[Ronde 3] Worca Shiwite - A Grande Focus


By: Ten Percent Roll
[1]

“Cepat cari!”

Bak salmon berenang melawan arus sungai, Kereta Brigade Alfan membelah padang pasir. Tanpa hamparan kerikil yang meredam getaran, mesin uap itu kini bergoyang hebat. Sang masinis berkonsentrasi mengemudi, sementara klona bonekanya bebar menyebar, mencari seseorang.

“Kau benar-benar tak mau membantu sesuatu yang telah jadi tanggung jawabmu, Naada?” Tanya Alfan. Yang ditanyai hanya menyunggingkan senyum, sebelum kembali mencorat-coret buku dengan pena hitam.

Ameyuki selaku pelindung atap gerbong melangkah memutar. Sang dewa hujan samar-samar mendengar deru motor, namun tidak menemukan si roda dua di sisi manapun.

“Apakah akan ketahuan?!” Pekik seorang komentator di ruang rekaman. Para penonton berteriak girang -- menonton aksi Balthor mengemudi horizontal di badan kereta. Dan, ia membawa penumpang.

“Maju sedikit,” bisik gadis bersurai biru-putih sedikit keras. Balthor memajukan sepeda motornya lima meter. Ame yang hanya melihat ombak pasir di tanah, berjalan ke depan. “Mundur, Balty!” Balthor memundurkan motornya. Ame kembali menatap deburan pasir.

Pemirsa-pemirsa cilik BoR 8 terpingkal-pingkal menonton televisi. Tingkah Ame mereka anggap kocak, tak kunjung melihat objek sebesar itu di bawah hidungnya.

“Kelihatannya sudah waktunya, kawan,” bisik Balthor. “Kau membawa benda-benda yang ‘dia’ beri, ‘kan?”

Worca mengangguk sembari menepuk-nepuk punggung. Lalu, ia menunjukkan sesuatu di bawah lidahnya. “Sip,” ujar Balthor setelah menilik benda tersebut. “Hei, Dewa!”

Ame menoleh. Akhirnya menemukan apa yang daritadi dicarinya -- Balthor dan motor ajaibnya. Serta merta, serpihan es tajam melayang. Rune di raga Balthor menyala. Panas menjalar di lengannya. Menjadikan anggota tubuh itu selayaknya tameng, peluru-peluru es Ame meleleh setelah kontak.

”Itu saja kemampuanmu?”

Seringai lebar terlukis di wajah sang dewa. “Turun sekarang juga atau beku.”

Sementara, Worca sudah masuk kereta. Belum-belum, dua penjaga Tim Gurun -- Aileen dan Ebenezer -- memergoki. “Selamat siang?”

Puluhan bangun datar terproyeksi, memenuhi separuh gerbong, mencipta tabir ragam warna untuk mengaburkan sosok. Aileen memuntahkan rentetan timah panas dari Uzi, namun sang target tampaknya sukses mengelak. “Eben!”

Ebenezer masuk, bersiap dengan taser di tangan kiri dan pistol laser di tangan kanan. Menyibak lautan keping 2D ke bawah, ia mencari-cari Worca. Nihil. Worca sendiri merasa beruntung karena memilih sembunyi di bawah kursi.

“Lenyap,” ucap Ebenezer. Tak habis akal, si preman memerintahkan kesepuluh klona-bonekanya menghambur ke segala penjuru. Aileen berteriak, ‘kalian juga!’, mengerahkan klona-bonekanya membuntuti milik Ebenezer.

....Sampai lautan bangun datar melebar jadi satu gerbong. Worca melepas satu peluru mana, yang berpantulan liar dari satu bangun datar ke lainnya. “Awas!” Pekik Aileen, menubruk jatuh Ebenezer. Peluru mana yang nyaris mengenai, luput. Korbannya justru klona-klona boneka mereka yang kurang beruntung. Kedua pecinta senjata tembak itu mendecih, kehilangan separuh ‘nyawa’ ronde tiga semudah itu.

Worca keluar merangkak. Durasi kepingnya tinggal sehitungan. “...Satu,” gumamnya. Ia melejit ke depan.

Reflek, Eben memitar Worca, menembakkan laser linear beruntun. Yang dipitar berguling, loncat menyamping, bahkan memanjat kursi demi menghindar.

”Sini!” Aileen merebut pistol laser Eben, arkian melangkah maju selagi terus menembak. Worca yang kepayahan menerka arah tembak si vampir harus rela diserempet sinar panas di betis. Ia menjerit pilu. Luka bakar terlukis di sana.

Eben merangsek maju, menusukkan taser ke kepala Worca. Pelindung-dagu-nya aktif, medan bola ungu melindungi kepalanya. Tak tinggal diam, Aileen melemparkan pisau. Si gadis mutan berputar. Lambat, senjata Aileen terbenam di bahunya.

“Upph...” Worca menutup rapat bibirnya, tak membiarkan teriakan pedih lolos lagi.

“Adios,” Ebenezer mendekat, bersiap menyetrum raga Worca.

Namun, atap gerbong tau-tau berlubang. Balthor dan Ame -- yang penuh luka memar -- terjatuh, masuk kereta dalam kondisi berpelukan. Berdiri, keduanya sontak menyambung adegan adu tinju berlapis es offscreen yang sempat tertunda.

“O-orang ini!!” Ame terkejut atas variasi elemen yang Balthor kuasai -- termasuk es yang serupa miliknya. Keduanya basah akan keringat, walau kentara cuma Balthor yang menikmati. Ame -- merasa dipermainkan -- berang. Es yang membungkus bogemnya kian tebal. Bahkan, meninggalkan bunga kristal super dingin tiap menghantam badan Balthor.

Reflek, Balthor melakukan back hand guard, menahan one-two punch beruntun Ameyuki. Saling mengikis, serpihan es runcing menghambur ke mana-mana. Ebenezer dan Aileen mundur, takut kena. Sementara Worca diam di tempatnya. Ameyuki mengerling, menyaksikan uap panas dari rune pundak Balthor. Membuat pecahan-pecahan es yang melewati leleh jadi air biasa.

“A-anda curang!!” Seru Ame, mengirimkan hantaman terkuatnya ke perut Balthor. Terpental, pria Norwegia terperosok di jajaran kursi dengan hebohnya.

“Waktunya tiba, kawan!” Kode Balthor, segera bangkit.

Worca menebar keping-keping bangun datar baru, yang sedemikian rupa, melapisi interior gerbong dengan warna pelangi. “Menyingkir, Balthor!!” Komandonya, sebelum menembakkan peluru mana kedua. Balthor lari. Bola berpendar biru berpantulan gila.

Bak presisi pebiliar profesional, peluru mana sukses mengenai pinggang Ebenezer, lutut Aileen, dan berakhir di perut Ameyuki. Ketiganya oleng, hilang keseimbangan. Bola mana masih terus memantul, mendera mereka di aneka anggota badan. Enam detik terlewat, durasi sihir usai. Para korban bersimpuh lunglai. Balthor menarik Worca ke gerbong belakang, selagi tergelak menyaksikan hasil perbuatan kameradnya.

Tetapi, Worca menunjukkan ekspresi getir. Balthor menatap pisau di bahunya sayu. Mencabutnya perlahan, si pria Norwegia segera melakukan sihir penyembuhan. Luka yang awalnya menganga lebar menutup. Keduanya bersalaman.

“Seka-”

Gerbong ketiga dilepas. Mereka di dalamnya terguncang-guncang.

“Balik ke partai perang Tim Angkasa, sana! Biar kuurus sisanya!” Seru Balthor. Lompat ke arah motornya yang sedari tadi terparkir horizontal di sisi kereta.

Langkah terburu-buru. Gerbong yang ia tinggalkan didatangi objek legam nan masif. Robot; Spectre. Balthor terperanjat. “Sialan!!” Balthor ambil ancang-ancang untuk lompat lagi. Hanya saja, jendela yang terbuka mengelarkan tangan, yang serta merta mencengkeram janggutnya.

”Pikirkan keselamatanmu sendiri,” tutur Nadaa, diliputi sepuluh klona-boneka Alfan dengan paralay siap menembakkan kejut listrik.

“O-ow,” Balthor berkeringat dingin.

Dan Worca, ia mengangkat tangan. Ditodong laras panjang yang merupakan ekstensi lengan si robot, terpaksa ia mengangkat bendera putih. “Cobalah kabur, paling-paling kakimu kubabat pakai Anti-Materi.”

Worca menelan ludah.

Sang lawan bicara berlisan, “Ayo berbincang sejenak, ada yang mau kukembalikan.”

[2]
[21 Hari lalu...]

Gedung kosong. Tiap kali kaki menapak ubin, suaranya menggema keseluruh bangunan. Menoleh ke kanan, tampak berbagai macam mesin berukuran melebihi almari berjejer. Debu tebal melapisinya. Menoleh ke kiri, potret berbagai reptil purba yang bermukim di Isla Wunder tertempel berantakan. Pudar dan robek-robek dimakan usia.

Si gadis pirang -- Evelyn -- terus berlari. Hingga berhenti di depan apa yang dicarinya; patung Tyrannosaurus, berpose angkuh. Rahang terbuka lebar seakan siap menelan mangsa. Mendekati replika karnivor tersebut, ia menginjak jempol kaki kiri si T-Rex sekuat tenaga.

Sekejap, reca bergeser. Isi bangunan bergetar. ‘Jackpot!’ pekik gadis pirang. “Peta ini tidak bohong,” batinnya, memandang gulungan biru yang ia paksakan muat di saku jaket.

Tersingkaplah apa yang tersembunyi di bawahnya; tangga ulir, menjorok ke bawah. Bersamaan, tepian tiap anak tangganya menyala hijau, seakan memberi sinyal ‘jalan!’ pada Eve.

Ia turun. Meniti anak tangga cepat-cepat.

Mencapai dasar. Lab underground rahasia, ketemu.

Isinya tak jauh beda dengan yang di atas. Namun, bila lantai ini eksis klandestin, mustahil tidak ada apa-apanya. Eve beranjak ke salah satu komputer, memasang kabel data universal ke jack induk komputer, dan terakhir menyambungkannya ke choker hitam di leher.

“Satu, dua,” hitungnya mundur. Proses peretasan tingkat lanjut menggunakan antarmuka kontrol mesin-minda, bermula. Kepalanya sakit, dihantam jutaan kode biner yang rasanya membalut otak secara berlapis. Giginya merapat, matanya terpejam kuat. Sayangnya, pencipta sistem keamanan ini harus rela kerja kerasnya dihancurkan hanya dalam lima detik oleh Eve -- yang kini tersengal nikmat bak barusan ‘mengeluarkan sesuatu yang besar’.

“Oh, astaga,” gumamnya, mencabut kabel data universal dari komputer. Duduk tenang, Eve menunggu.

Apa? Pintu rahasia kedua. Yang, barusan, terbuka. Berkamuflase dengan dinding, sebuah katup setengah lingkar. Eve lari menyongsong. Terowongan panjang tampak. Sayang, bahaya di dalamnya telah mengintip dari kegelapan.

Siluet yang tak asing di mata si gadis pirang. Bahkan, ia baru saja bertemu di hutan sana. Siapa lagi jika bukan Velociraptor, kadal bersisik-bulu favorit kita?

“Bukankah kalian biasa berburu dengan kawanan-”

Ucapannya terpotong oleh puluhan mata lapar, berkerumun di belakang si Velociraptor.

“Bukan berarti aku minta lebih, brengsek!”

Eve mengacungkan jari. Berkonsentrasi penuh, percikan listrik tampak berloncatan di sela jemarinya. Gerombolan Velociraptor kian dekat. Jarak mereka tinggal beberapa meter. Eve belum siap.

Predator cilik pertama sudah mengaga lebar. “O-oke...” bisik Eve. Ia menjerit parau. Aliran listrik biru terang sebentuk akar pohon melompat dari telapaknya, menyetrum hangus para target. Berasap, aroma daging gosong tak kunjung terbau. Anggota badan mereka bahkan bercopotan, baut-bautnya lepas. Ya, mereka animatronik.

“Mampus!” Umpat Evelyn. Ia berjongkok, arkian mengitari sekumpulan robot kadal bersisik-bulu -- yang berangsur lenyap kulitnya menjadi piksel-piksel monokrom. Penampilan luar mereka pun nyatanya hologram, menyembunyikan kulit aslinya -- abu-abu metalik -- dari penyusup.

Tangan Eve memilah-milah komponen yang berserakan. Tak jarang ia menggoyang ujung jarinya, rongsok besi yang baru dipanggangnya masih panas.

Lima menit menapis, ia berakhir menampar lantai. Voltase serangannya terlalu tinggi, seluruh komponen robot rusak hebat -- mustahil direaparasi. Evelyn mengacak-acak rambut, sesal akan kecerobohannya.

“Kuharap ada barang bagus lain, sialan!!” Umpatnya, menendang-nendang robot rongsok ke sisi agar mudah lewat. Sejatinya, alasan utama cewek itu kemari bukan apa yang disembunyikan oleh NGSR di lab yang sok ‘terbengkalai’ ini, melainkan teknologi pertahanan diri -- yang sudah ia duga diisi rerobot pembunuh. Eve berujud mempreteli mereka, lalu memungut komponen terbaik untuk memodifikasi persenjataannya.

Dan sekarang, ia jadi penasaran pada ke mana lorong panjang klandestin ini berujung. Eve belum menyerah, enggan pulang bertangan hampa.

Menyusuri lorong itu perlahan, waswas akan booby trap semacam laser pemotong atau perangkap duri. Nihil. Perjalanannya mulus.

Sampai di ujung, pintu besi dengan gembok bertombol menyapa. Kuncinya adalah password sembilan huruf. “Nggak ada yang lebih rumit, apa?” Ejek Eve.

Di sinilah kabel data universal dan choker MMCI kembali ambil peran. “Apa-apaan itu?” Ujarnya disusul tawa girang selepas mendapat sandi. Tangannya mengetikkan [ M I S T E R C A T ]. Sekejap, si pintu besi menderit ke sisi. Mempersilahkan Eve masuk.

Tanpa Assalamualaikum, si gadis pirang nyelonong. Matanya terbelalak.

Ruang itu luas. Lantainya hijau terang. Peranti-peranti putih pucat memenuhi. Pencahayaannya? Kelewat redup. Tetapi, bukan itu alasan pupil Eve melebar.

Dua lusin kapsul transparan berhimpit membentuk ‘U’. Tiap kasul diisi oleh entitas yang berbeda-beda. Jelas kesemua mahluk itu tengah menempuh cryotasis -- disimpan dalam temperatur ekstrim hingga subjek mengalami deep sleep sesuai pengaturan, gampangnya, mati suri terorganisir. Bagi mereka yang humanoid, masker khusus membungkus mulut. Tubuh ditempeli dengan pipa-pipa yang mau dilihat bagaimanapun juga, mirip slinki jumbo.

Hal mengejutkan kedua : wangi darah tercium. Eve mengerling, lagi-lagi syok. Seorang pria berbalut jas lab, tewas. Duduk di atas kursi putar. Lengannya melipat di bawah perut -- memeluk untaian ususnya sendiri.

Eve menutup mulut dengan kedua tangan. Ia takut-takut menghampiri. Panel di samping si ilmuwan tertutup kertas berserakan. Mengambil satu; sebuah dokumen. Isinya penuh coretan spidol. Hanya judulnya yang bersih, ‘Proyecta Duplizieren’.

“Siapa di sana?!” Pekik Eve. Menodongkan telunjuk -- diselimuti listrik berloncatan -- ke belakang. Yang didapatnya adalah udara kosong dan langkah kaki tergesa-gesa. Eve lari mengejar. Sayang, ia kalah. Ditinggalkan tanpa jejak barang sedikit.

Lagipula, alarm tanda penyusup menyala, meraung-raung merundung kuping. Padahal dari tadi masuknya, kenapa baru sekarang? Pasti perbuatan keparat pengecut itu!, pikir Eve. Sementara segala pintu di gedung ini perlahan menutup.

“Bajingan!” Umpatnya. Kocar-kacir dari ‘terkurung-di-sini-selamanya’.

“Hahaha, bodoh,” gumam si keparat pengecut, menatap punggung Evelyn dari bayang-bayang.

“Ah!” Jerit Eve, menjatuhkan diri, lolos dari tertutupnya pintu pertama.

Dan, rongsok animatronik Velociraptor, hilang.

[3]

“Kira-kira begitulah,” jelas Evelyn, selagi memiloti robotnya -- dengan pikiran saja-- terbang ke sisi medan perang. “Aku berterimakasih atas pinjaman petanya,” terusnya, melempar peta hologram tersebut kepada pemiliknya.

Di dalam kokpit sebentuk torso manusia tersebut, Worca -- diikat tali -- duduk menepi.

“Sekedar informasi saja, Balthor gugur,” kata Evelyn, melihat MMS dari iSoul yang berhasil mengundang tawanya.

Worca diam, bingung bagaimana harus merespon.

Ponsel Eve berdering untuk entah-keberapa-kali sejak mereka berangkat. Ada pesan singkat.

“Sebentar lagi kita sampai. Ada yang menunggu dan ia sudah tak sabar,” ucap Evelyn. Menjelaskan satu-satunya alasan tidak langsung menghajar Worca. “Karena mereka memohon, aku harus menepati janjiku, kan?”

“Sudah bicaranya?” Tutur Worca, nadanya tak santai.

“Hah?” Respon Eve tak percaya.

”Kalau tidak ada hal penting yang mau kau bocorkan, ya buat apa aku pura-pura tak bisa melepas tali ini?”

”Senjatamu sudah kulucuti, tau?” Ujar Evelyn, menggoyang Mana Boomstick di genggamannya.

”Kalau mau tau, itu cuma gelas plastik yang alasnya dilubangi,” balas Worca. Evelyn memeriksa. Benar. Si gadis pirang langsung berdiri, berniat menghampiri.

”Oh, ya. Spectre ini ada kemudi manualnya, kan?”

Cahaya kebiruan memenuhi kokpit.

[4]

Berpuluh meter dari pusat peperangan tim angkasa dan tim gurun. Ibarat rugby, line kedua pihak dorong-mendorong, berusaha membuat celah agar running back dan receiver mereka bisa lolos. Sayang, usaha itu tampak sia-sia. Perolehan nilai tidak berubah. Stagnan.

Laurell Weindserr, memilih absen, lebih minat ke agenda pribadi. Berbaring di atas aeroboard bersama sepuluh puppet-clone-nya yang mengudara dalam formasi sirkular. Menanti Evelyn selagi membenahi posisi wig coklatnya. Tak sabar ia membalas dendam ke cewek yang melukainya -- juga membakar 75% rambutnya -- di ronde satu.

Yang ditunggu tiba. Spectre mendarat, membuat hamparan pasir sekitarnya berterbangan. Lalu, si pilot keluar. Bukan Evelyn, sialnya. Melainkan gadis beralis biru bersandang serba hijau.

Laurell membelalak. “Akhirnya kau datang, kakak kurang ajar!!” Seru Rell. Alisnya bertemu, hidungnya kembang kempis. “Apa yang kau perbuat pada Eve?!” Lima puppet-clone diperintahnya merangsek maju.

Worca mencabut Mana Boomstick. Tau yang menyerbu bukan peserta asli, ia tak tahan diri. Semuanya dibombardir tanpa ampun, hingga tiada satupun yang mencapainya. “Keluarkan lagi sisanya supaya kau gugur.”

Laurell membelah papan kambangnya, mengubah salah satu bagian jadi lengan bionik. Melesat maju.

Worca menepuk punggung. Confetti magis merebak, menyelubungi keduanya. Rell abai, melejit. Pukulan-pukulan energik dilontarkannya acak. Beberapa kena sebaran bangun datar, beberapa menghantam Worca. Ralat, rompi panjang atau ujung rambut saja.

Belum menyerah, Rell mengkomando tiga puppet-clone mencari jejak sang lawan. Sukses? Berakhir gosong, menyelam gurun.

“Argh!!!” Laurell terus mengepakkan lengan, mengusir keping-keping 2D. Menyipitkan mata, Worca terlihat. Rell terbang secepatnya ke arah tersebut. Ayunan tinju dilepaskan. Target tercerai berai jadi ratusan trapesium. Cuma klona piksel.

Enam detik berlalu, lautan confetti habis durasi. Ternyata, si target kabur. Lari menjauh.

“Berusaha fokus objektif saat aku di depan hidungmu, kak?!”

Rell melambung, kalakian menukik ke pijakan Worca. Si gadis mutan terjungkal, selagi dalam posisi sulit di udara, mengkreasikan tabir bangun datar baru.

“Tak bosan terus memakai trik yang sama?!” Laurell tak mau berlama-lama terpaku akan keindahan aneka kelir di depannya. Kini, lengan bionik Rell menjadi dua. Menembus tirai pelangi, dirinya mendapati Worca tengah menatar raganya dengan Mana Boomstick. Ia menepis senjata itu kesisi, serta merta menanamkan bogem mentah ke perut Worca.

Si gadis mutan terpelanting. Berteriak pedih, berlutut memeluk abdomen.

“Bagaimana?!” Laurell menyeringai. “Ngomong-ngomong soal sihir, aku punya. Eye for an Eye. Di mana aku membayar keberuntungan dengan kesialan,” terusnya.

”Mungkin kesialanku dua ronde silam terbayar kali ini, eh?” Rell menendang Worca sekuatnya. Sang target terguling mundur tiga meter.

“Kurasa itu sangat bodoh,” Worca akhirnya bersuara. “Menciptakan takdir baik, hanya untuk menerima takdir buruk setelahnya. Kau hanya bermain sebelanga susu dan setitik nila.”

Rell tentu bisa menyanggah. Hanya saja, aneh. Kalimat sepanjang itu, dan tak sekalipun Worca menggerakkan bibir.

“Itu karena, sumber suara ada di belakang sini,” Worca, mengemudikan Spectre, berlisan. Ditodong senapan anti-materi, Laurell angkat tangan.

“L-lalu, siapa...” Ia mengerling ke arah Worca satunya -- yang terbujur rengsa di pasir. Semua terjawab kala penampilannya melebur jadi ratusan piksel monokrom. Menyingkap persona gadis pirang. “E-Evelyn?!”

Keheranan merundung benak Rell. Pusing turut menyertai. Logikanya tengah dipermainkan, dan memukul wajah sendiri terasa percuma. Ia lupa, alat penyamaran berbasis hologram memang ada, termasuk di dunia asalnya.

“Stop, kau takkan mencabut satupun kelopak bunga tidur, ini realita,” tutur Worca.

“Diam!!” Laurell bergerak spontan; memanjat ekstensi lengan Spectre. Jelas mustahil menembak tangan lain. Si gadis mutan mengguncang lengan Spectre. Laurell justru menjadikannya tumpuan untuk loncat. Kepalan logam siap memecah kaca dan menubruk Worca di dalamnya.

...Kalau saja bola mana tidak menghempas punggung Rell. Bocah papan kambang roboh, mandi pasir lagi.

“Terima kasih,” ucap Worca pada pelaku -- Evelyn, dengan telapaknya yang berasap. Gadis pirang itu penampilannya melebur jadi ratusan piksel untuk kedua kali. Kembali menjadi seorang gadis bernama Worca Shiwite.

“Bagaimana aktingku menjadi dirimu?”

Worca -- kedua-duanya, tersenyum penuh arti.

[5]

Konser Soraya masih berlangsung. Di atas panggung bertema Zoomoroda dunia anak perempuan, adik dari CEO Hadhyata Group itu tengah melantunkan tembang bernada ceria. Kontras dengan pasukan Tim Gurun yang tengah bersiaga dalam keseriusan yang total. Desas-desus beberapa anggota mereka ‘out’ dari permainan dalam waktu singkat, oleh dua-tiga orang saja malah, tentu menimbulkan pertanyaan.

Dan sebagai bagian pertahanan akhir Tim Gurun, si ninja dan si iblis irama kedapatan tugas menjaga pintu agar tak ada yang masuk.

“Hei, anak kecil,” panggil seorang wanita berbandana merah.

”Jangan panggil aku anak kecil, kakak. Riven, namaku adalah Riven,” sahut si ninja cilik agak kesal.

“Jangan tegang, dong. Aku yakin siapapun dia, akan kalah kalau melawan kita,” ujar Sephiria berbangga diri. Atau, cuma menyemangati setengah hati.

”Oke-oke saja,” balas Riven tak tertarik. Mindanya kini hanya disesaki satu hal; Worca Shiwite. Ninja cilik itu telah menaruh dendam pada cewek yang mengalahkan -- atau menipunya -- di ronde dua. Kemauannya untuk tanding ulang dan menyamakan skor amat besar sampai-sampai terasa seperti jatuh cinta. Dalam diam, ia benar-benar berharap perwakilan Tim Angkasa dalam merebut bendera adalah cewek berpelindung dagu itu.

Hingga, gedebum nyaring membahana. Artileri anti-udara kanan luluh lantak diledakkan oleh Abu si teroris dari tim seberang. Sementara yang kiri, hancur ditabrak pada titik buta oleh robot legam familiar. Sephiria entah kenapa malah bertepuk tangan, mungkin dikiranya skena barusan adalah film 4D arahan Michael Bay. “Kak Evelyn?!” Riven menganga.

Spectre berbalik, menampakkan pilot barunya yang tak lain adalah Worca Shiwite.

“Ah, dia!”

Riven segera memanggil klona-klona bonekanya, lalu menggoyang lengan baju Sephiria. “Ayo, kak, terbang sekarang juga!”

”S-Sabar, dong,” Sephiria mengaktifkan Hoverboard-nya, bersiap lepas landas. ‘Sephy, go!’ batin Riven.

Sayangnya, mereka harus berfokus pada si jago merah yang sudah menggelora di hadapan. Si gadis berhelm gajah kuning -- Padma Dikkarin -- tiba dengan kompor menyala. Api dihembusnya, memukul mundur garis pertahanan Tim Gurun. Puppet-clone mereka pun terbakar sampai gosong dan renyah.

“B-bagaimana ini, Riven?” Sephiria melambung, jeri kena sulut.

“Ayo terbang ke dalam!” Usul Riven.

Mereka berdua masuk. Mengambil APAR alias alat pemadam api ringan, ya, tabung merah itu, lantas kembali keluar dan menyemprotkan isinya. Busa-busa putih membendung kobaran yang menjalar kian dekat. Melihat hal ini, Padma kembali menyemburkan api secara kontinyu.

“Saya bisa membantu,” si pria gagak -- Hei Heiheihei -- menginfiltrasi. Menabur segenggam koin, Tengu itu mengkreasi puting beliung kecil-kecilan. Walau, efeknya dalam memperbesar api amat signifikan. Si jago merah menyalak buas.

Semua orang di tempat berkeringat kecuali Padma. Gadis itu kelihatannya memakai atribut anti-api pada pakaiannya kali ini. Ditambah kemampuan dasarnya yang tahan di suhu ekstrim, ia berjalan lurus. Berniat menerobos pintu depan.

Tak tinggal diam, Sephiria merilis High Stakes, megunci mobilitas Padma dengan not balok magis. “Kau fokus padamkan dulu, Ven!” Pinta Sephy. Riven yang memang masih direpotkan lidah-lidah api yang menjilat nakal, fokus menyemprotkan konten APAR di genggamannya.

Sephiria merilis High Stakes, mengunci mobilitas Padma dengan not balok magis. Cewek kompor itu hanya mendengus pelan, mengikuti permainan dengan benar-benar tak mencoba bergerak.

“Kak, itu!”

Pengalih perhatian tampaknya berbuah manis. Heihei terbang melintasi Riven. Mengambil kipas besar di punggung, si pria gagak menyabet iblis irama telak. Sephiria terjatuh dari papan luncurnya. Tinggal selangkah memasuki ruang konser, Sephiria memakai Resonancer, lubang Magna Acoustica -- irama iblis -- yang mampu menarik benda-benda sekitar. Heihei perlahan tersedot menyamping.

Pria gagak menggigit kuat jempolnya, lalu ketika berjarak nol dengan Sephiria, ia menempelkan darah ke pipinya. “Nasib sial akan menimpamu! Nona!” Pekik Heihei.

”Apa?” Tantang Sephy.

Padma, dengan raga berbalut api, berlari tergesa masuk. Sephiria menjerit frustasi. Rupanya kesialannya adalah lupa menghitung durasi High Stakes.

Walau, Padma juga gagal melintas lebih jauh. Riven melempar dart berlumur bius ke pantat Padma. Gadis lapar itu mematung. Ototnya kaku.

“Ambil gagak ini!” Seru Sephiria, menghempas Heihei dengan dorongan angin dari Gravity Rabbit -- papan luncurnya. Riven mengeluarkan jaring perangkap ala ninja, membungkus Heihei. Menusuk pinggangnya seraya berucap, ‘Tidur!’. Heihei terlelap.

Dua musuh telah ditahan. Tapi, api masih ganas. Membumbung tinggi mencolek cakrawala. Sephiria buru-buru mengambil APAR-nya yang tergeletak, membantu Riven memadamkan api.

Hanya saja, momentum ini tak disia-siakan Worca dalam Spectre. Dilindungi robot legam itu, ia membelah lautan api seperti pisau memotong mentega. Sementara, Worca satunya lagi terbang di atas mengendarai Draphion -- kereta kuda Fransisca Remington -- menjebol kaca, lalu lompat masuk.

“Kambing!!” Umpat Sephy.
[6]

Di dalam, dua Worca menyaksikan Soraya yang walau gemetaran melihat Tim Angkasa, tetap profesional dengan fokus melantunkan lagu.

“Kurasa ini tak perlu lagi,” ujar Worca pertama, menepuk punggung. Kalakian, sosoknya melebur menjadi Fransisca Remington. Kemiripan sepasang ahli sihir itu dalam memanipulasi mana agaknya mendasari ide strategi ‘Worca kembar’ ini.

Fransisca mengibas jubahnya, menjatuhkan klona-boneka Worca yang selama ini --dalam posisi meringkuk -- digendongnya. Berkat benda itu, penyamaran mereka hampir absolut. Plus, alat pengubah suara di bawah lidah Fransisca bekerja sempurna.

Sayangnya, masih ada satu kontestan lagi yang menghalangi. Tom. Bola boling berpendar biru itu bersinar redup. Kulit luarnya berubah legam karena ketentuan ronde ini.

”Akhirnya ada penantang juga,” Tom bersuara, dengan nada robotik yang parau. “Selamat sudah bisa menembus kemari.”

Worca dan Fransisca menyunggingkan senyum. “Apa kau akan melawan? Kalau tidak boleh lewat, ‘kan?” Fransisca melejit ke arah panggung.

”Stop,” Ifan, bersembunyi di belik salah satu properti pertunjukan, menembak peluru alkimia ke arah Fransisca. Putri bertanduk patah sebelah itu jatuh dalam kondisi menjadi sebongkah es. Ifan menyeringai lebar, lagi-lagi sukses merundung lawannya di ronde dua itu.

Kemudian, Ifan menembakkan bom sinar. Mengetahuinya, Worca menutup mata. Namun, kala tabir sinar meredup, Tom lenyap. Di hadapannya, berdiri seorang pria berkulit pucat dengan mata emas. Worca merasa tenggelam kala menatap pupil itu. Tepatnya, tenggelam dalam ketakutan. Ia bergidik ngeri. Bulu kuduknya berdiri. Pandangannya terlempar ke mana-mana.

Kabut tebal dengan daya tarik gravitasi mewujud menjadi anak panah. Tom melemparnya ke dinding. Worca yang tak langsung mengenai anak panah tersebut, turut melesat mengikuti. Keduanya tertancap di dinding, menempel seakan ada magnet yang mengekang.

”Aku membalikkan keadaan dulu, oke?” Tutur Tom, meminjam piring terbang Ifan, melejit keluar ruangan. Menyusul kapal terbang Rasyid yang masih tak terjamah Tim Gurun.

“Sekarang, apa yang harus kulakukan, ya?” Ifan berjalan mendekati Worca, yang tak lama sosoknya melebur jadi jutaan piksel. Menampakkan wujud yang tidak lain tidak bukan, si kepala kaleng NGSR.

”Halo! Xaxaxaxaxa!” Rasyid tergelak hebat dengan bahana robotiknya.

“R-rasyid?!” Pekik Ifan. “Freagh- Maksudku, Tom! Kembali! Si kepala kaleng ada di sini!”

”Benarkah?!” Tom yang panik langsung banting setir. Kembali ke konser.

”R-Rasyid kenapa di sini?!” Soraya tercengan. Konsernya ia hentikan. Berarti, Tim Angkasa menang di sini. Ifan menepuk muka dengan telapak tangannya. “Idol bodoh!” Ejeknya tak percaya.

”Pilihan bagus menyerangku tanpa menyentuh sama sekali! Xaxaxaxa!”

Keheningan melanda. Lantas, sosok Rasyid melebur jadi jutaan piksel, menampakkan wujud Worca Shiwite. “Kalian keledai, ya?” Worca terpingkal-pingkal. Lantas menunjukkan pengubah suara yang menempel di lidahnya.

[7]

Di dalam pesawat, Rasyid tiba-tiba bersin.

”Robot bisa bersin juga?” Caraka Karang, berleha-leha di dinding bertanya kepada Piwi yang tengah duduk di pangkuannya.

Piwi bersenandung bosan. Ia membayangkan selimut penyamaran hologram yang dirampasnya di lab bawah tanah Isla Wunder berguna.

“Kok tidak ada yang datang, ya, Baby?”

Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya