[Ronde 3] Litus Kamara - Lock and Load

By: Treize

Di atas atap salah satu reruntuhan, Litus dan tiga orang Tim Gurun lainnya—Riven, Alfan, dan Ifan—mengamati kapal ruang angkasa raksasa yang semakin mendekat.

“Bagaimana caranya kita naik?” tanya Riven. Bocah ninja itu menatap teman setimnya satu persatu.

“Apa ada yang punya kendaraan dengan kebisingan rendah?” Alfan balik bertanya. Pemuda itu lalu menambahkan kalau lokomotif miliknya, Brigade Train, tidak bisa digunakan. Selain gaduh, kereta itu tidak bisa terbang, dan ukurannya hanya akan menarik perhatian.

“Avant-Garde hanya bisa ditumpangi satu orang,” jawab Ifan. “Mungkin muat dua, kalau bocah-bocah ini doang yang naik.”

Gadis berambut hitam itu melirik sambil menyeringai pada Litus dan Riven.

“Kenapa kau tidak pergi sendiri saja?” cetus Riven, sedikit tersinggung sudah disebut bocah.

Ifan membuang muka dan memasang wajah malas. “Di kapal itu banyak musuh ‘kan? Seratus persen bakal mati konyol kalau pergi sendirian.”

“Lalu Litus, apa kau punya ide?” tanya Alfan.

Mata semua orang kini tertuju pada Litus, menunggu pendapatnya.

Litus berpikir sejenak.

Ia lalu mengacungkan jari telunjuknya, seakan baru saja mendapat ide.

“Ah, ada kendaraan yang disediakan panitia, ‘kan?” ucapnya dengan wajah berbinar. “Kita naik burung untanya saja!”

“Tidak.”

“Aku menolak.”

“Lebih baik mati.”

***

Beberapa jam sebelum ronde ke-3 dimulai, seluruh peserta yang tersisa di kumpulkan di ruang makan Hotel Hadyatha. Seperti biasa, mereka diberikan pengarahan tentang tugas-tugas yang harus dilakukan di babak selanjutnya.

“Begitulah! Apa semuanya mengerti? Kalau ada yang ingin ditanyakan angkat tangan! Jangan malu-malu!” seru Soraya, seorang gadis berambut hijau yang mana adalah salah satu petinggi Hadyatha Group. Ia juga bertindak sebagai mc selama turnamen berlangsung, ditemani oleh Rasyid, pemimpin NGSR, salah satu dari tiga sponsor turnamen.

Seorang peserta mengangkat tangan.

“Ya! Kamu!” Soraya menunjuk peserta itu.

“Anu ... kita akan dibagi menjadi dua tim, ‘kan?” kata peserta itu dengan segan. “Kalau begitu ... kalau begitu, aku ingin bergabung dalam tim yang dipimpin Soraya-chan!”

Seketika, gemuruh protes peserta-peserta lain bermunculan.

“Hei! Enak saja kau curi start! Aku juga ingin ikut dengan Soraya!”

“Memangnya siapa yang memutuskan!? Aku juga ikut!”

Sebagian besar peserta yang ingin dipimpin oleh Soraya segera berdesakan ke satu sisi ruangan sambil menghalangi peserta lain yang ingin bergabung.

“Aduh ... susah juga, ya.” Gadis berambut hijau itu hanya tersenyum sambil berpose lugu melihat orang-orang memperebutkannya.

“Dasar ... kepopuleranmu hanya membuat masalah saja,” ujar Rasyid.

“Mau bagaimana lagi, tee-hee!”

Rasyid menarik napas panjang ke dalam topeng naga besinya. Kekacauan ini adalah hal yang sama sekali tidak diperlukan. Pria baja itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, lalu meninju meja dihadapannya sampai hancur berkeping-keping.

Semua peserta terdiam secara instan.

“Kami sudah membuat daftar siapa saja yang akan menjadi Tim Gurun, dan siapa saja yang akan menjadi Tim Angkasa. Jadi kalian diam saja dan dengarkan!”

Berlawanan dengan Soraya, suara Rasyid terdengar tegas dan mengintimidasi. Namun bukan rasa takut, melainkan semangat mulai tumbuh dalam diri para peserta.

“Benar ... apa yang sudah aku lakukan? Aku ini perwakilan NGSR! Mulai saat ini aku hanya akan mengikuti Tuan Rasyid!”

“Tuan Rasyid!”

“Hidup NGSR!”

Belum lama ketenangan berlangsung, sudah muncul lagi keributan lainnya.

“Hehe, sekarang siapa yang populer?” Soraya mengedipkan mata pada Rasyid.

Pria bertopeng besi itu membuang muka. Jika diperhatikan baik-baik, permukan logam itu terlihat sedikit merona.

“Terserah mereka sajalah.”

***

Litus duduk di depan salah satu meja bundar sambil mendengarkan pengarahan dari Soraya.

Tugas mereka kali ini adalah merekonstruksi peperangan di kota gurun yang terjadi 50 tahun yang lalu. Perang yang melibatkan penduduk gurun melawan invasi alien dari luar angkasa. Berbeda dengan perang yang sesungguhnya, mereka hanya perlu melakukan kontak dengan ‘bendera’ pihak lawan agar bisa menang.

Sekarang mereka hanya perlu menunggu portal teleportasi menuju Oase Musafir, wilayah tempat peperangan itu berlangsung, dibuka.

“Semakin lama turnamen ini semakin terasa seperti festival olahraga,” ujar seorang pemuda yang duduk di meja yang sama dengan Litus. “Kecuali, tidak ada pemenangnya! Sebenarnya untuk apa kita melakukan semua ini?”

“Ya ... di ronde sebelumnya juga tidak ada hadiah bagi yang berhasil sampai ke puncak menara. Kita hanya disuruh menyalakan lampu ...,” kata Litus sambil meraih biskuit berbentuk binatang di piring di atas meja. Ia mendapatkan yang berbentuk kucing berwarna kuning. Rasa keju.

“Benar, ‘kan!? Aku ingin pertarungan yang sebenarnya!” Anak itu—Riven, satu dari sedikit peserta yang sebaya dengan Litus yang masih bertahan sampai ronde ini. Karena perbedaan umur mereka yang tidak begitu jauh, mereka sering menghabiskan waktu bersama ketika sedang dalam masa istirahat turnamen, entah untuk berlatih mau pun bermain game—anak itu ikut mengambil sepotong biskuit. Ia mendapatkan yang berbentuk jerapah. Rasa kacang.

“Sudah diberikan yang gampang, kenapa kalian malah mencari yang sulit?” celetuk seorang gadis berambut hitam yang sedikit lebih tua dari mereka. Gadis itu terlihat bosan setengah mati sambil mengerikiti lapisan gula pada biskuit binatang berbentuk koala di tangannya.

“Orang tua tidak mungkin mengerti,” balas Riven.

“Dasar bocah.”

“Dasar ubanan.”

“Cebol.”

“Nenek lampir.”

Riven dan gadis berambut hitam itu—Ifan—semakin panas saling melemparkan sebutan-sebutan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Semustahil apa pun kedengarannya.

Litus yang mau tidak mau ikut mendengarkan, mulai gerah dengan keributan itu.

“Dalam misi ini kita dikelompokkan menjadi satu tim. Jadi ...,” Litus meraih dua biskuit dari atas meja, “... jangan bertengkar!”

Dengan gerakan mendadak ia menjejalkan dua kue itu ke dalam mulut Riven dan Ifan yang terbuka lebar.

Uph!”

Umph!”

Kedua orang itu tersedak selama beberapa saat dan dengan susah payah menelannya.

“Apa yang kau lakukan, Beler!?” seru Riven.

“Hei, jangan kurang ajar, ya!” timpal Ifan.

Litus balas mencibir pada mereka berdua. “Kubilang jangan bertengkar! Mulai saat ini kita harus saling bekerja sama, jadi kalian harus baik-baik satu sama lain!”

Ifan dan Riven pun memasang wajah apa-kau-serius.

“Aku sudah curiga ada yang tidak beres dengan kepalamu. Tapi tidak kusangka separah ini,” kata Riven sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Memangnya kau itu karakter utama di komik-komik shonen? Entah terlalu naif atau memang tolol. Yah, enggak ada bedanya sih,” jelas Ifan secara blakblakan.

Litus menurunkan bahu sambil menoleh ke samping. “Aku hanya ingin kita semua bisa mendapatkan hasil yang baik pada ronde ini ....”

Setelah itu, tidak ada yang segan saling bertatapan mata selama beberapa saat. Mereka menyibukkan diri dengan memakan lebih banyak biskuit.

Pada akhirnya, Riven memecah keheningan. “Ngomong-ngomong, sampai kapan paman itu mau tidur?”

Ia menunjuk ke sisi meja yang lain. Di sana anggota keempat regu ini—seorang pria berumur 20-an yang baru kali ini mereka lihat—tengah tertidur dengan tangan menyilang di atas meja sebagai bantal. Kepalanya menghadap ke bawah sehingga wajahnya tidak terlihat.

“Dia lagi tidur atau sudah mati?” kata Ifan.

“Hei, Paman! Bangun!” Riven mengguncang tubuh Alfan beberapa kali.

Pemuda itu pun mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ia mengerang dan mengangkat wajahnya yang berbalur iler.

“Oh, apa sudah waktunya berangkat?” Pemuda ber-ponytail hitam dengan highlight biru di ujung-ujungnya itu masih terlihat grogi berusaha mengumpulkan nyawa.

“Aku tahu bagaimana supaya dia langsung bangun,” Litus mengangkat telapak tangannya ke depan wajah Alfan. “Freeze!”

Dari telapak tangannya, muncul semburat arus kebiruan yang menerpa wajah Alfan dengan keras. Arus-arus itu menyembur seperti badai salju mini.

Mmmpfffhh!”

“Ah, gawat,” ungkap Litus setelah sihirnya selesai. “Sepertinya aku terlalu berlebihan.”

Pada awalnya ia hanya ingin memunculkan angin dingin agar Alfan merasa segar, namun ia terlalu banyak mengalirkan energi sihir. Alhasil, sihir itu memadat menjadi balok es besar yang mengurung kepala Alfan seluruhnya.

Mmmmmppppfffhhhh!” Suara Alfan teredam es yang mengurungnya. Ia menggeliat ke segala arah karena panik.

“J-Jangan bergerak! Aku akan melepasnya sekarang!” Litus berusaha meraih balok es itu.

Di dekatnya Riven tertawa terbahak-bahak melihat kedua orang yang membuat kerusuhan itu.

Ifan menopang dagu sambil tersenyum kecut. “Ah ... apa regu ini akan baik-baik saja?”

***

Pilar-pilar teleportasi bermunculan di atas sebuah panggung raksasa yang terletak di ujung reruntuhan kota padang pasir. Dari dalam pilar-pilar itu bermunculan Tim Gurun yang dipimpin oleh Soraya.

Ada yang berubah dari penampilan mereka setelah melewati pilar teleportasi itu. Seluruh pakaian yang mereka kenakan kini berwarna hitam legam, dan tersampir jubah berwarna senada yang entah muncul dari mana.

Penampilan mereka kini seperti sepasukan tentara gurun yang siap berperang.

Seperti yang sudah direncanakan.

Hanya satu orang yang memiliki penampilan berbeda. Sang ‘bendera’, Soraya, kini mengenakan busana pop idol dengan warna-warna cerah.

Sejak di hotel ia sudah mengatakan bahwa akan mengadakan konser, tapi tidak seorang pun berpikir kalau gadis berambut hijau itu akan benar-benar bernyanyi dan menari ketika mereka semua terjun ke medan perang.

“Terus ... apa lagi ini?” Ifan melirik ke bawah. Di sana ada makhluk-makhluk kecil menyerupai dirinya sendiri.

Litus, Riven, dan Alfan pun mendapatkan pasukan-pasukannya masing-masing.

“Keren,” ujar Litus sambil mencubit pipi wujud kecil dirinya sendiri. “Apa mereka robot? Rasanya seperti sungguhan.”

Soraya telah berdiri di panggung tertinggi dan menyalakan mikrofon.

Testes,” ucapnya mencoba mik. Beberapa peserta merasa kalau yang ia ucapkan itu sedikit ambigu.

“Halo! Pasti semuanya sudah tidak sabar ya? Ada yang aku lupa bilang tadi. Di ronde ini, kalian akan diberikan 10 buat puppet clone yang dirancang persis seperti diri kalian sendiri! Yah, kecuali ukurannya yang kecil. Kalian boleh menyuruh mereka bertarung, tapi hati-hati! Jika semua puppet clone kalian hancur, maka kalian dinyatakan gugur!”

“He he! Mulai sekarang kalian adalah anak buahku! Kalian harus bekerja dengan keras, mengerti!” seru Riven pada pasukan ninjanya.

“Mohon kerja samanya,” kata Litus pada pasukan puppet clone-nya. Tangan-tangan kecil itu menjabat tangannya berbarengan.

Berbeda dengan kedua remaja yang terlihat gembira, Ifan dan Alfan menatap pasukan mereka dengan tidak bergairah. Akan sangat merepotkan harus membawa dan menjaga pasukan sebanyak itu, pikir mereka.

“Lihat! Tim Angkasa Kak Rasyid juga sepertinya sudah siap.”

Soraya menunjuk ke langit. Di sana sebuah kapal ruang angkasa menjulang membayang-bayangi padang pasir.

Jika diperhatikan, kapal itu terbuka secara perlahan, dan dari dalamnya, keluarlah kapal-kapal kecil yang dinaiki para Tim Angkasa.

“Mereka datang!”

Tim Gurun mulai panik. Para peserta berlarian menuju pos mereka masing-masing. Perlengkapan artileri anti udara didirikan dan diarahkan ke langit.

“Yak, tanpa basa-basi lagi, kita mulai saja!”

Soraya menyalakan musik pengiringnya dan menarik napas dalam-dalam.

SE—NO!”

***

Di tengah kota gurun pasir, Litus dan tiga orang Tim Gurun lainnya—Riven, Alfan, dan Ifan—merayap dengan hati-hati menelusuri jalan-jalan yang telah menjadi medan pertarungan.

Mereka baru saja menolak ide Litus untuk menaiki burung unta yang disediakan panitia dan memilih jalan kaki. Mereka menolaknya karena burung unta itu terlihat konyol, apalagi ketika mereka melayang dengan dungu di udara.

Lagipula jarak mereka ke kapal itu tidak begitu jauh.

Hanya 10 kilometer,” cibir Ifan.

“Sudah kubilang kau pergi saja duluan,” kata Riven.

“Bagaimana kalau kau saja yang kulempar duluan?” Ifan meraih pistol teleportasi yang berada dipinggangnya.

“Coba saja kalau berani!” tantang Riven.

“Kalian ... apa tidak bisa akur sebentar saja?” Alfan terlihat sudah bosan dengan cekcok antara perempuan dan anak itu.

“Ayah, harusnya kau yang menjaga keharmonisan keluarga ini,” ejek Ifan.

“Siapa yang ayah!”

Litus dan Riven tertawa geli.

“Semuanya, berhenti,” ucap Litus tiba-tiba.

Mereka merapat ke reruntuhan dinding dan mengamati keadaan di depan. Dua orang peserta sedang bertarung. Seorang Tim Gurun berbaju hitam, dan seorang Tim Angkasa berbaju hijau. Pasukan puppet clone mereka ikut bertarung, yang mana, cenderung terlihat lucu alih-alih intens.

“Apa perlu kita bantu?” kata Litus.

“Tidak. Tugas kita adalah merebut bendera. Sebaiknya kita berjalan memutar,” balas Alfan.

“Tapi dia terlihat terdesak.” Litus tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pertarungan di depannya. Puppet clone yang berwarna hitam hanya tinggal 3 sementara pihak hijau masih ada 7.

“Pasti ada regu pertahanan lain yang akan datang,” jamin Alfan, “lagipula, saling percaya adalah bagian dari kerja sama tim, ‘kan?”

Litus merasa mendapatkan pencerahan yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Perkataan Alfan cukup untuk menenangkan hatinya.

“Baik, Ayah,” ucap anak itu pada akhirnya.

Di belakang mereka, Riven dan Ifan membersit menahan tawa.

“Uh ... aku akan lebih senang kalau kau tidak memanggilku seperti itu.”

***

“Katanya, jalan di depan sudah aman,” ucap Litus. Ia melakukan high five dengan puppet clone yang sudah ia suruh mengintai jalan di depan.

Hanya tinggal sedikit lagi mereka sampai di bawah kapal ruang angkasa.

“Bagaimana caranya puppet clone-mu menghilang seperti itu?” kata Riven heran. Padahal di sana ialah yang seorang ninja, tapi puppet clone Litus lebih berguna untuk tugas pengintaian.

“Sepertinya mereka bisa meniru kemampuan kita,” jawab Litus.

“Eh? Jadi kau juga bisa menghilangkan tubuhmu?”

“Ya.”

Litus menarik napas panjang dan mengembuskannya. Setelah lebih tenang, hawa kehadirannya lenyap begitu saja, menjadi ‘tak terlihat’ di mata Riven.

“Uhh ....” Ninja muda itu menggertakan gigi dengan kesal. Jangan-jangan Litus lebih berbakat menjadi ninja dibandingkan dirinya. “Sudah cukup!”

Litus kembali ke sosoknya semula.

“Hei! Kalian sedang apa? Ayo cepat jalan!” sahut Alfan dari depan. Kedua anak itu berlari menyusulnya.

“Kita sama sekali belum bertemu musuh sampai saat ini—, ” kata Alfan.

“Bagus ‘kan?” potong Ifan.

“Ya. Tapi kita harus tetap waspada. Sebisa mungkin jangan berpencar.”

“Maaf,” jawab Riven.

“Aku mengerti,” jawab Litus.

Namun saat itu, tanpa diduga siapa pun, pijakan di bawah kaki mereka tiba-tiba meledak, menerbangkan pasir sampai ke langit.

***

Litus terbaring tengkurap mencium pasir. Tubuhnya tidak bisa digerakkan dan telinganya berdengung keras.

“Te ... man-teman ...,” suaranya tidak bisa keluar.

Samar-samar, ia bisa melihat Ifan menembakkan pistolnya. Dari pistol itu keluar tabir asap yang menyelemuti semuanya.

Ia merasa tubuhnya terangkat dari pasir. Ia bisa tahu kalau yang sedang menggendongnya sekarang adalah Alfan. Mereka bergerak dengan tergesa-gesa menuju reruntuhan bangunan kosong.

Sepercik air membasahi wajah Litus, membuatnya sedikit terkejut dan kembali tersadar.

“Hehe, balasan yang di hotel tadi,” kata Alfan. Pemuda itu memercik air pada wajah Litus beberapa kali lagi.

“S-sudah cukup!” kata Litus lemah.

“Tidak apa-apa. Kau hanya sedikit syok karena ledakan itu. Tidak ada luka yang serius.” Alfan memanfaatkan keahliannya sebagai medis untuk memastikan semua baik-baik saja.

“Tapi sayangnya, pasukan kecil kita tidak seberuntung itu.”

Alfan menunjuk ke samping. Di sana puppet clone miliknya hanya tersisa 3 buah. Sementara puppet clone Litus hanya tersisa 4 buah.

“Di mana Riven dan Ifan?” kata Litus pada akhirnya.

“Mereka mungkin mencari tempat persembunyian lain.”

“Kita harus mencari mereka!”

“Tidak boleh! Untuk saat ini kita harus tetap bersembunyi. Keputusan Ifan untuk menggunakan tabir asap sangat tepat, karena setelah ledakan itu ...,” Alfan jatuh terduduk dan menjulurkan kakinya yang basah oleh darah.

“Kau terluka!”

“Ya,” kata Alfan sambil menggulung celana panjangnya sampai lutut. “Tapi bukan karena ledakan.”

Di dekat betisnya, terlihat luka bekas tembakan senjata api yang masih segar.

“Ada seseorang yang mengincar kita.”

***

Di tempat lain, tidak jauh dari persembunyian Litus dan Alfan, Riven dan Ifan duduk bersandar di balik sepotong dinding reruntuhan yang cukup tinggi, namun tidak terlindungi.

“Kau dengar tadi? Ada sniper yang mengincar kita! Kalau kita keluar sekarang kita pasti akan mati!” gumam Ifan.

Riven yang duduk di sebelahnya, mencoba menerapkan pelajaran ninjanya untuk tetap berpikir jernih di situasi apa pun. “Tenanglah. Untuk sementara kita aman.”

“Sampai kapan!?”

Riven mengerutkan alis. Ia tidak menyangka gadis yang sudah berkali-kali berselisih dengannya ini ternyata mudah sekali panik. Tapi situasi mereka sekarang memang sangat gawat. Bahkan puppet clone mereka tidak terlihat di mana pun. Ia berharap setidaknya ada satu atau dua yang selamat.

“Kita tidak bisa diam di sini terus, tempat ini terlalu terbuka,” ujar Riven. Ia menengok ke balik dinding. Tidak ada tanda-tanda manusia. Tapi seorang sniper pasti berada di tempat yang mustahil bisa ia lihat.

Saat itu tiba-tiba ada yang menarik-narik bajunya.

“Eh?”

“Ah! Itu puppet clone si Lettuce, ‘kan?” seru Ifan.

Untuk beberapa saat ada sesuatu yang mengganjal pikiran Riven. Ia merasa ada yang salah dari cara berbicara Ifan. Tadi gadis itu mengatakan Litus, ‘kan? Mungkin hanya aksennya saja berbeda, karena itu terdengar sedikit aneh.

Yah, yang penting, itu memang puppet clone milik Litus.

Boneka tiruan itu menunjuk ke arah bangunan lapuk di seberang.

Dari bangunan itu, terlihat kilatan cahaya matahari yang terpantul oleh benda bening. Riven menduga itu pantulan dari goggles milik Litus.

Ia pun mengeluarkan sebuah kunai dan meniru memantulkan cahaya matahari pada bangunan itu.

Kilatan cahaya itu semakin bergerak liar.

“Ya! Litus ada di sana!” tunjuk Riven. “Mungkin Alfan juga.”

Ifan menatap Riven dengan ekspresi datar. “Kalau begitu, di sana aman?”

“Sepertinya begitu.”

“Kalau begitu, tunggu apa lagi!” sergah Ifan. Ia mengeluarkan pistol teleportasinya dan mengarahkanya pada Riven.

“T-tunggu! Ini aman, ‘kan—!”

Belum sempat Riven menyelesaikan kalimatnya, Ifan sudah menembak anak itu dan mengirimnya ke bangunan di seberang dalam sekejap mata.

Ia sendiri masih duduk diam di tempat.

“Ah ... benar-benar merepotkan. Sniper itu berada di menara di arah jam 7 ‘kan? Kira-kira 800 meter. Butuh dua tembakan. Dan mengingat akurasiku yang payah, sisa 2 tembakan lagi pasti ....”

Gadis berambut hitam itu menatap langit. “Kenapa orang-orang norak itu harus begitu tidak berguna?”

Ia terkekeh sendiri lalu memosisikan badannya. Ia menembak.

Tubuhnya terlempar ke langit. Dari sana, terlihat sebuah peluru melesat ke arahnya. Namun sebelum kena, ia menembakkan lagi pistol teleportasinya.

Ifan berhasil sampai di tempat yang ia tuju.

Di dalam menara itu, seorang pria paruh baya berkacamata hitam tengah merunduk dengan sniper rifle di genggamannya.

Bingo!”

Ifan menembakkan pistolnya. Tembakan pertama, seperti yang sudah ia duga, meleset.

Pria berkacamata hitam itu mengelak dengan tangkas dan menerjang dengan beringas.

Ifan membidik sekali lagi dan menembak.

***

“Dia ... tidak ada!”

Riven, Litus, dan Alfan keluar dari tempat persembunyian untuk menjemput Ifan karena ia tidak kunjung muncul. Tapi gadis itu sudah tidak ada di tempatnya.

“Apa dia sudah maju duluan?” kata Litus.

“Hm ... tindakan heroik sepertinya tidak cocok dengannya,” timpal Alfan.

“Tidak!” potong Riven. “Maksudku ... kakak itu memang aneh dan menyebalkan, tapi kurasa ia tidak akan pergi sendirian meninggalkan kita.”

“Ayo kita cari dia!” usul Litus.

“Yah ... kalau ia pergi dengan keputusannya sendiri, tidak ada gunanya menariknya kembali.” Alfan terlihat sedikit menerawang. “Kita doakan saja dia selamat!”

Riven masih sedikit ragu, tapi lalu mengangguk setuju untuk meneruskan perjalanan.

“Lagipula aku tidak melihat tanda-tanda pertandingan sudah selesai. Artinya belum ada pemenang. Ayo kita berjuang sedikit lagi!” Peserta tertua di kelompok kecil itu berusaha menambah semangat.

“Tapi apa kakimu tidak apa-apa?” Litus menunjuk kaki Alfan yang hanya menerima perawatan minim.

“Tenang saja! Seperti ini sih, diludahi juga sembuh!”

“Apa kau perlu ludahku?”

“Eh?”

Riven yang sudah ceria kembali ikut menimbrung. “Aku juga punya persediaan kalau kau butuh,” katanya sambil menjulurkan lidah. Setitik air liurnya menetes dari sana.

Alfan mundur selangkah. “Er ... tidak, terima kasih.”

***

Kira-kira sudah 2 jam ronde ketiga di gurun pasir ini berlangsung. Kedua faksi masih belum bersedia melonggarkan pertahan masing-masing. Dan hanya dewa yang tahu bagaimana Soraya masih bisa terus bernyanyi non-stop selama itu.

Kelompok Litus sudah sampai tepat di bawah kapal ruang angkasa di mana Rasyid berada, ‘bendera’ yang harus mereka capai untuk merebut kemenangan.

Keadaan mereka masih cukup baik, kecuali kaki Alfan yang terluka dan puppet clone Riven yang setelah dicari beberapa saat, hanya ditemukan 2 buah.

“Kau yakin masih ingin lanjut?” tanya Alfan.

“Ya! Dua puppet clone juga tidak masalah, kita akan memenangkan ronde ini sebelum mereka hancur!” balas Riven dengan semangat.

“Ah ... kau harus hati-hati dengan ucapanmu, lho.”

“Tapi ... aku tanya sekali lagi. Bagaimana caranya kita naik?” Riven mendongak ke kapal ruang angkasa itu.

“Ayah, kira-kira berapa jarak kita menuju kapal itu?” tanya Litus.

“Uhhh ... joke itu masih berlaku, ya?” Alfan mendongak, mengira-ngira tinggi kapal itu di langit. “Sekitar 120 meter. Kurang lebih.”

“Kalau saja Ifan ada di sini, dia bisa dengan mudah menembak kita ke atas,” kata Riven.

“120 meter ya. Agak terlalu tinggi, tapi ....” Litus bersimpuh dan meletakan kedua tangannya di permukaan pasir. “Aku akan berusaha!”

Ia mengumpulkan energi sihirnya dan memusatkannya ke permukaan.

Bebal Tower!”

Permukaan pasir disekitar mereka mulai berpendar memancar cahaya kebiruan. Dari cahaya itu, muncul bidang prisma persegi yang mengangkat mereka ke atas.

Woah!” seru Riven. Ia dan Alfan harus menunduk untuk menyeimbangkan badan.

Bidang persegi itu, sebuah balok es super besar, terus bertambah tinggi dengan kecepatan tinggi. Seakan-akan mereka sedang menaiki lift menuju kapal ruang angkasa itu.

Menara es itu berhenti ketika mereka sudah memasuki bagian hangar. Menara yang sama persis dengan menara di ronde sebelumnya, Menara Bebal. Hanya saja sedikit lebih kecil.  Tetap saja, menara es yang berdiri di tengah gurun itu pasti akan membuat heran siapa pun yang melihatnya.

Litus terengah-engah dan mulai merasa terbakar dari dalam tubuhnya karena penggunaan sihir berlebihan. Untungnya kali ini ia tidak lupa membawa air untuk mengisi kembali energi.

“Luar biasa,” desis Alfan, terkagum dengan kekuatan anak itu.

“Kau benar-benar harus mengajari ninjutsu elemen es itu padaku nanti!” Riven terlihat kesal karena pertunjukkan kekuatan Litus yang tidak ia duga.

“Itu ... mustahil ...,” ujar Litus sambil meminum air kemasannya dengan rakus.

Mereka baru saja ingin melompat naik ke atas kapal, ketika suatu sosok besar dan berbulu menyambar dengan cepat pada ketiga orang itu, mementalkan mereka kembali ke atas menara es.

“Oh, menara yang indah! Pasti sulit untuk membuatnya. Aku sangat mengapresiasi siapa pun yang sudah berusaha keras menciptakan karya seni ini!”

Seorang anak kecil, lebih muda dari Litus dan Riven, berdiri di atas monster besar berkaki empat dan berbulu hijau. Kendati tubuhnya yang besar, monster itu tanpa bisa dipungkiri memiliki kecepatan yang tinggi.

“Penjaga terakhir, ya,” desah Alfan. Luka di kakinya sedikit terbuka karena benturan tadi.

“Perlu kalian ketahui, bulu Flibbertigibbet sebenarnya berwarna merah, dan bajuku juga tadinya berwarna hitam. Tapi panitia itu merubahnya menjadi hijau! Luar biasa! Oh, baju kalian yang berwarna hitam itu juga keren, kok!” Anak itu—Gubbins Lollygag—meracau dalam dunianya sendiri.

“Ayo! Kita harus harus mengalahkannya dan mencari Rasyid!” seru Riven.

Litus dan Alfan mengangguk.

Litus menarik anak panahnya dan membidik si monster. Namun secepat anak panah itu melesat, secepat itu pula monster itu sudah berada di sampingnya.

“Kalau tidak salah kau ya yang menciptakan menara ini? Menara Bebal, ‘kan? Apa kau bisa menciptakan bentuk yang lain?”

Sementara Gubbins mengoceh, monster tunggangannya menyabet Litus dengan cakarnya. Anak itu terpental sampai tepi menara.

Agh!” Litus berpegangan dengan erat. Sedikit saja ia lengah, ia bisa jatuh. Pasukan  puppet clone-nya membantunya naik.

“Sialan!” Riven menerjang maju. Ia melemparkan shuriken dan kunai-nya secara beruntun.

Serangan itu tentu saja dapat dengan mudah dihindari Flibbertigibbet. Monster itu lalu menyabet Riven, sama seperti Litus, sampai terhempas ke tepi menara. Riven menggunakan kunai-nya untuk bertahan agar tidak jatuh.

“Satu lagi~” kata Gubbins sambil bernyanyi.

“Heh, tidak semudah itu, tahu!” Alfan menarik Paralay, stun-gun miliknya. Ia membidik Gubbins dan menembak.

Percikan listrik terlontar dari pistol itu, tapi masih tidak cukup cepat untuk mengenai Gubbins.

“Sial!”

Alfan sudah menerima takdirnya. Kalau ia juga dihantam oleh Flibbertigibbet, keadaan kakinya tidak mungkin bisa menahannya. Ia pasti akan jatuh dari menara setinggi 120 meter.

Mungkin ... jatuh di pasir mungkin tidak akan terlalu sakit, pikirnya.

Tapi saat-saat yang dinantikan tidak kunjung tiba.

Monster itu entah kenapa hanya melewatinya, dengan kecepatan tinggi, seperti sedang meluncur begitu saja menuju tepi menara.

“Ahhhhhhh!!! Berhenti!” Gubbins panik berada di atas peliharaannya yang tak terkendali. Jika diperhatikan, keempat kaki monster itu telah terbalut es. Karena itu ia tidak bisa mengendalikan gerakannya.

“Litus!” seru Alfan melihat Litus sudah berdiri lagi.

“Tepat waktu,” desah anak itu. Ia yang sudah membekukan kaki Flibbertigibbet.

Sayangnya monster itu juga pantang menyerah. Ia berhasil menghancurkan es di kedua kaki depannya dan menggunakan cakarnya untuk bergelantungan di tepi menara.

“Ohhh ... pemandangan dari sini juga bagus!” Gubbins terlihat tidak peduli dengan keadaannya saat ini.

“Keras juga kamu ya!” Alfan kembali mengacungkan Paralay-nya dan menembak.

Monster dan anak kecil yang menungganginya menerima tembakan itu dengan telak. Mereka mengejang-ngejang tersetrum listrik jutaan volt.

Namun belum. Monster itu belum juga berhenti bergerak.

“Sialaaaan!”

Muncul entah dari mana, Riven berlari sekencang-kencangnya menuju Gubbins. Bocah ninja menyilangkan tangannya di depan lalu menumbruk Flibbertigibbet sekuat tenaga.

“T-t-t-t-t-tunggu! B-b-b-berhenti!” ucap Gubbins terbata-bata dikarenakan sengatan Paralay.

Tapi Riven tidak berhenti. Ia mendorong mereka sampai tepi, tidak, lebih dari itu, sampai mereka berdua dan si monster benar-benar terpisah dari menara.

“Riven!” Litus berlari menyusul. Ia mengulurkan tangannya sejauh mungkin, berusaha menangkap Riven. “Ulurkan tanganmu!”

Tapi mustahil. Riven memutuskan untuk menggenggam erat Gubbins untuk memastikan mereka tidak bisa naik lagi.

Bocah ninja itu tersenyum, dan mengacungkan jempol pada Litus.

“Dari sini, kuserahkan padamu!”

“Riveeennnnn!!!”

Ketiga sosok itu pun terjun bebas menuju padang pasir di bawah sana.

***

Di ruang kontrol kapal ruang angkasa, Rasyid tengah asyik menonton konser Soraya dari monitor di hadapannya. Sesekali ia terkekeh sendiri memikirkan keuntungan yang bisa ia dapat jika ia menjual footage langka itu.

Namun lamunan harus terhenti ketika seseorang tiba-tiba menyentuh pundaknya dari belakang.

“Ah ... aku sampai lupa waktu.”

Di belakang kursinya, Litus muncul secara tiba-tiba tanpa suara sama sekali. Bahkan alarm yang sudah di pasang oleh Rasyid tidak berbunyi.

“Kena!”

Komentar

  1. wkwkwkwk setelah sekian lama akhirnya seseorang menotis ifan. tapi kok gak ada gambarnya //slapped


    suka interaksi yg terjadi di sini. dialognya bisa dibedakan, dan beberapa humornya pas. walau saya harus jujur kalo karakterisasi litus justru kurang berasa dan mudah dilupakan. ini karena saya belum baca r2 (nanti, rencana) dan (barangkali) ronde 3 yg perlu memasukkan banyak oc. jadi harus berbagi spotlight. untuk penulisan udah rapih, walau masih kurang deskripsi--maklum batasan kata. saya harap di luar event ini Anda lebih detail dalam narasi. nilai 8 -ifan

    BalasHapus

Posting Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya