[Ronde 2] Abu - Dia yang Menyalakan Lampu Kematian

R2 – DIA YANG MENYALAKAN LAMPU KEMATIAN


oleh : Heru Setiawan

[11]

Sepuluh hari waktu istirahat yang diberikan penyelenggara adalah lelucon. Abu tidak biasa berleha-leha. Dia hampir tak pernah berada di hotel. Seperti sekarang, teroris itu malah sedang menyandera tiga pegawai Hadyatha berpakaian necis.

Di bangunan kosong di pinggiran kota, malam hari, gelap, hanya ada redup lampu neon yang mati-hidup. Mencekam. Terutama bagi ketiga pegawai itu. Mereka didudukkan di kursi, terbelenggu rantai.

"Aku tidak sudi memberitahumu apapu—"

Namun tinju yang teramat kuat sudah membungkam pegawai itu. Dilanjutkan hantaman kedua, ketiga, hingga keempat. Terdengar bunyi tengkorak retak. Darah segar mengucur dari mukanya yang tak lagi berbentuk. Dia mati dengan posisi terduduk membungkuk.

"KYAAA!!" jerit pegawai lain, seorang wanita.

Tatapan Abu berpindah kepada wanita itu, yang masih histeris.

"B-bagaimana kau bisa setega itu!? BIADAB!" maki si pegawai wanita, air matanya banjir. "Lelaki y-yang kau bunuh itu... akan melangsungkan pernikahan seminggu lagi..."

Abu tidak terkesan. Malah disumpalkannya sebatang dinamit ke mulut si wanita.

"Informasi yang tidak perlu," ujar Abu sembari dinyalakannya dinamit tersebut dengan pematik api.

Lima detik kemudian meledaklah kepala wanita tadi.

Tersisa satu pegawai. Tampak dia sudah terkencing-kencing di celana. Ketakutan.

"A..akan kuberitahu s-semuanya. Plis jangan bunuh aku..."

Pegawai ketiga ini lalu menceritakan tentang delapan harta Esmetas. Juga tentang ajang balapan yang ternyata hanyalah kamuflase agar ketiga penguasa bisa memancing harta-harta itu keluar dengan memanfaatkan petarung dari berbagai dimensi.

"Bukan informasi baru," potong Abu.

Si pegawai panik. Dia menawarkan informasi lain, "T-tunggu! Bagaimana dengan ini? Satu dimiliki Raja Mellow, warisan kerajaan Gwenevere turun-temurun. Boss Miranda juga, entah dari mana, punya satu."

"Itu saja?"

"D-dan baru saja Boss Miranda dapat satu lagi! Dari ronde pertama. Setelah bertransaksi sebesar 25 juta pounds... dengan peserta yang namanya Felix Garfield. A-aku ingat karena namanya mirip kucing kartun."

"Lalu?"

"Ronde berikutnya, Negara Nomi... a-aku belum tahu detailnya. Tapi yang jelas... Rasyid dari NGSR menginginkan harta yang berada negeri itu. D-dia kan belum punya satu pun...kurasa."

Abu menatap tajam seolah meragukan kevalidan informasi itu. Si pegawai kembali membuka mulut.

"K..kau sendiri mengincar kedelapan harta itu?"

Tak ada jawaban dari Abu. Dia menendang jeriken bensin, isinya tumpah menyebar di bawah kursi si pegawai. Aroma menyengat langsung menutupi bau pesing di celana pegawai itu.

"H-HEI! Apa ini!? A..aku kan sudah—AAAAARRHH!!!"

Api menyala seketika begitu Abu menjatuhkan pematik api ke genangan bensin. Pergilah dia meninggalkan si pegawai yang hanya bisa meronta-ronta ketika kobaran api melahapnya.

Jeritan apapun tak akan dipedulikan Abu. Yang ada di pikirannya hanya satu.

Delapan harta Esmetas. Apakah dia memerlukan itu?

[12]

Puluhan pasukan elit Gwenevere, pegawai terbaik Hadyatha, maupun robot-robot tercanggih NGSR berjaga di gudang Hanggar Dimensi. Mereka tak mau lagi kecolongan seperti yang lalu ketika seorang peserta bisa leluasa menyabotase semua kendaraan dari panitia. Sudah hampir sepuluh hari berjalan tanpa sedetik pun penjagaan berhenti.

Di satu ruangan yang ditata sehingga menyerupai studio berita, tampak Ibnu Rasyid si robot dan Soraya Hadyatha sedang beradu argumen.

"Kakakmu merekrut sembarangan!" singgung Ibnu Rasyid. "Atau justru itu strategi liciknya? Mencari pengacau paling gila sehingga dia bebas mencuri harta secara diam-diam."

"Ih, sembarangan deh, dasar kaleng Khong Guan! Isi kepala kalengmu itu cuman teori konspirasi, ya?" balas Soraya. "Aku yakin, pasti teroris itu ngutak-atik semua kendaraan itu waktu dia menyusup ke sini."

"Atau saat barang-barang itu sudah sampai ke perusahaan kalian!"

"Enak saja!"

Mereka terus berbalas kata sampai salah satu robot NGSR menginterupsi.

"Tu-an Ra-syid, No-na So-ra-ya. Sa-tu me-nit la-gi syu-ting di-mu-lai."

Soraya mengela napas panjang. Ibnu Rasyid hanya bisa berdecak kesal. Bagaimanapun, keduanya harus menyudahi pertengkaran mereka untuk sekarang.

Tiga detik menjelang pengambilan gambar. Robot NGSR tadi memberikan aba-aba sementara robot-robot lain bersiap dengan mikrofon, pencahayaan, dan sebagainya.

"Ti-ga...du-a...sa-tu... ac-tion!"

Musik pembuka disetel. Ibnu Rasyid dan Soraya Hadyatha memulai peran mereka sebagai pembawa acara.

"Yak, pemirsa di seluruh Esmetas. Bersama saya, Rasyid—"

"—dan aku, si manis Soraya."

"Kita kembali berjumpa di pengantar Battle of Realms Infinity, Ronde Kedua!"

"Lokasi balapan kali ini adalah di kota yang tak pernah tertidur, Ibukota Almnesse, Negara Nomi! Dengan fitur utamanya, jreng-jreng-jreng, Menara Bebal! Dan menu kita kali ini adalah... apakah itu, Kak Rasyid?"

"Yak, Soraya. Sederhana saja. Peserta akan bermain 'Nyalakan Lampu'. Dua peserta dalam satu waktu saling beradu cepat dari ujung barat maupun ujung timur menuju puncak Menara Bebal untuk menghidupkan saklar sehingga seluruh lampu kota menyala pink ataupun keemasan. Siapapun yang menang, suasana malam di Ibukota Almnesse akan menjadi indah."

"Waw! Luar biasa! Aku tidak akan sanggup menjelaskan detail sebanyak itu, Kak Rasyid. Hahaha! Soalnya otakku kan bukan mesin~"

"Err...," Ibnu Rasyid terdiam kikuk.

Tidak perlu otak komputer untuk sekadar mengingat informasi barusan. Sepertinya kapasitas orang di sampingnya ini memang di bawah rata-rata. Begitu berbeda dengan kakaknya yang brilian. Apakah Soraya anak adopsi?

Mengabaikan si robot, Soraya sudah membuka babak ini, "Tanpa basa-basi lagi, dengan ini Ronde Dua dimulai! Yuuhuuu!"

Musik kembali disetel.

Pada layar monitor, disorotlah dua helikopter yang siap menerbangkan dua peserta menuju titik mulai mereka.

[13]

Bagi Troya Meredith, menyaksikan hiruk-pikuk malam di Ibukota Almnesse sisi barat mengingatkannya pada daerah kumuh New York di dunia asalnya. Cukup melegakan melihat hal-hal normal seperti ini dibandingkan saat dirinya harus melawan dinosaurus sambil ditemani orang-orang aneh, ponsel pintar jadi-jadian, bahkan hantu.

"Ah, bukan saatnya melamun."

Gadis itu meluncur dengan sepatu rodanya, membuat rambut kuncir pirangnya berayun. Sepuluh hari tidaklah cukup untuk memperbaiki mobil klasiknya yang rusak parah saat balapan ronde lalu. Terpaksa dirinya menggunakan sepatu roda yang disediakan panitia.

Sayangnya, bukan hal mudah melintasi jalanan yang penuh sesak oleh pejalan kaki dan beraneka ragam kios kuliner. Baru semenit berlalu, dia sudah tidak bisa bergerak maju karena terhalang kerumunan.

"Permisi! P-permisi, tolong jangan memenuhi tengah jalanan! PERMISI!!"

Tidak banyak yang menggubris, bahkan saat Troya teriak sekalipun. Mereka hanya melirik sejenak lalu kembali cuek. Kalaupun ada yang memberikan perhatian, itu hanyalah penjaja makanan yang terus menawarkan dagangan mereka ke si gadis pirang.

Kerumunan itu tak ada habisnya. Troya akhirnya menyingkir ke pinggir.

Dia berdiri menyandar di suatu gang kecil, kepalanya mendongak, mata birunya memandang ke atas. Tampak begitu sepi dibandingkan keramaian di jalanan. Seketika dia mendapatkan ide.

Dibuanglah sepatu roda tak berguna itu ke tong sampah. Tak lupa dia mengencangkan ikatan tas pinggangnya dan merapikan baju bengkel yang dipakainya.

Setelah siap, Troya mulai memanjat pipa pembuangan, lalu melompat dari tangga darurat satu gedung ke tangga gedung lainnya. Kemudian dia memanjat lagi pipa yang lebih tinggi. Tak sampai semenit, sampailah dirinya di puncak salah satu bangunan. Troya harus berterima kasih pada komunitas parkour yang mengajarinya.

Setelah itu, dia melesat dari satu atap ke atap lainnya. Tujuannya tampak jelas di depan mata. Bangunan gigantik berbentuk limas.

"Menara Babel ...ah, bukan. Menara Bebal."

[14]

Pada saat yang sama, di sisi timur ibukota, Abu tengah berada di suatu gereja. Dia menghadap altar. Patung Ikan Paus Bersayap tampak indah berdiri di tengah altar tersebut.

"Ini... tuhan versi sini?"

Gereja yang dikunjungi Abu ini terbilang unik karena berada di distrik yang dipenuhi diskotik, kasino, klub malam, maupun rumah bordil. Aneh juga jika gereja ini ternyata laku. Mungkin para penikmat gemerlap malam pun butuh siraman rohani sesekali.

Semenit berlalu, sosok orang tua berjubah religius putih-biru muncul dari bilik di belakang mimbar. Melihat Abu, dia pun menyapa ramah.

"Jemaah baru? Apakah Anda hendak membaktikan diri di bawah naungan sayap penuh kasih Alma-Whala?"

Sebagai pendeta, orang tua berjubah itu lalu menceritakan tentang sosok Alma-Whala, pelindung Negara Nomi yang selalu memberkati manusia dari balik lautan awan. Nama-Nya diabadikan menjadi Almnesse, artinya tempat yang diberkati Alma.

Abu hanya menyeringai—

—sebelum dia menembakkan pistolnya ke arah patung Alma-Whala! Empat-lima tembakan saja, patung itu hancur dan jatuh ke lantai altar.

Tentu saja pendeta tadi kaget setengah mati.

"A-Apa yang kau lakukan!?"

Pendeta itu ketakutan. Lisannya langsung merapalkan doa-doa yang sudah dihapalnya sedari kecil.

"Kuberi kau satu menit. Mintalah perlindungan kalau memang tuhanmu nyata."

Abu lantas duduk di salah satu kursi panjang yang berada paling depan. Dia menyeka darah di pisaunya sembari menunggu 1 menit berlalu.

Otomatis, pandangan mata si pendeta mengikuti gerakan Abu. Dan betapa terkejutnya pendeta tersebut. Pantas saja terasa begitu sepi padahal ini sudah waktunya misa. Rupanya—

"I-IBLIS KAU!!"

—jemaahnya sudah dibantai seluruhnya!

Puluhan mayat tampak bergelimpangan, di kursi panjang, di lantai. Kakek tua, pria muda, wanita, bahkan anak-anak, semua mati bersimbah darah. Di leher mereka tampak luka menganga akibat tikaman senjata tajam.

Abu bangkit berdiri.

"Waktu satu menit habis."

Si pendeta berbalik badan, berusaha melarikan diri. Namun Abu lebih cepat. Dia sudah membekap pendeta tersebut dari belakang.

"Tuhanmu tidak jadi datang?"

Tak sampai semenit, pendeta itu sudah menjemput ajal. Jasadnya jatuh lunglai saat Abu melepaskan bekapannya.

"Atau kurasa... jika hanya nyawamu dan jamaahmu, nilainya terlalu kecil untuk dipedulikan tuhanmu."

Abu meninggalkan gereja.

Di pelataran, sudah terparkir motor balap yang disediakan panitia sebagai kendaraan untuk digunakan pada babak ini.

Alma-Whala sepertinya bukanlah sosok tuhan yang dicari Abu. Dia yakin kalau si paus bersayap hanyalah buah kekonyolan manusia, seperti ribuan tuhan lainnya. Manusia mengarang-ngarang sosok yang tidak ada lalu menjadikan sosok-sosok itu sebagai sesembahan. Sungguh menggelikan.

Namun karena sudah telanjur mampir ke gereja Alma-Whala, Abu berpikir tak ada salahnya membuat sedikit persembahan untuk paus bersayap itu, bukan?

Motor Abu pun melaju kencang menuju pusat kota.

[15]

Troya Meredith melepas lelah di atap suatu bangunan, terpaut 50 meter saja dari Menara Bebal. Baju bengkelnya basah oleh keringat. Retsleting baju itu terbuka sehingga menampakkan dalaman singlet putih. Rambut pirang gadis itu tampak terkulai.

Sambil sesekali menenggak botol minum kecil, Troya menganalisa detail informasi soal lawannya kali ini. Sayangnya, panitia hanya memberi tahu nama sang lawan, yaitu Abu. Julukannya adalah si Teroris.

Troya terkekeh.

"Teroris? Ikutan lomba balap? Yang benar saja!"

Detik berikutnya, Troya menghela napas.

"...jika makhluk-makhluk aneh saja ada, berarti kurasa lawanku memang seorang teroris."

Gadis itu mengutuki gambar ilustrasi yang diberikan panitia. Sungguh tidak representatif. Troya pun belum pernah menemui orang yang bernama Abu ini saat berada di Hotel Hadyatha.

Namun samar-samar Troya teringat sesuatu. Nama 'Abu si Teroris' tidak terlalu asing di telinganya. Di mana dirinya pernah mendengar nama itu?

Belum sempat renungan itu sampai pada konklusi, tiba-tiba Troya merasakan getaran kuat disertai suara menggelegar.

Gedung Pemerintahan yang letaknya tak jauh dari Menara Bebal meledak!

"Apa-apaan ini!? Serangan... teroris??"

Tak lama, tampak puluhan pasukan keamanan bergerak menuju lokasi ledakan, termasuk beberapa penjaga yang tadinya bersiaga di pintu masuk menara. Pengunjung mall berhamburan keluar. Suasana menjadi ramai dan kacau.

Saat itulah mata cermat Troya menangkap suatu sosok yang justru bergerak berlawanan arah dengan kerumunan yang panik.

"Tak salah lagi. Itu adalah dia!"

Waktu istirahat selesai. Troya langsung meluncur ke bawah sambil berpegangan pada pipa pembuangan. Kemudian dia berlari menuju Menara Bebal.

"Menggunakan bom sebagai distraksi... PRIMITIF sekali caranya!!"

[16]

Bisnis tetap berjalan.

Pengeras suara mall terus menenangkan para pengunjung agar tidak panik karena polisi dan keamanan menara sudah bertindak. Memang, banyak pengunjung yang memilih untuk pulang menyelamatkan diri. Namun lebih banyak yang tetap berbelanja, tanpa mengetahui kalau pembuat kekacauan itu telah berada di dalam mall.

Abu berbaur dengan pengunjung lain, menaiki eskalator satu demi satu, menuju lantai 8. Lantai ini merupakan bagian mall yang khusus diisi oleh kantor-kantor pelayanan pelanggan, pemasaran, dan sejenisnya.

Tanpa basa-basi, sang teroris langsung menembaki semua yang ada di sana. Entah itu pengunjung, staf mall, ataupun penjaga, mereka mati tanpa sempat melawan.

Semenit berlalu, tak ada lagi suara terdengar. Abu membuang senapan mesinnya yang tidak lagi beramunisi. Dia melewati mayat-mayat tanpa ada perasaan bersalah. Tujuannya adalah aula tengah. Dua elevator khusus staf berada di sana.

Sesuai informasi penyelenggara, lantai 86 hanya bisa diakses melalui elevator ini. Abu masuk ke dalam elevator. Namun tombol yang ditekannya bukanlah 86, melainkan B-4.

Elevator pun bergerak turun.

[17]

"Bajingan macam apa si Abu itu!?"

Troya begitu geram saat menyaksikan kondisi lantai 8. Dia langsung merasa mual. Salah satu korban tewas adalah seorang ibu dan bayinya. Kepala mereka pecah terkena peluru. Mayat mereka tergeletak di samping stroller yang terguling.

"Saat seperti ini, di mana para polisi yang tidak berguna itu? Terorisnya di dalam sini, bukan di luar!"

Troya menguatkan diri untuk tidak muntah. Dia berjalan cepat, langkahnya agak gontai. Tak lama, sampailah gadis itu pada ruangan dengan dua elevator.

Logisnya, Troya tak mungkin mengejar ketertinggalan. Saat ini mungkin lawannya sudah ada di lantai tertinggi menara untuk menyalakan lampu tanda kemenangan. Namun gadis yang satu ini dikenal pantang menyerah. Lagipula ada motif lain yang mendorongnya untuk terus maju.

Ingin rasanya Troya menghantam muka jelek penjahat yang menjadi lawannya kali ini!

Elevator pun bergerak naik.

[18]

Penjaga berbadan kekar itu tak berkutik saat kepalanya dihantamkan ke dinding berkali-kali. Percikan darah memuncrat bersamaan dengan semakin remuknya wajah si penjaga.

"Password?" tanya Abu.

Dengan suara tertahan, penjaga itu merespon, "Aku... t...tidak tahu..."

Abu menodongkan pistolnya ke arah selangkangan si penjaga lalu mengulang pertanyaannya.

"Password?"

Setelah hening beberapa saat, penjaga itu menyerah.

"1_LINGUA_666 ... tapi k..kau tetap tak akan bisa membuka... pintu itu."

Lima meter dari sana, tampak sebuah pintu berlapis baja dengan sistem keamanan canggih.

Abu mengambil sesuatu dari dalam tas ransel kecilnya. Penjaga kekar itu melotot melihat benda tersebut.

"J...jangan bilang kalau itu...?!"

Abu mendekat ke arah pintu baja tadi.

Dia menaruh potongan tangan pada satu panel kemudian menaruh potongan tangan lain pada panel sebelahnya. Setelah itu, Abu menempelkan dua bola mata yang berbeda warna pada mesin pemindai di sisi kanan-kiri pintu. Terakhir, Abu mengetikkan kata sandi.

Terdengar suara elektronis.

>Mayor Ivan dan Chief Tripollo
>Identitas dikonfirmasi...

Pintu berlapis baja itu terbuka. Tampaklah semacam ruang kendali dengan komputer induk berukuran besar. Tak membuang waktu, Abu mengetikkan satu perintah sederhana.

>Mengaktifkan sistem senjata Menara Bebal
>Dalam 10 menit...

[19]

Saat Troya sampai di lantai tertinggi, tidak ada seorang pun di sana. Anehnya, ketiga panel pengatur lampu kota pun belum tersentuh. Dia mendekat ke jendela kaca untuk memastikan. Karena tinggi Menara Bebal yang luar biasa, seluruh kota bisa terlihat dari sana. Dan benar saja, lampu-lampu kota masih menyala putih. Bukan pink.

Tak ambil pusing, Troya langsung menyalakan panel kendali pertama sesuai dengan warna yang melambangkan kemenangannya. Berhasil. Seluruh cahaya lampu kota sisi barat berganti warna menjadi keemasan.

"Yeah!" Troya melonjak girang.

Selanjutnya gadis itu berlari menuju panel utara yang berjarak 10 meter. Saklar dihidupkan. Kali ini semua lampu kota sisi utara juga menyala keemasan.

"Tinggal satu lagi."

Kemenangan di depan mata. Troya langsung berlari menuju panel timur. Akan tetapi langkahnya terhenti. Sudah ada seseorang yang berdiri merintang di depan panel terakhir. Seorang pria tua berperawakan militer dengan ekspresi kaku.

"ABU!!"

[20]

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, sistem senjata Menara Bebal diaktifkan.

Konon, Menara Bebal sudah ada jauh sebelum Negara Nomi berdiri. Penduduk asli Bebal disebutkan hilang secara misterius, meninggalkan menara gigantik yang dirancang sebagai tempat perlindungan untuk melawan musuh. Saat menemukan fungsi ini, para pendiri Negara Nomi tidak menghapusnya. Mereka justru memodernisasikan sistem itu sambil tetap merahasiakannya dari penduduk.

Hanya segelintir orang yang tahu. Sedikit di antaranya adalah Walikota dan Kepala Polisi. Hanya mereka berdualah yang memiliki akses masuk. Itu pun masih harus dilengkapi dengan kata sandi yang selalu diganti tiap hari. Kata sandi itu diberikan kepada satu penjaga secara acak.

Andai saja sang Walikota bisa menutup mulut ketika nyawanya terancam.

Kini, 99 katup rahasia pada dinding luar Menara Bebal pun terbuka. Sisa lima menit menjelang aktif.

[20]

Troya Meredith hanya punya satu strategi.

Seahli apapun dirinya dalam karate, tentu saja dia tetap tidak kebal senjata. Tak ada kesempatan menang untuknya selama lawan masih bersenjata lengkap.

"Hei, bajingan tua! Kalau berani, hadapi aku dengan tangan kosong!"

Sialnya, provokasi tersebut gagal. Tak ada respon dari Abu. Dia hanya balas menatap dingin, membuat Troya berpikir ulang. Gadis itu kesal sendiri.

Sedikit banyak, Abu mengingatkan Troya pada sosok ayah yang begitu dibencinya. Terutama kacamata gelap yang dikenakan Abu.

Berkelahi sambil memakai kacamata seperti itu sebenarnya ide yang buruk. Selain mengganggu pandangan, juga beresiko melukai mata jika kacamata pecah karena serangan lawan. Singkatnya, itu seperti mengatakan "Kau tak akan bisa memukul wajahku."

Troya semakin sebal. Pikirannya buntu.

Persetan dengan strategi! Kalau dia membunuhku, dia yang akan didiskualifikasi!

Akhirnya Troya menerjang maju.

Tiga pukulan bertubi kanan-kiri-kanan dilancarkannya. Semuanya ditepis Abu. Malahan satu tinju kiri Abu yang menghantam pipi Troya saat gadis itu lengah.

Troya oleng sedikit namun masih bisa melayangkan tendangan samping, mengincar perut Abu. Sayangnya, Abu malah menangkap kaki gadis itu.

Dalam posisi satu kaki terkunci, Troya tak berdaya saat tiga pukulan cepat sang lawan mendarat lagi di mukanya. Hidung gadis itu remuk, beberapa giginya pun patah.

Kemudian Abu menjambak rambut pirang si gadis. Tanpa belas kasih, dilemparkannya Troya ke arah salah satu pilar di ruangan tersebut. Gadis itu tersungkur setelah menghantam pilar dengan keras. Darah terus mengucur dari hidung dan mulutnya.

Troya menangis. Badannya gemetar kuat. Pertarungan kali ini sama sekali berbeda dengan perkelahian jalanan yang sering dilakukannya. Dia pasti mati jika ini diteruskan. Sungguh naif dirinya yang sempat berpikir kalau lawannya takut didiskualifikasi karena membunuh.

Saat seperti ini, barulah gadis itu sadar. Ayahnya selalu bilang untuk tidak terlalu percaya diri hanya karena punya sabuk hitam di karate. Ada banyak orang gila di luar sana yang tak akan mampu dilawan Troya yang sekarang.

Troya hanya bisa berkata lirih di tengah keputusasaannya.

"A...aku menyerah..."

Namun bukan ampunan yang didapatkannya, melainkan tusukan ke perut. Pisau Abu menancap kuat. Gadis itu bahkan sudah tidak mampu untuk sekadar menjerit.

Dalam kondisi kritis itu, akhirnya Troya teringat.

Abu si Teroris. Troya pernah melihatnya di daftar kriminal yang selalu dibawa ayahnya. Abu adalah penjahat gila dengan nilai buruan sangat tinggi. Julukan lainnya...

Abu si Pembunuh Tuhan.

Kesadaran Troya pun menipis. Dia ditinggalkan begitu saja dengan pisau masih menancap.

[21]

Dua jam berlalu.

Saat mata Troya terbuka, dia masih berada di Menara Bebal, di tempat yang sama. Dua robot NGSR mendekat sambil membawa tandu.

"An-da su-dah sa-dar? Pe-ser-ta Tro-ya Me-re-dith."

Troya melihat pisau Abu masih bersarang di perutnya. Refleks dia mencoba meraih itu namun salah satu robot segera mencegah.

"Ja-ngan di-ca-but! Ka-u bi-sa ma-ti ka-re-na pen-da-rah-an!"
"Te-nang! Ka-mi a-kan me-nye-la-mat-kan-mu!"

Troya pasrah saat kedua robot tadi menandunya. Dia diterbangkan dengan helikopter yang juga dikemudikan robot.

Ternyata hari sudah pagi. Troya mencoba memandang keluar jendela helikopter. Namun apa yang didapatnya?

Seluruh kota sudah tertutup oleh kabut kehijauan!

"Ha-nya se-pu-luh per-sen pen-du-duk yang se-la-mat."

Mata Troya mendelik.

ABU! APA YANG SUDAH KAU PERBUAT!?

Helikopter terbang menjauh. Yang tersisa dari Almnesse hanyalah lampu-lampu kota dengan cahaya pink yang redup.

[R2 - selesai]

Komentar

  1. Sasuga Abu, benar-benar heartless. Troya dari awal emang gak punya harapan untuk menang.

    Penembakan di mall itu mengingatkan saya sama salah satu missi di CoD MW 2, "Remember, no Russian."

    Point 9/10
    Salam sagne dari Dian

    BalasHapus
    Balasan
    1. trus Troya itu player yg ujung2nya di-dor jga ama Abu.

      Hapus
    2. Trims sudah mampir dan berkomen. Banyak yang pengen saya olah dari "kengerian" Abu tapi terbatas 3000 kata jadi banyak yang mesti dipotong. Battle Abu vs Troya pun mesti dibikin singkat.

      Hapus
  2. Banyak hal bagus di sini .
    Kau memanfaatkan contnuity nod Battle Of Realms lebih bagus daripada beberapa entry lain, dan ada satu main story yang bikin penasaran pun juga keren, meski kurang berkesinambungan. Mungkin memang tidak ada main story? Kepercayaan diri Troya memang justified, tapi saya malah aneh kenapa Abu ga membunuh Troya. Kesan saya Abu ini bergerak karena ia punya misi sendiri dan mengabaikan panitia dan turnamen secara penuh, namun kayaknya saya salah. Jadi kenapa Abu masih mematuhi peraturan, meskipun sangat hampir melanggar? ntahlah, dan ini saya harap kelak di bahas di ronde berikutnya, toh dari narasi awal Abu sendiri tidak tahu apakah dia butuh delapan kotak harta.

    9/10

    dari Charlotte

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di charsheet-nya juga sudah dituliskan kalau Abu punya agenda sendiri. Ikutan turnamennya untuk formalitas. Tapi ya namanya formalitas pun tetap dijalani, setidaknya untuk sekarang. Toh tadinya si Abu meninggalkan Troya untuk mati ... tapi dia diangap sudah menang saat menyalakan lampu lalu panitia datang untuk menjemput Troya yang masih hidup.

      Singkatnya sih mau Troya hidup atau mati nggak ada ngaruhnya di mata Abu.

      Hapus
  3. Abu the God Slayer. Selalu menarik ketika Abu bergerak. Seakan2 Cak Norris in heat.
    Ini 3k? ternyata pembawaan ini memberi kesan ringkas tapi padat akan aksi.

    Sosok Abu yang penuh strategi gini harus di-outperform oleh OC yang juga sama sama licik.
    Ngeri emg otaknya.

    8/10 dri Tora Kyuin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hampir 3000 kata, sekitar 2990-an lah.

      Makanya saya lumayan menantikan R4 di mana Abu bisa bertemu sosok "iblis" untuk pertama kalinya. Sayangnya mesti ada R3 Moba yang mesti dijalankan dulu.

      Trims sudah mampir dan berkomentaria.

      Hapus

Posting Komentar

Entri terbaru

Tampilkan selengkapnya