[Ronde 3] Nadaa Kirana Swastikachandra - Lachrymose

By: A Certain Cute Cat
Lachrymose
……
Lose all your feelings
Lose all your awareness
I believe those sorrows will gone
By another sadness creeping into your bone
It is a God's plans
Everything would be settled once more
I am laughing at that fictitious galore
Truthful as the night sky
Honest as the rain drops
You are the only reason
I am still breathing these suffocating air
Come pick me up from my daunting lair
I swear I'll forget all my thoughts
Embrace me, trap me, kiss me a lot
We will make our litte dome
Just feel like our own home
Ohh… Lachrymose
He's just standing there by our door…

Nadel bermain-main kebosanan dengan korek zippo miliknya. Ia menyalakannya, mematikannya, menyalakannya lagi, mematikannya lagi. Kala gadis itu ingin menyalakannya lagi, hanyalah percikan-percikan bunga api yang muncul. Ia memutar flint wheel koreknya lagi dan lagi, kali ini tak ada hasil sama sekali. Hatinya mulai memanas, sekali lagi jarinya ditekan kuat-kuat pada flint wheelmemutarnya lagi.
"Bangsat!"
Api yang seketika menyala besar membakar sedikit jempol Nadel membuat gadis itu refleks membuangnya. Korek itu terbalik, memperlihatkan sisi lain pada penutup serta tubuh kuningannya. Ia memungutnya kembali, mengamati ukiran berbentuk elang dan tipografi "pearl king♥diamond queen" Nadel sontak berdiri, ia mengambil ancang-ancang untuk melemparnya.
"Nadaa." panggil sesosok gadis yang seketika muncul tak jauh darinya. "Aku pikir sudah saatnya."
Nadel mengurungkan niatnya, bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. "Kau sudah singkirkan boneka-boneka bodoh itu? Milikku, milikmu, dan iblis itu?" ia menaruh pemantik itu kembali ke sakunya.
"Beberapa bersembunyi di medan pertempuran untuk umpan, beberapa diam di belakang panggung untuk menjamin kita tetap hidup seperti yang kau minta."
"Masuk ke mobil, Morgen."
Sosok bertopeng putih itu mengangguk. Ia meninggalkan Nadel menuju Dodge Charger R/T hitam yang terpakir di depan panggung. Sementara Nadel melemaskan lehernya dahulu, setelah suara "krak" berbunyi, ia berjalan ke sisi panggung di mana ada seorang berhelm besi abad pertengahan dan gadis bersayap putih seperti malaikat sedang berbincang.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Nadel memotong obrolan mereka.
"Ah, Nona." Si kepala besi mendadak menyiapkan diri seperti sedang bertemu seorang atasan. "Musuh sepertinya sudah mulai lelah dengan strategi ­all around defence sesuai yang Nona pinta. Baru saja saya mendapat laporan dari Ifan yang memantau dari piring terbanganyamusuh-musuh yang tergolong kuat seperti Heihei, Fransisca, Gubbins, dan Azusa sudah keluar dari kapal induk untuk menyerang. Tetapi, kita masih belum menemukan keberadaan Abu."
"Kerja bagus. Sekarang kau maju, bantu tim pertahanan."
"Laksanakan!" kepala besi memberikan sikap salut kepada Nadel, lantas ia memunculkan sebuah tombak dan berlari ke medan perang.
"Cukup mengejutkan." Gadis bersayap putih itu mulai berbicara. "Seorang gadis biasa sepertimulah yang menjadi pemimpin di perang ini."
Nadel mengacuhkannya. "Kita juga bergerak sekarang, Iren. Terbanglah dengan cepat, aku tak mau kau sampai tertinggal."
"Wow, baik-baik, Nona. Tapi biarkan aku bertanya satu hal padamu."
"Apa?"
"Sepertinya kau mengetahui data-data seluruh peserta di kontes ini, darimana kau mendapatkannya?"
Nadel mengingat pertemuannya dengan Miranda. "Aku punya orang dalam. Sekarang bisakah kita jalan? Aku ingin memenangi ini dengan cepat, suasana hatiku sedang tak bagus."
  "As you wish." Iren tersenyum, ia merubah sayapnya menjadi kemerah-merahan seperti iblis.
"Ikuti aku."
 Nadel masuk ke mobilnya yang sudah dimodif untuk medan gurun pasir, di dalamnya Charta telah menunggu duduk dengan manis. Ia memacu mobilnya, mengebut di jalanan berpasir, sedangkan Iren terbang di atasnya mengikuti kemanapun mobil itu pergi. Mereka mengambil jalur di sisi kanan, menghindari area tengah yang sedang terjadi pertempuran antar pasukan gurun dan angkasa. Tak memakan waktu lama, tujuan mereka sudah terlihat di depan mata. Nadel memakirkan kendaraannya di salah satu bangungan besar beberapa meter darinya, berusaha menyembunyikannya.
Nadel keluar dari mobil. "Kalian sudah paham rencananya?"
Baik Charta maupun Iren mengangguk.
"Bagus, aku tak mau ada kejutan, Iren alihkan mereka."
Iren terbang kembali menuju tujuan mereka sebelumnya, pilar teleportasi. Pilar teleportasi dijaga tiga peserta dari kubu angkasa. Seorang ksatria berpedangSolar. Elf bepanahJazdia. Pria NordikBalthor. Iren terbang mendekat, menembak pistol Sodom ke arah mereka. Para penjaga itu bereaksi dengan cepat, mereka menghindar tepat waktu menyia-nyiakan satu-satunya peluru pistol Sodom yang Iren punya. Jazdia membalasnya dengan tembakan-tembakan panah, sementara Balthor dan Solar berusaha mengejarnya dengan motocross.
"Ayo!" Nadel menepuk pundak Charta. Mereka berlari keluar dari balik bangunan menyusul Iren. Mereka terus berlari hingga Balthor menyadari keberadaan mereka berdua.
"Hei! Ada dua berandal lain!" Balthor mengganti targetnya, ia melajukan motornya berancana menabrak mereka sekali jalan.
Nadel dan Charta berguling ke arah yang berlawanan. Nadel tak biasa beraksi seperti ini, dari kepala hingga punggung ia merasakan nyeri yang menerjang. Walaupun begitu, ia kontan berdiri, menemukan dirinya berhadapan dengan Solar.
"Halo, Nona. Aku menyesal kita harus berhadapan seperti ini." Ucapnya merasa bersalah.
"Yang lalu biarlah berlalu, Solitaire." Balas Nadel dingin.
Iren melihat kedua rekannya dalam masalah. Tak berpikir panjang, ia segera terbang menukik menuju ke arah Nadel. Jazdia tak membiarkannya lolos dari tatapan matanya begitu sajaia menarik napas panjang, mengangkat busurnya melepaskan anak panahnya secepat kilat. Iren terkejut bukan main, ia memegangi sayap kirinya terjatuh dengan kasar di tanah berpasir. Jazdia tak kalah herannya, biarpun ia tidak meremehkan kemampuan panahnya sendiri, elf berambut pirang itu yakin tembakannya hanya meleset satu senti dari sayap Irentak mengenaninya.
Charta mencuri pandang Iren yang telah tumbang. Membantunya bukanlah prioritas, ia fokus kembali ke Balthor yang melemaskan tinjunya. "Maafkan aku, gadis cantik. Aku tak biasa memukul makhluk indah sepertimu, tapi…"
Balthor melancarkan tinju dan tendangannya. Sekilas laki-laki itu seperti melawan udara karena Charta terus menerus berhasil menghindar. Charta mengerti ini percuma, tapi dia menunggu sebuah momentum. Balthor mengarahkan tinjunya ke kepala Charta yang dimana gadis bertopeng itu bereaksi menunduk"ini saatnya," pikirnya. Charta melayangkan uppercut, Balthor menebaknya dengan mudah, ia melompat mundur lalu menerjang Charta dengan tinju di perut. Charta terbatuk-batuk seraya ingin muntah, ia ambruk tak berdaya layaknya Iren yang masih belum bisa bangkit.
"Apa-apaan?" Balthor berbicara kepada dirinya sendiri. "Aku memang mengarahkan tinjuku ke perutnya, tapi aku tak merasakan sama sekali telah mengenainya."
"Praise the Sun! Sepertinya rekanmu kali ini mudah sekali dikalahkan, Nona." Solitaire menengahi keadaan. "Tak seperti ronde pertama."
Nadel menatap penuh amarah pada Solitaire. Ia mengangkat kedua tangannya, duduk bersimpuh tak berkutik sedikitpun. Nadel tak mampu berbuat apa-apa, selain menyerah untuk menyelamatkan dirinya.
Jazdia berlari menyusul. "Apa yang akan kita perbuat pada mereka?"
"Kita tak bisa membunuh mereka." Keluh Balthor yang masih saja melihat tinjunya.
"Kita jadikan mereka tawanan." Tutur Solar menancapkan pedangnya ke gurun. "Bawa mereka ke kapal induk."


"Sekali lagi tepuk tangan yang meriah untuk Nadaa Kirana Swastikachandra!"
"Wow! Sungguh penampilan yang memukau dari mahasiswi Sastra Inggris 2025 ini, benar kan, David?"
"Benar! Benar! Ayo sini dulu to, cah ayu, kenalan dulu kita. Lumayan, saya jadi bisa nambah kontak cewe-cewe cantik."
"Hush, kaya Nadaa mau kenalan sama kamu aja. Nah, sini dulu sis."
Nadel hanya mampu tersenyum pasrah saja. Di hadapan dua presenter yang selalu overreacting terhadap segala sesuatunya, ia bingung untuk menolaknya agar segera turun dari panggung. Tetapi, untuk memberi kesan ramah ditambah semua mata penonton tertuju padanya, paling tidak ia harus mengucapkan sesuatu.
"Kok, suaramu bisa semerdu itu si, sis? Lagakmu juga sangat mempesona, saya yang cewe aja juga ga bisa mengalihkan pandangan darimu. Rahasianya apa?"
Nadel mendekatkan microphone ke bibirnya. "Saya hanya banyak-banyak berlatih, itu saja."
"Waduh, ceritanya Nadaa merendah ni, Res."
Pertanyaan demi pertanyaan dijawabnya dengan setengah hati. Jujur saja, Nadel sebenarnya ingin menendang burung laki-laki yang bernama David ini, tingkahnya sangat menyebalkan. Ia juga ingin menjambak rambut panjang perempuan yang dipanggil Res ini, lakunya sangat mengganggu. Nadel ingin saja, tapi image tetap harus dijaga. Bisakah ini berakhir dengan segera?
"Apa kamu masih jomblo, sis?"
Nadel memaksakan suara tawanya keluar. "Ya… begitulah."
Tiba-tiba suasana yang kondusif menjadi ricuh oleh bisik-bisikkan para lelaki. Banyak dari mereka yang sengaja menyenggol salah seorang dari kelompok seraya menggodanya untuk segera melakukan sesuatu pada info itu. Beberapa lebih ekstrem, mereka berlari menuju depan panggung membawa seikat bunga-bunga indah yang sudah disiapkan, mengelu-elukan nama Nadaa bagai anak burung yang menginginkan cacing dari induknya.
"Begini, begini aja ya situasinya!" teriak David mencoba menenangkan. "Nadaa akan memilih salah satu dari kalian, bagi siapa aja yang beruntung bisa naik ke sini!"
"Bajingan." Nadel menyumpah di dalam hati. Kalau begini bagaimana dia bisa keluar dari sini? Lagipula siapa juga yang mau dengan para lelaki itu? Mereka semua menjijikan, seperti gorila liar yang sedang birahi. Maaf saja, Nadel bukan gorila, ia dewi yang harus diperlakukan seperti dewi, itupun harus dari abdi-abdi yang terpilih.
Situasi semakin tak terkendali, namun dari situ ia melihat gerak-gerik seorang laki-laki yang agak mencurigakan. Ia berjalan cepat dari belakang bangku penonton, mengambil topi dan jam tangan yang tertinggal di salah satu meja yang telah kosong. Sosok itu memakai topi segera untuk menutupi mata dan jam tangan seolah miliknya sendiri. Pikir Nadel, ia menjadi saksi seseorang yang memanfaatkan suasana ini untuk mencuri, tapi orang itu lantas berjalan ke depan panggung.
"David! David!" panggil sosok itu. David menoleh, ia melihat si misterius berjalan melewatinya sembari mengetuk-ngetuk jam tangan yang dicurinya. Secepat itu ia kembali ke belakang dah hilang di kerumunan.
"Oh maaf kawan-kawan!" ujar David memecah kebisingan. "Kita harus segera beralih ke acara selanjutnya untuk mengejar waktu yang semakin menipis! Di luar saja ya nanti kenalan sama Nadaa."
Nadel tak percaya, si misterius itu baru saja menyelamatkannya. Gorila-gorila birahi yang berkerumun gila seketika mengungkapkan kekecewaan mereka dan membubarkan diri ke meja masing-masing. Siapa sosok itu? Mengapa ia tahu Nadel membenci situasi seperti tadi dan perlu pertolongan? Dari cara si misterius berjalan sepertinya Nadel kenal.
"Hehe, maaf ya kawan-kawan!" Res menambahkan. "Nadaa, sekali lagi saja, sebelum kamu turun, apa sih harapanmu pada universitas kita yang sedang berulang tahun ini?"
"Saya harap kampus ini tetap mempertahankan kualitasnya dan selalu menjadi nomor satu di Indonesia." Nadel sedikit membungkukkan badannya.
"Tepuk tangan yang meriah untuk Nadaa Kirana Swastikachandra!"
Nadel melambaikan tangannya, segera ia turun dari panggung, menuju meja yang telah disediakan khusus untuk dirinya dan dua temannya tak jauh dari depan panggung. Ia sampai, tapi hawa keberadaan kedua cecunguk itu telah menghilang, terganti oleh sosok berambut pirang undercut pendek berpakaian jas hitam tampak keren dari belakang.
"Elang?" terka Nadel.
Ia tersenyum "Hai, Del."


Elang berdiri menarik sofa 1 seater yang berada di hadapannya mempersilahkan Nadel duduk. Ia merogoh sesuatu dari saku di balik jas hitamnyaseperti seorang pesulap, seikat putih bunga edelweiss tergenggam di tangannya lantas menaruhnya di vas bunga yang kosong. Tak cukup sampai di situ, ia menyiapkan satu botol anggur merah serta dua glass wine. Ia membuka tutup botolnya, menuangkannya dengan sigap di kedua gelas untuk dirinya dan Nadel yang sedari tadi menopang dagunya menatapnya dengan lembut.
"Kamu sudah mempersiapkan ini."
"Seperti yang kamu sukai." Elang kembali duduk, berpura-pura merapikan pakaiannya. "Jadi, untuk jayanya kampus ini?" ia mengangkat gelasnya.
Nadel melipat kedua tangannya, "aku lebih suka jika itu untukku."
"Tentu saja," balasnya dengan nada sarkastik. "Untuk terus melejitnya karier Nadaa Kirana."
Nadel mengangkat gelasnya, "tak begitu buruk." Mereka bersulang mendentingkan gelas kaca. Menghabiskan minuman mereka dalam satu tegukan.
  "Kau sadar 'kan, Elang?" tambah gadis itu. "Kalau aksimu ini membahayakan dirimu sendiri?"
Elang mengerti apa yang Nadel maksud, ia menengok kiri dan kanan, melihat tatapan keji penuh dendam dari para lelaki single pada dirinya. "Aku akan mengambil resiko apapun jika itu demi gadis secantik dirimu.
"Lucu," Nadel meringis. "Aku telah mendengar pujian klise itu sebanyak jutaan kali, tapi masih saja senang jika itu datang darimu."
"Mungkin karena aku mengucapkannya dengan ketulusan hati." Goda Elang. "Gaunmu pun terlihat sangat cocok padamu. Kamu tahu, akan terlihat lebih mempesona jika itu pink."
"Kamu tidak suka warna merah?" Nadel melihat gaunnya sendiri. Busana off the shoulder dengan bagian dada hingga punggung dihiasi rangkaian bunga-bunga, pinggangnya terikat sebuah pita hitam besar yang  nampak lucu, serta desain yang sengaja memperlihatkan seluruh bagian paha sampai kaki kanan mulusnya yang seksi.
  "Aku hanya mengharapkan kamu supaya lebih menyentuh sisi feminim." Ledek Elang mengedipkan mata.
"Pffft, lihat siapa yang bicara."
Mereka menikmati malam mereka layaknya dunia milik sendiri. Entah itu hanya sekedar mengobrol, menggoda satu sama lain, atau bermain game bodoh yang sengaja Elang ciptakan. Mereka punya nol besar perhatian terhadap acara dies natalis yang masih berlanjut. Bahkan pentas drama, monolog, pembacaan puisi yang biasanya Nadel cintai, ia biarkan lewat begitu saja. Malahan mereka berdua yang menjadi pusat perhatian, dengan tawa-tawa dan tingkah mereka yang lebih mencolok daripada pertunjukkan itu sendiri. Jika sudah seperti itu mereka hanya bisa nyengir dan menundukkan kepala.
Menuju penghujung acara, botol anggur merah mereka sudah habis. Nadel menghabiskan gelas terakhirnya, sedangkan Elang sudah berdiri dari sofa empuknyamemutar-mutar kunci mobil di jari kelingkingnya.
"Ayo, kita pergi." Tutur Elang.
"Mau ke mana?"
"Ikut saja, ada tempat yang ingin kutunjukkan."
Elang membantu Nadel berdiri, lantas mereka bergenggaman tangan keluar dari gedung auditorium menuju dimana Elang memakirkan mobilnya. Setelah berkeliling akhirnya mereka menemukannya, Jeep Wrangler Pickup berwarna kuning bumblebeesangat menonjol sebenarnya diantara mobil-mobil lain. Sesudah mengencangkan sabuk pengaman masing-masing, Elang menancap pedal gas.
Jalanan kota sepi dari kendaraan, tentu saja, tengah malam sudah terjadi sepuluh menit yang lalu. Elang membawa mobilnya dengan kecepatan yang stabil, itu mungkin membuat Nadel bosan, ia tertidur dengan manis di bangku penumpang. Elang menuju sudut lain dari kota, menaiki bukit berkelak-kelok yang mulai jarang terlihat adanya rumah penduduk. Ia berbelok di suatu jalan yang masih berupa tanah, untuk sejenak ini berasa seperti petualangan off road, sayangnya itu harus terhenti begitu mobilnya mencapai jalan buntu.
Elang keluar dari mobilnya. Ia menyalakan senter pada smartphone lalu berlekas membuka pintu mobil untuk Nadel yang masih tertidur. "Del, bangun, sudah sampai."
Nadel membuka matanya, menutup mulutnya yang sedang menguap. "Sudah berapa lama aku tertidur?"
"Kira-kira empat puluh menit."
Elang membantunya keluar dari mobil, tetap menggenggam tangannya selagi ia memimpin menunujukkan jalan dengan senter smartphone di tangan lain. Mereka masih perlu menaiki tanjakan, yang dimana Nadel merasa kesusahan karena sepatu hak tingginya yang ia pakai.
"Kenapa kamu tidak memberiku sandal?"
"Tenang saja, kita sudah tiba, kok." Elang mematikan senternya. "Tunggu di sini."
Elang cergas menuju ke belakang sesuatu yang berwarna kehitam-hitaman. Nadel tak  tahu dengan pasti itu apa, tapi dari pancaran sinar purnama, ia menduga tepat di depannya adalah sebuah gubuk dan dua kursi santai yang mengarah ke pemandangan kota malam.
Tepat, lampu-lampu taman mini yang tadinya Nadel yakin tidak ada, seketika menyala menerangi tanjakan yang ternyata tangga batu beserta rumah kecil dan dua kursi dengan meja kecil memisahkan diantaranya. Elang pun muncul dari kegelapan dengan senyum lebar di wajahnya.
"Elang, ini…"
"Kamu suka? Oh iya." Elang memberikan jasnya untuk Nadel." Kamu pasti kedinginan, duduk dulu, aku akan membuatkan kopi."
Elang masuk ke rumah kecilnya, menyalakan lampu dalam, lalu mulai sibuk dengan apa yang sudah ia janjikan. Nadel menurut saja, ia duduk di kursi itu, merekatkan jas milik Elang di tubuhnya. Ia memandang ke langit malam, kerlap-kerlip bintang jelita terasa sangat dekat dalam gapainnya. Lama-lama mengaguminya Nadel merasa seolah kartika-kartika itu turun ke bumi dan melayang di sekitarnya. Panorama kota dari sini juga tak kalah mempesonanya, paduan cahaya-cahaya apa saja yang berada di dalamanya, membuatnya seperti lautan kunang-kunang yang sedang beristirahat.
Kekhusyukkan Nadel dipecahkan oleh aroma kopi yang harum. Elang menghampiri dengan nampan berisi dua cangkir kopi, setoples biskuit, dan dua bungkus rokok favorit gadis itu. Nadel tanpa disuruh sudah mengambil satu batang rokok dan mengemutnya di bibir.
"Kamu benar-benar tahu cara membuatku berbunga-bunga."
Elang mesem saja, "sebentar." Ia mengambil zippo dari dalam sakunya, memantiknya, lantas mendekatkan apinya kepada Nadel.
Nadel membiarkan rokoknya terbakar api sampai menyala, gayanya seperti orang tuaia menghisap dalam-dalam gulungan tembakau itu, lalu menghembuskan asapnya seraya merasa nikmat yang menjalar di sekujur tubuh. "Bagaimana kamu bisa mendapatkan tempat seperti ini?"
"Kamu tahu," Elang duduk di kursi lainnya, mencoba mendinginkan kopi panas dengan meniup-niupnya. "Aku suntuk lathan basket, berkelana, menemukan tempat ini, tempat yang ideal untuk membuang waktu, dan mendapatkan ilham 'hei, kenapa tidak aku bangun rumah sekalian disini?'"
"Dasar anak kebanggaan papa, mamakemauannya selalu dituruti."
"Lihat siapa yang bicara."
Mereka tertawa untuk yang terakhir kalinya, sebelum keheningan menguasai suasana. Nadel tak pusing memikirkannyadalam sebuah hubungan memang ada saatnya kita berbicara, ada waktunya pula kita perlu diam dan hanya menikmati kesunyian ini bersama. Dirimu akan mengerti bahwa kamu telah menemukan seseorang yang sangat spesial jika kamu merasa nyaman berbagi ketenangan bersamanya. Dirimu tidak akan tahu apa itu awkward silence, serta tak menjadi seorang tryhard yang akan melakukan apapun demi memecah kesunyian yang janggal. Itu yang Nadel temukan dari Elang dibanding laki-laki lainnya. Mereka hanya segerombolan…
"… tryhard fuktards who always made me cringe."
"Del? Kamu bilang sesuatu?"
"Hmm? Tidak, tidak, mungkin hanya perasaanmu saja." Nadel merebahkan tubuhnya, kursi sun lounge yang Elang miliki ini memang cocok untuk bersantai.
"Del." Elang memanggil lagi, Nadel memiringkan kepalanya. Elang bangkit tanpa berkata-kata, ia menarik mundur end table yang menghalangi, mendorong kursinya agar tepat berjajar dengan Nadel. "Bagaimana kalau begini?" ia rebahan kembali, lengan mereka bersentuhan.
"Boleh." Nadel membuang rokoknya, ia bersandar pada dada Elang sembari lengannya melingkari perutnya. Malam yang dingin berangsur-angsur menghangat, Nadel pun dapat mencium aroma tubuh yang selama ini selalu membuatnya mabuk.
Mereka tak mengatakan sepatah kata apapun setelah itu. Elang terus mengelus rambut panjang Nadel layaknya ia kucing yang perlu dimanja. Nadel semakin merekatkan tubuhnya pada Elang, sengaja bagian dadanya ia dekatkan agar Elang dapat merasakannya. Nadel berpura-pura menutup matanya, ia dapat merasakan keringat Elang yang diam-diam mengucur deras tak seperti biasanya.
"Ada apa, Elang?"
"Hmm? Ada apa?"
Nadel bersuara manja. "Aku bisa merasakan jantungmu berdetak kencang, kamu juga basah oleh keringat sendiri."
 "Y-ya itu karena kamu." Elang tertawa canggung. "Kamu sangat dekat."
 "Aku mengerti, ada sesuatu yang ingin kamu katakan." Nadel terus melancarkan serangan fisiknya. "Well? Spit it out."
"Ah, kamu salah du"
"Aku tak suka kamu berbohong."
"Ya… itu… k-kamu tahu kalau… emm…"
"Kamu tahu aku membenci dirimu yang berusaha berbohong dan tiba-tiba menjadi penakut."
Kata-kata itu tepat menusuk jiwa Elang. Ia mengerti Nadel, jika dirinya sudah seperti itu, jalan kembali sudah tertutup rapat. Pilihannya ada dua, sekarang atau tidak selamanya. Haya saja, Elang merasa ganjil jika mengatakannya, tetapi jika ia tak mengungkapkannya Elang mungkin akan kehilangan Nadel karena sifat pengecutnya. Tunggu, jika ia mengatakannya itupun ada kemungkinan besar Nadel akan meninggalkannya juga. Sungguh! Ini masihlah aneh walau dunia sudah menginjak tahun 2025! Nadel memang menunjukksn afeksi yang sama dengan apa yang ia berikan padanya, namun bukan berarti Nadel juga… ah! Persetan!
"Aku ingin kejelasan hubungan kita." Akhirnya Elang bersuara.
"Kejelasan? Hubungan?"
Elang mengambil napas panjang. "Nadaa Kirana, aku mencintaimu. Aku ingin kita melihat masing-masing sebagai pasangan kekasih." Lantas mengalihkan pandangannya dari Nadel, tak kuasa ia melihat tatapan matanya. "A-aku tahu ini abnormal, t-tapi kamu juga tampak membalas perasaanku, kamu juga sangat perhatian padaku, kamu juga selalu ada untukku saat aku membutuhkanmu. J-jadi jangan salahkan aku dari kita yang memulai sebagai teman normal akan berakhir seperti ini."
Elang tak percaya dirinya telah mengatakannyasetidaknya begitu yang diharapkan keluar dari mulutnya. Ia masih belum berani melihat Nadel, reaksi gila apa yang akan ia beri? Tapi gadis itu malah cekikikan sendiri, akhirnya tawanya membudlak sambil terus memegangi kemeja putih Elang yang basah oleh air mata. Elang sedikit demi sedikit merasa kecewa.
"Kenapa kamu tertawa?"
"Dugaanku selama ini benar, ternyata kamu memang sangat bodoh. Di dalam kepalamu mungkin bukan otak, tetapi bola basket yang terus memantul kesana-kemari."
Elang memaksakan dirinya ikut tertawa, meski hatinya saat ini lumayan kacau dengan apa yang dikatan Nadel. Tak apalah, yang terpenting ia sudah mengatakannya, lebih baik daripada
"Beritahu aku," Nadel berdeham. "Darimana kamu mendapatkan panggilan Elang?"
"Tapi, Del, kamu sudah ta"
"Bunga Aqila Clarantine," Nadel mencubit Elang di kedua pipinya, menariknya dengan lembut agar kedua mata mereka salng bertemu." Beritahu aku lagi darimana kamu mendapatkan panggilan Elang."
Elang menghela napasnya, tanda mengalah. "Disaat pertandingan final basket empat bulan lalu, saat kampus kita melawan kampus Caraka Dinata dari Jakarta."
"Ya, terus?"
"Ronde terakhir, pertandingan sepuluh detik lagi akan selesai tapi kampus kita tertinggal satu poin. Aku memegang bola, berlari dari bawah ring lapangankumenuju daerah lawan." Elang melepaskan cubitan Nadel. "Entah apa yang merasuki diriku, tapi begitu aku tiba di garis three point musuh, aku melompatterbanghingga mencapai ring dan slam dunk! Mereka memanggilku Elang sejak itu."
"Ya! Kamu benar-benar keren waktu itu!"
Elang terkejut, Nadel seketika berubah menjadi sangat antusias. "Bukannya kamu ada tawaran pekerjaan saat aku bertanding?"
"Aku menyempatkan waktu untuk menonton."
"Hah? Kenapa tidak bilang sampai sekarang? Mengapa kamu tidak menghampiriku saat pertandingan selesesai?"
"Oh, percayalah, aku sangat ingin memelukmu waktu itu." Raut wajah Nadel berbubah lagi menjadi sedih." Tapi maaf, aku tidak bisa menunda lagi. Pekerjaan itu juga penting untukku."
Elang tak tega melihat Nadel yang merengut. Di seumur waktunya bersama gadis itu, baru kali ini Elang melihat Nadel begitu menyesal. Elang memeluknya. "Hei, sudahlah, tak apa. fakta kamu menonton pertandingan itu, sudah membuatku senang."
 Nadel menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tersenyum dibalik kedua lengan Elang yang menguasai tubuuhnya. "Hei, masih ingin tahu apa jawabanku?"
Elang terhenyak, kedua tangannya gemetaran. "Tolong jangan kasar padaku. Kasihani hati kecilku."
Nadel tertawa. "Kamu memang bodoh, menurutmu segala tindakanku selama ini tidak cukup untuk meyakinkanmu?"
Elang bergeleng. "Aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu."
Nadel melerai dekapan Elang, ia menjangkau telinganya menyadingkannya pada bibirnya. "Yes, honey. You could be my pearl king, and I could be your diamond queen."
  

Nadel diam menunggu. Dikunci di sebuah ruangan sempit dengan tangan terikat memangnya apa lagi yang bisa dia lakukan? Dirinya hanya bisa pasrah mengetahui fakta kalau ternyata timnya dapat dikalahkan dengan mudah dan kini mereka dipenjara di tiga tempat berbeda. Namun sesungguhnya, seperti itulah yang Nadel inginkan. Kini ia hanya perlu bersabar saja. 
Pintu geser otomatis itu terbuka, sesosok pria berambut biru terjatuh ke dalam ruangan tak sadarkan diri. Dua orang lain yang Nadel yakini sebagai pelakunya menyusul masuk menampakkan diri mereka kepada cahaya putih yang menyilaukan. Nadel menatap mereka sedikit menggerutu tampak tak puas dengan apa yang telah mereka kerjakan.
"Kalian sedikit lama."
"Hei, kami berusaha sebaik mungkin melakukan apa yang kau suruh, oke? Charta, bebaskan dia."
Charta tak membantah. Ia memanggil sebuah boneka tiruan dirinya, merubahnya menjadi bayanganPhantom. Phantom itu menyentuh Nadel, membuatnya kehilangan bayangan meski di ruang bercahaya seterang ini sekalipun. Ia melayang beberapa kaki dari lantai kapal induk, ikatan tali yang membungkam tangannya terlepas begitu saja. Lalu semuanya kembali normal, Nadel mendapatkan bayangannya kembali dan kemampuannya berjalan di atas benda padat.
Nadel mengusap-usap pergelangan tangannya. "Bagaimana situasinya? Morgen, kau sudah mengelilingi kapal ini dengan kemampuan bayanganmu, bukan?"
Charta mengangguk. "Kapal angkasa ini sepi seperti dugaanmu, sebagian besar dari musuh sudah keluar dari sini dan hanya berfokus untuk menembus pertahanan kubu kita."
"Apalagi mengetahui tiga dari kubu gurun sudah tertangkap." Tambah Iren. "Apakah aktingku dan Charta sudah bagus waktu di bawah sana?"
"Harus aku akui, kalian memiliki potensi."
"Kendati begitu." Charta tak memakan pujian Nadel. "Kubu angkasa masih meninggalkan beberapa kroco untuk melindungi tempat ini. Seperti laki-laki yang Iren buat pingsan itu."
"Intinya," Iren menyeringai. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan."
Tahu-tahu, seorang perempuan memakai helm berbentuk gajah masuk ke dalam ruangan. Ia menangkap basah tiga gadis tawanan itu yang sudah bebas dari kurungannya. Dirinya tersenyum canggung, lalu lari ke arah ia berasal.
Nadel menatap ke gadis iblis itu, "Iren." Iren dengan lidah bernafsu memunculkan tanduk di kepalanya. Ia melesat menyusul si saksi mata entah apa yang dirinya akan perbuat padanya.
"Kau yakin membiarkan iblis sinting itu sendiri?"
"Ia akan menjadi distraksi."
Tak ada lagi pertanyaan di benak Charta. Ia mengulang proses yang sama dengan Phantom-nya. Nadel kehilangan bayangannya begitu juga Charta sendiri, memungkinkan mereka menembus dinding padat layaknya hantu gentayangan. Charta menuntun Nadel yang masih belum terbiasa kehilangan bayangan, bersama-sama mereka menuju flight deck dimana Rasyid sibuk sendiri menonton jalannya pertempuran dari atas kapal.
"Hei! Kenapa kalian berisik sekali di belakang sana? Buat diri kalian berguna dan jaga tawanan-tawanan itu dalam DIAM!" teriak robot itu acuh tak acuh.
"Sepertinya kubu ini akan menang."
"Huh? Oh tentu kita akan menang." Ucap Rasyid tak memperhatikan lawan bicaranya. "kubu gurun hanya mengandalkan strategi bertahan, sungguh membosankan."
"Ya benar. Apakah itu Abu di bawah sana? Ia sebentar lagi sampai di panggung Soraya."
"Ya! Itu si teroris! Aku tak menyangka dia yang akan memenangkan kontes ini untuk kita."
"Sebelum itu terjadi, maukah kau mendaratkan pesawat ini?"
Rasyid tersentak mendengarnya. "Apa yang kau…" Ia menengok ke belakang, melihat seorang gadis berambut hitam panjang memakai kemeja berwarna sama menatapnya tajam, tangan kanannya telah menyentuh punggung metaliknya yang tertutup jubah. "… maksudkan."
 Nadel mengulangi perintahnya. "Sudah jelas bukan? Maukah kau mendaratkan pesawat ini?"

Komentar

  1. Wah masa lalu lumayan juga porsinya. Saya gak bisa berkata banyak soal penempatan masa lalu. Selama gak menganggu, walau kurang menunjukkan kegunaannya buat karakterisasi OC sekarang seperti dlam entri ini, terserah saja. Yang paling dilihat ya ronde ketiganya sendiri dan, rasanya terlalu lancar. Bukan lancar jalannya, tapi gimana dia bisa menghadapi peserta lain. Tahu2 mereka udah nurut semua aja. Gak ada konflik yang berarti. Skor 7. - Ifan

    BalasHapus
  2. Wah masa lalu lumayan juga porsinya. Saya gak bisa berkata banyak soal penempatan masa lalu. Selama gak menganggu, walau kurang menunjukkan kegunaannya buat karakterisasi OC sekarang seperti dlam entri ini, terserah saja. Yang paling dilihat ya ronde ketiganya sendiri dan, rasanya terlalu lancar. Bukan lancar jalannya, tapi gimana dia bisa menghadapi peserta lain. Tahu2 mereka udah nurut semua aja. Gak ada konflik yang berarti. Skor 7. - Ifan

    BalasHapus

Posting Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya