[Ronde 2] TOM - Pertarungan Dua Benda Mati

By: Miftah
Semua berakhir buruk. Di akhir balapan, Tom pingsan. Secara harfiah, sebenarnya ia tak punya kesadaran. Fenomena itu murni didasarkan pada pemadaman sistem otomatis untuk menghemat daya dan menghindari skenario terburuk—pemakaian semua kekuatan dalam satu hari membuat mekanismenya bekerja ekstra.

Yang lain juga tak terlalu beruntung. Si dino bersaudara—setelah ditangkap paksa—langsung dibawa ke lab percobaan NGSR. Melalui serangkain tes fisik yang sebagiannya tak manusiawi dan menyiksa.

Tom memilih acuh, sejak alat evolusi instan telah berpindah tangan dan mereka mencapai garis finish bersama, kesepakatan usai.

Lain halnya dengan Dian. Si Ratu Baper kolaps selama hampir seminggu. Dian akan bangun lusa nanti—dalam prediksi terbaik—untungnya, ronde kedua si gadis baru akan digelar kisaran tiga-empat hari—karena destinasi yang sama, ronde dua diadakan bergilir. Masih ada harapan.

Namun, Tom masih harus menuntut bayaran. Maka, ia keluar dari bilik inap sementara peserta terluka—di rumah sakit terkenal milik keluarga Hadayatha—dalam wujud bola berpendar. Beberapa staff langsung berteriak, sepertinya meskipun punya pelayan robot super-canggih, Gwenere belum terbiasa dengan objek mati yang terbang.

Omong-omong soal hadiah, Tom hanya mendapat es krim. Mereka yang terakhir tak terlalu diperlakukan spesial. Jubah Dian pun nampak kumuh dan hanya bisa memperpanjang durasi [Ghost Mode] selama dua menit.

Tak penting, tapi cukup menghibur. Lagipula, Tom sudah punya alat evolusi instan. Peranti kerdil berupa pistol biru berdesain norak dengan serangkaian perintah yang ditulis dalam aksara rumit—sialnya, Tom lupa meminta buku panduan pada si duo dino malang.

Mungkin ia harus mengambil ingatan kolega Rasyid. Bagaimanapun, si humanoid kepala kaleng tentu punya bawahan 'yang masih manusia'—Tom tak dapat menerapkan [Leabed Liskor] terhadap robot dan makhluk berkercadasan artifisial.

Alat evolusi instan kemungkinan proyek besar—pada masanya. Selain disokong oleh teknologi mutakhir, robot-robot pekerja kondusif, satu-dua manusia akan menjadi rekan yang baik dalam;berkonsultasi dan observasi. Bagaimanapun, para ilmuwan adalah tipikal pribadi perfeksionis, saran dan kritik akan sangat membantu, meski kemudian berakhir buruk.

Apapun itu, rencana ini akan berjalan usai ronde dua. Soal ronde dua, kalau Tom tak salah ingat ia akan menghadapi sebuah ponsel. Smartphone dengan kesadaran gaib. Meski sama-sama benda mati, Tom sangat yakin bahwa mereka memiliki perbedaan signifikan. Aku ini Si Anomali, benda konyol seperti ponsel.

Setelah membatin bangga, Tom merasuk ke kamar Dian, tanpa mengetuk.

Tak disangka, Dian sudah berdiri di samping pintu, menghunuskan sebuah belati.

*#*

"Pilot sialan. Lomba sialan. Panitia sialan."

iSoul mendadak jadi ingin keluar dari Battle of Realms. Hari ini perguliran ronde kedua, perjalanan awalnya nyaman naik helikopter, pilotnya juga ramah. Pelayanan kelas atas. Tapi, itu semua berubah ketika iSoul berujar sarkastis.

Ia diturunkan sembarangan di Swoappitbad. Himpitan blok sempit yang didominasi selokan penuh sampah. Terkucil di sudut barat Almneese. Bak aib bagi hiruk-pikuk euforia malam di sentral sana.

Mungkin ini karma, tapi, iSoul punya alasan bagus untuk membela diri.

"Pelanggan itu adalah raja. Salahkan diri mereka sendiri yang terlalu baperan. Diejek ibunya pelacur aja marah?"

"Wuihh, buju buset. Hapenya bisa ngemeng."

iSoul terperanjat ketika suara asing menginterupsi. Mata artifisialnya menoleh ke kanan, menemukan seseorang yang berjalan, melewati gulita, dan terungkap rupanya kala disinari lampu jalanan setengah korslet.

Itu adalah seorang pemuda. Penampilannya awut-awutan—jaket berwarna kusam, celana jeans robek-robek, lengkap dengan topi hijau terbalik. iSoul menerka si pemuda adalah berandalan jalanan. Atau mungkin yang lebih buruk, pencopet ulung misalnya.

"Dengar, aku tak punya waktu untuk meladeni sampah masyarakat sepertimu. Jadi lebih baik kau sekarang tunjukkan aku jalan ke—"

iSoul belum habis bicaranya, dirinya sudah diangkat pergi.

"Hari bisa untung banyak, euy."

iSoul hanya bisa terpaku, kemudian lanjut menyumpah. Si berandalan tak menanggapi. Bersama, sebagai partner jalan temporer, mereka melenggang ke timur. Menuju Menara Bebal. Satu destinasi yang sama dengan tujuan berbeda.

*#*

Tom melaju kebingungan di kawasan timur kota Almneese dalam wujud pria buncit. Namanya kini Bronn Mackeser. Duda serabutan yang punya tiga anak untuk diberi makan. Istrinya meninggal sewaktu melahirkan putra terakhir. Singkatnya, Single-Parent malang.

Sebenarnya, ia tak berniat mendemonstrasikan kemampuan lebih awal—kejadian di ronde pertama telah jadi pelajaran berharga bagi Tom untuk mulai perhatikan batas diri—, tapi, Tom juga mendengar rumor kalau Almneese benci objek terbang. Bila terlihat satu, akan dibombardir tanpa ampun.

Mengerikan juga untuk sebuah teritorial sibuk.

Tom jadi ingat negoisasinya dengan Dian. Dian menolak kala tahu bayaran yang ia tuntut adalah 'ingatan'. Lumrah memang. Tapi, Tom tentu bersikeras. Lagipula, Dian telah berjanji. Mereka terlibat debat sengit. Saling mengancam. Tom dengan kemampuan merampas ingatan, dan Dian hanya berbekal belati kecil. Masalahnya, bila salah satu menang, yang lain tamat.

"Oke, aku nyerah."

"Jadi akhirnya kau menyerahkannya sukarela, Nona Dian?"

"Ya enggaklah. Maksudnya, aku mau bernegoisasi lagi."

"Terakhir kali kita bernegoisasi, kau meninggalkanku dengan seorang dinosaurus."

"Ah, soal itu aku minta maaf. Saat itu bukannya aku takut ya, tapi ya gitu…terus gini…terus gitu, ya pokoknya aku cuma terkejut doang. Aku gak takut dinosarusus."

'Aku ambil ingatanmu sekarang."

"Oke, oke. Ketika kamu pingsan, Tuan Rasyid ngunjungin aku. Berkat jasa kamu yang sudah nemuin Marcelo dan si adik, dia kasih hadiah eksklusif."

"Aku tak pernah dengar soal itu."

"Memang. Intinya, aku sembunyikan barang itu ke tempat yang gak pernah kamu jangkau."

"Jadi, ini namanya pencurian. Aku akan dapatkan barang itu ketika ingatanmu kurampas."

"Oke beserta dua hadiah lagi. Pengabdianku dan jubahku."

Tom menyebrangi jalanan bising sembari menyeringai. Dalam sepuluh hari, ia sudah dapat tiga aset canggih dari dunian antah-berantah. Tom kira Jubah Dian hanya berlaku untuk sang pemilik, tapi juga berpengaruh bagi makhluk awam. Merubah mereka menjadi bentuk Ghost selama semenit. Dan juga 'itu'.

Ini akan menjadi kemenangan mudah

*#*

"Jadi, lo mau ke bazaar ugha?"

Setelah sepuluh menit bersama, iSoul tahu nama si pemuda. Aria Wibowo. Mantan anak panti asuhan, lalu jadi tunawisma kala mencoba hidup mandiri—kalau iSoul tak salah dengar.

Mereka tengah berada di depan stand pasar loak. Yang mengantri cukup—sangat—banyak. Sementara, Menara Bebal menjualng seratus meter di hadapan, bentuknya limas kokoh. Kesempurnaan yang penuh estetika.

"Bazaar ini bagian dari festival untuk ngormatin seseorang," Bowo cerita sendiri tanpa ditanya.

iSoul merespon tak bersahabat, "Apa peduliku." Seakan hanya sebatas angin lalu, Bowo kemudian menengadah, tersenyum miring dengan sendu lalu mulai berucap.

"Healer. Seseorang yang disebut-sebut dewa."

Kenapa aksennya jadi normal kembali?

"Aku tak peduli—"

iSoul terkejut kala sadar akan sesuatu. Si ponsel abaikan Bowo yang terus mengoceh karena Psionic Manipulation mendeteksi semacam aura yang tak seperti manusia kebanyakan, ini unik. Setiap manusia hanya punya satu warna. Semua mewakili jati diri mereka. Merah untuk pemarah, biru untuk pendiam, dan seterusnya. Tapi, aura ini unik. Seperti ribuan pribadi yang bercampur. Acak dan rancu.

Dan lagi, iSoul merasa familiar. Ini aura milik salah seorang peserta. Si ponsel baru ingat kalau ronde dua hanya mempertemukan dua partisipan. Jadi, selain dirinya, pasti seratus meter di utara sana adalah 'dia'.

iSoul kemudian mengambil tindakan cepat. Menatap Bowo sebentar, tersenyum licik.

Aria Wibowo. Kini, kau jadi milikku.

*#*

Tak ubahnya di barat, di seberang Menara Bebal juga dipenuhi nuansa sukacita. Sebuah selebrasi penghormatan, pada seorang manusia yang juga disebut-sebut sebagai dewa. Healer.

Setelah tanya sana-sini, satu-dua ingatan terampas paksa, asa penasarannya terpuaskan. Ia jadi mengerti kenapa rumah sakit jadi sepi, juga rahasia kebugaran penduduk lansia Nomi.

Satu dekade lalu, ketika Almneese masih jadi kota kecil yang miskin, sebuah penyakit datang. Tak ada vaksin yang sanggup menyembuhkan. Datang seorang gadis dengan kemampuan magis.

Semua yang disentuh jadi sehat. Sebagai bayaran, si gadis harus kehilangan sepersen daya hidup setiap kali menggunakan kekuatan. Awalnya si gadis mematok bayaran super-mahal. Hanya anak kaya dari yang kaya saja yang bisa sembuh. Tapi, di akhir hayatnya ia menghilang. Beralih ke panti asuhan dan menawarkan pengobatan gratis bagi tiap bocah melarat.

Kisah itu diceritakan lewat mulut ke mulut. Si gadis memaksakan diri kemudian meninggal dengan tragis. Sebagai penghormatan, dibuat monumen simbolis. Dalam wujud gedung megah dengan lampu dwiwarna—pink dan emas. Menara Bebal

"Pink untuk feminim. Perempuan. Dan emas untuk kemuliaan. Singkatnya, beliau adalah perempuan yang mulia, tapi juga ada isu kalau Healer masih hidup dan tidur dilantai teratas." kata si penjaga stand, lantas tersenyum. Tom yang dalam wujud seorang pelacur bernama Francisca Catelyn hanya balas mengangguk.

Setelah memberi sejumlah uang, ia beranjak. Destinasinya gerbang utama. Sebentar lagi tengah malam, ronde dua bisa-bisa selesai tanpa pemenang. Atau justru lawannya sudah curi start duluan? Tom tak mau kemungkinan itu terjadi. Satu kekalahan bisa berakibat fatal, lagipula seperti katanya tadi. Ini kemenangan mudah.

Masih ada banyak informasi yang harus digali. Tentang Esmestas dengan segala keunikannya. Menyerah kepada ponsel bukan pilihan. Terlepas dari fakta Tom juga benda mati.

Karena itulah, Tom masuk ke dalam. Lantai satunya lebih mirip rumah ibadah dibanding bilik dasar konstruksi multifungsi. Para pengunjung relijius menyebar acak, berdoa khidmat di setiap ornamen agamis yang terpajang.

Tom tak mau ambil pusing. Apa menariknya melihat manusia menyembah manusia? Karena itu, si anomali langsung menuju lift. Kebetulan ia berpapasan dengan seorang pria. Penampilannya urakan. Mungkin berandalan yang ingin memalak. Kebetulan lantai dua pusat restoran mahal, yang anehnya tanpa pengawal.

Menara Bebal adalah bangunan untuk publik. Karena itu, bahkan preman pun diberi toleransi. Terlebih, ini hari bahagia. Keramahan yang salah.

Tapi, dugaan itu bisa saja salah. Karena itu, Tom memlih bertanya, "Ingin makan juga, Tuan Asing?"

Si pemuda menoleh, wajahnya lumayan, tapi matanya kosong. Bukannya balas menjawab, si pemuda merogoh saku, mengambil sesuatu dan menunjukkan ke Tom.

Tom mengernyit. Itu ponsel. Warnanya silver, memvisualisasikan wajah picik.

Ponsel silver. Wajah licik.

Perlahan enigma itu membentuk sebuah jawaban. Tapi terlambat. Si pemuda kembali merogoh saku dengan satu tangan tersisa, meraih pistol dan membidik kaki Tom.

Sebentuk gema mesiu pecah. Tom jatuh, semua orang panik. Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka.

iSoul terkikik melihat Tom yang meringis, "Aku duluan ya, bola busuk."

*#*

Keputusan iSoul untuk mendemonstrasikan Psionic Manipulation dan Psionic Construct lebih awal ternyata berbuah hasil. Cukup diluar dugaan, tapi iSoul merasa bersyukur. Tom mungkin belum kalah, tapi iSoul yakin itu dapat memperlambatnya.

Pintu lift kembali membuka. iSou sudah sampai lantai kedelapan. Layanan publik hanya terbuka sampai disini. Lantai delapan pusat mall, namun karena malam telah beranjak gelap, hampir seluruh gerai telah tutup—beberapa masih ada tapi sudah berbenah dan siap untuk pulang.

Menurut instruksi panitia, mulai dari sini, para partisipan bisa menggunakan lift milik staff. Entah sudah dilegalkan atau belum, tapi iSoul berharap bisa menaikinya tanpa hadangan berarti.

Lift itu letaknya di pojok barat lantai. Disana telah menunggu seseorang. Pria buncit berseragam biru—khas staff Menara Bebal. Sepertinya staff yang kerja lembur atau penjaga malam, dasar kerajinan.

Tapi, semakin mendekat, iSoul dapat merasakan auranya yang familiar. Suatu kepribadian acak. Ini Tom.

Baru ingin menghindar, Bowo sudah disikut duluan. Sasarannya leher. Si pemuda terjerembab. iSoul terus menginstruksikan untuk segera bangkit.

Pintu lift membuka. Tom berbalik, masuk, dan tersenyum sinis. "Terimakasih kembali."

Tapi sebelum lift menutup, Bowo sudah bangkit. Menerjang masuk dan segera mencekik leher Tom.

Tom memukul tengkuknya, tapi karena dibawah kendali iSoul, sarafnya tak merasakan impuls sakit. Bowo balas meninju wajah, kali ini telak, Tom akhirnya terjerembab.

Si anomali kini tahu akar permasalahn. Ia melirik ke iSoul yang tersenyum dibalik genggaman kokoh tangan kanan Bowo, lengannya berusaha meraih, tapi moncong pistol menyambut. Mengarah langsung ke wajah Tom.

Tanpa ampun, pelatuknya ditarik. Sebentuk gema peluru kembali berkumandang.

*#*

Tom akhirnya sampai ke lantai 88. Dengan iSoul yang—sialnya—mendampingi. Di lift, ia sudah berganti wujud hingga tiga kali. Sementara, [Ejecutar] sudah dipakai untuk kekuatan pamungkas. Teleportasi. Sebenarnya, Tom ingin langsung kesini, tapi berhubung kekuatannya ada batas—maksimal sepuluh meter perjalanan—jadilah ia hanya pindah ke lantai delapan. Berpapasan kembali dengan iSoul.

Pintu lift akhirnya terbuka, keduanya keluar. Menaiki tangga sembari kembali memukul. Ketika sampai puncak, iSoul ambil start duluan. Bowo hidupkan lampu emas di panel timur

Bowo dan iSoul kembali berlari ke panel utara, tapi, Tom sudah berdiri di belakang. Dalam wujud opsir tinggi polisi Almneese. Menodong pistol seperti profesional.

"Berhenti, atau kau akan benar-benar mati."

Bowo berbalik, mengeluarkan iSoul dari saku yang kemudian tersenyum penuh arti. "Maaf, aku tak punya telinga untuk mendengar gertak sambalmu."

Tom berusaha sabar. "Aku bisa saja menembakmu sekarang bila kau menghadangku untuk menang."

"Oh, takut, takut. Tapi, kemudian kau akan didiskualifikasi. Namun, meskipun begitu, kau tak akan bisa menembakku."

Tom mengernyit, kalimat barusan mungkin sebatas ocehan normal iSoul. Tapi, maksud akhirnya terdengar lebih dalam.

iSoul memperlebar senyum, penuh misteri. "Karena kita sama."

Kala itulah, Tom terperanjat. Sebentuk ingatan lampau merasuki kepalanya. Nampak asing tapi juga familiar. Tentang dirinya jauh sebelum berjumpa dengan Edward Macbook. Tentang iSoul. Tentang sebuah ladang luas bernama Eden. Juga tentang Sang Ayah.

Memori itu saling berputar rancu. Terdiri dari kepingan kejadian bersusun acak.

Semuanya kacau. Semuanya absurd. Apa-apaan ini.

Tom sekilas mengira ini gejala krisis identitas, tapi, sepertinya bukan. Ini ingatannya. Ingatan aslinya. Memori yang entah mengapa ingin sekali ia lupakan.  Karena tak tahan dengan sensasinya, ia menarik pelatuk. Menembak random, yang secara kebetulan mengarah ke lengan kanan Bowo yang tengah berlari ke panel barat—setelah berhasil di utara dan timur. Tempat iSoul bersemayam.

iSoul terlempar. Bowo tumbang. Tom juga jatuh terduduk.

"Sialan…" si ponsel menggelinding sembari terus menyumpah.

Apa-apaan tadi?

Tom segera sadar buang-buang waktu. Ia kemudian berdiri dan menghidupkan lampu pink di panel barat dan utara. Ini jelas kemenangan untuknya.

Si ponsel baru datang ketika lampu pink ketiga menyala. Lantas, iSoul menyerapah. Kali ini lebih kotor dan keras.

"iSoul, aku sangat penasaran kali ini. Siapa Sang Ayah dan apa hubungan kita sebelum ini? Mengapa kau bisa berbicara seperti tadi seakan kita kenal sejak lama?"

"Ah, siapa-siapa. Aku tak punya telinga untuk mendengar ocehanmu, bola busuk.

"Maaf." Suara asing menginterupsi argumentasi sepihak dua benda mati tadi. Asalnya dari dasar tangga. Nadanya feminim. Tom menerka itu perempuan, dan benar saja.

Si orang asing adalah gadis muda bersweater pink. Matanya sayu, rautnya pun kuyu. "Kalian memanggilku?"

iSoul dan Tom sama-sama bingung. Saat itu pula, Bowo bangun. Ia sayup-sayup membuka mata, dan begitu terkejut akan sosok gadis dihadapannya.

"Kakak?"

Si gadis terperanjat.  Lalu bergetar. Rautnya tak bisa ditafsirkan. Antara marah bercampur pilu.

Bowo berlari ingin memeluk. Saat itu pula, berondongan peluru terdengar dari belakang. Telak mengenai Bowo dan si gadis asing. Semua orang terkejut. Si gadis melotot sebentar, nampak disesaki oleh kemarahan memuncak sebelum kemudian ikut tumbang bersama sang 'adik'.

Tom berbalik badan. Menemukan Ibnu Rasyid yang turun dari pesawat colorless dengan santai. Si kepala kaleng melambaikan tangan.

"Kau senang dengan hadiah kecilku, Tom?"

Saat itupula, mata Tom memberat. Semakin berat hingga semua berubah gulita. Kegelapan hakiki. Ia mengakhiri ronde, dengan pingsan, lagi.

*#*

"Maafkan atas ketidaknyamanannya, Tuan Tom."

"Kuharap ini tak terulang, atau pelayanan kelas atas kalian hanya akan jadi bualan."

Kini, Tom tengah berada di fasilitas penelitian Ibnu Rasyid, setelah melalui analisa intensif hampir seharian. Googles yang diberikan Rasyid sebagai hadiah—meskipun punya kekuatan yang mampu membuat [Leabed Liskor] dapat digunakan tanpa harus menyentuh, hanya melihat—tak ubahnya alat pelacak lengkap dengan sistem pemadaman otomatis yang ampuh bagi tiap mekanisme canggih.

"Pemadaman itu murni salah tekan. Itu juga agar kau tak bersikap panik dan menimbulkan keributan."

Tom berpendar cukup terang, tanda bahwa dia mengerti, secara sarkastis.

Rasyid mengedikkan bahu. "Baiklah. Sebagai permintaan maaf, kau boleh ambil Googles itu dan ingatan si adik. Kali ini tanpa alat pelacak atau benda aneh apapun."

"Aku tak ingin Googles."

Mendengar pernyataan Tom, Rasyid berhenti sebentar. "Lantas?"

"Bisa aku minta satu kolegamu, yang 'masih' manusia?"

*#*

Informasi tentang mekanisme alat evolusi intan telah didapatkan. Meski kehilangan alat ampuh, Tom masih tetap bersyukur karena rasa penasarannya kini dibayar oleh dua ingatan vital. Satunya punya rekan kerja Rasyid, yang lain dimiliki Bowo.

Setelah menghadapi mekanisme pemeriksaan ketat oleh robot-robot Rasyid, akhirnya ia bisa bertatap pandang dengan Bowo yang masih kolaps. Terbaring kaku di dipan dingin bilik penelitian Rasyid. Lengkap dengan setelan awut-awutannya.

"Jadi, cerita menarik apa yang akan kau sajikan untukku, Tuan Aria Wibowo?"

*#*

Suatu masa. Lahir dua anak dari hasil hubungan haram. Sejatinya mereka kembar, yang anehnya tanpa kemiripan.

Dibanding menanggung malu, si ibu menaruhnya di panti asuhan. Orang-orang panti memungut mereka, membesarkan keduanya dengan penuh kasih. Hingga suatu saat, si adik laki-laki sakit. Sebuah penyakit yang tak bisa disembuhkan.

Staff panti berusaha mengobati, tapi kemudian menyerah karena kekurangan biaya. Sang kakak kemudian berjuang, berjualan kesana-kemari cari uang. Pada suatu saat, di malam yang dingin, sang adik memutuskan untuk keluar berjalan-jalan. Tak sengaja melihat sang kakak di sebuah koridor tersembunyi, melakukan ritual aneh.

Esoknya, sang kakak jadi dukun penyembuh. Punya harta banyak. Sang adikpun sembuh. Namun, kemudian sang kakak menghilang.

Ketika berumur cukup, sang adik pamit ke orang panti untuk mencari kakaknya. Orang panti berusaha mencegah dengan memberitahu usaha sang adik sia-sia, tapi sang adik bersikeras. Dengan tekad kuat, ia mengadu nasib di dataran keras kota Almeese.

Namun, ketika semakin besar ia jadi tahu makna dibalik 'sia-sia' itu.

Kakaknya tak pernah ada. Ia tak pernah sakit. Semuanya adalah khayalnya. Ia yang pergi ke sebuah rumah sakit terbengkalai. Menjalani ritus satanik, dan punya kekuatan penyembuh.

 Khayalan seorang pria feminim krisis identitas. Kini, dia tahu mengapa ia sering lelah tanpa sebab saat pagi, tidur dengan kaki berlumpur atau daster perempuan. Dan, mengapa ia bisa tiba-tiba punya tabungan melimpah.

*#*

"Lalu, apa yang kulihat semalam?"

Rasyid terkekeh. "Murni fatamorgana. Sebenarnya, The Healer adalah semacam zat parasit. Yang mempunyai kemampuan magis untuk mengambil-alih kesadaran, menyembuhkan, dan menimbulkan ilusi."

Tom sekarang mengerti. Kenapa si gadis ikut tumbang begitu Bowo jatuh meski tak ada peluru yang mengenai.

Kali ini, meski puas, Tom masih penasaran. Kali ini tentang iSoul, kehidupan sebelumnya, dan Sang Ayah.

Semoga iSoul punya jawaban bagus ketika aku menanyainya nanti.

Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya