati, "INI SUDAH KEDUA KALINYA, BANGSAT!"
Nadel mengeluarkan semua frustasi yang ia punya, hingga akhirnya ia bisa membuat suara serak kecil. Diikuti kedua tangannya seraya lepas dari sebuah ikatan yang teramat kuat, ia bangkit membawa badannya untuk bersandar pada dinding di dekatnya. Itu sangat melelahkan baginya, Nadel terengah-terengah dengan keringat yang terus mengucur dari pipinya.
Mengetahui dirinya tak benar-benar lumpuh, gadis itu pun berpikirmengingat kembali kejadian yang membuatnya sampai seperti ini. Benar, Nadel baru saja menyadari kemejanya tak lagi memiliki lengan kanan, itu tidak hilang, melainkan dirobek untuk menutupi sesuatu yang sepertinya luka di pangkal lengannya. Dengan tangan bergetar, ia melepaskan ikatannya, membuka irisan horizontal yang cukup lebar. Sebuah flashback langsung menyerbu otaknya.
"MAUVE BAJINGAN!"
  Lonjatan adrenalin sekonyong-konyong menstimulasi seluruh tubuh dan emosinya. Nadel menghentakkan kaki, menciptakan momentum untuk tubuhnya berdiri. Ia berjalan terhuyung-huyung, jatuh lalu bangkit lagi. Ia menemukan sebuah vas bunga yang berdiam diri di end table, Nadel memungutnya lantas membantingnya sekuat tenaga sampai-sampai pecahan keramik bertaburan di mana-mana. Ia berlari menuju kaca menara, meninjunya beberapa kali, "KU BUNUH KAU KECOA SIALAN! KU BUNUH KAU!" objek bening itu tak bergeming, berdiri di sana tak retak sekalipun meninggalkan kepalan tangan Nadel yang berdarah-darah.
Nadel menangis, ia meninju sekali lagi kaca itu dengan pasrah, meninggalkan jejak darah padanya. Lalu dirinya duduk tersimpuh tertunduk lesu, menekadkan diri untuk menolak penyakit lamanya yang sedikit demi sedikit mulai menggerogoti pikirannya lagisetidaknya jangan sekarang. Ia mengambil sesuatu dari saku celananya, sebuah kotak kecil layaknya kotak wadah cincin bertuliskan "A.W.". Nadel menyeringai ketika melihat pil-pil itu kembali.
"Aku akan kecanduan lagi," tuturnya sambil menyeka air mata.
Nadel mengambil satu kemudian menggigitnya dengan geraham. Sensasi menyegarkan pun menjalar ke seluruh tubuhnya, sampai-sampai dirinya mendesah seraya merentangkan tangan dan memelintirkan lehernya. Nafasnya menjadi berat, pupil matanya melebar dan mengecil, untuk sesaat ia tak bisa mengontrol diriya sama sekali.
Namun disanalah dirinya, tenang dan rileks, berdiri kembali menghirup udara sebanyak-banyaknya, mengeluarkannya perlahan-lahan. Ia berjalan menuju control panel utara lampu jalan, tersenyum lega karena mesin itu rusak seperti yang diinginkannya. Nadel menghancurkannyamenembaknya dengan pistol revolver hadiah dari balapan ronde pertama, menghentikan Mauve untuk memenangi ronde kedua ini setelah dirinya dibius oleh racun serangga menjijikan itu. Mungkin saat ini kecoa itu sedang mencari cara lain untuk mengubah lampu jalanan yang tersisa menjadi emas.
Tak jauh darinya, Nadel menemukan pistol hadiahnya tergeletak tenang tak mengalami kerusakan sedikitpun. Model S&W 500 Magnum, merupakan revolver terkuat pada jamannya, menggunakan peluru .50 kaliber, didesain khusus untuk berburu North American gameberuang grizzly adalah salah satunya. Tak lama lagi Nadel akan menambahkan kecoa mutan sebagai daftar hewan yang bisa ditaklukkan oleh revolver itu.
"Kau pasti tak sabar untuk menang dan lupa untuk setidaknya mengikatku, kesalahan besar Mauve."
Nadel mengecek silinder peluru revolvernya, empat peluru masih menancap tak terganggu sedikitpun. Ia mulai bergerak menuju ruangan maintenance. Seperti yang diprediksi, Nadel bertemu beberapa staff sedang menuju ke arah yang sama. Seringai misterius berkembang di bibir merah delimanya, ia bisa memanfaatkan jasa merekatermasuk untuk melacak dan menangkap hama yang berkeliaran mengotori lingkungan hanya dengan kehadirannya.


Mauve sudah tidak sabar lagi. Makhluk bermata empat itu hanya menugaskan sejumlah staff menara Bebal untuk ke ruangan maintenance dan mengubah beberapa lampu jalanan yang tersisa menjadi emas secara manual. Namun dirinya yang sedari tadi menunggu di lantai 8 menara, tak kunjung juga menatap warna emas di semenanjung utara jalanan kota. Ini sudah lama sekali!
Ia keluar dari lift di lantai 86, terbang menuju lantai 87 dimana tempat tujuannya berada. Mauve mendobrak pintu ruangan maintenance dengan bodohnya, tak menyadari bahwa itu pintu otomatis yang terbuat dari logam keras. Serangga dua antena itu mengaduh lalu masuk ke dalam seakan tak terjadi apa-apa.
"Manusia! Kenapa kalian sangat lama!" bentaknya galak.
"Ah, sebentar," ujar salah satu staff yang duduk menghadap sebuah monitor dengan tombol-tombol rumit di bawahnya. "Kita perlu melakukan override pada sistem, yang dimana memang memakan waktu lama."
"Aku tak peduli! Cepatlah manusia! Kalian ingin aku makan? Atau kalian ingin aku…"
Mauve terus-terusan meracau memberi ancaman. Staff itu tak peduli, ia menepuk dua kali pundak rekan di sebelahnya lagaknya memberi tanda. Si rekan mengangguk, ia menghantam keras tombol merah besar seperti tak sabar momen ini segera datang.
Alarm yang memekakkan telinga berbunyi berulang-ulang. Mauve melongok kesana-kemari kebingungan. "Apa yang terjadi, manusia?" tanyanya panik. Dari belakang Mauve, sepasang staff lain keluar dari persembunyiannya di balik mesin berbentuk tabung besar, menembak Mauve dengan senapan jaring mengurung Mauve di tempat. Kedua staff yang mengurusi monitor tadi juga ikut berpaling, mereka menyiapkan taser, menyetrum serangga bersayap hijau itu sampai terbaring tak berdaya di lantai.
Nadel menyembul keluar dari sebuah loker di samping ruangan, membidik Mauve dengan revolvernya. "Do you miss me?" senyumnya puas. Tak segan ia menembak, mengenai Mauve tepat pada mata kanannya.
"AAAAAAHHH!" Mauve menggeliat bak kesetanan, cairan hijau dari kepalanya memuncrat kemana-mana. Sekali lagi kedua monitor staff itu men-taser Mauve, kali ini membuat dirinya tambah beringas. Kedua capitnya memotong cepat jaring-jaring, ia terbang keluar ruangan menghindar tembakan jaring yang ditujukan kepadanya lagi.
"Kejar hama itu!" perintah Nadel kepada para staff menara Bebal.
Mereka menyahuti, "baik!" salah satu dari mereka mengeluarkan semacam walkie-talkie. "Kepada petugas patroli dibawah! Ada hama raksasa pemakan manusia di menara Bebal dan sekarang sedang menuju kota! Target teridentifikasi berukuran sebesar anjing, berwarna ungu, memiliki sepasang sayap hijau, dan bercapit! Cari makhluk itu! Lumpuhkan! Jangan bunuh! Ulangi, lumpuhkan! Jangan bunuh!"
Petugas-petugas itu lalu berlari mengejar Mauve, kecuali satu yang dihentikan oleh Nadel. "Bapak tetap di sini, urusi lampu-lampu itu untukku!" Ia menyanggupi, bagai terhipnotis oleh kata-kata Nadel, petugas itu kembali ke monitor mengawasi jalannya proses override sistem yang baru saja dilakukan olehnya. Nadel lantas berlari menyusul yang lain turun dari menara menggunakan lift.
Sedangkan Mauve sudah tiba di dasar menara. Ia merayap tunggang langgang menabrak sana-sini karena matanya yang tak lagi berfungsi normal. Serangga itu berhasil mencapai pintu keluar menara walau bersusah payah, tetap merayap di jalan lantaran ia teringat peraturan yang tak memperbolehkan siapapun untuk terbangatau akan ditembak ma
Mauve menyumpah, berondongan laser hampir saja mengenai kaki-kakinya. Terbang di udara, sebuah helikopter menembaki dirinya walaupun Mauve tak melanggar aturan. Apa yang terjadi? Mengapa gadis yang menjadi musuhnya mendadak dibantu oleh petugas-petugas berwenang di sini? Mengapa gadis itu yang tampak memerintah mereka untuk menyerang dirinya? Siapa dia sebenarnya? Seorang anak penguasa di kota ini? Benar, tak ada waktu untuk memikirkannya, yang penting sekarang adalah Mauve yang selamat dari kejaran helikopter itu.
Satu ide melesat di otak serangganya, ia akan terus merayap menuju sisi barat kota dimana terdapat banyak penduduk yang berlalu lalang mencari makan, dengan itu helikopter pasti tak akan menembaknya lagi.
Harapan seketika menyeruak dari dalam hatinya. Mauve tak lelah merayap lalu terbang zig-zag menghindari tembakan helikopter dengan lincahnya. Apa yang dilakukannya berhasil, tak satupun dari laser-laser itu mengenai dirinya. Perasaan euforia juga menyusul, apalagi disaat ketiga matanya yang masih berfungsi melihat kios-kios makanan yang semakin dekat.
Satu tembakan berhasil mengenai salah satu kakinya, ia kehilangan keseimbangan sesaat namun berhasil memaksa tubuhnya untuk terus berlari. Itu bukan berasal dari helikopter, baru saja ia menyadari arahnya berasal dari kios-kios yang dirinya tuju.
Layaknya semut yang diinjak kaki manusia, harapan yang ia kumpulkan hancur begitu saja. Lusinan polisi berbaris berjajar telah menantinya menuju ke arah warga kota, menengadahkan senapan laser mereka siap menekan pelatuk lagi demi melumpuhkan Mauve. Mauve mencoba untuk terbang.
Tak diberi peringatan lagi, polisi-polisi itu menembak Mauve. Setiap  laser yang mereka muntahkan menghancurkan sayap dan mematahkan kaki-kakinya. Serangga itu kini terbaring lemah tak bisa berbuat apa-apa. Semua anggota tubuh yang bisa dirinya gerakkan secara leluasa telah diambil total darinya. Ia mengeluarkan suara-suara aneh seperti isakan tangis seorang manusia.


Nadel akhrinya tiba di lokasi Mauve dilumpuhkan dengan dibonceng salah satu staff menara Bebal menggunakan motor. Wajahnya refleks memancarkan aura bahagia, melihat Mauve yang cacat total. Ia segera menyusul selusin polisi itu yang sedang mengerumuni Mauve memutuskan apa yang akan dilakukan mereka selanjutnya.
"Tolong sisa dari masalah ini serahkan kepadaku!" Pintanya tiba-tiba dengan riang.
"Kau siapa gadis muda?" sanggah salah satu polisi. "Menyingkirlah! Ini sama sekali bukan urusanmu!" polisi itu lalu memerintahkan kawannya untuk mengusir Nadel pergi.
Nadel menghela napas panjang, ia berdeham memperjelas suaranya. "Kali ini saja. Saya hanya ada satu urusan dengan hama ini, makhluk ini telah m-memakan ibu saya." Nadel menitikkan air mata. "Saya hanya ingin… hanya ingin…"
"Baik-baik kami mengerti." Anehnya polisi itu merasa simpati begitu saja kepada Nadel. "Kami memberimu waktu lima menit tidak lebih." Ia mengajak pasukannya pergi menjauh memakan omongannya mentah-mentah. Nadel hanya tersenyum memelas.
"B-bagaimana kau manusia." Mauve akhirnya bersuara. "Bagaiamana kau melakukan semua"
"Sekarang mana capit yang kau gunakan untuk melumpuhkanku?" bentak Nadel tiba-tiba. "MANA?"
Mauve kembali diam membisu.
"Aku bilang, MANA, KAU HAMA BAJINGAN!" Nadel menendang Mauve sekuat tenanga hingga tubuhnya terbalik.
Mauve merasakan amarah gadis itu yang teramat sangat, tak mau menambah masalah lagi, ia mengangkat capit kirinya.
Nadel menembak capit Mauve higga peluru revolvernya menghancurkannya berkeping-keping. Seakan tidak puas, ia tetap menekan pelatuknya berkali-kali walau sisa peluru sudah melesat pergi.
"Tenang sekarang, Cantik. Tenang." Ucap Nadel kepada dirinya sendiri sembari melakukan senam napas. Ia menatap Mauve terbaring tak bedaya di sana, pasrah kepada nasib tak peduli lagi jika ia akan mati. "Oh, kau tak akan mati, Mauvesetidaknya bukan sekarang." Tambah Nadel, "aku sudah menghubungi panitia pertandingan ini agar segera datang dan menyelamatkan nyawamu."
Nadel akhirnya berjalan menjauhi Mauve. Ia menyalakan rokoknya, mengisapnya kuat-kuat tak peduli tatapan aneh orang-orang kepadanya. Hanya satu yang selalu ia hiraukankepuasan batinnya, bukan yang lain. Suatu pemandangan membuatnya terkagum-kagum, di setiap langkahnya, ia menyaksikan lampu-lampu jalanan yang satu demi satu berubah warna menjadi pink. Nadel selalu menyukai merah muda, warna yang lucu dan menenangkan. Namun kadang ia berpikir, merah muda bukanlah warna yang cocok untuk dirinya. Nadel lebih suka warna merah yang selalu mencerminkan keberanian, dan juga darah yang enak untuk dilihat.

Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya