[Round 2] Litus Kamara - Sound and Fury

By: Treize


Suara ketukan di pintu membangunkan Litus dari tidurnya.

Di depan kamar hotelnya, seorang pelayan memberitahu kalau sarapan telah disajikan. Litus mengucapkan terima kasih dan mengatakan akan segera turun beberapa saat lagi.

Ia menutup pintu lalu melompat kembali ke atas kasur.

Hari ini adalah hari ke-5 ia berada di Esmetas. Dunia yang sama sekali berbeda dengan Serenidia, dunia tempatnya berasal.

Ia tidak menyangka turnamen antar semesta akan berlangsung selama ini. Ia pikir paling lama seminggu pertandingan ini akan selesai. Tapi kenyataannya, terdapat 10 hari masa tenggang sebelum ronde selanjutnya dimulai.

Sedikit saja, Litus mulai merindukan kabin kayu usang di tengah Sinfrolic, gunung bersalju yang ia sebut rumah.

Hanya sedikit.

Litus menarik selimut dan menggulung dirinya sendiri seperti bola. Tubuh anak itu gemetar bahagia merasakan kasur hotel yang begitu empuk dan lembut.

Pada awalnya ia pikir bisa mendapatkan uang yang banyak, lalu merenovasi kabin kayunya jika memenangkan turnamen ini.

Tapi sekarang, ia sudah mendapatkan fasilitas yang lengkap, makanan yang selalu melimpah, dan tentu saja, tempat tidur yang nyaman.

Kalau bisa, ia ingin tinggal di sana selamanya.

***

Pukul sembilan pagi, Litus selalu mengunjungi arena rekreasi yang menjadi salah satu fasilitas hotel. Ia biasa menghabiskan waktu dengan berenang dan melatih akurasi memanahnya di shooting gallery.

Ia tidak pernah sendirian. Baik ketika berlatih atau bermain game, selalu ada peserta lain yang siap menjadi partnernya.

Berbagai macam persona yang terkumpul dari bermacam-macam dimensi dan semesta itu menjadikan hari-hari lenggang turnamen berlalu tanpa terasa.



***

Di hari ke-10 seluruh layar hotel kembali menyiarkan perihal tentang ronde berikutnya yang akan segera dimulai.

Kali ini, mereka akan di transfer ke kota di negara bagian lain dengan helikopter.

Litus mempersiapkan dirinya sesempurna mungkin. Tidak lupa anak panah spesial yang ia dapat dari peti gacha ronde pertama. Beberapa anak panah itu, ia pelajari, bisa menimbulkan kerusakan serius.

Anehnya, para pembantu panitia melarangnya membawa Snowman. Karena kereta luncur itu bisa terbang, mereka tidak menganjurkan untuk memakainya. Litus menurut setelah diberitahu kalau ia akan diberikan alat transportasi lain.

“Gugup, ya?” tanya salah satu pemandu berkacamata hitam yang duduk di sampingnya di helikopter.

Litus tersenyum kecut. “Tidak. Tidak juga.”

“Tenang saja. Arena yang berikutnya seru, kok!”

“Hentikan itu. Kau seharusnya tidak boleh berbicara dengan peserta,” kata pemandu yang mengemudikan helikopter.

“Apa salahnya?” kata pemandu yang ramah. “Kita hanya mencairkan suasana. Ya ‘kan, sob?”

Litus tidak tahu harus merespons apa dan memilih diam.

Arena yang seru? Setelah pulau dinosaurus di ronde satu, ia tidak bisa membayangkan apa lagi yang bisa melebihinya.

***

Langit sudah berubah gelap ketika mereka sampai di arena babak ke-2, kota metropolitan yang tidak pernah tidur, Almnesse.

Helikopter Litus mendarat di bagian barat kota. Ia turun dari helikopter dan menerima alat transportasi yang dijanjikan.

Sepasang sepatu roda hitam dengan garis-garis kuning dan oranye yang terlihat keren.

“Ohh ...,” serunya kagum. “Aku boleh memakainya?”

“Ya, tentu saja! Silahkan!” ucap pemandu yang menyerahinya sepatu roda itu.

Litus segera mengenakannya dan melakukan sedikit uji coba. Ia meluncur dengan bebas di area landasan helikopter dan melakukan beberapa manuver seperti halnya profesional.

OK,” ujar anak itu. “Tidak jauh berbeda dengan ice skating. Aku bisa menggunakannya.”

“Penampilan yang hebat, Tuan Litus!” puji salah satu pemandu sambil bertepuk tangan. Pemandu yang lain langsung menyikutnya untuk kembali fokus.

“Berikut ini adalah tugas Anda, mohon dengarkan baik-baik.”

Jadi intinya, Litus ditugaskan untuk mengubah seluruh lampu kota menjadi warna merah muda. Untuk itu, ia harus berlomba menuju puncak Menara Bebal yang berada di pusat kota. Ia harus cepat karena akan ada lawan dari timur kota yang juga mendapatkan tugas yang sama.

“Kenapa kita tidak memakai helikopter saja ke sana?” ucap Litus setengah bergurau.

“Kota Almnesse memiliki kebijakan untuk menembak jatuh segala jenis kendaraan udara. Mungkin bisa, jika helikopter ini dapat melaju melebihi kecepatan peluru.”

Sekarang Litus mengerti kenapa ia tidak dianjurkan membawa Snowman.

“Baiklah. Itu saja?” Litus mengentak-entakkan ujung sepatu rodanya, tidak sabar ingin segera meluncur.

“Ini adalah lawan Anda kali ini.”

Pemandu itu menunjukkan layar tabletnya pada Litus.

Di sana terpampang foto seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam dengan riasan seperti badut. Pria itu menunjukkan senyum yang entah kenapa membuat Litus sedikit bergidik ngeri.

“Jester.”

***

Di sisi lain kota, sebuah helikopter meluncur jatuh dan membentur permukaan tanah dengan ledakan yang dahsyat.

Setidaknya dua orang pemandu dipastikan tewas.

“Tidak, tidak. Itu tidak menyalahi peraturan.”

Di dekat lokasi kecelakaan itu, seorang pria yang menaiki unicycle berbicara sendiri sembari berputar-putar dengan pose dramatis. Ia mengenakan semacam topi bercabang dua, di mana ketika ia memunggungi ledakan, siluet tubuhnya terlihat seperti memiliki tanduk.


“Yang tidak boleh itu, membunuh sesama peserta. Sementara orang-orang bodoh yang tidak mengerti leluconku pantas menerima apa yang berhak mereka dapatkan.”

Pria berbusana penghibur itu—Jester—menarik tablet digital panitia dari sakunya. Ia mengusap layarnya untuk mencari informasi yang ia perlukan.

“Hmm ..., mengubah warna lampu kota menjadi emas? Itu tidak sulit.” Jester menatap Menara Bebal di kejauhan yang terlihat seperti pilar cahaya di malam yang semakin larut. “Tapi menara itu ... sepertinya menyediakan kesenangan yang besar!”

***

Kembali ke bagian timur Kota Almnesse, yang terkenal dengan rute pejalan kaki yang penuh dengan kios-kios makanan. Di malam selarut ini pun, area itu masih dipenuhi pedagang jalanan dan orang-orang yang berlalu-lalang.

Litus harus menurunkan kecepatannya untuk melewati lautan manusia itu, tapi ia sama sekali tidak keberatan.

Dengan santai ia menggulir sepatu rodanya. Matanya melayang ke segala arah, menikmati pemandangan dan aroma makanan-makanan yang baru dimasak.

Kios panekuk, crepe, es krim, bakso, kue-kue unik yang belum pernah ia lihat sebelumnya berjejer di sepanjang jalan. Keinginannya untuk berhenti dan mencicipi semua makanan itu semakin besar semakin dalam ia memasuki alun-alun.

Tidak sampai lima menit kemudian, pertahanannya pun runtuh.

Litus menepi untuk menghampiri truk es krim di pinggir jalan. Ia memesan es krim chocolate-mint dan vanilla-strawberry dan melahapnya masing-masing dalam satu gigitan.

“Ahhh ... di Sinfrolic jarang sekali ada yang seperti ini,” ujar Litus dengan mulut penuh es krim.

Ia pun singgah di kios-kios lainnya dan berangsur-angsur lupa kalau ia sedang dalam perlombaan.

***

Di bagian barat kota, keadaannya tidak sedamai bagian timur yang penuh berkah.

Di wilayah hiburan malam itu tengah terjadi kekacauan, di mana sebuah papan iklan raksasa melayang dengan sendirinya dan jatuh di tengah jalan raya bebas hambatan. Alhasil, rentetan kecelakaan pun terjadi. Mobil-mobil yang melaju tidak kurang dari 70 km/jam tidak bisa mengerem tepat waktu, dan saling bertabrakan secara berantai.

Jalur timur Kota Almnesse kini penuh dengan tumpukan kendaraan-kendaraan yang terbakar bersama seluruh penumpangnya.

Di tengah lautan api itu, Jester mengayuh unicycle-nya sambil memainkan musik bernada sedih-mengejek dengan terompet.

Toot-toot-toooot.

***


Litus sedang asyik menikmati cumi-cumi panggang ketika beberapa orang mulai berkerumun di depan salah satu truk yang menampilkan siaran televisi.

Penasaran, anak itu pun ikut menonton.

Sebuah acara berita mengabarkan tentang kecelakaan maut yang baru saja terjadi di bagian barat Almnesse. Terlihat banyak kendaraan terbakar, ambulans, petugas pemadam kebakaran, dan kepanikan massal memenuhi jalan.

Tidak ada yang menyadari, kecuali Litus, seorang pria dengan unicycle melintas di sudut layar televisi.

Ia langsung teringat kembali akan tujuannya di sini.

“Sial!”

Dengan cepat Litus melahap cumi-cumi panggangnya. Ia mengencangkan tali sepatu rodanya, lalu melesat menuju menara cahaya, tempat garis akhirnya berada.

***

Iblis mungkin adalah sebutan yang cocok untuk Jester. Atau, menurut terminologi Serenidia, Harbinger Malapetaka.

Seperti halnya Litus yang dapat mendatangkan musim dingin jika ia kehendaki, Jester mendatangkan kekacauan ke mana pun ia pergi.

Kali ini di lantai dasar Menara Bebal, yang mana adalah sebuah pusat perbelanjaan, kembali terjadi kepanikan massal.

Barang-barang dagangan yang dipamerkan di dalam mall mulai bergerak dengan sendirinya. Patung-patung mannequin memecahkan kaca etalase dan menyerang pengunjung secara membabi buta.

“Bukankah di sini agak terlalu sepi? Ayolah kita ramaikan! Malam ini baru saja dimulai!”

Jester meniup terompetnya dengan semangat. Benda-benda mati yang seharusnya diam makin menggila.

***

Akhirnya Litus sampai di dasar menara.

Napasnya terengah-engah karena memaksakan ‘berlari’ dengan sepatu roda.

Ia bisa melihat orang-orang berhamburan keluar dari mall, menandakan kalau Jester sudah berada di dalam.

Padahal jalur timur seharusnya lebih cepat sampai menara, tapi ia kehilangan waktu karena terbuai dengan jajanan jalanan.

“Ayo cepat,” ujarnya menyemangati diri sendiri.

Litus meluncur dan terpeleset karena tidak menyadari kalau lantai mall terbuat dari marmer yang licin. Ia bangkit dan meluncur dengan lebih hati-hati.

Dengan eskalator ia naik ke lantai yang lebih tinggi.

Sayangnya, di lantai 6—Electronic & Computer—Litus tidak menyadari kalau lawannya sudah mendaratkan sasaran padanya.

Di lantai itu Jester telah melihat Litus menaiki eskalator menuju lantai 7.

Te voilà! Akhirnya ketemu!”

Namun ia tidak langsung mengejarnya. Jester berlari kecil menuju ruang operator yang telah ditinggalkan. Di sana terdapat layar-layar cctv dan sound system seluruh lantai mall.

“Nah, waktunya permainan dimulai!”

***

Litus mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari eskalator menuju lantai berikutnya.

Lantai 7 tempatnya berada sekarang—Home & Decoration—penuh dengan perabot rumah tangga. Mulai sofa, lemari, meja, peralatan kamar tidur dan juga perlengkapan dapur.

Litus meluncur dengan sepatu rodanya melewati rak-rak dapur ketika ia harus berhenti mendadak.

Sebuah benda melayang dengan cepat mengincar wajahnya, kalau saja ia tidak dengan cepat menunduk menghindarinya.

“Apa itu?!” Litus berbalik melihat benda yang menyerangnya. “Pisau?”

Saat itu, mendadak terdengar suara terompet yang memekakkan telinga dari seluruh sound system di lantai itu.

Litus menggunakan kedua tangan untuk menutup telinga. “Hentikan!”

Ketika suara terompet itu berhenti, darah Litus seakan membeku. Saat ini seluruh pisau dan peralatan makan di lantai itu kini melayang-layang di udara, terhunus tepat ke arahnya.

Di ruang operator, Jester menontonnya sambil menyeringai lebar. “Katakan keju!”

Dengan satu not panjang dari terompetnya, pisau-pisau itu melesat menyerang Litus.

Di tengah kebingungannya, anak itu menghindari berondongan pisau-pisau yang bergerak dengan liar di udara.

Ia menarik satu anak panah spesialnya. “Kubilang hentikan!”

Litus mengarahkan tembakannya ke atas. Ketika anak panah itu menancap, dari sana muncul ledakan gelombang listrik yang merambat ke seluruh permukaan langit-langit. Peralatan-peralatan dapur itu seketika terangkat ke atas dan menempel dengan erat.

Que?” kali ini giliran Jester yang keheranan.

Litus sendiri setengah terkejut anak panah itu benar-benar bekerja. Electromagnetic arrow, anak panah yang dapat memproduksi gelombang elektromagnetik. Daya magnet itu yang menarik dan menahan pisau-pisau itu di langit-langit.

Tanpa membuang waktu, Litus lanjut berlari menuju eskalator.

“Eits, tidak semudah itu!” Jester memainkan terompetnya kembali. Ia mengendalikan sofa dan lemari untuk menciptakan dinding penghalang.

“Sekarang yang ini!” Litus menarik anak panah spesial lainnya; explosive arrow. Dengan satu tembakan, blokade di hadapannya meledak dan hancur berkeping-keping.

Tanpa halangan lagi, anak itu naik menuju lantai 8.

Di ruang operator, Jester akhirnya menghentikan permainannya.

“Aaaah ... Licin juga dia.”

***

Saat ini, Menara Bebal telah resmi menjadi arena bertarung antara Litus dan Jester.

Litus sudah dengan selamat menaiki lift khusus yang akan mengantarnya ke lantai 86.

Sementara Jester masih berada di lantai 8, menunggu lift yang digunakan Litus untuk kembali. Sebenarnya ia tidak mengerti untuk apa ia masih melanjutkan pertandingan ini. Jika Litus sampai di puncak, sudah pasti anak itu menang dan tidak ada cara lain untuk membalapnya.

Tapi di lantai bawah mall pun sudah penuh dengan pasukan keamanan kota. Harus menghadapi para polisi akan sangat merepotkan.

Jadi, satu-satunya jalan yang tersisa adalah ke atas.
Beberapa saat kemudian, pintu lift pun terbuka.

Lift itu terbuat dari bahan transparan, sehingga pemandangan kota di luar bisa terlihat jelas. Kekacauan yang dibuat Jester telah mereda. Sudah tidak terlihat adanya api atau kepanikan di jalanan.

Melihat cahaya-cahaya itu meredup, Jester merasa sedikit kecewa. Tapi ia lalu menyungingkan senyum, dan berkata pada dirinya sendiri kalau momen-momen membosankan ini tidak akan berlangsung lama.

Selagi terbuai dengan ide-idenya, lift yang ia naiki mendadak berhenti di lantai 51.

Pintu lift terbuka, dan di luar, seorang pemuda berjaket biru berdiri mematung dengan mata terbelalak.

Litus yang baru saja kembali dari kamar kecil—karena terlalu banyak meminum jus saat di kota—tidak bisa memercayai matanya sendiri melihat Jester sudah berada dalam lift yang belum lama ia tinggalkan.

Kedua peserta itu saling bertatapan tanpa mengatakan apa pun untuk beberapa saat.

“Kau mau naik atau tidak? Tidak sopan berdiri di depan pintu,” kata Jester memecah keheningan.

Dengan susah payah Litus mengangguk lalu naik.

Ia berdiri dekat dengan pintu lalu menekan tombol lantai 86.

Pintu lift pun tertutup.

***

Detik-detik berlalu dengan sangat menyiksa.

Lampu penunjuk di atas lift menunjukkan mereka tengah melewati lantai 60 ... 61 ... 62 ....

Harus berada di dalam bilik lift yang sempit bersama lawannya adalah hal yang sangat mengecilkan hati. Litus berdiri dengan gelisah, tidak sabar ingin segera keluar dari sana.

“Hei,” Jester mendadak memanggilnya. Jantung Litus serasa melompat sampai tenggorokan.

“Tidak perlu grogi seperti itu! Santai saja!” lanjut Jester sambil tertawa ringan.

Walau biasanya Litus memang santai, tapi mustahil untuk menurunkan kewaspadaan di saat seperti ini. Ia dapat melihat terompet yang berada dalam genggaman Jester. Tidak salah lagi, pria itu yang telah meniup terompet dan menyerangnya saat di mall tadi.

Pintu lift terbuka. Mereka sampai di lantai 86.

Litus segera berlari keluar untuk mengambil jarak, lalu berbalik.

Jester sudah tidak ada di sana.

***

Puncak Menara Bebal terdiri dari sebuah ruangan luas berbentuk segitiga. Di setiap sudut segitiga itu terdapat ruangan-ruangan pengendali fasilitas umum kota.

Litus memasuki salah satu ruangan berlabel ‘Barat’. Di dalam ruangan itu terdapat ratusan panel pengendali lampu, sound system, dan kamera cctv yang tersebar di seluruh penjuru kota.

Litus mencari panel lampu yang menjadi tugasnya. Ia membaca catatan kecil di atas panel itu.

Default: PUTIH. Musim panas: EMAS. Musim dingin: PINK.

Litus pun menekan tombol dengan simbol keping salju. Seketika, layar cctv di hadapannya penuh dengan warna merah muda.

“Sip!” ujarnya bangga.

Dua lampu lagi yang harus diubah, dan ia pun akan menang.

Litus keluar dari ruang kendali barat menuju ruang selanjutnya.

Pintu ruang kendali timur sudah terbuka.

Jester sudah mendahuluinya?

Entah kenapa, perasaan cemas mendadak memenuhi dadanya.

Litus bergegas memasuki ruang kendali timur. Ia langsung mendapati Jester sedang berdiri di depan panel-panel pengendali, memainkan terompetnya dengan riang.

“Apa yang kau lakukan?” sergah Litus.

Jester menoleh. “Oh. Halo lagi. Kau datang di saat yang tepat.”

Pria itu menunjuk ke arah layar-layar cctv. Bagian timur kota yang ditampilkan di sana sama sekali berbeda dengan apa yang Litus ingat beberapa saat yang lalu.

Di layar-layar itu terlihat kios-kios penjual makanan dan truk-truk es krim melayang-layang di udara. Para pedagang dan pelajan kaki berteriak histeris dan berdesak-desakan berusaha menyelamatkan diri.

Jester pun memainkan bait terakhir.

Terdengar suara terompet yang teramplifikasi puluhan kali lipat, menggelegar menggetarkan seisi bagian timur Almnesse.

Truk dan kios yang melayang-layang kini bergerak dengan liar seperti tertiup angin puting beliung. Benda-benda itu saling berbenturan dan jatuh menimpa orang-orang yang tidak sempat melarikan diri.

Bravo! Teruslah menari! Bernyanyi! Kita bersenang-senang bersama-sama!”

Jester menonton hasil perbuatannya sambil menari dan terus memainkan terompet. Matanya membelalak lebar dan ia tertawa seperti maniak.

Litus, yang juga hanya bisa menonton, merasa hati kecilnya hancur berkeping-keping. Kios-kios dan orang-orang ramah yang sudah menyajikannya makanan-makanan lezat. Kini sudah tidak keruan bentuknya.

Tanpa sadar air matanya menetes. Namun perasaannya terisi penuh dengan amarah.

Pria yang kini sedang menari-nari seperti orang gila dihadapannya ini ... tidak bisa dimaafkan!

“HENTIKAN!”

Dengan cepat Litus menarik anak panahnya dan membidik Jester.

“Ups.”

Jester berbalik dan meniup sebuah not.

Anak panah yang Litus lepaskan mendadak berhenti di udara.

Jester memainkan dua not lagi.

Anak panah itu berbalik dan melesat menuju Litus.

Ugh!” Litus menunduk, dan menciptakan dinding es di sekelilingnya. Anak panah itu seketika meledak saat membentur dinding es.

Woah, woah! Apa ibumu tidak pernah mengajari untuk tidak bermain-main dengan bahan peledak!” Jester ikut menunduk melindungi diri dari dampak ledakan.

“Shawn, Elie, Argo,” bisik Litus di tengah asap ledakan.

Dari asap itu melesat keluar tiga kesatria es bersenjatakan two-handed sword.

Mereka dengan segera melayangkan serangan pada Jester. Jester melompat ke samping, berguling, dan berputar untuk menghindari serangan-serangan beruntun para kesatria es.

“Hei! Satu lawan empat itu tidak adil!”

Ketika ada kesempatan, Litus kembali menarik busurnya dan berkonstrasi penuh.

Dengan satu tembakan, ia mengincar terompet Jester dan menghancurkannya.

“Ahhhhh!” jerit Jester. “Con merda! ENFOIRÉ!!!

Litus menyuruh kesatria-kesatria esnya untuk berhenti.

“Aku sudah menghancurkan terompetmu! Menyerahlah!”

Kalau bisa, ia ingin menyelesaikan pertarungan ini sedamai mungkin, walau apa yang sudah dilakukan Jester tidak akan pernah ia maafkan.

“Menyerah?” Jester bangkit berdiri. Matanya membelalak lebar, dan ekspresinya datar seperti mayat. “Memangnya kau pikir kita sedang apa? Berperang?”

Setelah terompetnya hancur, gerak gerik Jester berubah drastis. Bahasa tubuhnya menjadi puluhan kali lebih aneh.

Dengan gemetar Jester meraih pisau berwarna hitam legam di pinggangnya dan menerjang ke arah Litus.

“Sejak awal, aku di sini hanya untuk bersenang-senang!”

Sekarang sudah jelas. Apa pun yang ia katakan, selamanya tidak akan tersampaikan pada Jester. Cara berpikir mereka terlalu berbeda.

Satu hal yang pasti, pikir Litus, yang telah Jester lakukan adalah salah. Dan ia harus menghentikannya.

“... Aku sudah memberimu pilihan ....”

Litus berkonsentrasi, memusatkan seluruh energi sihirnya di satu titik, dan melepasnya sekaligus ke pada Jester.

Ledakan cahaya kebiruan membanjiri ruangan itu.

Ketika cahaya itu meredup, seluruh dinding, langit-langit, panel-panel komputer, dan juga Jester, telah membeku sepenuhnya.

Me ... rde ....” Jester berusaha berbicara dari dalam lapisan es yang menahannya. Ia sama sekali tidak bisa bergerak sekarang.

Litus mendekati Jester dan berhenti di depan wajahnya.

“Keadilan pasti akan selalu menang!”

***

Malam itu, di Kota Almnesse telah terjadi beberapa peristiwa yang akan selalu diingat penduduknya.

Kecelakaan aneh yang terjadi di berbagai penjuru kota.

Seluruh warna lampu yang berubah menjadi merah muda.

Dan turunnya salju di tengah musim panas.

***

Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya