[Ronde 2] Dian - Aku Menjadi Gay di Isekai

By: Ichsan Leonhart
 Langit-langit kamar ini terlihat asing sekali.
Kok kesal ya? Aku kira yang terjadi kemarin-kemarin itu mimpi. Besar harapanku untuk bisa melihat poster Hatsune Miku di atas sana. Oh, tentu saja dengan keberadaan jendela lebar yang menghadap ke pegunungan di sebelah kiri kasur. Ingin sekali rasanya melihat pemandangan familiar yang selalu kulihat tiap hari.
Tapi semua itu hanyalah imajinasi. Tadinya kupikir aku terbangun di kamarku sendiri.
Ngomong-ngomong, kenapa udara di sini dingin sekali? Selimut putih tebal bahkan gagal menahan angin bertemperatur rendah untuk mengelus permukaan kulitku.
Euh... Aku telanjang?
Kuangkat selimut ini, hanya untuk menyadari keberadaan sepasang bukit di atas dada.
Terdapat jeda keheningan.
Ah... iya, aku lupa. Sekarang aku sudah menjadi perempuan. Napasku mengembus pelan mencoba menenangkan diri.
Lengan kananku tanpa sengaja menyentuh permukaan kasar berbulu. Buru-buru aku menoleh, ada seseorang di sana!
Laki-laki!? Batinku menjerit tak percaya.
Di sampingku ia tertidur. Aku nyaris tak percaya, dengan segera kutarik selimut untuk menyibak keberadaannya.
Kudapati bulu lebat seperti hutan di bagian dadanya yang bidang. Otot kekar terlihat meliuk-liuk di bagian lengan. Mataku entah kenapa terkunci pada tonjolan bak roti sobek di bagian perut yang datar.
Yang lebih parah lagi, dia telanjang! Di bagian bawah tubuhnya tentu saja terdapat 'Doo-bee-doo-bee-do' terekspos pada udara dingin seperti belalai gajah.
Secara refleks aku meloncat mundur, mengambil jarak aman.
Ya tuhan, sekarang belalai itu malah teracung tegak seperti menara Babel!! Demi kucing menstruasi, ada apa ini?
Tubuhku juga ada dalam kondisi telanjang. Aku (bertubuh wanita) baru saja berbagi ranjang bersama seorang pria, mungkinkah...
Wajahku mungkin terlihat tegang. Otakku serasa membeku, menolak melanjutkan pemikiran.
"Nggak mungkin... hahaha." Kubuang pandanganku ke samping, Pinggiran bibir tertarik berusaha menciptakan senyum kaku. Kupijat pelan bagian kening untuk meredakan nyeri di kepala.
Oke aku jadi perempuan. Itu fakta yang sulit untuk dielakkan. Tapi sampai melakukan ini sih...
Aaaaaarrrrghhh! Jemariku tiada henti mengacak-acak rambut. Aku menolak untuk percaya. Membayangkan diriku bergumul dengan sesama pria membuatku mual.
Tapi aku sekarang seorang betina.
Nggak, nggak, nggak. Meski tubuh ini berjenis kelamin wanita, jiwaku masih tetaplah seorang pejantan tangguh. Aku masih memiliki harga diri sebagai seorang lelaki.
Lantas kenapa bisa jadi seperti ini? Ya ampun Dian... Kenapa kau menjadi seorang gay?
Jujur saja, aku tidak bisa mengingat apa pun. Karena setelah tiba di garis finis, aku mendapat ucapan selamat atas terbukanya beberapa [skill] seputar kemampuan bertarung. Aku sih tak peduli, jadi setelah acara balap liar itu, aku liburan selama 10 hari di kota. Sampai akhirnya tadi malam aku diajak cewek bercelana dalam stawberry untuk bergabung dalam sebuah pesta. Aku minum banyak anggur, lalu merasa pusing, terus...
Terus....
...
TERUS APA?
Tiada henti kujambak rambut ini seraya berjongkok di samping kasur, berusaha 'memeras' kepala. Ingatanku serasa terputus.
Didorong rasa penasaran, mataku melirik pria itu. Dia masih tertidur pulas. Tubuhnya ternyata memiliki banyak sekali bekas luka. Rambutnya cepak dan sudah beruban.
Dia kan si teroris yang ditolong oleh Ambar di balapan terakhir itu? Kutaksir usianya mungkin sekitar lima puluhan.
Ternyata seperti ini seleraku ya? Suara batin brengsek kembali muncul ke permukaan. Sontak kutampar diriku sendiri seraya menjerit frustrasi. Aku mungkin sudah hilang kewarasan.
Ah, pria itu bangun. Buru-buru aku berlari menuju dapur, bersembunyi di balik kitchen set. Sialnya, aku lupa mengambil baju.
"Lho, Dian sudah bangun?" Seorang perempuan berucap di belakangku.
Bulu kudukku berdiri seperti kucing saking terkejutnya. Di sana sudah ada Ambar dengan celemek dan peralatan  memasak. Oh, kalau kalian pernah menonton JAV dengan genre Naked Apron, mungkin itu kata terbaik untuk menjelaskan penampilan gadis hantu satu ini.
"Kenapa kamu ada di sini? Kenapa Abu ada di kasur? Kenapa aku bersama kalian? Kenapa kalian telanjang?" cecarku hilang ketenangan.
Ambar merespons dengan ekspresi bingung, "Kak Dian sendiri kan belum pakai baju."
"Uh..." Aku tak bisa mengelak. "Maaf, aku ingatanku ter-reset tiap kali aku bangun tidur," ucapku mencari alasan.
Gadis hantu itu bingung, "Semalam ada pesta, Kak Dian mabuk, Aku sama Abu..." ucapan dia terpotong di sana, "Mmmmhhh... kita.. gitu gini,"
Penetrasi, tanda jari tangan kanan menusuk lubang di tangan kiri.
Gak gitu juga ngejelasinnya, atuh. Batinku memprotes.
"Ah... Jadi benar-benar terjadi—... Terus aku ikut? Terus kita threesome' gitu?"
Ambar mengangguk pelan.
"Aku.. sudah bukan lelaki."
Sontak kubenturkan kening ini pada tembok dekat jendela.
Telingaku menangkap suara daun pintu terbuka. Di sana sudah terdapat Abu berpakaian lengkap. Tak lupa kacamata hitam tersemat di wajah. Dia terlihat seperti penjahat di film-film laga.
Wajah pria itu menoleh tegas, "[Round 2] dimulai sekarang. Kalian tidak boleh bermalas-malasan." Langkah kakinya sempat tertahan, "Lalu.. terima kasih untuk semalam."
Kacamata hitamnya membuatku sulit menebak ke arah mana dia menatap. Yang jelas, Ambar di sampingku terlihat menunduk malu. Pipinya merona merah.

===========

Enam jam berlalu begitu saja. Mataku sibuk mengagumi keindahan gemerlap lampu perkotaan dengan ragam warna.
Setelah melewati proses briefing panjang membingungkan, di sinilah aku berada, nyaris kehabisan suara akibat menjerit histeris di langit kota. Ngomong-ngomong saat ini aku sedang terjatuh dari ketinggian tanpa persiapan apa-apa.
Iya, jatuh. Seperti seorang penerjun payung itu lho.
Petugas balapannya pembohong. Dia bilang aku akan 'diturunkan' di titik B, tapi di tengah penerbangan dia tiba-tiba saja mendorongku dari pintu helikopter.
Yha, aku benar-benar DITURUNKAN.
Tubuhku meluncur cepat membelah udara. Aku menghela napas disertai senyum untuk menahan amarah di dada.
"Ya nggak seperti ini juga, setan!" Aku memaki melampiaskan protes sia-sia. Meski kutahu mereka tak mungkin bisa mendengarnya.
Yah, setidaknya ada parasut tersemat di punggung.
Tapi berapa kali pun aku merogoh bagian belakang, aku tidak menemukan semacam tali untuk mengaktifkan parasut itu. Kalau di film-film biasanya kan ada semacam tali yang ditarik gitu kan?
Tapi ini nggak ada. Beneran, gak ada.
"Gimana cara makenya?! Aaaaaaaaaaaaaaa...!" Batinku kini sukses dikuasai panik. Gedung yang tadinya kecil, kini terasa seperti di-zoom.
Jendela-jendela gedung pencakar langit terlihat berlarian di sampingku. Jalanan terbuat dari batu susun terlihat kian mendekat. Aku akan terbanting keras, jatuh menghantam bumi, lalu hancur seperti semangka diinjak.
Mataku terpejam erat, bersiap menerima kematian menyakitkan.
...
Hening, terdapat jeda kekosongan dalam rasa takut ini.
Embusan angin perlahan berhenti. Bising suara percakapan orang berlalu lalang terdengar di sekeliling. Dengan sejumput keberanian, kubuka mataku perlahan.
Batu susun terlihat begitu dekat di hadapan mataku. Posisi jatuhku ternyata terhenti begitu saja. Entah teknologi apa yang mereka punya, ternyata aku bisa mendarat tanpa luka. Badanku tidak jadi menubruk daratan karena sukses memberontak dari hukum fisika.
Dengan dipenuhi rasa canggung, aku berusaha bangkit menahan malu. Kutatap parasut yang menempel di punggung. Kubayangkan petugas di helikopter tadi pasti sedang tertawa terbahak-bahak. Tak perlu waktu lama hingga akhirnya kubanting benda sialan itu.
Lewat handphone yang tersemat di dada, kubaca kembali log percakapan di briefing tadi. Tugasku adalah berlomba dengan peserta lain untuk mengganti warna lampu di menara tertinggi kota.
"Misiku adalah warna Pink," gumamku pelan. "Pemenangnya akan mendapatkan poin lebih tinggi dalam liga klasemen untuk mendapatkan [kotak]."
 [Kotak]?  Maksudnya apa? Menurut keterangan di sini, [Kotak] adalah benda yang sanggup mengabulkan keinginan apa pun.
Halah, persetan dengan itu. Lokasi menara tujuan sudah terlihat di kejauhan. Pandanganku lantas menerawang ke sekeliling, mencari semacam kendaraan. Panitia pastinya sudah menyediakan satu kan?
Tapi tidak ada kendaraan apa pun di sini. Tempat ini mirip seperti lokasi festival. Orang-orang berjalan kaki, kebanyakan terlihat mesra dengan pasangan masing-masing. Entah kenapa aku jadi teringat Abu, jalan-jalan berdua di sini sepertinya menyenangkan.
Tanpa ragu kutampar pipiku sendiri, berusaha melenyapkan pikiran menjijikkan barusan. Kenapa aku jadi begini? Ah, ini pasti efek hormon dalam tubuh wanita. Pasti ya, soalnya mana mungkin aku punya ketertarikan pada pria? Lagi pula, jadi seorang homo itu dosa besar dan pasti masuk neraka.
Tak mau buang banyak waktu, aku lantas bergegas menerobos kerumunan ini. Berjalan kaki sepertinya bukan pilihan buruk. Lagi pula, lokasi menaranya tidak terlalu jauh.
Semakin ke arah menara, kerumunan orang-orang terasa semakin padat. Aku memilih untuk memutar di pinggiran jalan,  menyusuri pertokoan. Langkahku sempat terhenti, menatap pantulan diriku sendiri di sebuah kaca etalase toko. Gadis berambut jingga sepunggung itu memiliki lekuk tubuh seksi. Tanpa sadar dia mengusap pipinya sendiri, "Hmm... Aku cantik juga ya..."
Kubuka handphone untuk kemudian sibuk melakukan selfie.
Kalau saja tidak ada sebuah ledakan, mungkin aku akan lupa tentang lomba dan malah larut berwisata.  Kesiagaanku sukses dibuat memuncak tatkala ledakan tadi diikuti oleh jeritan dan hiruk-pikuk warga.
Kukira festival kembang api sedang dimulai, ternyata bukan. Sebuah bom baru saja meledak tak jauh dariku. Napasku terhenti, seiring dengan tubuhku yang terempas keras, menabrak tembok.
Rasa kantuk menyerang secara tiba-tiba. Sempat kulihat langkah kaki orang-orang yang berlari menjauh. Banyak di antara mereka berdarah-darah. Jeritan berbalut teror memenuhi udara. Suasana festival yang berlangsung meriah, dalam seketika sukses dibuat mencekam.
Mungkinkah ini ulah dari lawanku? Jika iya, tentu dia merupakan seorang bajingan berdarah dingin. Karena seingatku, tidak boleh ada pembunuhan di lomba kali ini.
Segalanya terlihat menjadi gelap.
...
Sulit sekali untuk bangun dan mengambil kendali atas tubuh yang kian lemas. Entah berapa lama waktu terlewat. Sempat kuberpikir bahwa perlombaan telah usai. Namun lampu di atas menara belum berubah menjadi warna emas.
Ada semacam kabut aneh berwarna hijau tipis. Langkahku terayun untuk mengantar diri ini mendekat ke pusat ledakan. Tentu saja, aku harus menerobos kabut itu.
Suara erangan terdengar di kanan kiri. Hati kecilku tentu berteriak, memintaku untuk menuruti rasa kemanusiaan agar berhenti untuk menolong para korban.
Tapi mau bagaimana lagi? Sepanjang mataku menelusuri, hanya ada potongan badan tercecar di area yang porak-poranda ini. Para penyintas mungkin ada dalam kondisi terluka parah, sebentar lagi mereka pasti meninggal.
Jadi untuk ap—
Pikiranku terhenti, seseorang mendorongku dari belakang hingga tubuhku terjatuh.
Masalahnya tidak berhenti sampai di sana. Dia juga menindihku. Wajahnya terlihat rusak. Darah mengucur dari rekah luka sobek menganga di bagian leher, memanjang menuju rahang. Tak ada bola mata berwarna hitam di wajahnya, kosong berwarna putih disertai kucuran darah.
"Zombie?!" Tapi aku menolak untuk percaya kalau mereka benar-benar ada.
Mulutnya mengerang, menganga lebar berusaha menggigit wajahku. Tak peduli seberapa kuat aku menahan bahunya, dibantu bobot tubuh dan tenaga superior, aku jelas bukan tandingannya.
Oke ini zombie. Jelas sekali aku akan segera dimakan olehnya.
"Tolooong!"
Seketika zombie itu berubah kaku, bagian kepalanya terentak keras ke arah samping. Sebagian wajahnya pecah dengan isi otak berhamburan.
Seseorang menyelamatkanku dari kejauhan. Aku tidak tahu siapa, tapi aku amat berterima kasih. Keputusanku bulat untuk berlari menuju arah sumber tembakan tadi. Pandanganku juga berhasil menangkap siluet seseorang pada balkon lantai dua menara. Lengannya terlihat menenteng senjata laras panjang. Pastilah dia sang penolong tadi.
Telingaku menangkap suara erangan lainnya. Jumlahnya ada tiga, empat... euh, mungkin ada puluhan. Jelas sekali aku sedang terkepung.
Rangkaian derau tembakan terdengar dari kejauhan. Zombie di kanan kiriku terempas seperti lalat berjatuhan.
Memasuki bagian dalam mal, aku harus dibuat terkesan akan betapa berantakannya tempat ini. Ruangan ini luas, langit-langitnya menjulang sampai lima lantai. Tapi ke mana pun mata memandang, yang kudapati hanyalah ketidakteraturan. Puluhan kursi berserakan. Meja terbalik dengan kertas-kertas berhamburan. Kaca etalase pecah berserakan. Bau anyir memenuhi udara. Selangkah setelah memasuki pintu masuk, aku mendapati potongan tubuh manusia berceceran di lantai.
Gaung rintihan mayat hidup terdengar sayup menggema. Bulu kuduk ini sukses dibuat merinding menahan teror. Siulan aneh tercipta dari tiupan angin, bercampur dengan lenguhan seram, memantul-mantul pada tembok bangunan. Telingaku gagal mencari tahu dari mana sumber suara itu.
Mendadak aku teringat Raccon City.
Takut? Tentu saja. Siapa yang tidak takut dihadapkan pada suasana mencekam—situasi angker khas film horor—seperti ini?
Pun begitu, tujuanku adalah puncak menara. Jadi mau tidak mau aku harus memberanikan diri untuk menyusuri lebih jauh.
Eskalator ini kosong, sepanjang pengamatan, tak ada seorang pun yang terlihat selain mayat hidup di sudut-sudut kios. Dalam sudut bayangan dari lampu pertokoan yang padam, aku berjalan mengendap-endap. Langkah kaki sebisa mungkin dibuat tak menimbulkan suara.
Entah berapa menit waktu berlalu, setidaknya posisiku kini sudah ada di lantai tujuh.
Heh, sepertinya ini akan mudah. Satu lantai lagi, dan aku akan tiba di lantai delapan. Setelah itu tinggal naik lift sampai di lantai 86, lalu naik lagi beberapa lantai... dan voila! Aku menang.
Siapa pun lawanku pasti sudah mati sekarang. Karena andai pun dia hidup, lampu di atas seharusnya sudah berubah warna sedari tadi.
Sebuah pemikiran optimis, sebelum akhirnya seseorang menyumpal mulutku dengan jemari kasar. Lenganku juga dikunci kuat-kuat dari belakang. Posisiku diseret masuk ke dalam sebuah etalase.
"Sssshhh..." sang penculik berbisik untuk menenangkan, tepat di samping telingaku.
"Abu?!" ucapku tak percaya. Seketika itu juga aku berhenti meronta.
Dia melepaskan kunciannya. Lengan pria itu lalu menunjuk ke arah luar.
Dekat eskalator, di seberang balkon lantai delapan, ada sesosok makhluk humanoid dengan lengan dipenuhi otot dan duri. Badannya agak membungkuk, tapi kepalan tangannya bisa menapak sampai ke lantai. Kulihat permukaan tubuhnya dipenuhi sisik, masing-masing mengkilat memantulkan cahaya. Kepalanya juga terlihat seperti kadal dengan moncong dipenuhi susunan gigi menganga.
"Itu apa?" tanyaku merinding.
"Produk gagal," jawab Abu.
Produk? Seketika itu pula otakku langsung membuat kesimpulan, "Kau penyebab ini semua?"
Tak ada jawaban. Diam berarti ya.
"Kenapa..?" Aku tahu Abu memang terlihat seperti orang jahat. Tapi tidak sejahat ini. Dia seperti iblis berdarah dingin.
Terdapat jeda, sebelum akhirnya pria itu membuka mulut untuk bersuara, "Aku hanya ingin bertemu tuhan."
Hah? Telingaku mungkin salah mendengar, "Bertemu tuhan? Kenapa tidak ledakkan saja dirimu sendiri sambil meneriakkan nama dia?"
"Aku melakukan ini justru karena tidak percaya dengan keberadaannya. Perlu berapa banyak lagi nabi yang kubunuh agar tuhan berkenan muncul di hadapanku?"
Lidahku kelu, kehabisan kata-kata untuk menanggapi, "Kau berniat untuk menantang Tuhan?" ucapku bingung. Orang ini ateis, jadi dia melakukan hal-hal keji agar tuhan menampakkan diri dan meluapkan amarahnya secara langsung. Tapi bukankah itu berarti dia membuat pertentangan dengan keyakinannya sendiri? Di satu sisi ia ingin membuktikan keberadaan tuhan, tapi di sisi lain dia terus memprovokasi agar tuhan marah terhadapnya. Jauh di dalam lubuk hatinya, aku yakin Abu paham bahwa tindakannya salah.
Aaaaah, kenapa aku malah terus memikirkan kakek tua bangka ini? Aku seharusnya marah terhadap dia. Gara-gara Abu, banyak nyawa tak berdosa melayang sia-sia.
"Kau brengsek," ucapku menghakimi.
Pria itu menoleh, menatapku lama dalam keheningan. Aku dibuat canggung akan betapa datarnya ekspresi dia.
Wajahnya mendekat tiba-tiba. Dia mengecup mulutku begitu saja. Sorot mataku mungkin terbelalak tak percaya, batinku terkesiap tak berdaya.
Anj$&*#BAB@(@#)*&_)KONT!#^)&^_!(&*@
Buru-buru aku berusaha mendorongnya. Rasa jijik memuncak seketika.
Tapi usahaku gagal. Kecupannya berlangsung lama. Di lain pihak, alih-alih mendorong jauh, lenganku malah menggelayut di kedua bahunya.
Kenapa perempuan diciptakan begitu lemah?
Tidak, ini bukan soal lemah. Tapi tubuhku memang menolak untuk mematuhi perintah. Padahal batin ini memaki frustrasi untuk mendorong jauh. Namun sebaliknya, tiap jemari di tangan malah membelai mesra dagu berbalut berewok tipis itu.
"Kau hebat bisa sampai sini. Belum waktunya para peserta saling membunuh, jadi sebaiknya kau tetap bersamaku dan selamat melewati semua ini." Ucapannya begitu tegas. Dibalik kacamata hitamnya,  jelas sekali bahwa dia sedang menatap jiwaku. "Kau bisa menggunakan ini?" ucapnya seraya menyodorkan sebuah pistol.
Aku mengangguk pelan.
Kami keluar dari tempat persembunyian. Abu berlari pelan sambil tetap menodongkan senapan. Ia membidik menyapu sekeliling untuk mencari pergerakan mencurigakan. Segalanya tampak aman.
Aku mengikutinya dari belakang.
Suasana hening sekali. Banyak potongan tubuh terkoyak habis tak tersisa. Sesekali aku menoleh ke belakang, berjaga-jaga agar tak diserang.
Beberapa waktu mengendap dalam kesunyian, kami akhirnya dihadapkan pada lift staff. Jaraknya tinggal sepuluh meter.
Jantungku mendadak berdesir keras. Di balik sebuah pilar, kulihat ada seorang wanita terbaring seraya menangis tersendu-sendu. Setelah ditelisik lebih jauh, setengah kepalanya terbuka merekah. Dia tengah dikunyah hidup-hidup. Monster tadi sibuk menggerogoti isi otak wanita malang itu.
Bagian lengan habis digerogoti, hanya tersisa tulang berbalut darah. Ususnya terburai jatuh.
Tahu yang lebih buruk lagi? Wanita itu ternyata masih hidup. Entah bagaimana ia masih sadar melewati segala penyiksaan. Dadanya terbatuk, ia meringis kesakitan. Airmata mengucur, tatapan matanya kosong tanpa ekspresi. Satu demi satu gigitan mengoyak isi kepala.
Aku sontak mengangkat pistol dan membidik kepala monster itu penuh amarah.
"Biadaaab..!!!"
Tapi Abu menembak terlebih dahulu. Pelurunya malah menyasar wanita tadi. Tangis itu terhenti untuk selamanya.
Pandangan mata Abu terasa dingin tanpa sedikit pun tarikan ekspresi. Kutahu dia membunuh korban untuk mengakhiri penderitaannya. Tidak mungkin ia akan selamat dengan luka seperti itu.
Tembakan barusan sepertinya terlalu mencolok, puluhan raungan bergema menyambut letusan tadi.
"Lari..!" perintah Abu.
Aku sontak berlari sambil tetap memosisikan diri di belakangnya. Posisi senapan pria itu masih teracung tanda siaga. Sesuatu muncul dari lorong kecil di arah kiri. Abu sontak menggerakan senapan dan membidiknya.
Darah hijau menciprat dan menempel pada dinding. Pergerakan lainnya muncul dari atas, sesosok makhluk melata mirip kadal merayap di atap terowongan. Abu dengan refleks mengarahkan senapan dan menekan pelatuk. Satu demi satu makhluk aneh itu tewas dengan peluru panas bersarang tepat di kepala.
Auman keras kembali menggetar dari arah belakang. Sesosok makhluk raksasa muncul dari arah eskalator yang barusan kulewati. Lengannya mengobrak-abrik puluhan kardus yang menghalangi. Sekilas perawakannya terlihat seperti kalajengking. Monster itu merayap mendekat seraya mengempaskan segala sesuatu.
"Ayo!" Abu mendorongku agar berlari terlebih dahulu. Ia melangkah mundur seraya memberikan tembakan perlindungan. Monster yang mengejarku kali ini benar-benar sangat berbahaya.
Aku tiba di dalam lift.
Di luar sana, Abu sibuk meloncat ke samping menghindari ayunan ekor kalajengking tadi.
"Abu! Ayo!"
"Kau duluan!"
"Tapi kan..?!" Aku nyaris tak percaya. Dia ingin mengorbankan dirinya?
"Kau hanya akan menggangguku."
Agak ragu aku dibuatnya. Tapi pikiranku haruslah tetap optimis. Abu merupakan prajurit profesional. Dia pasti bisa selamat melewati ini, "Jangan sampai mati!" seruku menyemangati.
Jempolnya terangkat tinggi seraya membelakangi. Bara api menyembur sebagai latar dan Abu tetap bergeming dengan senapan di tangan. Ya tuhan, dia terlihat gagah sekali.
Pintu lift tertutup. Kesunyian menemaniku sepanjang perjalanan naik. Puncak menara sepertinya aman dari para mayat hidup. Perjalananku mulus hingga akhirnya tiba di lantai 88.
Warna lampu kota berhasil kuubah. Aku seharusnya muncul sebagai pemenang.
Tapi sejam berlalu begitu saja. Hanya ada kesunyian dalam ketidakpastian. Pikiranku tak tenang, memikirkan keselamatan Abu.
Bangunan ini tiba-tiba bergoncang. Suara ledakan terdengar nyaring dari luar.
Tak butuh waktu lama hingga akhirnya aku menyadari adanya keanehan.
Menara ini berubah miring?
Sebuah kesimpulan terbentuk seketika itu juga, "Jangan-jangan..."
Dibalik jendela tampak pergerakan yang menunjukkan kejatuhan menara.
Aku semakin panik, lenganku menempel pada kaca, berusaha mencari jalan keluar.
Terkaman gagah menarik panggulku, membawaku lari sembari memecahkan jendela.
"Abu!" ucapku girang.
Dia hanya merespons senyap seraya mencuri pandang. Parasutnya mengembang, menghentikan laju kejatuhan kami berdua.
Bagian puncak menara itu kian menjauh, ambruk menindih bangunan di bawahnya.
"Kau bakalan jadi buronan," ucapku lirih. Wajahku terbenam dalam dadanya seraya memeluk erat.
Abu diam tak merespons.

Komentar

  1. sangat tertarik saya melihat bagaimana nasib Abu berikutnya. mungkin dia tidak menang, tapi sepertinya tujuannya tercapai, meski itu bukan tujuan utama.

    dari entry asli Abu d R1 saya memang mendapat kesan dia adalah orang yang ga perduli sama objektif utama turnamen jadi ini cocok.

    anyway, as usual good written and enjoyable to read. sayangnya saya ada sedikit masalah sama betapa mudahnya dia menang but then again, saya punya masalah yg sama d R1 nya Dian

    9/10
    Chalice

    BalasHapus
  2. Ayolah, entri ini merubah imej ku soal Abu. Kenapa di otak saya Abu menjadi begitu shoujo? mungkin karena kisahnya terasa shoujo dengan adegan kising kising dan adegan terakhir yg tragis romantis dan bikin doki2... atau karena Abu yg berdarah dingin, rupanya punya sisi kehangatan kepada Dian dimana saya merasa kalau Abu itu kuudere? tapi saya suka karakter Abu tetap dipertahankan dgn ledakan dan visinya mencari Tuhan yang dibahas disni, meskipun saya gak paham darimana dia bisa membuat monster yang disebut 'produk gagal' itu?

    dan bagian awal, ya ampun! itu... kenapa gak dipanjangin di adegan sebelumnya? ini pasti gara2 panitia cuman membatasi 3k kata!!! sayangnya si celana straberi gak ikut trisum, mgk klo ikut jadinya orgi? XD

    8/10 dari si celana stroberi :x

    BalasHapus

Posting Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya