[Ronde 2] Zenistia_Nisrina - Pahlawan VS Pasukan Pertahanan

By: Mayn Urr Izqi

 Di dalam helikopter Zenistia berpegang erat pada seorang penjaga wanita. Penjaga itu tampak memasang senyum kejut dengan tawa aneh, sedangkan Zenistia sama sekali tidak membuka matanya. Tubuhnya pun tampak dillit dengan berbagai pengaman. Wajar saja, phobia terhadap ketinggian membuatnya tidak bisa berbuat banyak.

Tidak lama, mereka mendarat di atap sebuah gedung. Zenistia segera membuka semua pengaman di tubuhnya dan melompat keluar. Dia sadar kalau dia masih berada di ketinggian, tapi selama dia tidak melihat ke bawah dan tidak berada di pinggiran gedung, dia merasa aman.

Zenistia mulai menarik dan menghembuskan nafas secara pelan. Ritme jantungnya yang berdegub tidak karuan mulai teratur dan dia mulai bisa menenangkan diri.

Sebelum Zenistia sempat mengucapkan terima kasih karena sudah diantar, helikopter sudah terbang dan meninggalkan gedung itu.

Tanpa sempat mengatakan apa pun lagi, Zenistia berpaling. Angin malam menerpa dirinya yang masih mengenakan armor. Rambut pendeknya menari-nari tidak karuan dan Zenistia menyadari kalau dia akan melawan seorang pemuda yang lebih muda darinya. Entah siapa nama asli pemuda itu, tapi saat undian keluar. "Super," adalah nama yang keluar.

Zenistia sendiri telah menerima data dari setiap peserta. Meski tidak lengkap dan Zenistia ragu akan keakuratannya, tapi itu sudah cukup untuk membuat Zenistia mengetahui siapa yang harus diberi ampun dan tidak.

Dia berbalik dan menuju ke lift dengan sepatu roda pinjaman dari panitia. Sembari mendekat dengan lift, dia melepas sarung tangan dan membuangnya ke sembarang tempat. Setelah tombol ditekan, pintu terbuka tidak lama kemudian. Dia pun masuk ke dalam ruangan kecil tertutup tanpa jendela. 

Alih-alih memfokuskan diri ke pertandingan, dia justru teringat tentang Aileen dan Alfan. Dua orang yang bekerja sama dengannya di ronde pertama.

Malam hari sebelum pertandingan, Zenistia sudah menerima data para peserta. Namun, dia lupa untuk membacanya. Hal yang sangat disesalinya pun terjadi, dia bekerja sama dengan Vampir dan Bentwech.

Zenistia mengutuk dirinya berulang kali sembari menggertakkan giginya. Kebenciannya terhadap ras lain selain manusia telah merasuk ke dalam jiwanya. Trauma terhadap api dan rasa takut terhadap ketinggian, semua itu adalah berkat musuh ras manusia dari dimensi tempatnya tinggal.

Orang tuanya habis dibakar hidup-hidup di depan mata dan dia dijatuhkan dari stratosfer. Entah bagaimana dia bisa selamat, tapi dia dengar kalau anggota pasukan khusus yang menyelamatkannya. Karena itulah dia menjadi anggota HFD untuk mengurangi korban.

Tembok setinggi tiga ratus meter yang menjadi pertahanan kota di dimensinya. Zenistia ingin membuat dunia di mana para manusia bisa berjalan di luar kota dengan rasa aman tanpa rasa takut akan bahaya yang mengintai. Dia ingin agar manusia bisa hidup bebas menjelajahi dunia. 

Saat dunianya damai, dia ingin duduk di teras rumahnya, merasakan hembusan angin yang menerpa, menikmati hangatnya sinar mentari, dan menghabiskan waktu dengan orang yang dicintainya, yaitu seniornya.

Zenistia menyiapkan TAR-2145 dan mengangkat wajahnya yang telah berubah menjadi dingin. Tatap matanya tak lagi polos. Namun, berubah tajam.
"Aku harus menang."

***

Di sisi lain menara bebal, tampak di jalanan seseorang dengan pakaian ketat warna hitam mengendarai sepeda kayuh berwarna kuning. Meski kendaraannya adalah sepeda kayuh, tapi kecepatannya mendekati 80 km/jam. Menyalip ke kanan dan ke kiri dengan lihai layaknya sepeda motor. Polisi yang melihat itu pun ragu untuk menghentikannya, setelah semuanya itu bukan kendaraan bermotor dan tidak melebihi batas kecepatan. Itu berarti tidak bisa ditilang.

"Super soul, aku datang!!!!" teriaknya sembari mengayuh penuh semangat.

***

Menara bebal. Gedung pencakar langit tertinggi di kota Almnese. Terdiri dari 88 lantai yang tentunya sudah dikosongkan karena perlombaan antar dimensi akan diadakan di dalamnya. Pertarungan sengit mungkin akan terjadi dan mungkin beberapa properti akan hancur di dalamnya karena pertarungan, tapi tentunya pihak panitia akan bertanggung jawab akan hal itu. Itu membuat para peserta bisa mengamuk di dalam gedung itu sepuasnya.

Pintu masuk terbuka otomatis ketika Zenistia mendekat. Dia menghentikan laju sepatu roda dan segera melepasnya. Ke dua matanya segera memperhatikan sekitar. Ruangan luas yang tampak begitu sepi. Kios-kios tampak tertutup rapat, tapi fasilitas masih berfungsi dengan baik. Lift dan elevator tampak bisa digunakan.

Delapan lantai pertama adalah mall dan Zenistia harus menuju lantai ke delapan, kemudian menggunakan lift staf untuk bisa mencapai lantai 86. Memikirkan hal itu saja sudah membuat kaki Zenistia gemetar karena membayangkan ketinggian yang akan dia hadapi, tapi selama dia berada di tengah lantai, dia akan merasa aman. Namun, itu berarti dia harus menjaga jarak dengan jendela. Sekali dia melihat ke bawah, dia akan langsung lemas dan tidak bisa berbuat apa pun lagi. Dia akan kalah secara otomatis jika berada di dekat jendela, karena itu dia memutuskan untuk menjaga jarak setidaknya 2 meter dari jendela.

Zenistia mengalihkan pandangannya pada tangan kanannya. Burst Bracelet, hadiah yang diperoleh dari ronde pertama. Awalnya dia tidak mengerti fungsinya, tapi setelah bertanya pada Ibnu Rasyid selaku penemu dari benda itu. Dia pun bersyukur atas gelang itu.

Burst Bracelet menggunakan aktifasi suara yang jika diaktifkan akan memancarkan gelombang Nethoron. Gelombang ini berada pada gelombang jenis Alpha di frekuensi yang sama dengan tenaga photon. Jika diaktifkan, gelombang Nethoron akan memperkuat tenaga photon. Singkatnya Burst Bracelet memiliki fungsi untuk memperkuat daya hancur setiap senjata Zenistia yang menggunakan tenaga photon.

Kemudian dia masih memiliki Dream Liner yang belum digunakan sama sekali. Dia enggan untuk menggunakan kemampuan spesial dari Dream Liner yang bisa memindahkan kekuatan dari seseorang ke orang lain. Konsep kekuatan dari dimensi lain mungkin memiliki perbedaan dengan konsep kekuatan yang berasal dari dunianya. Akan ada kemungkinan gagal jika dia menggunakannya dan untuk menghindari kemungkinan itu, dia tidak akan menggunakan Dream Liner apa pun yang terjadi.

"Kau pasti Kak Zenistia Nisrina, panggil aku super!" Zenistia mengangkat wajah ketika mendengar suara dari lantai dua.

Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun berdiri di pagar pembatas dengan ke dua tangan menyilang di dada. Pakaian hitam ketat dengan jambul kuning di kepala, serta kacamata kuning. Itu membuatnya tampak seperti tokoh dari serial super shentai. 

Melihat dari bawah pada anak itu membuat Zenistia berpikir kalau anak itu celaka jika terjatuh.

Tanpa ada angin atau apa pun, Super menjatuhkan diri dari lantai dua. Zenistia yang baru saja memikirkan hal buruk langsung berlari mendekat dan bermaksud untuk menangkap anak itu. Namun, sebelum Zenistia bisa menggapainya. Anak itu melakukan beberapa putaran di udara sebelum akhirnya mendarat ala super hero.

Anak itu melompat dan berdiri dengan tegak, sementara Zenistia tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa.

"Jadi... Apa Kak Zenist siap bertarung denganku?" suara ringan itu terdengar dari wajah yang disembunyikan.

"Huuuffffttt... Ya, aku siap. Akan tetapi, aku ingin perlombaan yang jujur dan adil."

"Perlombaan? Kukira Kakak akan lebih memilih bertarung denganku sama seperti para peserta sebelumnya."

"Pertarungan bukan satu-satunya hal yang bisa menyelesaikan masalah. Di sisi lain, mungkin akan ada korban jika kita bertarung."

"Oooh...... Aku tahu. Kak Zenist pasti khawatir padaku, kan? Kak Zenist jatuh cinta padaku? Ya, jatuh cintalah pada Super!! Hahahaha!!!!" tawa lepas yang membuat Zenistia berwajah datar.

"Tidak, bukan itu. Aku hanya menghargai setiap nyawa manusia yang bisa diselamatkan, karena itu sebesar mungkin aku tidak ingin membunuh manusia."

"Eh? Kak Zenist tidak jatuh cinta padaku?"

"Tidak. Daripada harus memberikan hatiku pada Chuunibyo superhero sepertimu, aku lebih baik jadi perawan tua. Lagipula aku sudah memberikan hatiku pada seseorang," tawa kecil mengikuti kalimat Zenistia.

"Ouch..." Super terdiam dan tergeletak di lantai sambil memeluk kakinya setelah mendengar kalimat Zenistia yang kini sedang tertawa kecil, "Oh, tuhan kenapa aku selalu menjadi orang ke tiga dalam hal seperti ini? Tuhan kirimkanlah aku... Kekasih yang baik hati... Yang mencintai aku... Apa adanya.... Haaaa!!!" Super berteriak dengan bergelimang air mata, sementara air mata juga ikut mengalir di mata Zenistia yang masih tertawa.

"Astagah... Dasar laki-laki," Zenistia mendekat pada Super sambil menghapus air matanya karena tawa dan menempatkan diri di dekat Super. "Kau tahu? Gadis menyukai laki-laki yang bisa membuat jantung mereka berdegub kencang dan bisa memikat mereka, tapi beberapa gadis lebih menyukai laki-laki yang bisa membuat mereka tertawa, yang bisa membuat mereka menangis bukan karena disakiti, tapi karena bahagia. Kau memiliki kemampuan itu dan aku yakin kalau kau bisa menemukan orang yang mencintaimu suatu hari nanti."

Mendengar hal itu, Super pun menghentikan air mata dan segera menghapusnya. Zenistia mengeluarkan tangannya dan membantu Super untuk bangkit.

"Baiklah, aku mengerti. Bisa kita mulai saja lombanya? Berdiam diri hanya akan membuatku merasa terbebani hal tadi," Super mulai tersenyum kembali dengan ke dua tangan di pinggangnya.

"Yeah, kita mulai."

Zenistia dan Super mulai menghadap pada arah yang berlawanan. Zenistia masih memegang TAR-2145 di tangan, sementara Super entah kenapa masih berdiri tegak.

"Kak Zenist, mulailah lebih dulu. Aku memiliki kemampuan Super yang bisa membantuku naik ke atas dengan cepat dan aku percaya bisa mengalahkan Kakak dengan cepat."

"Kalau begitu jangan menyesalinya! Aku pergi dulu," tanpa mengatakan apa pun lagi, Zenistia berjalan meninggalkan Super.

Zenistia masuk ke lift sempit dan menekan tombol angka 8. Lift pun naik secara perlahan dengan Zenistia meringkuk di pojok dekat pintu sambil berharap kalau lift tidak akan mengalami malfungsi.

Sampai di pertengahan lantai 6. Super tersenyum di balik topengnya sambil menatap ke atas. Dia menunjuk sejenak sebelum melompat ke pagar lantai dua, kemudian meraih pagar tersebut dengan dua tangannya, dan lanjut melompat ke lantai tiga. Terus seperti itu hingga dia berhasil menyusul lift.

Saat pintu lift terbuka, Zenistia langsung berlari tanpa pikir panjang. Super yang baru saja menginjakkan kakinya di lantai pun langsung menyadari kalau Zenistia berada di seberang. Hanya ada satu lift menuju ke lantai 86 dan jarak antara lift tersebut dengan ke dua peserta adalah sama, yaitu 10 meter.

Tentunya bagi Super itu hanya masalah kecil, dia hanya perlu mendorong tubuhnya dan dia akan sampai dalam waktu kurang dari sepuluh detik. Akan tetapi, yang memiliki masalah adalah Zenistia yang hanya sebatas manusia biasa dengan kemampuan penyegelan.

Menyadari hal itu membuat Zenistia mengangkat TAR-2145 dan langsung menekan pelatuknya. Puluhan cahaya pendek seketika menyerbu Super yang hendak berlari. Itu membuat Super harus melompat menjauh, ke belakang, ke langit-langit, dan dan berputar di udara layaknya pahlawan yang menghindari peluru teroris.

Serbuan cahaya terhenti begitu saja. Super yang baru saja mendarat dari putaran udara yang mengagumkan segera mengangkat kepala sambil menyerukan, "Hebat!! Bukankah itu tadi laser? Itu seperti di film Galaxy War sa... Ja," Super kehilangan kalimat ketika melihat pintu lift staff tertutup dengan Zenistia yang melambai pelan dan diikuti senyum manis di bibir.

"Arrrrrgggghhhhh........!!!!!! Kak Zeniiiiissstttt!!!! Aku terlalu sibuk menghindar dengan keren dan lupa dengan pergerakannya. Baiklah kesampingkan hal itu! Hanya ada satu lift menuju ke lantai 86 dan jika aku menunggu, maka jelas aku akan kalah. Lalu bagaimana aku bisa menyusulnya?"

Super menyilangkan dua tangan di dada dengan dua mata terpejam. Sedetik kemudian, dia membuka kembali matanya dan melihat ke sekitar. Tak ada apa pun, tak ada seorang pun, bahkan tak ada staf karena menara Bebal sudah dikosongkan. Satu-satunya yang menarik perhatian adalah jendela kaca.

"Kurasa panitia harus memperbaiki banyak hal setelah ini. Hehehehe..." Bukannya mencari cara untuk naik ke atas, Super melompat turun. 

"Oh, aku jadi merasa kasihan padanya," Zenistia bergumam setelah tertawa kecil. Meski di tengah perlombaan, dia masih bisa tertawa ternyata.—mengingat kalau dia berada di tempat tinggi— Setidaknya itu bisa membuatnya lupa akan phobia miliknya.

Di ruangan sempit tanpa jendela itu, Zenistia kini terdiam dan tertunduk. Senyum di bibirnya menghilang seperti debu yang diterpa angin. Matanya yang sedetik lalu bersinar telah digantikan dengan mata sayu. Membuatnya tampak seperti hendak menangis.

Teringat akan remaja seusia Super dari dimensinya. Kebanyakan dari mereka telah menjadi yatim piatu karena perang besar. Dia hampir tak pernah melihat senyum lagi dari anak seusianya atau dari yang lebih muda. Melihat Super yang terus tersenyum dan bercanda tidak membuatnya marah, tapi malah membuatnya berpikir untuk menciptakan dunia di mana anak-anak bisa berlarian dengan bebas, bercanda, dan tertawa lepas seperti Super.

"Maaf, tapi aku harus menang," gumamnya dengan pelan.

"Hoooooo!!!!! Aku jenius!! Aku benar-benar jenius!!" Zenistia bisa mendengar teriakan itu semakin keras, tapi dia tidak bisa menebak asalnya. Saat suara itu cukup dekat, Zenistia pun membuka matanya lebar-lebar karena menyadari di mana Super berada.

Di luar gedung, Super menancapkan Hammer khusus mendaki tebing pada tembok datar. Tangan supernya menarik tubuhnya ke atas sekuat tenaga dan dia meluncur di udara. Saat kecepatan mulai turun, dia mulai menancapkan di tangannya yang lain dan menarik dirinya ke atas lagi. Dari kejauhan membuatnya tampak seperti terbang, tapi sebenarnya dia sedang menarik tubuhnya ke angkasa dengan menggunakan dua Hammer khusus di ke dua tangan.

"So Supppeeeerrrr!!!!" teriaknya keras-keras.

"Ding!" suara bel berbunyi menandakan lift sudah sampai di lantai 86. Pintu terbuka dan Zenistia segera keluar. Bukannya berlari ke anak tangga dan menuju ke lantai 87, dia justru mengangkat TAR-2145 dan membidik tembok.

"Burst!!" teriaknya dengan kencang. Burst Bracelet menyala kebiruan dan di ujung moncong TAR-2145 berkumpul cahaya. Pelatuk di tekan dan ledakan cahaya besar nan lurus melesat ke arah tembok.

"Waahh!!! Apa itu?!!" Super terhenti ketika cahaya biru menembus tembok di atasnya dan terus melesat lurus membelah angkasa. Dia gagal naik ke lantai 86 dan terhenti di lantai 85.

Pelan, cahaya mulai redup. Super bisa melihat sebuah lubang besar menganga di tembok menara Bebal tepat di hadapannya. Dengan pelan, Super mengintip masuk dan terlihat Zenistia yang mulai menurunkan senjata.

"Menakutkan," gumamnya.

Layar pada Tar-2145 berkedip berkali-kali, menunjukkan kalau baterai lemah.

"Oh, sial aku lupa membawa baterai cadangan, tapi aku tidak menyangka kalau satu tembakan memerlukan daya 90%" Zenistia membuang Tar-2145 dan meraih stick besi. Tombolnya ditekan dan cahaya lurus muncul di ujungnya.

"Wahhhh!!! Itu-itu pedang laser," Super malah masuk dan menunjukkan dirinya, tapi Zenistia sama sekali tidak menanggapi. Dia justru menarik Dream Liner. Light Saber di tangan kanan dan Dream Liner di tangan kiri, Zenistia tidak bermain-main lagi. "Oh, aku mengerti. Kak Zenistia, aku akan mengurangi bicara mulai sekarang. Aku juga akan serius."

"Bagus, aku tidak boleh kalah untuk duniaku."

Tak ada hitungan, tak ada aba-aba. Namun, ke duanya bergerak di saat yang bersamaan. Zenistia berbalik dan berlari meninggalkan Super, sementara Super melompat beberapa meter dan membelakangi Zenistia kurang dari satu detik. Zenistia pun berbalik sambil menebas secara horizontal, tapi Super bisa menghindarinya dengan melompat ke atas, merebut posisi pertama, memberi jarak dalam waktu yang bersamaan.

Refleks membuat Zenistia langsung membidik dengan Dream Liner dan menekan pelatuknya. Sinar pendek melesat ke punggung Super, tapi Super bisa menghindarinya dengan melompat ke anak tangga. Saat hendak melompat ke lantai 87, Super terhenti karena di arah lompatannya sudah melesat lima cahaya yang melelehkan handrail.

"Kak Zenistia memang hebat," Super mengalihkan matanya dan terlihat sebuah cahaya panjang mendekat layaknya kilat. Super melompat ke belakang sambil berputar, cahaya itu berhasil memotong jambul kuning, tapi tidak kepala Super.

Tak ingin membuang waktu membuat Zenistia langsung berlari ke lantai 87. Meninggalkan Super yang baru saja mendarat dengan pose superhero. Terlihat bahkan handrail meleleh dan bagian atasnya jatuh di hadapannya, semua itu hanya karena pedang laser.

Zenistia terus berlari hingga dia sampai di lantai 88. Tiga tuas lampu terlihat terpisah satu sama lain dengan jarak sekitar 100 meter.

Dia langsung menuju ke tuas terdekat, tapi Super hadir seperti kilat hitam. Melompat dari arah anak tangga dan melesat ke Zenistia. Kurang dari satu detik, dia berhasil menyusul dan menghadapi Zenistia. Kepalan kanan langsung meluncur tepat ke arah wajah Zenistia dan, "blom!!" lantai retak dan menimbulkan kepulan debu. Zenistia terpukul mundur sejauh 3 meter. Benar, pukulan super dari Super hanya membuat Zenistia terpukul sejauh tiga meter.

"Maaf saja, tapi aku lebih berpengalaman dalam pertempuran," dari balik kepulan debu itu, Super bisa melihat sebuah lingkaran biru transparan selebar 45 cm di tangan kiri Zenistia.

"Apa itu?" pelan, Zenistia menegakkan tubuhnya dan menyibakkan debu dengan Light Sword.

Sosok perempuan yang berdiri tegak dengan pedang laser di tangan kanan, perisai biru di tangan kiri, dan Dream Liner yang juga di tangan kiri. Zenistia tak lagi memasang senyum ramahnya. Dia ingin menang. Dia harus menang. Karena itu, dia harus mengalahkan Super.

Super kembali melesat layaknya kilat hitam. Mengitari Zenistia dan bermaksud memberikan pukulan telak pada sisi samping tubuh Zenistia, tapi Zenistia bisa menahan serangan itu dengan perisai miliknya, meski dia harus terpukul mundur sekali lagi.

"Kalau begitu, bagaimana dengan yang ini?" Super menambah kecepatannya.

Kali ini tidak hanya berlari Mengitari, tapi dia juga melompat ke atap. Mata Zenistia tak lagi bisa mengikuti pergerakan Super dan mengandalkan insting bukanlah pilihan terbaik.

"Bak!" pukulan kilat mendarat di punggung Zenistia, tapi berkat armor yang menyerap energi kinetik. Dia hanya terpental sejauh satu meter dan masih bisa berdiri kembali dengan cepat. Namun, Super tidak berhenti. Pukulan-pukulan lainnya segera bersarang di tubuh Zenistia dan Zenistia benar-benar tidak bisa membalas.

Pukulan lainnya kali ini membuat Zenistia terpental hingga mendekati jendela kaca. Kakinya yang tak kuat menahan beban tubuh pun kehilangan keseimbangan dan terjatuh, tapi saat dia mengetahui tempatnya berdiri. Dia langsung melompat ke depan dan menuju ke tengah ruangan kembali. Bersamaan dengan hal itu, ternyata dia berhasil menghindari pukulan super lainnya.

Zenistia berdiri dengan cepat dan menyiapkan dirinya lagi, sementara Super berhenti bergerak dan malah berdiri menghadap Zenistia.

"Kak Zenistia, kau... Takut ketinggian?" pertanyaan ringan keluar dari Super.

Zenistia mulai memikirkan betapa bodoh dirinya, karena memberitahu Super kelemahannya tanpa sengaja.

Tanpa adanya hitungan lagi, Super melesat kembali. Zenistia kali ini benar-benar merasa kesal. Meski armor bisa menahan serangan, tapi armornya punya batasan. Sebelum mencapai batasan itu. 

"Photon Bracelet, Burst!!" Zenistia meneriakkan hal itu dan perisai di tangan kiri langsung menutupi tubuhnya dengan cepat. Super yang terlanjur melepaskan pukulan pun tak bisa berhenti di udara, karena itu dia melanjutkannya.

"Blaarrrr!!!" lantai retak bahkan lantai tersebut memberikan bekas bulatan besar karena perisai milik Zenistia yang ditekan keras oleh Super.

Debu kembali mengepul, tapi Super masih belum mengambil jarak. Saat ke dua kakinya menyentuh tanah, dia bisa mendengar Zenistia berteriak lagi.

"Light Sword, Burst!!! Excalibur!!!!" sebuah cahaya biru menepis debu dan melesat secara horizontal ke wajah Super.

Super melakukan kayang, tapi topeng wajahnya terkoyak bahkan pipinya berdarah. Super segera salto belakang dan memberi jarak. Darah di usapnya dengan tangan kiri, sementara matanya memperhatikan Zenistia dengan pedang besar di tangan kanan.

Zenistia sendiri harus memikirkan cara supaya dia bisa menang, tapi bagaimana? Sebelum dia menemukan jawabannya, Super sudah melesat kembali. Zenistia menghindar dan menebas dengan Excalibur—Light Sword yang sudah di Burst—

Super yang menyadari hal itu menghindar dan memberikan serangan balasan dengan menggunakan kaki kanan. Serangan itu bertubrukan dengan perisai, tapi Super langsung melompat dan memberikan tendangan lain. Zenistia menunduk dan menebas secara vertikal ke atas. Super membalik tubuhnya dan berhasil menghindari.

Saat kaki Super menginjak lantai, Zenistia menekan pelatuk Dream Liner dan cahaya menyerbu Super. Namun, hanya beberapa saat sebelum kehabisan daya dan Zenistia harus menyarungkan Dream Liner kembali.

Kemenangan di tangan Super. Super yang mengetahui Zenistia kehilangan satu senjata lagi langsung menerjang lurus. Bermaksud untuk menempatkan Zenistia sedekah mungkin dengan jendela.

Zenistia hendak menahan serangan apa pun yang akan diluncurkan oleh Super, tapi ke dua 
senjatanya kehabisan daya dan langsung mati begitu saja.



"Menyerahlah Kak!" Super terus menerjang dan saat jarak mereka kurang dari sepuluh meter, Zenistia menyeringai seolah mengatakan, "Bagus, kemarilah dan terima kekalahanmu!" 

Super yang menyadari hal itu segera menghentikan langkah kakinya dan berhenti tepat di depan Zenistia. Dia hendak melompat menjauh, tapi, "Plak!!" Zenistia menampar pipi Super.

"Huh?" Super terdiam.

"Plak! Plak! Plak! Plak!" tamparan berulang dari Zenistia.

"Oh, Ah, Kak! Hentikan!" Tepat setelah sepuluh tamparan Zenistia berhenti. Sepuluh tamparan berhasil membuat kulit pipi Super memerah. "Apa-apaan itu tadi?!!"

"Bukan apa-apa. Aku menang," Zenistia tersenyum ramah dengan dua jari membentuk "Peace"

"Huh? Apa maksudnya?" Super kebingungan.

"Kau itu cerdas dan tidak bertindak gegabah. Kau mempertimbangkan banyak hal sebelum kau menyerang, tapi itu jadi kelemahanmu. Saat aku kehabisan semua senjataku, kau langsung menerjang, tapi saat aku tersenyum seperti tadi. Kau berpikir kalau aku sudah menyiapkan jebakan, benar?"

"Tunggu! Apa itu berarti Kakak tidak menyiapkan jebakan?"

"Tentu saja tidak. Tujuanku adalah membuatmu berhenti bergerak dan dalam kecepatan seperti itu, kau tidak mungkin melompat karena kau pasti akan terlempar keluar, jadi kau memilih berhenti dan menjauh. Meski hanya satu detik, sudah cukup untukku dan aku berhasil menamparmu."

"Semua itu... hanya untuk menamparku?"

"Tidak, sentuhanku bisa menyegel kekuatan. Sebenarnya aku bisa menyegel kekuatanmu secara keseluruhan dalam satu sentuhan, tapi itu akan sangat berdampak bagiku. Karena itu, aku menamparmu sepuluh kali dan menyegel kekuatanmu menjadi dua puluh bagian."

"Jadi Kakak menyegel kekuatanku melalui tamparan?"

"Lebih tepatnya melalui sentuhan."

"Lalu kenapa menamparku?!!!"

"Karena itu akan membuatmu kebingungan dan terhenti sejenak. Lalu sekarang... Apa yang akan terjadi jika tubuh yang memiliki kemampuan tinggi tiba-tiba menjadi tubuh normal?"

"Entahlah, tapi aku kehilangan kekuatanku, benar?"

"Yup, dan untuk jawaban atas pertanyaanku adalah.... Ototmu akan kaku untuk dua menit, jadi ini kemenanganku," Zenistia meninggalkan Super.

Masih tak ingin kalah, Super mencoba untuk menyusul, tapi dia langsung tersungkur di lantai dan tidak bisa bergerak bahkan mulutnya tidak mau terbuka.

"Maaf ya, tapi aku tidak boleh kalah di sini. Akan kutraktir es krim setelah ini dan untuk kekuatanmu, itu akan kembali setelah sepuluh menit."

Kota Almnese yang dipenuhi penduduk sipil masih tampak begitu hidup. Dengan banyaknya orang-orang yang masih melanjutkan aktifitas mereka. Namun, saat cahaya lampu mulai berubah menjadi Pink, banyak orang terhenti dan terdiam.

Pelan, Lampu-lampu kota mulai berubah warna menjadi Pink. Orang-orang terdiam dan menatap cahaya tersebut.

Di lantai 88 menara Bebal, Zenistia terdiam di tengah lantai. Menatap pada lampu kota di kejauhan.

"Aku menang," gumamnya sambil tertunduk dengan senyum di wajah.
============

Ps: Catatan panitia:
Melebihi 3000 Kata,
Total akhir nilai R2 Zenistia akan dikurangi 2 (atau 0.4 jika dihitung 5 ronde)

Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya