[Ronde 4] Ifan - What About My Point of View?

By: Nameless Ghoul
#1
Hawa dingin menerpa. Amis adalah yang pertama kali tercium. Kulihat lorong panjang, temaram dan merah. Dindingnya tersusun dari tulang-belulang, mungkin setinggi tiga meter, tanpa atap. Langit merah kelam tak berbintang. Penerangan berupa obor-obor yang dipasang tiap jarak tertentu. Keadaan begitu senyap sampai-sampai langkah Solar Solitaire terdengar nyaring sekali.

Sambil jalan, ingin rasanya mengobrol. Aku mulai benci keheningan ini. Tapi mau ngomong apa? Bagaimana kalau dia akan menyakitiku? Atau, bagaimana kalau dia sudah disuruh orang melenyapkanku? Apalagi pembunuhan tak lagi dilarang…

Tidak, tidak, jangan buruk sangka. Bila benar pun, kita punya senjata. Keraguan membuat orang tidak maju-maju bahkan menurunkan IP. Kutarik napas. Jadilah potato berusaha. "Ehem, halo, namaku Ifan. Dari bumi. Kau?"

Solar tak menjawab. Muka helmnya menghadapku. Tanganku bersiaga menarik pistol teleportasi. Tapi dia menyahut dengan nada ramah, "Namaku sebagaimana sudah tersiar, Pengelana, tidak lebih maupun kurang. Untuk asal dunia, sebut saja Alforea."

Awalan baik. "Di mana Alforea?" tanyaku asal.

"Sebagaimana kontestan lain, itu bukan pertanyaan yang bisa kujawab."

Benar sekali, Ifan. Dasar bego. "Kalau begitu, bagaimana Alforea itu? Yah, aku selalu penasaran dengan orang seperti apa aku berkenalan dan, mungkin bisa cerita latar belakangmu dulu?"

Setelah memutuskan asal untuk belok ke kanan dari dua jalur yang ada, pergerakan Solar agak melambat. Tanpa kuduga, dia mulai cerita dengan suara lebih menghayati, "Alforea adalah sebuah kerajaan. Masyhur terpandang namanya, maju dalam segala bidang kebudayaan dan terdepan dalam ranah peradaban."

Anjing, slogan partai. "Lalu?"

"Itu tempat di mana tak terdengar rasa sakit. Anak-anak berlari riang, orang-orang tua saling bahu-membahu dalam membangun semua. Keindahan hakiki sungguh. Suasana tentram sentosa, sebab sang Matahari. Matahari menyinari dan memberi kami berkat—"

Dia pun mulai membicarakan keadaan kerajaannya itu secara rinci. Oke, aku muak dan tidak percaya. Sepertinya mustahil orang mengenal utopia tanpa penderitaan.

"Intinya, dunia ideal?" selaku sebelum tambah banyak bacotnya. Aku bahkan urung menanyakan apa dia hidup di tata surya. "Terus apa yang membawamu kemari?"

"Segalanya sesuai dengan apa yang kuceritakan sampai suatu ketika, muncullah para penjajah—"

Aku tidak memerhatikan kelanjutannya. Kalau kuringkas, kisah dunianya tipikal RPG. Bosan. Tapi sepertinya dia agak polos. Bisa-bisanya cerita detail begitu ke orang asing. Hihihi.

Labirin ini katanya mengeksploitasi masa lalu peserta, dan artinya bisa macam-macam jadi, antisipasi kemampuannya, sekalian saja, "Menurutmu, rintangan seperti apa yang akan kita hadapi, berhubungan masa lalu?"

"Aku tidak bisa memperkirakan dengan pasti," jawab Solar dengan nada jujur. "Tetapi mungkin hal itu berkaitan dengan kawan-kawanku." Kalimat terakhir menekankan dia tidak ingin menjelaskan lebih lanjut.

Sejauh ini tak ada tanda-tanda ancaman dari "partner"-ku itu. Dia juga tidak menjauh atau meremehkanku. Aku bersyukur atas yang kedua.

"Oh ya," aku ingat sesuatu. Tapi untuk jaga-jaga kupegang gagang pistol di saku erat-erat. "Tidak ada yang bilang kita harus bersaing atau saling bunuh. Dan sesuatu yang tak tertulis artinya boleh. Kalau begitu, apa pun yang terjadi, maukah kau bekerja sama?"

"Tentu saja. Aku tidak individualistis. Sejak lama prajurit Alforea dibesarkan dengan prinsip untuk melindungi sesama."

"Dan lebih cepat untuk keluar labirin sialan ini." Heh, aku terdengar pragmatis, tapi biarlah. "Bagaimana kalau kita jalan cepat? Tidak enak mengobrol di tempat begini dan, siapa tahu ada ancaman tertentu."

Ksatria itu mengiyakan.

Atas pemikiranku, berikutnya, kami berhenti. Kuambil sebatang tulang di dinding, kemudian kuinjak-injak. Tulang biasa. "Daripada berkeliling tidak jelas seperti ini, bagaimana kalau kita mengacau?"

"Mengacau?"

Kukeluarkan pistol alkimia. "Ledakan—"

"Sebaiknya jangan lakukan," tandas Solar. "Kita tidak tahu apa yang menunggu di balik kegelapan."

Benar, sih. "Ya, baiknya mempelajari situasi dulu." Aku senang partnerku ternyata ngotak. Walau artinya ekstra waspada.

Mendadak kulihat kelebatan di belokan depan. "Kaulihat ada orang tadi?"

Tapi saat kutengok ke samping, Solar sudah tidak ada. Itu skill-nya untuk menjebakku, atau bagian dari rintangan? Itu bukan terakhir. Sekelilingku berubah menjadi lingkungan kampus. Ilusi-masa-lalu-klise.

 

Bagaimana dengan sudut pandang aku?


Itu hari yang kuhafal. Stop, otak. Ilusinya sudah tersedia, tidak usah ditambah-tambah! Sialan, aku tidak mau ke tempat kejadian perkara jadi aku ke tempat lain, menunggu ilusi berakhir dengan sendirinya. Sekembalinya ke labirin, Solar tetap tidak ada.

Apa pun sebabnya, aku panik. Mengurangi rasa takut, kutembakkan alkimia peledak miring ke atas dan cepat-cepat berlari ke belakang.

Sesaat, labirin luar biasa heboh. Debu dan serpih tulang bertebaran. Suhu jadi panas sekali. Tapi aku malah girang.

Aku suka kekacauan.

Kekacauan membuatku tenang.


#2

Bagaimana dengan sudut pandang aku? Kenapa cuman kamu?


Di sekeliling, api masih berkobar. Namun keruwetan labirin mulai berkurang. Jalan-jalan yang semula bercabang kini berupa gundukan tulang. Dari atas tumpukan tertinggi, kuperhatikan sekitar. Tidak tampak apa-apa.

Ngomong-ngomong, aku mulai benci kehidupan lama. Orang-orang terus memandangku sebelah mata dan meragukan apa pun tentangku. Dan rasanya sulit untuk sekadar percaya, kecuali orang tua (mungkin mereka diam-diam menganggapku aib juga, siapa tahu?). Aku mulai berpikir untuk pindah kewargadimensian dan mengirim uang untuk mereka tiap bulan.

Semula aku ragu atas reputasi Esmetas sebagai dimensi lain dan menganggap segala setting termasuk ronde pertama hanya set film budget mahal. Tapi panitia, menanggapi keraguanku, sampai bela-bela membawaku pergi ke bagian lain dunia untuk melihat satelit planet, berbentuk hati. Keinginanku semakin mantap.

Sampai jarak tertentu, aku menemukan seseorang sedang duduk di atas tumpukan tulang, membelakangiku. Dia mengenakan jas lab, rambutnya pendek. Aku menelan ludah, menduga tidak-tidak. "Halo?"

Aku terjengkang waktu dia menoleh. Badanku gemetar semua. "W-woi!"

Gila, Fransiska Anneke! Pasti tidak nyata atau dia aslinya setan pengubah wujud. Aku langsung kabur. Tapi tidak lihat-lihat sekeliling, aku tersandung tulang dan terperosok didului muka. Hidungku menabrak tepat batok kepala. Sakit, tapi untung tidak terkena bagian tajam.

Kudengar bunyi seluncur lalu, tanpa kuduga, entah Sis atau bukan tapi panggil Sis saja untuk menghemat kata, berdiri di sampingku. Dia mengulurkan tangan. Aku menepisnya dan merangkak-rangkak. "Kamu ngapain, Yos?"

Pengin mengata-ngatai tapi mukaku sakit. Aku langsung bangun dan bergegas, sambil memegangi hidung, tapi Sis menarik tanganku. "Kamu kira aku siapa?"

Aku menoleh. Ya, itu Sis versi biasa. Masih terlihat manis dan intelek, dengan kacamata bulat dan rambut bob. Kadang-kadang aku iri dengan wajahnya. Dia bahkan menunjukkan ekspresi skeptisnya. Tapi aku tidak mudah dijebak. "Aku tidak bego, bego."

"Ya Tuhan, sombong sekali kamu," Sis langsung sewot, tapi mukanya balik normal. "Kelihatannya kamu lebih waspada mengira aku sesuatu atau seseorang?"

Kutodongkan pistol teleportasi, dan hidungku berasa hangat. "Ngomong lagi kulontarkan kau!"

Sis tidak gentar sama sekali. Dia berbalik dan seperti berpikir. "Oh, kok aku bisa lupa? Pantas saja kamu curiga. Kamu mungkin merasa aneh dengan kehadiran aku di sini."

Tanganku gemetar? "Mari luruskan," katanya, "aku di sini ikut Battle of Realms—"

"Kamu lihat pesanku, tidak?" Aku malas basa-basi dengan bot. "Apa pesannya?"

"Pesan apa?"

Aku melompat ke belakangnya dan kutembak dia. Gagal. Dua, empat, lima kali tembak gagal semua. Tentu saja senjata begini dilarang!

Aku pun berlari lurus. Ada begituan artinya ronde mulai panas. Memang aku sering penasaran seperti apa ilusi yang akan ditampilkan tapi, ternyata belum siap. Dan bukan ini tempatnya.

Sampailah aku pada bagian labirin berkelok. Setelah beberapa lama, dinding tulang berganti tanah lapang. Tapi hampir sampai ke hamparan luas itu, pemandangan merah berganti.

Aku di tengah lorong, dengan bocah-bocah beberapa kali menembus tubuhku. Ada yang berlari, menaiki sepatu roket, beberapa bawa kodok android. Oh ini SMP-ku. Ya, ya, kehidupan penuh bully pastinya.

Aku malas dipertemukan dengan masalaluku, tapi agak penasaran juga. Ingin tahu sudah seberapa berkembang aku dengan dia. Baru mau mencari kelasnya, dia sudah kelihatan dari jauh. Sedang duduk sendirian dekat salah satu sudut taman. Rambutnya pendek serupa cowok, badannya kurus dengan muka tikus. Aku duduk di sampingnya.

Dia sedang mengotak-atik robot. Loh, kok aku tidak ingat punya itu? "Makan ini, anjing." Versi kecil diriku mengatakan berulang-ulang sambil menahan tangis. Wah, bahasanya sudah canggih. Aku bangga padamu, Dek.

Robot itu diletakannya, lalu melaju. Mau apa? Kuikuti robotnya, yang ternyata berbelok-belok dulu sebelum mencapai target, dengan aku kecil sudah hilang dari tempatnya. Pikiran bagus, aku memang jenius sejak lama.

Robot itu menuju kantin, terlalu cepat jadi kutunggu saja dari jauh dan, tiba-tiba, terdengar jeritan. Aku segera ke TKP. Petugas kantin kelihatannya mengejar robot. Anak-anak perempuan mengerubungi sesuatu yang sewaktu kutembus, ternyata anak perempuan sedang menangis sambil berjongkok diselimuti sweater. Suaranya menyakitkan kuping.

Apaan sih kok nangis? Tapi kemudian kulihat dia telanjang di balik sweater itu.

M-masa sih bocilku setega itu? Ah sialan. Caranya juga kampungan. Ini benar-benar keterlaluan.

Ilusinya tak berhenti dan aku bingung mau ngapain. Kususul Ifan kecil saja. Aku masih ingat dia suka sembunyi di mana. Di gang antara toilet cowok dengan belakang pos satpam, dia duduk memejamkan mata. Lengannya menghilang, lalu kakinya, dan lantas seluruh tubuhnya. Beberapa detik kemudian dia kasat mata lagi dan mengumpat kata sangat kotor yang aku sendiri pun merasa tabu mengatakannya. Kekaguman berubah ngeri. Saat itulah aku kembali ke labirin.

Aku masih kepikiran apa yang bocil itu lakukan selanjutnya? Dan kata-kata itu dapat dari mana dia? Bodo amat, aku harus cepat keluar.

Beberapa meter di depan, kulihat bayangan bergerak dari atas, lompat ke bawah. Begitu didekati, astaga. Aku lekas kabur. Anak perempuan berseragam SMP, sepertinya orang yang dikerjai dalam ilusiku tadi, tergeletak dengan wajah separuh hancur. Aku muntah di lapangan.

Kalian pikir ini lucu! Kalian menekankan seolah masa laluku begitu keterlaluannya sampai menyebabkan orang bundir! Pakai otak dong, enak saja menampilkan sesuatu yang bukan kenanganku, dan parahnya jahat sekali! Aku jadi malas gerak dan duduk merenung.

Tapi mungkin ada benarnya. Aku tidak boleh denial. Sambil tiduran beralas tas, kuingat-ingat lagi apa kesalahanku. Lagipula tantangannya memaafkan masa lalu. Hmm … lupa. Jalan lagi saja.

Ngomong-ngomong lapangan gelap gulita. Kuterangi sekeliling dengan flashlight ponsel, sambil mendengar lagu-lagu Ghost. Menyenter ke depan, jalur lain labirin belum terlihat, tapi berbalik pun sudah jauh. Aku mau menangis dan menjerit-jerit tapi paham tidak ada manfaat.

Melihat kegelapan dan mendengar musik satanis, aku teringat ingin mengklarifikasi sesuatu pada pembaca budiman. Aku tidak percaya Lucifer, sebagaimana tidak percaya tuhan atau dewa politeis yang lucu. Simply karena belum ada buktinya. Tapi Lucifer menurutku lebih keren makanya kuikuti jalan setan.

Lagu Monstrance Clock tiba-tiba pindah ke Pro Memoria. Standing tall, invincible, but do not forget your knife. To save your life, to save your life. Horor receh, aku malas menengok ke belakang. Don't you forget about dying? Don't you forget about your friend death? Don't you forget that you will die?

Terdengar geraman. Udara mendadak panas. Tanah berpendar—sesuatu berpendar di belakangku. Aku langsung lari. Benar saja, langkah apa pun itu begitu kuat hingga menimbulkan getar.

Tapi aku takkan tahu bagaimana mengatasinya kalau kabur! Tanpa mengurangi kecepatan, kucuri pandang ke belakang. Sekilas melihat aku pasti pingsan di hari biasa. Monster bermuka absurd, menunggangi hewan aneh. Naluri bertahan hidup menjagaku waras.

Arah lariku makin kacau dan isi lambungku naik. Kakiku rasanya retak. Bagian bawah perutku perih. Tidak mungkin begini terus!

Kuaktifkan kemampuan menghilang, tapi dia masih saja mengejarku. Makhluk—anjing, apa padanan ilmiahnya sih—supernatural?

Aku ingin bertaruh sedikit. Sengaja kubiarkan sepatu lepas, mengurangi suara. Monster itu malah tambah cepat. Jadi kulempar ponselku jauh ke samping. Tapi suaranya langsung mati begitu membentur tanah.

Sialan, aku buta arah.

Ternyata makhluk itu masih mengejar sedangkan aku makin tak karuan. Dia punya otak. Aku harus—berbalik, membidik, tapi praktiknya tidak sesederhana itu. Rasanya aku ingin terus berlari. Aku benar-benar menangis sekarang. Siapa pun, aku mungkin suicidal tapi tidak mau mati dilumat!

Kudengar suara-suara. Kegelapan pun berakhir. Kulihat pemukiman merah beberapa meter di depan. Itu desa Hvyt yang dibicarakan panitia! Kehadiran itu membuatku jauh lebih optimis.

Aku menjatuhkan diri dan langsung menghadap ke belakang, lalu membidik. Ugh, apaan itu?

Tubuh manusia, dengan muka deformatif. Matanya besar sebelah. Lehernya tampak kaku dan dia bungkuk. Di belakang punggungnya sepasang sayap hitam. Satu lengannya berupa ular. Dia menunggangi anjing tapi naga. Mata hewan itu menyala.

Pembekunya gagal. Tembakan kedua hangus. Peluruku habis lima butir. Kubuat tanda salib tapi percuma.

Terdengar tawa keras, seperti menyalak. "Aku Astaroth. Jangan khawatir, derajatku terlalu tinggi untuk menghancurkan langsung jiwa kecil seperti kamu."

 

Suaranya ada dalam pikiranku. Suara yang sulit kujelaskan. Ah, ternyata dia cuman mau ngomong? Kenapa tidak dari awal? Perutku mau meleduk, bangsat!

 

Akhirnya kulihat kakinya. "Aku tidak mengerti."

 

"Daripada melenyapkan kamu, aku berikan kamu kesempatan untuk menghiburku." Mata julingnya berputar-putar. Napasnya busuk. "Jiwamu menarik perhatianku."

 

Refleks aku menyahut, "Kenapa kau memilihku? Kaupikir—" Masa dari kemarin aku ditawari hal-hal berhubungan dengan kejahatan? Heran. Kalau soal otak aku paham, soal kejahatan? Menurutku aku netral secara moral.


"Percuma menyembunyikannya dariku. Aku melihat kegelapan di dalam hatimu."


#3
Terakhir ke gereja kapan? Aku lupa. Itu sebabnyakah aku didatangi setan?

Kenanganku sebatas paduan suara penuh drama dan pastornya, jelek dan berpikiran tertutup. Dia sering berkhotbah tentang betapa bodohnya orang-orang kafir itu. Tapi di depan mereka dia bisa memajang muka ramah dan meyakinkan sebagian kaum mayoritas tentang reputasinya. Aku benci orang munafik begitu sejak masih sperma.

Sebab dia aku mulai mempelajari agama-agama besar dan menemukan semua sama. Tuhan dan dewa (setidaknya yang sudah kudalami) hanya beda kulit, intinya serupa. Ketidakonsistenan dan oknumnya mirip-mirip. Usia empat belas, diam-diam aku agnostik. Tiap Minggu aku memilih kabur ke perpustakaan kota, sampai orangtuaku lelah mengurus dan tak pernah menuntut lagi.

Orang pikir bagaimana aku punya moral tanpa tuntunan dari langit? Tentu saja dari pandangan umum. Orang bego juga tahu tidak boleh menganggu.

Itulah kenapa aku luar biasa baik waktu SMP. Namun karena itu mereka mem-bully. Sekolah menengah bagai neraka dunia saja. Satu-satunya pencegahku mati hanya keinginan balas dendam elegan.

Tapi aku sadar orang baik takkan bertahan di dunia. Pelan-pelan aku menjadi asertif, bukan jahat. Bagaimanapun juga aku tidak ingin memperlakukan dan diperlakukan buruk.

Menurutmu aku "punya kegelapan dalam hati", Astaroth? Kegelapan apa? Karena aku tidak percaya agama? Aku ateis agnostik beralasan, bukan karena kejadian tragis dan ketololan umat apalagi gaya. Aku masih memperhitungkan tuhan mungkin eksis. Karena kesombongan? Aku jarang pamer dan gemar menghina diri. Karena kemalasan? Banyak orang lebih buruk dariku. Aku memang agak aneh, tapi bukan apa-apa.

Setidaknya aku masih hidup sekarang. "Kau mau aku melakukan apa?"

"Gunakan akalmu."

Di sekelilingnya, mendadak tercipta lingkaran api. Perlahan membentuk simbol di dalamnya. Aku lekas menjauh. "Kuberikan kamu kesempatan hingga padamnya sigil. Aku akan mengisap jiwamu seketika itu. Bila kamu memenuhi keinginanku, kuberikan kamu imbalan istimewa."

Monster itu berikut tunggangannya memejamkan mata. Kunilai dulu apinya, kelihatan bertahan cukup lama. Aku lari lagi, tidak menyia-nyiakan kesempatan.

Astaroth … seperti pernah baca. Aku berpikir keras untuk mengingat dan dapat. Dia demon tingkat tinggi yang takkan mau mengakui kesalahan, suka menggoda lewat kemalasan dan rendah diri. Sekarang jelas kenapa dia menyukaiku. Aku sudah memancarkan unsurnya, terus apa? Tidak mungkin berupa malas-malasan dan sok depresi karena banyak orang begitu, sementara aku diberi kesempatan.

Ada rincian terlewat? Sepertinya tidak. Kebegoan di ronde ketiga mengingatkanku untuk awas. Berhubungan dengan ilusi? Sis? Tembok tulang? Solar? Berpikir, Ifan! Duh tapi, dengan badanku sakit semua jadi sulit fokus.

Memaafkan masa lalu berarti menerima fakta? Apa teriak "aku memaafkanmu, masa laluku!" akan langsung membuka portal?

Jangan konyol. Mereka bisa tahu detail masa SMP-ku berarti mereka bisa membaca hatiku. Atau kabur saja daripada memenuhi keinginannya?

Ya, tentu saja. Kemunculan di Battle of Realms menandakan dia bukan Astaroth yang itu. Masa tunduk di bawah pemerintahan Esmetas? Di bawah ratu goblok berdandan menor? Kesombongan demon terlalu tinggi untuk itu. Dia cuman peniru yang mampu mementahkan serangan, bukan pejabat neraka. Dia takkan tahu aku pergi atau sedang mempertimbangkan tawaran.

Aku mulai memasuki pemukiman Hvyt. Mereka makhluk humanoid berkulit merah dengan sayap dan tanduk. Aktivitas mereka tidak ada bedanya dengan manusia tradisional. Ketika aku datang, mereka tampak tidak peduli.

Kudekati seorang Hvyt. "Maaf, kautahu di mana aku bisa mendapat kendaraan?"

Dia menunjuk sesuatu di kejauhan.

"Terima kasih banyak."

Kendaraan yang dimaksud adalah kuda hitam berkepala buntung. Kobaran api merah darah menggantikan kepala. Sebagian tubuhnya koyak memperlihatkan tulang. Persetan. Tak perlu banyak urat untuk meminjamnya.

Tawaran Astaroth dan menguasai dunia, lantas kuda setan. Lengkap sudah syarat minimum menggantikan Sauron. Tapi bagaimana mengendalikannya?

"Dia mengikuti isi pikiranmu," kata Hvyt pemiliknya lalu membantuku naik. Sayang, kaumnya tidak boleh memberitahukan jalan. Mempertimbangkan keadaan, kuputuskan menurut.

Setelah itu dia kuberikan—dengan berat hati—pistol teleportasi. Habis berterima kasih padanya, aku langsung tancap gas. Jalan "kuda" ini begitu mulus, seperti terbang. Sesekali kucuri-curi tidur.

Agak lama sampai aku kembali masuk lagi ke labirin. Ngomong-ngomong di mana Solar? Kenapa Astaroth mengatakan kegelapan diriku? Apa aku sebenarnya memang penyimpang secara moral, dibuktikan dengan masa laluku? Tapi bukankah itu tidak adil jika aku sama sekali tidak mengingatnya?

Makin lama, jalur labirin makin bercabang. Sering lajuku dijegal jalan buntu. Ilusi-ilusi mini makin sering terjadi, tapi kuabaikan. (Syukurlah aku bisa membedakan mana ilusi mana labirin. Bagaimana caranya? Dalam dunia ilusi aku tidak bisa membaca huruf). Walau begitu, tetap saja keadaan ini amat menggangguku.

Dan kulihat Solar di ujung jalan lurus. Kuhentikan kudaku tak jauh dari dia. Sepertinya sedang bertarung dengan ilusi sendiri. Ckck, sudah sejauh ini masih termakan trik? Goblok. Bangunkan? Biarkan? Serangannya sungguh cepat, aku bisa terluka bila terlalu dekat. Tapi aku perlu kawan. Kulempar helmnya dengan tulang.

Solar seperti tersadar, tapi kupastikan lagi, "Woi!" Itu memang dia, dengan keramahan begonya. Kupersilakan dia mengendarai kuda, memberitahukan cara kerjanya, sementara aku duduk di belakang.

"Puji Matahari. Aku harus berterima kasih banyak kepadamu, Pengelana, karena telah membebaskanku—" Tiba-tiba ksatria itu menghentikan laju, terdengar ayunan pedang, dan tak sampai dua detik aku jatuh dari kuda.

Seluruh kepalaku berdenyut, terutama bagian belakang. Punggungku remuk. Pandanganku mulai berbayang. Mati-matian kutahan muntah. Bayangan Solar menutupi, dia siap menebasku.

Aku berguling ke samping, dan bergegas semampuku. Kudengar Solar mendesis, "Akan kubalaskan."

Solar tidak ikut bergerak, siap melemparkan pedang—aku langsung lompat ke samping begitu senjata itu melayang. Ham—pir! Gila gila gila, itu refleks terhebat seumur hidupku. Kautahu apa lagi yang membuatku bersyukur? Urutan peluru alkimiaku sekarang adalah peledak-pembeku-asap dan itu artinya segera kutembak dia dengan pembeku.

Tapi belum sempat kembali naik kuda, sekelilingku bergetar. Dinding tulang berpendar merah dan, lambat-lambat, bergerak menutup jalan. Tulang-belulang itu berkumpul ke beberapa titik dan membentuk puluhan sosok berzirah mirip Solar, namun menyerupai zombie. Pasukan yang mengepungku dari segala arah.

Apa kau bertanya-tanya kenapa aku tidak mati saja?

Nihilisme berlaku saat kautahu manusia dan kehidupan secara keseluruhan tidak akan pernah bermakna. Tapi sudah di Esmetas, menemukan dunia paralel dan peradaban yang mampu membuat dinosaurus dan demon.

Bagaimana kalau empat-huruf-tidak-boleh-disebut-nama ternyata warga sini? Hal semenarik itu baru sebagian kecil.

Aku masih mau hidup, karena pada akhirnya kutemukan motivasi: kebenaran sejati dan menang. Kebenaran paling objektif atas segalanya untuk diriku sendiri. Menang untuk balas dendam pada dunia yang membuangku!

Kuperhatikan sekeliling. Sekitar lima puluh orang. Kesempatan melawan? Kecil. Sebagian besar menggunakan pedang, beberapa dengan panah. Kuda tidak bisa lewat. Aku menarik-embuskan napas, lalu lari ke salah satu jalur dan menghilangkan diri begitu hendak persis menubruk kepungan. Satu menit mereka tidak bisa melihatku, setidaknya harus menjauh lima puluh meter untuk meledakkan. Untung jalurnya lurus panjang. Tapi aku takkan mampu dengan stamina payah begini. Kabur sejauh-jauhnya? Sembunyi di balik tulang?

Para ksatria celingak-celinguk. Saat itulah wujudku kelihatan, mereka melihatku! Aku sudah ngos-ngosan. Sebatang panah mendesing tepat di sebelah telingaku. Buru-buru kumasukkan peluru peledak dan menembak landai ke atas.

Aku salah perhitungan.


#4
Perisai sihirku aktif. Kemampuan itu pertama kali kupelajari waktu SMP, secara otodidak. Aku ingat seorang pembully dapat memancarkan panas pada orang yang dia kehendaki, dan dia mengangguku tiap ujian. Jadi aku berantisipasi.

Tapi tetap, api mengepung. Mataku pedih. Badanku serasa direbus, sedangkan kaki sulit diajak kerjasama. Bayangan kematian di mesin tanning dari Final Destination memenuhi otak, membuatku ingin menyerah.

Tidak, tidak, sedikit lagi. Ingat pada mereka yang menghinaku. Ingat mereka mengambil hak-hakku. Gara-gara mereka aku hidup menderita bertahun-tahun. Mereka layak mendapatkan balasan, dan itu adalah kesuksesanku.

Di saat begini aku malah terbayang Sis dan kata-katanya. "Bagaimana dengan sudut pandang aku? Kenapa selalu harus kamu?"

Sudut pandangmu bagaimana, memangnya? Aku benar-benar ingin tahu. Tapi kau bahkan tidak menjawabku lagi. Kau diam, di sini dan di dunia nyata. Ya, ya, aku bisa perkirakan. Aku bego, intinya. Namun aku tak bermaksud.

Aku tak bermaksud. Aku tak bermaksud. Aku tak bermaksud. Maaf. Maaf. Ya, Sis, maaf. "Apa kau puas, Yos?"

Itu pemandangan waktu SMA. Sekarang aku diikat. Beberapa basic bitch yang kuingat mengelilingiku. Kulihat wajah mereka penuh murka, bukan cemburu. Satu orang terang-terangan menangis. Kemudian ada yang mengguyurku dengan air dingin. Sensasinya nyata sekali. Sarafku beku.

Ah, aku ingat. Itu bully paling keterlaluan, membuatku pindah keluar kota. Cewek-cewek ini seharusnya dikeluarkan dari sekolah.

"Kamu ular berlagak polos! Kamu kira tindakanmu jagoan?"

"Apaan? Aku tenang-tenang saja, mengerjakan tugas-tugas, sendirian. Kalian yang mengangguku. Sekarang setelah tujuan tak tercapai, kalian lempar batu? Padaku? Goblok!"

Datang siraman kedua. Aku mau pingsan. "Apa yang kamu katakan ke guru, ember?" Siraman ketiga. Yang ini bonus kepalaku ditutup ember dan bangkuku didorong. Aku tersungkur ke depan.

Suara lain terdengar sesengukan. "Kami nggak akan lulus."

Lalu bunyi dobrakan, ribut segala macam, dan aku diselamatkan guru favoritku. Cewek-cewek itu diciduk, dan dibawa ke ruang berlawanan.

Ini agak jelas. Aku mengatakan sesuatu yang berujung ketidaklulusan. Tapi apapun itu, bukankah mereka layak mendapatkannya? Maksudku, itu aturan.

Walau, ya, aku pun suka mencontek. Oh, paham. Bagaimana dengan sudut pandangmu? Itu kesalahanku. Menurutmu aku berlebihan menanggapi fenomena biasa. Aku terlalu ingin menegakkan aturan sampai melupakan orang lain, dulu.

Tapi masa hanya gara-gara itu? Jadi "kegelapan"-ku adalah kurang toleransi? Heh, tahu tidak perenunganku dari tadi membuat hatiku sakit, sampai membayang-bayangkan aku mungkin pernah membunuh?

Aku bukan kembali ke labirin, tapi terlempar ke ilusi lain. Kini aku berhadapan dengan diriku sendiri. Aku tampaknya jadi orang lain, dengan tubuh bergerak sendiri. Kuulurkan tangan pada lawan bicaraku, dia menepisku dengan songong. Yah, ekspresinya kuakui benar-benar menyebalkan. Lalu aku dibawa tubuh ini untuk membicarakan kejelekan masa laluku. Teman-temannya murka, dan mereka berniat memberiku pelajaran. Baik, itu cukup tidak terduga.

Bagaimana dengan sudut pandangmu? Oh, sepertinya kesimpulanku akan cocok untuk menjawab ilusi-ilusi minor: aku layak dihindari sampai dibully karena tingkahku. Aku tak pernah mempertimbangkan sudut pandang orang lain dan mencoba berubah.

Selama ini aku menjalankan etika yang umum-umum saja, dan memperlakukan orang sebagaimana ingin diperlakukan. Tidak menyukaimu maka kujauhi, karena aku juga tak ingin kaudekati. Setidaknya, aku selalu jujur padamu bahwa, ini aku. Tidak ada topeng apa-apa. Namun kini aku paham—sedikit—kenapa kalian membenciku. Manusia adalah makhluk sosial maka ikuti aturan sosial. Dua juta rupiahnya mana, bangsat?

Waduh, intinya masalah-masalah sepele. Bukan termasuk tujuh dosa dasar. Apa ini semua adil? Sepertinya aku keliru karena dipindahkan ke ilusi berikutnya.

Sis lagi. Lagi, lagi, dan lagi! Aku mungkin memikirkanmu, aku mungkin agak berharap, tapi bisakah aku tenang di sini tanpamu? Tidak usah berkata-kata. Karena aku hafal, bukan denial.

"Bagaimana dengan sudut pandang aku?" Sis memandangku jijik. "Kenapa selalu harus kamu?"

"Baik, aku salah. Kuakui salah." Sudut mataku berair. Hatiku sakit. Suara hampir habis. "Kau tak mungkin mengkhianatiku. Aku terlalu bodoh berpikir kau ingin mengambil paten. Sementara kau lebih dariku dalam segala hal. Sekarang kaumau apa?"

Ilusi buyar. Aku kembali ke labirin penuh tulang dan kobaran api. Seluruh tubuhku melepuh. Astaroth menunggu di depanku. Di sisi lain, Solar menyeret dirinya susah payah mendekati kami. Zirahnya hancur banyak, memperlihatkan wajah kalem. Kuseka mata.

"Aku memilih—memilih mengorbankan partnerku," Solar berkata, membuat Astaroth tertawa. "Maafkan aku, Pengelana. Ini demi perdamaian kembali di Alfo—"

Kutembak dia dengan pembeku. Tidak ada ragu-ragu. Memaafkan masa lalu berarti menerima apa adanya, bukan berarti harus berubah. Sama seperti memaafkan orang lain, bukan aku harus menyesuaikan diri dengannya. "Sekarang bisakah aku keluar?"

Astaroth memamerkan gigi busuknya. "Tidak sebelum aku memenuhi janjiku. Kuberikan kamu kemampuanku salah satu dari keutamaanku: memengaruhi orang lain, pengetahuan atas hal-hal tersembunyi, dan menebarkan penyakit. Pilihlah."

"Memangnya apa yang menghiburmu? Bukankah seharusnya kau memburuku?"

"Alamku, aturanku. Bagaimana kamu menghiburku, itu adalah rahasia. Jiwamu benar-benar menarik dan akan sangat pantas menjadi budakku. Takkan kubiarkan kamu mati lebih dini."

Pantas jadi budakmu, karena aku tidak sopan? Jadi manusia harus pasang muka palsu, selalu tertawa-bahagia agar mendapat penyelamatan?

Ingin protes tapi, rejeki jangan ditolak. Apa ya? Pertimbangannya, skill ketiga nasty. Pertama lumayan tapi, tidak membuat pikiranku berkembang dan kedengarannya mirip si bajingan Nadel. Kedua? Mengingat keterbatasan akal, kupikir sulit untuk menemukan kebenaran. Itu bisa diminimalisir bila punya skill kedua. Tapi tidak seberguna skill pertama.

"Kalau begitu kupilih yang kedua." Tak seru jika memperoleh keinginan seenak jidat. Aku mau tantangan. Aku ingin sensasi mengalahkan orang. "Mengetahui hal-hal tersembunyi" pun masih menyimpan nilai praktis karena aku bisa tahu kemampuan musuh-musuhku.

Sosok Astaroth buyar terurai menjadi butir-butir sinar, berpindah padaku. Ah, pait pait pait! Apa mulutku akan bau dan mukaku tambah jelek?

Tapi sepertinya berkat dia, pikiranku bertambah jernih. Entah bagaimana, aku tahu jalan keluar labirin ini hanya tinggal lurus ke kiri.

Komentar

  1. Udah baca 3x. Dan gak nyangka jga Solitaire benar2 desperate buat buang Ifan. Mungkin karena aura nihilistik Ifan.

    Ini pengembangan unexpected karena endingnya Astaroth jadi melebur kedalem Ifan. Sadly next Round itu ngelimit semuanya. hehehe.

    8/10 dri Tora Kyuin

    BalasHapus

Posting Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya