[Ronde 2] Rizka Ambarwati - Aku Bisa!

[Babak 2]

Oleh: Hinata Ummi

Sepuluh hari. Sepuluh hari katanya sudah berlalu sejak lomba lari dengan Dino di pulau mirip Jurasic Park. Sepuluh hari yang ia lalui hanya dengan mendekam di dalam kamar hotel.

Ya. Dalam kurun waktu sepuluh hari itu Rizka tidak keluar kamar sama sekali. Ia stres memikirkan Bang Bokir yang katanya akan menikah dalam waktu dekat. Ia ingat sekali alasan mengapa ia mengikuti turnamen konyol ini. Selain untuk bertemu dengan ibu, ia juga ingin meresmikan hubungannya dengan Bang Bokir.

Dua puluh tahun berlalu sejak tanggal kematiannya. Ia ingat sekali bagaimana batu itu menghimpitnya, membuatnya sesak nafas, membuatnya tuli dan tak mendengar teriakan Bang Bokir sama sekali. Ia tuli persis seperti yang dikatakan ibu padanya sebelum Ia berangkat bersama Bang Bokir. Ia jadi tuli karena tak mendengarkan kata Ibu. Lalu meninggal dengan ketuliannya.

Ia menarik nafas pelan. Ditatapnya keseluruhan ruangan kamar. Kamar yang nyaman, tapi tak membuatnya merasa tenang. Ia masih ingat obrolannya bersama Bang Bokir di kuburan tempat ia biasa mangkal.

"A-abang akan menikah, neng," ucap Bang Bokir kala itu terengah-engah setelah gagal menyembunyikan undangan dengan nama Rizka disana. Jelas sekali di mata Rizka Bang Bokir sedang sesak nafas atas kemunculan Rizka yang tiba-tiba di atas gerobak satenya.

"Bang Bokir… betapa teganya abang, aku meninggal di tangan abang. Sekarang abang mau meninggal di tangan orang lain?"

"A-abang, abang belum mau mati, neng. Maapin Abang Neng, u-umur abang udah 37. Eneng udah dua puluh tahun ninggalin abang. E-emak udah minta cucu Neng," gemetar tubuh Bang Bokir memegang gerobaknya. Dari sela celananya tampak air merembes keluar diiringi dengan bau pesing yang menguar.

"Ta-tapi Abang udah janji mau nikahin aku, Bang!"

"Tapi Eneng udah mati, Neng! Ah elah si Kosim, udah dibilangin aye ga berani lewat di mari. Ini Sundel…"

"Abang bilang apa?!"

Bang Bokir pun berlari kencang meninggalkan gerobak satenya dan Rizka yang masih menangis sambil memakan sate jatahnya hari itu.


Begitulah. Bagi Rizka hal itulah yang membuatnya bertekat kuat untuk memenangkan turnamen ini. Tapi masalahnya ia tidak tahu bagaimana model perhitungan waktu antara negeri ini dengan dunianya.

Kalau benar sudah sepuluh hari berlalu. Kalau benar, maka… Bang Bokir sudah menikah dengan gadis yang Rizka curigai sebagai dalang batu-batu itu berjatuhan menimpa Rizka. Itu menyebalkan sekali.

Orang yang seharusnya kau nikahi, menikah dengan orang yang membunuhmu. Maka dari itu, bahkan setelah mendengar ketokan pintu sepuluh kalipun Rizka enggan membukanya.

"Bang Bokir, teganya dirimu," bisik Rizka sambil menghela nafas lagi.

"Bodo amat sama Bang Bokir, untung ini hotel ga punya sistem anti hantu, jadi aku bisa nembus kesini!"

"Rizka~a~…"

Suara lengking tinggi menyadarkan Rizka bahwa hotel ini tidak sebegitu amannya. Di belakangnya, Dian datang membawa daging Onta panggang dan sebotol fermentasi darah ular kualitas tinggi lengkap dengan pita biru serta gelas seksinya. Membuat Rizka langsung menelan ludah tergoda dengan makanan-makanan itu.

"Kenapa? Kamu ngiler?" Dian dengan tanpa perasaan menyodor-nyodokan makanan itu ke wajah Rizka.

Rizka menatap sebal pada Dian. Ingin melemparnya dengan segala sesuatu yang tajam semacam heels. Tapi tak punya. Bagaimana mau punya, kakipun dia tak ada.

Bunyi gemerisik dari televisi di ruangan kamar mengganggu konsentrasi Rizka yang sedang memikirkan bagaimana ia seharusnya bersikap pada Bang Bokir. Bang Bokir, Bang Bokir. Anak gadis orang sampai sebegininya padamu.

Layar televisi menayangkan Pembawa acara dari sponsor NGSR. Dengan jelas menyebutkan nama Rizka yang akan segera dijemput menggunakan Helikopter untuk menuju arena lomba berikutnya. Pito. Itulah lawan Rizka.

"Aku sudah melihatnya sebelum kesini. Lawanku Abu," gumam Dian tiba-tiba," yah, semoga siapapun dia berhasil membuatku menang."

"Bodo amat," ujar Rizka merampas kantong plastik dari genggaman Dian," aku mau makan dulu!"

"Ih, aku juga mau!"

Lalu mereka melanjutkan makan bersama sate onta dengan minum sebotol fermentasi darah ular. Bersantai sebelum perlombaan dimulai.

* * *

Disinilah Rizka sekarang.

"Kenapa sih mesti banget ditempatin di tengah kerumunan manusia gini?"

Tadi belum juga habis sate onta mereka makan, helikopter Rizka sudah datang. Walaupun ia masih sempat berganti gaun, sebelum akhirnya harus pasrah ditarik petugas NGSR untuk segera ke tempat perlombaan selanjutnya.

Sekarang ia berada di Jalur Barat dari kota Almnesse City. Di sekitarnya banyak sekali makhluk dari berbagai alam dunia berseliweran tak tentu arah. Mereka berkunjung ke booth-booth makanan yang juga berasal dari berbagai dunia.

Sekarang Rizka paham, darimana tadi pagi Dian bisa mendapatkan sate onta. Mungkin pedagang-pedagang ini yang tak sengaja lewat di depan Dian.

Di depannya berdiri sebuah menara megah yang berukuran puluhan kali lipat dari tenda-tenda di sekitarnya. Menara Bebal namanya. Paling tidak begitulah yang ia dengar dari hiruk pikuk masyarakat yang ada di sekelilingnya.

Saat di helikopter, Tim NGSR menjelaskan secara rinci seperti apa lomba kali ini. Jadi tugasnya adalah lebih dulu naik ke puncak Menara Bebal dan menghidupkan lampu kota.

Kali ini, Rizka tidak ingin berlama-lama seperti di sepuluh hari sebelumnya. Sepuluh hari adalah waktu yang cukup lama di dunia ini. Rizka ingin segera menyelesaikan tantangan ini dan merebut kembali Bang Bokir dari pembunuhnya.

Maka dengan terbang rendah Rizka terbang menembus segala makhluk yang ada di sekitarnya. Lurus. Menuju Menara Bebal. Menurut petugas NGSR tadi, walau Rizka adalah hantu Rizka tetap harus naik ke lantai teratas Menara Bebal menggunakan lift.
                                                      
Terbang lurus. Rizka masuk ke dalam Menara Bebal melalui pintu utama. Lalu dia bergerak ke ke lift pengunjung yang berada tepat di depan pintu masuk, langsung menuju lantai paling atas yang bisa di akses lift tersebut. Lantai 8.

Di dalam lift, Rizka merasa sangat tidak nyaman. Bagaimana lagi? Ia kinitidak dianggap keberadaannya. Ia berdiri dan harus menyaksikan Pria paruh baya yang berpelukan dan saling pagut dengan gadis yang menurut Rizka masih berumur delapan belas tahun.

Rizka menghela nafas. Jaman sekarang sudah edan. Rizka dulu sama Bang Bokir paling parah hanya berpegangan tangan. Itupun sudah sangat malu sekali rasanya. Sembunyi-sembunyi takut ketahuan orang lain.

Ini, di lift ini ada tiga orang lagi dan mereka saling pagut di dalam lift. Rizka heran.

Bunyi ting dari bagian atas lift menyadarkan Rizka dari lamunannya tentang anak jaman now. Dengans segera dia turun dan bergerak ke arah lift karyawan yang ada di bagian belakang gedung. Sampai disini, masih belum ada tanda-tanda lawannya.

Ketika menemukan lift tersebut, Rizka tanpa banyak pikir langsung naik dan memencet tombol 86 ini panel kontrol lift tersebut. Kali ini ia sendiri. Membuatnya awas menatap kanan dan kiri. Khawatir lawannya muncul untuk memperlambatnya.

Tidak sampai tiga menit, Rizka sudah sampai di lantai 86 dan masih belum melihat tanda-tanda dari lawannya. Menurut informasi yang dia dapat tadi, harusnya lawannya berupa kertas papirus berbentuk angka tujuh. Tapi sampai sekarang ia masih belum melihat ciri tersebut.

Rizka semakin waspada. Ia tidak suka dengan segala sesuatu yang berjalan terlalu mudah. 

Ia bergerak ke arah tangga yang menuju lantai 88 dengan perasaan tak nyaman dan was-was. Takut tiba-tiba si Pito bermain cilukba. Membuatnya terkejut dan menusukkan belati suci padanya. Aduh, bisa mati dua kali sih itu namanya.

Kini di depannya terhampar tangga darurat menuju lantai 88. Ia bergerak pelan sambil siaga. Menaiki tangga dengan menatap kanan dan kiri. Satu persatu anak tangga ia lewati.

Hingga ia kini sampai di lantai 88. Bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa Pito sudah sampai disini. Tempat ini benar-benar sepi.

Di lantai ini Rizka bisa melihat dengan jelas seluruh pemandangan kota. Indah. Hanya itu yang dapat Rizka katakan. Ia bahkan sempat lupa tujuannya naik ke lantai paling atas gedung ini.

Kalau tidak karena ada kecoa yang lewat menembusnya begitu saja, mungkin sekarang Rizka akan duduk di salah satu kursi dekat jendela dan menikmati pemandangan yang sangat indah ini.

Kecoa itu berhasil mengingatkan Rizka bahwa ia harus menghidupkan lampu-lampu kota sebelum malam menjelang. Sebelum Pito datang dan mengambil alih semua lampu.

Puncak menara ini berbentuk segitiga sama sisi. Setiap sisinya berukuran 200 meter. Lubang tersebut diberi pembatas besi setinggi satu meter, penghalang agar tidak ada yang jatuh langsung terjun ke lantai satu menara ini.

Di masing-masing sisi terdapat panel kontrol lampu kota. Total ada tiga panel. Rizka harus menghidupkan lampu kota dengan menekan tombol lampu pink di ketiga panel.

Tanpa pikir panjang Rizka langsung saja bergerak ke panel pertama. Sesampainya disana Rizka langsung menekan tombol berwarna pink. Mesin dibawahnya berderit pertanda bahwa ia sedang bekerja.

Lalu ia bergerak ke panel kedua. Disana Rizka menekan tombol dengan tulisan pink di atasnya. Seperti sebelumnya, mesin di bawah panel berderit seolah mengerti perintah Rizka.

Lalu Rizka bergerak ke panel terakhir. Langsung menekan tombol besar berwarna merah muda. Tepat ketika tombol ditekan, bunyi dentang terdengar.

Dari atas Menara Bebal ini Rizka dapat melihat dengan jelas lampu kota mulai menyala perlahan. Indah sekali. Rizka duduk di salah satu kursi di pinggir menara. Menikmati pemandangan eksotis yang tentu tidak akan ditemukannya di dunianya.

"Ngomong-ngomong kenapa aku tidak melihat Pito sama sekali, ya? Apa dia WO, ya?"

Dan Rizka tidak peduli lagi. Yang penting tugasnya telah tercapai. Sekarang saatnya ia menerima sedikit hadiah atas usahanya, bukan?


* * *

Sementara di ujung Timur, Pito, sudah menjadi lempengan kertas tak berdaya yang menempel aspal. Aturan di pulau itu membuatnya tak boleh menggunakan Papirus. Selain itu, apa yang kau bisa harapkan dari selembar kertas yang terkena hujan dan terlindas kendaraan?

Bahkan mungkin makhluk di sekitarnya tak ada yang menyadari mereka telah melindas makhluk yang hidup.

Pito hanya bisa menatap lesu cahaya lampu pink yang menyala terang. Tinggallah ia kini hanya menjadi kertas yang terbuang.


* * *



Komentar

  1. Wkwkwkwkwkwk, apaan ini?! Mentang-mentang lawannya WO, jadi masuk ke canon dibuat WO juga, wkwkwkwkw njret!

    Awal-awal saya udah bingung, ini batasan kata cuma 3rb, makin ke tengah kenapa ini hantu baper terus? Lebih baper dari pada Dian malah, (Eh OC kita canon terus kayaknya) ternyata emang benar-benar walk in the park, nggak ada resistensi karena lawannya sedang ter'bully~

    8/10 for the unexpected twist~
    Salam sagne dari Dian

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ohohoho~ si Umi lagi malas mikir kak 😂😂

      Hapus
  2. Ya... oke.... saya melihat entri ini jauh dari babak belur dan ledakan, tapi sisi depresinya begitu kentara. ditambah lagi di bagian terakhir yang menunjukkan kondisi si lawan yg terlihat lebih depresi. ya cerita ini bikin depresi... atau mungkin sekarang sudah tengah bulan, gaji mau habis... jadi ikutan depresi...
    7/10... seenggaknya nilainya gak bikin depresi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. eniwei salam dari Irene, Irene bisa mengubah depresi Anda menjadi kebahagiaan. Tekenlah kontrak dgn CV Feles, kebahagiaan abadi bisa menjadi milik Anda.

      Hapus
    2. Pa-padahal Umi berniat menghibur O_O

      Hapus
  3. Tolong kenapa endingnya META banget ya allah.
    Saya literally cannot unsee di nama2 Mat Kosim dan Bang Bokir yang mana suka salah baca mulu jdi bang -Sensor-.

    Depresif content itu hit and miss karena klo lebay terkesan edgy menye2
    tapi klo kayak gini kena banget. Terlebih motivasi ditinggal nikah itu bikin semuanya ancur.

    8/10 bwat kebangsatan endingnya.
    Tora Kyuin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wait, mencurigakan, emang ada apa dengan nama Bokir dan Kosim?

      Semoga kamu dijauhkan dari tragedi ditinggal nikah. Kata Rizka, "sakit Bang! Sakit!"

      Hapus
  4. Sebelum saya membaca ini, saya baper karena g punya pacar.

    Setelah membaca tulisan ini, saya pun merasa lebih ngenes dan pengen bundir.

    Terima kasih Rizka ambarwati.

    Wkwkwkwk

    8/10 by Zenistia Nisrina

    BalasHapus
  5. saya suka cerita yg efektif dan logis. kalau memang dari awal pertandingannya gk seimbang, gk usah dipaksa2 seimbang. untuk karakterisasi, ini preferensi sih, saya sebenernya kurang suka dgn sifat seperti rizka, tp mau gimana lagi kalau itu sudah tertera di charsheet. jadi poin karakterisasi sebenarnya saya biasa aja. nilai 8 -ifan

    BalasHapus

Posting Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya