[Ronde 2] Fransisca Remington - Ketakutan Seorang Iblis Bagian 2


By: Tearmeapart
Ketakutan Seorang Iblis: Bagian Dua

Kota Almenesse diguyur hujan lebat malam itu.

Bulan di Langit kota metropolis yang sudah menjadi satu dengan teknologi itu tertutup awan-awan gelap. Akan tetapi, jalan-jalan masih ramai dengan mobil yang malang melintang. Bahu jalan dipenuhi oleh orang-orang yang buru-buru: antara ingin cepat sampai tujuan atau ingin mencari tempat berlindung dari hujan. Gedung-gedung pencakar langit tumbuh seperti jamur di hutan kala hujan. Akan tetapi, yang paling mencolok adalah Menara Bebal. Titik tertinggi kota ini adalah menara itu: sebuah lambang supremasi teknologi untuk membentuk utopia. Akan tetapi, kegelapan bersembunyi di balik dinding-dinding baja dan besi kota.

Preman, pengemis, orang-orang cacat, tukang jagal, pembunuh bayaran, mereka yang didepak dari kerasnya arus perubahan dan teknologi memilih untuk bersembunyi di balik dinding-dinding beton yang pengap, atau atap kayu yang bisa runtuh kapan saja.

Keramaian dan hingar bingar yang terjadi di tengah kota sangat kontras dengan jeritan dan isak tangis yang muncul dari tempat-tempat kumuh ini. Akan tetapi selang beberapa saat kemudian terdengar ledakan yang muncul dari tempat ini.

"Bangsat, siapa iblis ini--"

Seorang pria berpakaian hitam tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, rahangnya sudah patah dihempas kaki kanan Fransisca. Rentetan peluru senapan otomatis langsung menyerbu.

Fransisca mengaliri tubuhnya dengan mana, dan menerjang satu orang dan berlanjut ke yang lain. Ia menyapu kaki orang dan membuatnya pingsan, menghajar lambung orang dengan tendangannya, dan menghempaskan kepala orang hingga pecah ke dinding beton sekitar.

"Apa yang kalian lakukan? Satu bocah saja kalian kewalahan!" teriak seorang pria tua yang berjas putih. Ia memakai gelang di tangannya. Gelang itu yang Fransisca incar.

Rentetan senapan api kembali menyerbu Fransisca. Ia membalas dengan cepat menggunakan bola-bola magisnya, mengakibatkan beberapa ledakan muncul lagi di ruangan besar berdinding beton ini.

Bunuh mereka!

Tidak lagi, jerit Fransisca dalam hati.

Ia berhenti. Fransisca mendapati mayat-mayat orang yang tidak dapat dikenali lagi bergelimpangan di sekitar ruangan ia berada. Tangannya bergetar kecil.

Menyadari Fransisca entah kenapa terhenti, pria berjas putih itu mengambil pistol dari sakunya dan menembak Fransisca. Meleset, namun tembakan tersebut menyayat tanduk Fransisca.

Fransisca murka.

Ia kembali mengaliri tubuhnya dengan mana, dan menerjang satu-satunya pria di dalam ruangan itu. Lututnya menghajar langsung rahang pria itu. Badannya terkapar di kursi yang ia duduki.

Fransisca langsung mengarahkan amukannya pada wajah pria itu. Tangannya tidak berhenti menjotos wajah pria yang bahkan sudah tidak bergerak lagi. Wanita bangsat! Ini semua gara-gara kau, maki Fransisca dalam hatinya.
Bunuh dia!

Bunuh dia!

Fransisca mengerang.

Ia mengepal tangannya kuat-kuat, dan memukul tembok beton di depannya. Ruangan sesaat bergoyang.

Aku akan membunuhnya tanpa disuruh siapapun, batin Fransisca. Ia berdiri dan melihat badan yang terkapar di bawahnya. Gelang itu masih utuh. Dengan cepat, Fransisca mengambil gelang itu dan beranjak pergi.

Langit di luar sedang kelabu saat Fransisca keluar dari bawah tanah, air hujan turun membasahi kota yang dingin ini. Darah hangat masih menempel pada baju dan wajah Fransisca. Ia mendongak kelangit, membiarkan hujan membawa pergi darah yang menempel padanya serta rasa takut di dalam hatinya. Tapi sepertinya bekas darah tidak semudah itu hilang.

Tangannya masih dipenuhi darah seperti hatinya masih tersisa ketakutan.

Badannya bergidik. Karena dingin dan juga takut.

*
Ronde kedua dimulai. Fransisca makin dekat satu langkah dengan tujuannya.

Para peserta menunggu di aula dimana terdapat layar besar yang menayangkan pertandingan yang sedang berlangsung. Dipandu oleh Soraya dan juga Rasyid yang terkadang merespon lamban, pertandingan hari kedua mulai memasuki babak akhir.

"Dan itulah akhir kali ini. Abu dengan sangat cepat menyalakan lampu kota kali ini. Apakah itu tercepat hari ini?" ujar Soraya

"Kurasa itu yang tercepat hari ini. 10 menit 30 detik menurut hitunganku," timpal Rasyid.

"Dari pertandingan ini, yang bisa ku pelajari adalah: jika mereka terjebak, maka mereka tidak bisa kemana-mana," komentar Soraya mengenai cara Abu memenangkan pertandingan kali ini.

Abu dengan mudah menjebak Troya dalam sebuah ruangan dan meledakkan area sekitar hingga batu menutup satu-satunya jalan Troya.

"Oh dan kita lihat disini, Troya perlahan keluar dari bebatuan tersebut!" tambah Soraya.

Troya dengan susah payah keluar dari tumpukan batu yang memerangkapnya. Beberapa staff yang ditugaskan di lokasi berusaha membantu Troya dengan menyingkirkan bebatuan yang ada.

Kakinya sudah tidak mampu berdiri. Wajah Troya penuh debu dan keringat. Tangannya berusaha memegangi lututnya saat ia keluar. Meski badannya sudah menyerah, mata Troya masih menunjukkan semangat. Ia kini berusaha berdiri dengan baik.

Fransisca menyaksikkan dari layar di ruang tunggu. Dari gambar yang muncul di layar, Fransisca tahu bagaimana berada di posisi Troya.

Perasaan saat kelemahan dirimu yang menghalangi dari keinginan. Fransisca tidak ingin merasakan hal itu lagi. Ia menggenggam erat kalung bunga lily di yang melingkar di lehernya, dan mengecupnya.

Tidak akan ada rasa hormat tanpa kekuatan, namun kekuatan saja tidak akan membawa rasa hormat, begitulah ucap ayahnya pada saat dirinya masih kecil. Pada saat ia berpikir bahwa ibunya adalah sosok yang paling sempurna.

Ayah tidak akan mau melihat aku lemah seperti ini, pikir Fransisca.

"Dan untuk penutup hari ini, kita punya," kata Soraya sembari membuka gulungan sisa gulungan kertas di meja, "Fransisca dan Piwi. Pertandingan apa yang akan mereka tampilkan kira-kira?"

"Kupikir ini akan menjadi pertarungan yang teknis, mengingat kedua peserta dapat melewati ronde pertama dengan baik," jawab Rasyid, walaupun ia berpikir kalau ronde ini akan berakhir dengan Fransisca menjotos Piwi tanpa ampun dan menang dengan cepat.

Sejak pertama kali bertemu Fransisca, Rasyid selalu bertanya-tanya bagaimana Fransisca menyimpan energi yang begitu besar di dalamnya. Seorang penyihir berbakat atau jenius tentu tidak menjadi alasan yang jelas bagaimana Fransisca bisa membuat Gerbang Dimensinya mengalami fluktuasi energi yang begitu tinggi saat ia tiba. Rasyid menduga kalau Draphion adalah sumber energi itu, namun melihat apa yang Fransisca lakukan di ronde pertama Rasyid tidak menemui jawabannya. Mungkin saat itu Gerbang Dimensi sedang rusak, simpul Rasyid akhirnya.

"Baiklah, kalau begitu kita mulai saja pertandingan terakhir hari ini," ujar Soraya sambil tersenyum berusaha menjadi pembawa acara sebaik mungkin.

Troya akhirnya muncul dari pintu teleport. Wajahnya masih menunjukkan sisa debu dari pertandingan. Ia tertunduk lesu. Troya mungkin baru saja mengalami hal yang menunjukkan masih betapa lemahnya dia. Pikirannya untuk memenangkan acara ini perlahan sirna. Ia teringat akan mobilnya. Troya ingin melihat mobilnya. Dan itulah yang ia lakukan. Gadis berambut pirang itu bergegas meninggalkan ruangan, tidak menghiraukan imbauan panitia, atauapun orang-orang yang dilewatinya. Termasuk Fransisca.

Fransisca menatap sosok yang melewatinya itu hingga ia hilang dibalik pintu. Aku tidak ingin mengalami hal itu lagi, batin Fransisca.
*
Parade hari itu sangat istimewa.

Kerajaan Granetus sedang dilanda perpecahan, dan kehadiran Ratu Alicia sangat dinantikan rakyatnya. Sosoknya dapat menenangkan atau bahkan meredam kekacauan yang sedang tejadi, menurut para penasehat istana.

Kereta kuda dengan atap terbuka melintas di tengah kerumunan rakyat yang menyambut keluarga kerajaan dengan meriah. Bendera-bendera warna-warni dilambaikan. Burung-burung merpati dilepas untuk terbang bebas di udara. Lonceng di tengah kota berbunyi. Hari ini adalah hari jadi Granetus yang ke-13.

Fransisca melambaikan tangannya di dalam kereta. Gadis muda itu, yang dianggap akan meneruskan kerajaan ibunya, menyapa rakyatnya dengan ramah. Senyumnya menunjukkan ia siap kapan saja untuk mengabdi pada kerajaan. Dominico, suami sang ratu, tidak kalah ramah menyapa para rakyat yang mencoba mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Ratu Alicia, bintang utama hari ini, melukis senyum indah di wajahnya. Ia tidak melambaikan tangannya: hanya tersenyum dan mengangguk kecil. Namun itu semua seperti cukup menjawab harapan seluruh rakyat: Ratu Alicia tidak akan meninggalkan kita.

Pemberontakan yang terjadi beberapa bulan, membuat rakyat pecah. Ratu dianggap sudah tidak mampu memimpin kerajaan. Kekesalan itu akhirnya berubah menjadi hal yang lebih besar: Keluarga kerajaan sudah tidak pantas hidup lagi.

Aksi sabotase, pembakaran, hingga konflik yang bisa menjadi perang sipil mulai bermunculan di dalam wilayah kerajaan. Alicia memang sedang gelisah. Ia memasang senyum yang paling menawan di atas kereta kuda yang melintasi ibukota, namun ia merasa jantungnya bisa berhenti kapan saja. Dan jantungnya hampir berhenti saat itu juga.

Tembakan. Fransisca melirik kesampingnya. Semua bergerak lambat dimatanya. Ayahnya tumbang. Ibunya terkapar di dalam kereta. Ia segera menunduk dan memanggil ayah dan ibunya. Ayahnya tewas.

Fransisca bergidik. Matanya buram. Pikirannya kacau.

Ia melihat ibunya. Tersenyum.

Bunuh dia!

Fransisca kalap.

Bunuh dia!

Kemudian gelap.

"Kau baik-baik saja?"

Seseorang menepuk pundak Fransisca dan membawanya kembali ke kota Almnesse. Ia berada dalam kerumunan pasar. Langit sudah menjadi lautan bintang. Fransisca merasa sesak disini.

Fransisca menyingkirkan lengan orang itu dari pundaknya. Ia segera memasang Gelang Sihir. Bergantung pada alat yang tidak diketahui cara kerjanya bukanlah cara yang bijak, pikir Fransisca. Namun dirinya tidak boleh lengah sedikipun disini.

Fransisca mengaliri tubuhnya dengan mana. Dan iapun melesat, menuju Menara Bebal.
*
Menjadi jenius itu kadang membosankan, batin Piwi. Semua ini sudah begitu jelas dalam kepalaku. Aku akan menang mudah melawan putri siapapun dia itu: membosankan.

Piwi menganggap Fransisca cukup beruntung bertemu dirinya, walaupun gadis itu akan kalah dengan memalukan tentunya.

Seorang jenius sepertiku memang hanya pantas bertemu dengan sosok seperti dirinya, puji Piwi dalam hati. Ia mengakui Fransisca cukup hebat, apalagi mendengar cerita mengenai dirinya di ronde pertama. Tapi tetap saja, didepan kejeniusan siapapun, Tuhanpun akan kagum dengan diriku ini, batin Piwi.

Ia tertawa terbahak-bahak. Menjadi jenius itu benar-benar membosankan, pikirnya, sambil menunggu seseorang untuk membantunya menyebrangi jalan yang ramai.

Wujud anak ayamnya membuat ia seperti tersedak cacing yang terlalu besar saat ia tertawa.
*
"Sambil kita menunggu Piwi untuk dapat menyebrangi jalan yang ramai, kita kembali lagi pada Fransisca. Oh dia sepertinya menyimpan tenaganya sekarang," ujar Soraya.

Aula dimana para peserta menonton pertandingan masih penuh.

Mereka menonton untuk mencari tahu sejauh mana kemampuan peserta lain. Hingga pertandingan terakhir ini, kebanyakan dari mereka masih terfokus pada layar.

Zenistia tidak berkedip.

"Hei layarnya bisa pecah kalau kau liat seperti itu," Evelyn yang duduk disamping Zenistia menyikutnya.

"Aku hanya mencoba fokus," dalih Zenistia.

"Matamu akan cepat lelah seperti itu," ujar Alfan yang juga duduk disamping Zenistia, "banyak-banyaklah minum air jika ingin fokus. Jangan rusak matamu."

Zenistia akhirnya mengiyakan perkataan kedua temannya. Ia merilekskan dirinya di kursi, namun matanya tetap fokus.

Fransisca, batinnya. Ia ingat bagaimana iblis itu hampir membunuh ia dan Troya. Kau tidak pernah bisa berhati-hati dengan makhluk sepertinya, pikir Zenistia. Tunjukkan wujud aslimu disini, dan aku akan membunuhmu saat punya kesempatan.

*
Fransisca akhirnya sampai di Menara Bebal. Ia berpikir kalau dirinya terlalu lama berada di jalan. Piwi pasti sudah berada di dalam, pikirnya.

"Selamat datang, wahai jiwa yang malang," sosok ayam kecil yang bermandikan cahaya putih dari belakangnya menyambut Fransisca,"aku adalah Piwi. Kau bisa memanggilku Yang Mulia Dipertuan Agung Piwi."

Fransisca melihat sekitar untuk mencari lift. Sempat terbesit pikirannya untuk memanjat menara menggunakan sihirnya, namun ia sedikit ragu.

"Ksatria hanya bertarung demi tuannya, dan ia memberikan namanya pada lawan yang ia rasa hebat," lanjut Piwi, membahas kehebatannya, "Tentu hal ini berlaku bagi diri kita, tidak begitu?"

Fransisca dengan cepat menyusuri elevator, ia merasa tubuhnya sangat ringan dengan Gelang Sihir ini. Mungkin aku bisa mencoba lebih banyak lagi, pikir Fransisca.

"Tapi ketahuilah, pertarungan ini akan menjadi yang terakhir bagimu. Aku sudah melihat semuanya. Aku bisa melihat akhirnya," tukas Piwi, "kau akan kalah disini, Fransisca."

Baiklah akan kucoba, batin Fransisca. Ia mengalirkan lebih banyak mana pada tubuhnya. Mengambil ancang-ancang, Fransisca melompat ke atas, dan berhasil sampai ke lantai 8. Tiba-tiba, dinding pembatas dekat dirinya hancur. Fransisca menghindar.

"Bisa denger dulu gak sih, bangsat?!"

Piwi, yang kini kepalanya seperti kambing namun berbadan manusia yang kekar, mengamuk.

"Dengar, yah. Kamu itu cuma anak kerajaan yang manja! Dengar itu! Kalian kerjaannya cuma makan uang rakyat miskin!"

Piwi terhempas. Tinjuan Fransisca dengan tepat mengenai wajahnya. Fransisca senang: Gelang Sihir ini berfungsi!

"Motong pembicaraan orang seenak jidat! Orang kerajaan gak tahu tata krama! Orang kerajaan tapi tingkahnya mirip kera!"

Piwi kembali terhempas.

Fransisca melemparkan pukulan menyilang yang menyambar dagu Piwi dari bawah, melemparkannya ke atas.

Fransisca beranjak meninggalkan Piwi. Ia dengan cepat menutup pintu lift dan bergerak ke atas. Namun di tengah bergeraknya lift, Fransisca merasakan hantaman dari bawah.

"Kembali kesini kau, iblis bodoh!"

Dan seketika muncul Piwi yang merusak paksa lift dari bawah. Fransisca melempar bola magis ke atap lift yang kemudian menimpa Piwi. Liftnya tidak dapat dipakai lagi. Fransisca memutuskan untuk memanjat gedung ini.

"Kau akan membayar ini semua, iblis keparat!" Piwi mengepakkan sayap di punggunggnya, mengejar Fransisca.

Bola-bola magis langsung melayang menuju Piwi. Ia membalas dengan sinar pemusnah dari mulutnya. Terdengar suara ledakan lift yang terjatuh dari bawah.

Piwi makin dekat dengan Fransisca.

"Memanjat seperti ini membuatmu kewalahan, hah?"

Piwi berusaha menarik kaki Fransisca, namun gadis itu menghindar dengan memanjat zig-zag. Mereka sudah sampai ke ujung. Fransisca melempar bola magis ke arah pintu lift, membuka jalan.

Ia keluar dan berguling, menghindari terkaman 'iblis' Piwi. Fransisca menyapu kaki Piwi, dan berusaha menendang wajahnya yang sudah mencium lantai.

Piwi merespon cepat, ia menangkap kaki Fransisca dan melemparkannya ke dinding seperti melempar bumerang. Namun, gadis itu berhasil menggunakan dinding sebagai pijakan, dan memunculkan pedang dari tangannya.

Fransisca melemparkan pedang di tangannya, menghujam Piwi. Dengan cepat, Piwi menangkap pedang itu di udara dan meremuknya hingga hancur. Fransisca melemparkan bola-bola magis yang dimusnahkan langsung oleh sinar pemusnah milik Piwi.

"Nah ini baru yang disebut pertarungan! Piwi dan Fransisca tidak ingin kalah. Mereka menukar tinju dengan cepat," dengan semangat, Soraya memandu jalannya acara, "Oh, Fransisca terhempas dengan keras, apakah ini sudah berakhir?"

Iblis itu tidak bertarung seperti ini, batin Zenistia. Dia lebih ganas, dan tidak segan-segan membunuh. Di depan matanya, Fransisca sedang terpojok. Zenistia tidak bisa percaya dengan hal ini. Dia berpikir kalau Fransisca sedang berpura-pura. Iblis itu lebih mengerikan dari ini.

Fransisca berusaha berdiri dari puing-puing kecil yang menguburnya. Lengannya tidak sempurna menahan tendangan keras dari Piwi. Apakah gelang ini sudah mencapai batasnya, pikir Fransisca.

"Kuakui kau cukup hebat bisa memberiku luka seperti ini," ujar Piwi, "tapi sekarang semuanya sudah berakhir! Tunduk kepadaku, atau kupatahkan lehermu."

Fransisca mengangkat tangannya, ia mencoba melemparkan bola-bola magis. Namun kosong. Tidak ada apa-apa disana. Ia sadar gelangnya baru saja hancur. Fransisca panik.

Piwi heran, namun kemudian ia tertawa, "Apakah gadis satu ini sudah sampai batasnya? Penyihir macam apa yang tidak bisa menggunakan sihir lagi? Kau ini ujung-ujungnya cuma penyihir gagal! Iblis gagal!"

Piwi langsung menerkam Fransisca yang masih terpatung. Ia mengangkat kepala gadis itu tanpa perlawanan, dan membantingnya ketanah. Debu-debu berterbangan. Fransisca memuntahkan darah.

"Putri mahkota yang gagal?" teriak Piwi sambil terus menghantamkan wajah Fransisca ke dinding, "persetan itu! Orang tuamu pasti sangat kecewa denganmu. Jangan pikir mereka membuangmu karena alasan tidak jelas atau apa! Mereka membuangmu karena kau itu iblis yang gagal!"

Piwi langsung melempar Fransisca ke ujung koridor.

"Hei Worca! Jika kau lihat aku, inilah yang akan terjadi kalau kau menolak aku sebagai adikmu! Jadi cepat terima saja kalau aku ini adikku," teriak Piwi pada dinding-dinding koridor.

Piwi mendekati Fransisca yang hampir tidak dapat berdiri dengan baik.

Apa ini yang harus seseorang tanggung untuk menjadi seorang ratu, tanya Fransisca dalam hati. Badannya benar-benar dijadikan sasak tinju oleh Piwi. Sesekali tangannya bereaksi menahan, namun tetap saja ia terhempas kesana kemari.

Aku tidak ingin seperti ini, menjadi ratu sangat sakit rasanya, batin Fransisca. Ia terhempas ke udara oleh tinju Piwi. Dan ia mengingat masa kecilnya. Apakah aku akan mati, disini?

Ia mengingat pusat kota dimana para pedagang dengan ceria menjajakan dagangannya. Seorang gadis kecil yang tinggal di belakang pasar yang menyukai kucing. Hutan musim semi dimana ia bermain dengan ayahnya. Wajah para prajuritnya ketika mereka memenangkan pertempuran.

Aku ingin pulang, bisik Fransisca.

Kau mau kekuatan?

Aku ingin pulang, bisik Fransisca sekali lagi.

Bunuh dia!

Perasaan itu kembali lagi.

Fransisca berpikir tidak ada jalan lain lagi. Jika aku harus tenggelam dalam perasaan ini, maka biarkan berada di dasar laut saat ini juga, tekad Fransisca.

Piwi mengambil ancang-ancang. Ia menyiapkan pukulan terkuatnya untuk mengakhiri ini semua. Ia melemparkannya. Dan tangannya ditangkap oleh Fransisca.

Sirkuit Sihir Fransisca berubah biru.

Piwi terkejut, ia tidak bisa menarik tinjuannya. Kemudian ia terhempas. Fransisca dengan cepat membalas tinju Piwi.

Fransisca bangkit. Kakinya berdiri dengan kokoh. Tangannya keras. Matanya berkata ingin membunuh.

Zenistia bergidik. Ini sosok tersebut, batinnya. Walaupun melihat melalui layar, Zenistia dapat mengingat saat-saat Fransisca mengamuk di depannya. Tidak salah lagi, wanita itu benar-benar iblis bengis, batin Zenistia.

"Masih menyimpan kekuatan rupanya, iblis tengik," Piwi mencoba berdiri. Entah apa yang terjadi, tapi tinjunya menjadi lebih keras, pikir Piwi.

Fransisca menerjang. Piwi memasang kuda-kuda.

Fransisca melempar pukulan menuju ulu hati Piwi, dan menyambungnya dengan tendangan ke arah kepala. Lantai dibawah kaki Piwi retak. Terlalu kuat, batin Piwi.

Fransisca menjauh. Ia kembali mengambil ancang-ancang. Kali ini ia melangkahkan kaki kanannya keluar. Piwi bergerak menjauh, namun tinju Fransisca masih mengenai dirinya. Ia mencoba bertahan. Kaki kiri Fransisca menghajar kakinya. Piwi kehilangan keseimbangan. Fransisca melempar tumitnya ke arah Piwi, menghempaskannya ke ujung koridor.

Piwi mencoba bangkit, namun kaki Fransisca bergerak lebih cepat dan membuatnya tenggelam lebih dalam ke dinding.

Aku lelah, batin Fransisca.

Piwi menggunakan sinar pemusnah untuk melenyapkan bola magis Fransisca.

Aku ingin istirahat, batin Fransisca.

Dan ia pun terlelap dalam kegalapan. Dirinya terasa bebas dan mengambang di kehampaan. Tidak ada lagi rasa sakit disini. Ia ingin terus seperti ini.

Fransisca terbangun.

Dari dalam gelap seseorang memanggilnya. Suara itu memintanya untuk tidak menyerah disini. Fransisca tidak mengerti. Menyerah? Suara itu terus memintanya bangun. Suara yang asing, namun begitu hangat untuk Fransisca. Disini dingin, pikir Fransisca. Ia pun bangkit, mencari suara itu.

Fransisca kembali.

Ia mendapat Piwi terkapar berdiri di ujung koridor, nafasnya lemah.

Apa yang terjadi, pikir Fransisca.

Fransisca tidak ingat apa yang terjadi. Langkahnya ragu, namun Fransisca menuju lantai paling atas dan menyalakan lampunya. Warna pink bersinar terang.

Apakah aku berhasil menaklukkan suara itu, pikirnya. Ia mengamati dirinya. Aku masih merasa seperti diriku sendiri, jawabnya dalam hati.

Ia ingat tertidur entah dimana. Dirinya berada di tempat yang ia tidak dapat ingat. Namun sebuah suara membangunkannya.

Seseorang, pikir Fransisca.

 Walaupun di luar angin berhembus kencang, Fransisca merasa hangat.

Fransisca mendongak ke lautan cahaya di langit. Ia melepas kalung lily pemberian ayahnya dan menggengamnya dengan erat.

Diantara lautan bintang di langit, mungkin ayah sedang melindungiku, pikir Fransisca.

Ia merasa hangat. Ketakutan sirna dari hatinya.

Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya